Pemberitaan Media Terhadap Bencana Jepang (Studi Analisis Wacana Teun A. Van DIJK Pada Harian Kompas Tentang Pemberitaan Gempa Dan Tsunami Jepang)

(1)

PEMBERITAAN MEDIA TERHADAP BENCANA JEPANG

(STUDI ANALISIS WACANA TEUN A. VAN DIJK PADA HARIAN KOMPAS TENTANG PEMBERITAAN GEMPA DAN TSUNAMI JEPANG)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Diajukan oleh:

Agatha Rebecca Rajagukguk 090922062

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI EKSTENSI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul “Pemberitaan Media Terhadap Bencana Gempa” (Studi Analisis Wacana Teun A. Van Dijk pada Harian Kompas Tentang Pemberitaan Gempa dan Tsunami Jepang). Dalam hal pemberitaan realita di masyarakat, media tidak hanya memberitakan apa yang terjadi, tetapi juga mengkonstruksi realita tersebut, menyembunyikan sebagian fakta dan menonjolkan fakta lainnya. Belakangan ini ada peristiwa yang terjadi pada negara besar yang telah menjadi berita yang besar pula dalam berbagai media massa seperti televisi, radio, internet, majalah dan surat kabar. Masyarakat dunia dikejutkan dengan terjadinya bencana hebat yang melanda negara Jepang yang memiliki sebutan negara Sakura dan negara Matahari Terbit. Negara Jepang ini kembali diguncang gempa yang sangat dasyat setelah 140 tahun terakhir ini baru mengalami kembali bencana yang luar biasa.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan, yaitu: Komunikasi dan Komunikasi Massa, Pers dan Jurnalistik, Media Massa dan Surat Kabar, Ideologi, Analisis Wacana kritis, Analisis Wacana Teun A. van Dijk.

Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis dengan model pendekatan Teun A. van Dijk yang meneliti pada level teks, kognisi sosial, dan analisis sosial. Dimensi teks akan dianalisis dengan elemen wacana seperti tematik, skematik, latar, detil, maksud, koherensi, koherensi pembeda, pengingkaran, praanggapan, bentuk kalimat, kata ganti, leksikon, grafis dan metafora. Dari analisis van Dijk tersebut akan dirangkum kembali sehingga dapat disimpulkan bagaimana pemberitaan media yang disampaikan dan dikonstruksi


(3)

oleh wartawan.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa makna yang terkandung pada tiap teks yang ada dalam pemberitaan media menunjukkan bagaimana realita yang ada dalam kondisi bencana besar gempa dan tsunami yang terjadi di Jepang pada 11 Maret 2011 yang lalu. Kemudian berita dikemukakan secara gamblang serta dikemas dengan sangat baik oleh wartawan untuk menyatakan maksud wartawan dalam penulisan berita. Serta terdapat pola pemberitaan yang mengambil dari berbagai narasumber terpercaya.


(4)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Jl. Dr. Sofyan No. 1 Telp. (061) 8217168

Lembar Persetujuan Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Agatha Rebecca Rajagukguk Nim : 090922062

Judul : Pemberitaan Media terhadap Bencana Jepang (Studi Analisis Wacana Teun A. Van Dijk pada Harian Kompas tentang pemberitaan gempa dan tsunami Jepang)

Pembimbing Ketua Departemen

(Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm) (Dra. Fatma Wardi Lubis, MA) NIP. 197711062005011001 NIP. 196208281986012001

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara

(Prof. Dr. Badarrudin, M.Si) NIP. 19680525 199203 1 002


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ……….. i

KATA PENGANTAR………... ii

DAFTAR ISI………...vi

DAFTAR TABEL……… ix

BAB 1 PENDAHULUAN………. 1

I.1 Latar Belakang……….. 1

I.2 Perumusan Masalah……….. 6

I.3 Pembatasan Masalah………... 6

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian………. 7

I.4.1 Tujuan Penelitian………7

I.4.2 Manfaat Penelitian………. 7

I.5 Kerangka Teori………. 7

I.5.1 Imperialisme Budaya……… 8

I.5.2 Representasi………... 9

I.5.3 Ideologi...……… 11

I.5.4 Analisis Wacana Kritis... 13

I.5.5 Analisis Wacana Teun A.Van Dijk...14

I.6 Kerangka Konsep………15

I.7 Operasionalisasi Konsep………... 16

BAB II URAIAN TEORITIS………. 18

II.1 Imperialisme Budaya………. 18

II.2 Representasi...………... .. 22


(6)

II.4 Analisis Wacana Kritis……….. 30

II.5 Analisis Wacana Teun A. Van Dijk... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………. 44

III.1 Deskripsi Objek Penelitian…...……….. 44

III.2 Tipe Penelitian………... 45

III.3 Subjek Penelitian...……… 46

III.4 Unit dan Level Analisis..………... . 46

III.5 Teknik Pengumpulan Data………. 47

III.6 Teknik Analisis Data... 47

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………... 49

IV.1 Analisis Wacana Novel Indiana Chronicle Blues... 50

IV.2 Diskusi dan Pembahasan………. 155

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….. 161

V.1 Kesimpulan……… 161

V.2 Saran……….. 162

DAFTAR PUSTAKA……….. 163 LAMPIRAN


(7)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul “Pemberitaan Media Terhadap Bencana Gempa” (Studi Analisis Wacana Teun A. Van Dijk pada Harian Kompas Tentang Pemberitaan Gempa dan Tsunami Jepang). Dalam hal pemberitaan realita di masyarakat, media tidak hanya memberitakan apa yang terjadi, tetapi juga mengkonstruksi realita tersebut, menyembunyikan sebagian fakta dan menonjolkan fakta lainnya. Belakangan ini ada peristiwa yang terjadi pada negara besar yang telah menjadi berita yang besar pula dalam berbagai media massa seperti televisi, radio, internet, majalah dan surat kabar. Masyarakat dunia dikejutkan dengan terjadinya bencana hebat yang melanda negara Jepang yang memiliki sebutan negara Sakura dan negara Matahari Terbit. Negara Jepang ini kembali diguncang gempa yang sangat dasyat setelah 140 tahun terakhir ini baru mengalami kembali bencana yang luar biasa.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan, yaitu: Komunikasi dan Komunikasi Massa, Pers dan Jurnalistik, Media Massa dan Surat Kabar, Ideologi, Analisis Wacana kritis, Analisis Wacana Teun A. van Dijk.

Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis dengan model pendekatan Teun A. van Dijk yang meneliti pada level teks, kognisi sosial, dan analisis sosial. Dimensi teks akan dianalisis dengan elemen wacana seperti tematik, skematik, latar, detil, maksud, koherensi, koherensi pembeda, pengingkaran, praanggapan, bentuk kalimat, kata ganti, leksikon, grafis dan metafora. Dari analisis van Dijk tersebut akan dirangkum kembali sehingga dapat disimpulkan bagaimana pemberitaan media yang disampaikan dan dikonstruksi


(8)

oleh wartawan.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa makna yang terkandung pada tiap teks yang ada dalam pemberitaan media menunjukkan bagaimana realita yang ada dalam kondisi bencana besar gempa dan tsunami yang terjadi di Jepang pada 11 Maret 2011 yang lalu. Kemudian berita dikemukakan secara gamblang serta dikemas dengan sangat baik oleh wartawan untuk menyatakan maksud wartawan dalam penulisan berita. Serta terdapat pola pemberitaan yang mengambil dari berbagai narasumber terpercaya.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Semenjak masa reformasi dunia pers dan jurnalistik mengalami perkembangan pesat. Perkembangan ini ditandai dengan munculnya media massa mulai dari media cetak hingga media massa elektronik. Bahkan, dari segi isi dan pemberitaan, media juga dapat dikatakan lebih ‘berani’ dalam memberitakan realita pada masyarakat atau mengomentari kebijakan pemerintah bahkan mengeluarkan pendapat mengenai oknum-oknum tertentu.

Pers berkembang pesat ini mempunyai sistem terbuka dan cenderung mempunyai kualitas penyesuaian, yang berarti ia akan menyesuaikan diri kepada perubahan dalam lingkungan demi kelangsungan hidupnya. Jika saja pers tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi dan situasi yang semakin pesat ini, maka pers bisa saja akan mati, mati karena dimatikan (dicabut ijinnya atau dilarang terbit), atau mati karena tidak diminati oleh khalayak.

Pers dalam arti sempit adalah media massa cetak, seperti surat kabar, majalah dan lain sebagainya, sedangkan pers dalam arti luas meliputi media massa cetak elektronik, antara lain radio siaran dan televisi siaran, sebagai media yang menyiarkan karya jurnalistik (Effendy, 2007: 90). Pers dan jurnalistik kerap kali diibaratkan sebagai jiwa dan raga. Karena pers memiliki sifat berwujud, konkret, ataupun nyata, oleh karena itu juga dapat diberi nama. Sedangkan jurnalistik acap kali diibaratkan dengan jiwa karena jurnalistik ini bersifat abstrak, merupakan kegiatan, proses, daya hidup, menghidupi aspek pers (Effendy, 2007: 90).


(10)

Jurnalistik adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta dan melaporkan peristiwa. Jurnalistik sangat penting kapan pun, dimana pun dan sampai kapan pun. Secara sederhana jurnalistik juga dapat didefinisikan sebagai teknik mengelola berita mulai dari mendapatkan bahan sampai kepada menyebarluaskan berita tersebut kepada khalayak (Effendy, 2007: 95).

Pada awalnya, jurnalistik hanya mengelola hal-hal yang sifatnya informasi saja. Produk jurnalistik yang pertama adalah Acta Diurna yang digunakan oleh Kaisar Julius Caesar sebagai alat komunikasi yang berisikan pengumuman-pengumuman dari Kaisar yang saat itu berkuasa kepada khalayak dengan ditempel pada semacam papan pengumuman.

Dalam perkembangan masyarakat selanjutnya, surat kabar yang dapat mencapai seluruh rakyat secara massal itu dipergunakan oleh kaum idealis untuk melakukan sosial kontrol, sehingga surat kabar tidak hanya bersifat informatif melainkan bersifat persuasif. Bukan hanya memberikan informasi saja, tetapi juga mampu membujuk dan mengajak khalayak untuk mengambil sifat tertentu agar berbuat melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu. Sehingga dengan latar belakang inilah surat kabar dikategorikan kepada media massa.

Media massa yang juga merupakan produk jurnalistik ini merupakan sarana komunikasi massa. Komunikasi massa sendiri artinya proses penyampaian pesan, gagasan atau informasi kepada orang banyak (publik) secara serentak. Media massa memiliki beberapa karakteristik yaitu disebarluaskan kepada khalayak luas (publisitas), pesan atau isinya bersifat umum (universalitas), tetap atau berkala (periodisitas), berkesinambungan (kontinuitas) dan berisi hal-hal baru (aktualitas).


(11)

Jenis-jenis media massa adalah media massa cetak (printed media), media massa elektronik (electronic media) dan media online (cybermedia). Media elektronik adalah radio, televisi dan film. Sedangkan media cetak berdasarkan formatnya terdiri dari koran atau suratkabar, tabloid, newsletter, majalah, bulletin dan buku. Media online adalah website internet yang berisikan informasi aktual layaknya media massa cetak.

Dipandang dari sudut sejarah produk jurnalistik, surat kabar merupakan produk jurnalistik yang tertua. Acap kali ketika berbicara mengenai surat kabar ataupun koran maka yang terbersit di pemikiran adalah sekumpulan berita yang disajikan untuk khalayak. Sehingga surat kabar sering kali identik dengan berita.

Definisi berita ataupun news begitu banyak yang dapat diketahui dari berbagai literatur, yang satu dengan yang lain dapat berbeda karena pandangan masing-masing yang dapat berbeda-beda juga. Definisi berita dapat ditemukan sangat banyak, puluhan bahkan hingga ratusan dari berbagai sumber. Menurut Prof. Mitchel V. Charnley berita adalah laporan tercatat mengenai fakta atau opini yang mengandung hal yang menarik minat atau penting, atau kedua-duanya, bagi sejumlah besar penduduk. Unsur fakta yang dilaporkan dalam berita seharusnya mencakup 5W+1H: what (apa yang terjadi), who (siapa pelaku atau orang yang terlibat dalam kejadian itu), why (kenapa hal itu terjadi), when (kapan kejadiannya), where (di mana terjadinya) dan how (bagaimana proses kejadiannya).

Namun, berita bukan dapat ditemukan pada surat kabar saja tetapi juga pada majalah, radio, televisi, bahkan juga melalui internet. Berita-berita yang disajikan pada umumnya menampilkan peristiwa ataupun fenomena-fenomena


(12)

yang terjadi. Dan setiap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam segala aspek kehidupan dapat dijadikan sebuah berita. Dan dengan adanya berita khalayak akan lebih mengerti dan paham tentang peristiwa yang terjadi dan dilaporkan melalui berita.

Dalam hal pemberitaan realita di masyarakat, media tidak hanya memberitakan apa yang terjadi, tetapi juga mengkonstruksi realita tersebut, menyembunyikan sebagian fakta dan menonjolkan fakta lainnya. Alex Sobur berpendapat, bahwa isi media pada hakekatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Media menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna (Hamad, 2004: 11). Belakangan ini ada peristiwa yang terjadi pada negara besar yang telah menjadi berita yang besar pula dalam berbagai media massa seperti televisi, radio, internet, majalah dan surat kabar. Kembali masyarakat dunia dikejutkan dengan terjadinya bencana hebat yang melanda negara Jepang yang memiliki sebutan negara Sakura dan negara Matahari Terbit. Negara Jepang ini kembali diguncang gempa yang sangat dasyat setelah 140 tahun terakhir ini baru mengalami kembali bencana yang luar biasa.

Peristiwa bencana alam tsunami terjadi pada tanggal 11 Maret 2011. Tsunami yang menyapu pesisir timur Pulau Honshu dan pulau lain di pantai Pasifik, Jepang, telah meninggalkan sejuta kisah. Gempa berkekuatan 8,9 skala Richter membuat Jepang lumpuh total. Selain memicu tsunami setinggi 10 meter


(13)

yang menyapu bersih sebagian Jepang utara, jaringan listrik, telepon dan transportasi di Tokyo, ibu kota negara, pun putus total.

Televisi, media cetak, radio dan situs berita online di seluruh dunia telah merilis bencana itu. Hal yang mengagumkan dunia, seluruh kejadian serta momen dramatis dan mendebarkan direkam televisi Jepang detik demi detik, sejak awal gempa, datangnya tsunami, hingga air bah itu ”diam”. Jepang lalu mengabarkan drama amuk alam yang menyebabkan lebih dari 10.000 orang tewas dan 10.000 orang hilang itu ke seluruh dunia. Meski sempat panik, Jepang dengan cepat bangkit, mengerahkan seluruh kekuatannya, mulai dari tentara, kapal, hingga pesawat terbang. Jumlah tentara dinaikkan dua kali lipat dari 51.000 personel menjadi 100.000 personel. Sebanyak 145 dari 170 rumah sakit di seluruh daerah bencana beroperasi penuh.

Sekalipun kelaparan dan krisis air bersih mendera jutaan orang di sepanjang ribuan kilometer pantai timur Pulau Honshu dan pulau lain di Jepang, para korban sabar dan tertib menanti distribusi logistik. Hingga hari keempat pascabencana, tidak terdengar aksi penjarahan dan tindakan tercela lainnya (Kompas: Rabu, 16 Maret 2011, hal 1).

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut serta ketertarikan dalam kancah jurnalistik, peneliti tertarik untuk menganalisis berita mengenai peristiwa gempa dan tsunami Jepang yakni bagaimana representasi kognisi jurnalis dalam produksi berita, serta konteks sosial mengenai gempa dan tsunami Jepang tersebut dalam Harian Kompas pada tanggal 12 Maret 2011 – 19 Maret 2011. Peneliti memilih Harian Kompas dikarenakan harian ini merupakan media massa yang paling konsisten dalam pemberitaannya. Harian Kompas juga merupakan surat


(14)

kabar berskala nasional yang memuat berita gempa dan tsunami Jepang. Selain itu, harian ini juga memiliki berita-berita yang baik dan layak untuk dipelajari dan dianalis.

Harian Kompas dengan motto “Amanat Hati Nurani Rakyat” merupakan harian yang terbit untuk umum, terbit sejak 28 Juni 1965. Harian Kompas ini berkantor pusat di Jakarta yang merupakan bagian dari kelompok Kompas Gramedia. Selain itu, Harian Kompas adalah satu-satunya koran di Indonesia yang diaudit oleh Audit Boreau of Circulations (ABC). Bahkan Harian Kompas telah menyediakan e-paper dengan konsep surat kabar digital, sehingga dapat membantu peneliti mendapatkan tambahan informasi walaupun terbitan yang sudah lewat sekalipun melalui situs

I.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah ini ditujukan untuk upaya membatasi penelitian agar lebih terarah dan tidak terlalu luas namun tetap dalam fokus yang diharapkan dan yang telah ditentukan. Berdasarkan latar belakang dari uraian yang sebelumnya, maka rumusan masalah penelitian ini adalah yang berikut ini:

“Bagaimanakah pemberitaan media terhadap bencana alam gempa dan tsunami Jepang pada Harian Kompas?”

I.3. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah ini ditujukan untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian, maka peneliti


(15)

membatasi masalah yang akan diteliti. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif, untuk mengetahui pemberitaan gempa dan tsunami Jepang 2011.

2. Penelitian ini menggunakan pisau analisis wacana Teun Van Dijk. Media yang diteliti adalah media massa cetak harian Kompas. 3. Berita yang diteliti adalah pemberitaan mengenai bencana alam

gempa bumi dan tsunami Jepang 2011. Penelitian ini terbatas pada analisis wacana berita headline news dari Harian Kompas terbitan 12 Maret 2011 – 19 Maret 2011.

4. Penelitian ini dilakukan dalam bulan Maret – Agustus 2011.

I.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut ini:

1. Penelitian bertujuan untuk menganalis wacana berita mengenai gempa dan tsunami Jepang pada Harian Kompas.

2. Penelitian ini selain mengetahui bagaimana isi berita beserta dengan realita yang terjadi, penelitian ini juga memiliki tujuan untuk mengetahui teknik-teknik penyajian sebuah berita serta representasi kognisi jurnalis dalam produksi berita.


(16)

I.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara akademis, penelitian diharapkan mampu memperluas atau mampu menambah khasanah penelitian komunikasi dan sumber bacaan kepada mahasiswa di Departemen Ilmu Komunikasi Ekstensi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU.

2. Secara teoritis, penelitian ini untuk menerapkan ilmu yang diterima peneliti selama menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi Ekstensi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU, serta menambah cakrawala dan wawasan peneliti mengenai wacana berita dari jenis berita jurnalistik.

3. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan masukan kepada siapa saja yang tertarik pada berita jurnalistik serta memberikan masukan kepada bidang yang bergerak di dunia jurnalistik termasuk juga Harian Kompas.

I.6. Kerangka Teori

Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995:37). Teori menurut Kerlinger diartikan sebagai suatu himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menyebarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena atau gejala tertentu (Rakhmat, 2009: 6).


(17)

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan untuk memecahkan masalah atau menyoroti masalah tersebut. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana penelitian disorot. Uraian di dalam kerangka teori ini merupakan hasil berfikir rasional yang dituangkan secara tertulis meliputi aspek-aspek yang terdapat di dalam masalah ataupun sub-sub masalah (Nanawi, 2002: 39-40). Dalam penelitian ini, teori-teori yang dianggap relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

I.6.1. Komunikasi dan Komunikasi Massa

Istilah komunikasi semula merupakan fenomena sosial, kemudian menjadi ilmu yang secara akademik berdisiplin mandiri. Ilmu komunikasi dewasa ini dianggap amat penting sehubungan dengan dampak dan manfaat sosial yang dibutuhkan bagi kemasyarakatan.

Secara sederhana komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator (pengirim pesan) kepada komunikan (penerima pesan). Proses penyampaian ini biasanya menggunakan media bahasa. Bahasa adalah lambang yang mewakili sesuatu, baik berwujud maupun yang tidak berwujud.

Harold D. Lasswell (Effendy, 2007: 28) menyatakan cara yang terbaik untuk menerangkan proses komunikasi adalah menjawab pertanyaan: who says what in which channel to whom with what effect (siapa mengatakan apa melalui saluran apa kepada siapa dengan efek apa).

Komunikasi massa mengacu pada keseluruhan perangkat yang merupakan pembawa pesan dan menyampaikan pesan kepada berjuta-juta orang


(18)

secara serentak. Komunikasi massa menyampaikan informasi, gagasan dan sikap kepada komunikan yang beragam dalam jumlah banyak dengan menggunakan media, yaitu media massa.

Komunikasi massa merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu. Secara sederhana komunikasi massa adalah menyiarkan informasi, gagasan dan sikap kepada komunikan yang beragam dalam jumlah yang banyak dengan menggunakan media. Komunikasi massa biasanya menghendaki organisasi resmi dan rumit untuk melakukan operasinya (Effendy, 2007: 80).

Menurut Everett M. Rogers, media massa terbagi dalam dua bentuk, yakni media massa modern dan media massa tradisional. Media massa modern antara lain adalah televisi, surat kabar, radio, film, dan lain-lain. Media massa tradisional meliputi teater rakyat, juru dongeng keliling, juru pantun dan lain-lain (Effendy, 2007: 79). Komunikasi massa yang dibahas dalam penelitian Everett ini adalah komunikasi massa modern.

I.6.2. Pers dan Jurnalistik

Istilah pers, atau press berasal dari istilah latin pressus artinya tekanan, atau tertekan, terhimpit, padat. Pers dalam kosakata Indonesia berasal dari bahasa Belanda yang mempunyai arti sama dengan bahasa Inggris press, sebagai sebutan untuk alat cetak (Wahidin, 2007: 35).


(19)

Pers mempunyai dua macam pengertian, yakni pers dalam arti sempit dan pers dalam arti luas. Pers dalam arti sempit adalah media massa cetak, seperti surat kabar, majalah, mingguan tabloid dan sebagainya, sedangkan pers dalam arti luas meliputi media massa cetak elektronik, antara lain radio siaran dan televisi siaran, sebagai media yang menyiarkan karya jurnalistik. Jadi, tegasnya pers adalah lembaga atau badan atau organisasi yang menyebarkan berita sebagai karya jurnalistik kepada khalayak.

Jurnalistik ataupun journalisme berasal dari perkataan journal, artinya catatan harian, ataupun catatan mengenai kejadian sehari-hari. Dari perkataan itulah lahir kata jurnalis, yaitu orang yang melakukan kegiatan ataupun pekerjaan jurnalistik. Secara sederhana jurnalistik dapat didefinisikan sebagai teknik mengelola berita mulai dari mendapatkan bahan samapai kepada menyebarluaskannya kepada khalayak (Effendy, 2007: 95).

Juranlistik juga diart ikan sebagai semacam kepandaian mengarang yang pokoknya untuk memberi perkabaran pada masyarakat dengan selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luasnya. Karena perkembangan zaman, jurnalistik diartikan sebagai salah satu bentuk komunikasi yang menyiarkan berita atau ulasan berita tentang berita mengenai peristiwa-peristiwa sehari-hari yang umum dan aktual dengan secepat-cepatnya (Kusumaningrat, 2007: 15).

Hubungan pers dan jurnalistik merupakan suatu kesatuan yang bergerak dalam bidang penyiaran informasi, hiburan, keterangan dan penerangan. Artinya adalah bahwa antara pers dan jurnalistik mempunyai hubungan yang erat. Pers sebagai media komunikasi massa tidak akan berguna apabila sajiannya jauh dari prinsip-prinsip jurnalistik. Sebaliknya karya jurnalistik tidak akan bermanfaat


(20)

tanpa disampaikan oleh pers sebagai medianya, bahkan boleh dikatakan bahwa pers adalah media khusus untuk digunakan dalam mewujudkan dan menyampaikan karya jurnalistik kepada khalayak.

Dalam kenyataannya jurnalistik selalu berberhubungan dengan pers. Jurnalistik diibaratkan sebagai bentuk komunikasinya, bentuk kegiatannya, isinya. Sedangkan pers itu adalah media di mana jurnalistik itu disalurkan. Pers dan jurnalistik merupakan dwitunggal. Pers tidak mungkin berorganisasi tanpa jurnalistik, sebaliknya jurnalistik tidak mungkin mewujudkan suatu karya bernama berita tanpa pers. Pers dan jurnalistik acap kali diibaratkan sebagai jiwa dan raga yang saling mengisi dan melengkapi.

I.6.3. Media Massa dan Surat Kabar

Komunikasi massa diadopsi dari istilah bahas inggris, mass communication, kependekan dari mass media communication (komunikasi media massa). Artinya, komunikasi yang menggunkan media massa.

Menurut Nurudin (2004: 1) komunikasi massa adalah studi ilmiah tentang media massa beserta pesan yang dihasilkan pembaca atau pendengar atau penonton yang coba diraihnya dan efeknya terhadap mereka. Komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa. Sebab, awal perkembangannya, komunikasi massa berkembang dari kata media of mass communications (Nurhidayat, 2004: 20).

Media massa atau Pers adalah suatu istilah yang mulai dipergunakan pada tahun didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas. Dalam pembicaraan


(21)

sehari-hari, istilah media massa ini sangat sering disingkat menjadi (http://id.wikipedia.org)

Keuntungan komunikasi dengan menggunakan media massa adalah bahwa media massa menimbulkan keserempakan artinya suatu pesan dapat diterima oleh komunikan yang jumlah relatif banyak. Jadi untuk menyebarkan informasi, media massa sangat efektif untuk dapat mengubah sikap, pendapat dan prilaku komunikasi.

Media massa yang paling pertama ditemukan adalah media cetak, dalam hal ini berupa surat kabar atau majalah, definisi surat kabar tidak bisa lepas dari karakteristiknya, surat kabar (news paper) dibatasi pengertiannya sebagai berikut: “ Penerbitan yang berupa lembaran yang berisi berita-berita, karangan-karangan, dan iklan yang dicetak dan secara tetap atau periodik dan dijual umum”. (Assegaf, 1983 : 140).

Sebuah surat kabar isinya merupakan catatan peristiwa (berita) atau karangan (artikel, feature dan sebagainya) dan iklan karena biasa memuat hal yang bersifat dagang (promosi) diterbitkan secara berkala (periodik) waktu penerbitannya akan menggolongkan sebagai sebuah surat kabar atas harian, mingguan, bulanan, atau mungkin tahunan. Surat kabar dijual untuk umum karena surat kabar ditujukan untuk umum atau khalayak luas bukan personal.

Lebih dari 200 tahun satunya media penyampai berita kepada khalayak dan sebagai sumber satu-satunya bagi khalayak dalam mengakses informasi yang sama secara bersamaan. Surat kabar pertama kali diterbitkan di Eropa pada abad ke-17 (Kusumaningrat, 2007: 16).


(22)

Di Indonesia sendiri, surat kabar berkembang dan mempunyai peranannya sendiri di tengah masyarakat hingga sekarang. Sejarah mencatat bahwa produk mesin ceta cukup signifikan dalam perkembangan surat kabar di aspek kehidupan keterkaitannya sebagai media massa yang berpengaruh di masyarakat. (http://id.wikipedia.org)

I.6.4. Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam beberapa disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Titik singgung dari setiap pengertian tersebut adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan ‘apa’ (what), sedangkan analisis wacana lebih melihat pada ‘bagaimana’ (how) dari pesan atau teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frasa, kalimat, metafora seperti apa suatu berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2001: xv).

Terdapat tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana menurut Eriyanto (2001: 4-6). Pandangan pertama disebut positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendali atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis dan


(23)

memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, Sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik.

Pandangan kedua, disebut sebagai konstruktivisme. Aliran ini menolak pandangan positivis-empiris yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Dalam hal ini, seperti dikatakan A.S Hikam, subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa dipahami dalam paradigma ini diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri dari sang pembicara.

Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud dan makna-makna tertentu. Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini ingin mengoreksi pandangan konstruktivimisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam, pandangan konstruktivisme masih belum menganalisis wacana yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut


(24)

perilaku-perilakunya.

Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme. Analisis wacana menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada di dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, karena menggunakan paradigma kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana kritis.

Dalam analisis wacana kritis, wacana disini tidak dipahami sebagai studi bahasa. Bahasa di sini dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Artinya bahasa dipakai untuk tujuan dan praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan dalam melihat ketimpangan yang terjadi.

I.6.5. Ideologi

Menurut Sukarna (Sobur, 2004: 64) secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari idea dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s New Colligate Dictionary berarti “something existing in the mind as the result of the formulation on an opinion,


(25)

plan or like” (sesuatu yang ada dalam pikiran atau rencana). Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti word. Kata ini berasal dari kata legein berarti science atau pengetahuan atau teori. Jadi ideologi menurut kata adalah pencakupan dari yang terlihat atau mengutarakan apa yang terumus dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran.

Menurut Aart Van Zoest, dalam sebuah teks tidak akan pernah luput dari sebuah ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi (Sobur, 2004: 60). Setiap makna yang dikonstruksikan selayaknya memiliki suatu kecenderungan ideologi tertentu. Ideologi sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya (Sudibyo, 2001: 12).

Dalam pengertian yang paling umum, ideologi adalah pikiran yang terorganisir yakni nilai, orientasi dan kecenderungan yang saling melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antar pribadi. Ideologi dipengaruhi asal-usulnya, asosiasi kelembagaan dan tujuannya, meskipun sejarah dan hubungan-hubungannya tidak pernah jelas seluruhnya (Lull, 1998: 1).

Raymond William mengklasifikasikan penggunaan ideologi dalam tiga ranah (Sobur, 2004: 65-67). Pertama, suatu sistem kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat atau kelompok atas stratifikasi kelas tertentu. Definisi dalam ranah ini biasanya digunakan oleh para psikologi yang melihat ideologi sebagai suatu perangkat sikap yang dibentuk atau diorganisasikan dalam bentuk yang koheren. Sebuah ideologi dipahami sebagai sesuatu yang berlaku di masyarakat dan tidak berasal dari dalam diri individu itu sendiri.


(26)

Kedua adalah suatu sistem kepercayaan yang dibuat, dalam ranah ini ideologi merupakan ide palsu atau kesadaran palsu yang akan hancur ketika dihadapkan dengan pengetahuan ilmiah. Jika diartikan, ideologi adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau yang menempatkan diri sebagai posisi yang dominan menggunakan kekuasaannya untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. Ideologi digambarkan bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial yang tampak nyata, wajar dan alamiah. Dengan sadar ataupun tidak kita dibuat untuk menerima ideologi tersebut sebagai suatu kebenaran.

Ranah yang ketiga, merupakan suatu proses umum produksi makna dan ide. Ideologi diartikan sebagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Berita yang disajikan secara tidak sengaja merupakan gambaran dari ideologi tertentu. Sejumlah perangkat ideologi yang diangkat atau dibentuk dan diperkuat oleh media massa diberikan suatu legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara persuasif, sering menyolok kepada sejumlah khalayak yang besar dalam kategori jumlahnya.

I.6.6. Analisis Wacana Teun Van Djik

Menurut Van Dijk penelitian atas wacana tidak cukup jika didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang diamati. Perlu dilihat bagaimana suatu teks diproduksi sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa seperti itu (Eriyanto, 2001: 221).

Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level


(27)

kognisi sosial dipelajari proses produksi berita yang melibatkan kognisi individu dan wartawan. Sedangkan konteks sosial mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah (Eriyanto, 2001: 222).

Teks bukan sesuatu yang datang begitu saja, tetapi teks dibentuk dalam suatu praktek diskursus. Van Dijk tidak hanya membongkar teks semata, tetapi ia melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi atau pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks tersebut. Wacana oleh Van Dijk dibentuk oleh tiga dimensi: teks, kognisi sosial, dan konteks sosial (Eriyanto, 2001: 222).

Analisis wacana menekankan bahwa wacana adalah juga bentuk interaksi. Menurut Van Dijk, sebuah wacana berfungsi sebagai suatu pernyataan (assertion), pertanyaan (question), tuduhan (accusation), atau ancaman (threat). Wacana juga dapat digunakan untuk mendiskriminasi atau mempersuasi orang lain untuk melakukan diskriminasi.

I.7. Kerangka Konsep

Kerangka merupakan hasil pemikiran yang rasional yang merupakan uraian yang bersifat kritis dan memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai dan dapat mengantarkan penelitian pada rumusan hipotesis (Nawawi, 1995: 33). Konsep adalah penggambaran secara tepat fenomena yang hendak diteliti yakni istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok dan individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995: 33).


(28)

Jadi, berdasarkan pengertiannya kerangka konsep adalah hasil pemikiran yang rasional dalam menguraikan rumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari masalah yang diuji kebenarannya. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah memakai model dari analisis wacana Teun A. Van Dijk. Van Dijk menganalisis pada tiga tahap, yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks social (Eriyanto, 2001; 225). Analisis teks Van Dijk dibagi pada tiga level, yaitu:

1. Struktur makro, merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita.

2. Superstruktur, merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara utuh.

3. Struktur mikro merupakan wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar.

I.8. Operasional Konsep

Menurut Littlejohn (Eriyanto, 2001: 226) antara bagian teks dalam model Van Dijk dilihat saling mendukung dan mengandung arti yang koheren satu sama lain, karena semua teks dipandang Van Dijk mempunyai suatu aturan yang dapat dilihat sebagai suatu piramida. Prinsip ini untuk mengamati bagaimana suatu teks terbangun lewat elemen-elemen yang lebih kecil. Berikut akan diuraikan satu persatu elemen wacana Van Dijk tersebut:


(29)

1.Tematik

Menunjukkan gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks.

2.Skematik

Skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga terbentuk suatu kesatuan arti.

3.Latar

Bagian berita yang dapat mempengaruhi semantik (arti) yang ingin ditampilkan, menentukan kearah mana pandangan khalayak hendak dibawa.

4.Detil

Berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang untuk melakukan penonjolan dan penciptaan citra tertentu.

5.Maksud

Menunjukkan bagaimana kebenaran tertentu ditonjolkan secara eksplisit dan secara implisit mengaburkan kebenaran yang lain.

6. Koherensi

Pertalian atau jalinan antar kata dan kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren.

7. Koherensi Kondisional

Ditandai dengan pemakaian tanda kalimat dengan jelas. Ada tidaknya anak kalimat tidak mempengaruhi arti.


(30)

8. Koherensi Pembeda

Berhubungan dengan bagaimana dua peristiwa atau fakta hendak dibedakan. Dua buah peristiwa dapat dibuat saling bertentangan dan berseberangan.

9. Pengingkaran

Bagaimana wartawan menyembunyikan apa yang akan diekspresikan secara implisit.

10.Bentuk kalimat

Merupakan segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis, prisnsip kausalitas. Tidak hanya persoalan teknis di ketatabahasaan tapi menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat itu.

11.Kata ganti

Elemen ini untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat untuk menunjukan dimana posisi seseorang dalam wacana.

12. Leksikon

Menandakan bagaimana pemilihan kata dilakukan atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Pilihan kata yang dipakai menunjukan sikap dan idiologi tertentu.

13.Praanggapan

Pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya.

14.Grafis


(31)

ditonjolkan. 15.Metafora

Penyampaian pesan melalui kiasan atau ungkapan. Metafora sebagai ornamen dari suatu berita yang sapat menjadi penunjuk utama untuk mengerti makna suatu teks.


(32)

BAB II

URAIAN TEORITIS

Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995: 40). Maka teori berguna untuk menjelaskan titik tolak atau landasan berfikir dalam memecahkan masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti (Nanawi, 2002: 40).

Fungsi teori dalam suatu riset penelitian adalah membantu peneliti dalam menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatiannya (Kriyantono, 2007: 45). Teori yang relevan dengan penelitian ini adalah: komunikasi dan komunikasi massa, pers dan jurnalistik, media massa dan surat kabar, analisis wacana kritis, ideologi dan analisis wacana Teun A. Van Djik. Secara lebih rinci dapat dilihat pada uraian-uraian berikut ini.

II.1. Komunikasi dan Komunikasi Massa

Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin communis yang berarti “sama”, communico, communicatio dan communicare yang berarti “membuat sama” (to make common). Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna atau suatu pesan dianut secara sama (Mulyana, 2005: 41).

Menurut Carl Hovland (Effendy, 2007: 10), komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain. Sedangkan menurut Lasswell komunikasi adalah


(33)

proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.

Dari begitu banyaknya pendapat tentang pengertian komunikasi, tujuan komunikasi secara spesifik sebagai berikut (Effendy,2007: 54) :

1. Mengubah sikap (to change attitude)

2. Mengubah opnini/pendapat/pandangan (to change the opinion) 3. Mengubah perilaku (to change behavior)

4. Mengubah masayarakat (to change the society)

Sedangkan fungsi komunikasi itu sendiri menurut Effendy (2007: 55) adalah menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain), mempengaruhi (to influence). Fungsi komunikasi tersebut sangat dibutuhkan dalam kehidupan itu sendiri.

Secara sederhana komunikasi massa adalah menyiarkan informasi, gagasan dan sikap kepada komunikan yang beragam dalam jumlah yang banyak dengan menggunakan media. Komunikasi massa biasanya menghendaki organisasi resmi dan rumit untuk melakukan operasinya.

Menurut Everett M. Rogers, media massa terbagi dalam dua bentuk, yakni media massa modern dan media massa tradisional. Media massa modern antara lain adalah televisi, surat kabar, radio, film dan lain-lain. Media massa tradisional meliputi teater rakyat, juru dongeng keliling, juru pantun, dan lain-lain (Effendy, 2007: 79).

Komunikasi massa (mass communication) yang dimaksudkan disini adalah komunikasi massa modern, yang meliputi surat kabar yang mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televise yang ditujukan pada masyarakat


(34)

umum, dan film-film yang dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop.

Karakteristik media massa menurut Onong Uchjana Effendy (2007: 81) yaitu sebagai berikut:

a. Komunikasi massa bersifat umum b. Komunikasi massa bersifat heterogen

c. Komunikasi massa menimbulkan keserempakan

d. Hubungan komunikasi komunikator-komunikan bersifat non-pribadi

II.2. Pers dan Jurnalistik

Istilah pers, atau press berasal dari istilah latin pressus artinya tekanan, atau tertekan, terhimpit, padat. Pers dalam kosakata Indonesia berasal dari bahasa Belanda yang mempunyai arti sama dengan bahasa Inggris press, sebagai sebutan untuk alat cetak (Wahidin, 2007: 35).

Pers mempunyai dua macam pengertian, yakni pers dalam arti sempit dan pers dalam arti luas. Pers dalam arti sempit adalah media massa cetak, seperti surat kabar, majalah, mingguan tabloid, dan sebagainya, sedangkan pers dalam arti luas meliputi media massa cetak elektronik, antara lain radio siaran dan televisi siaran, sebagai media yang menyiarkan karya jurnalistik. Jadi, tegasnya pers adalah lembaga atau badan atau organisasi yang menyebarkan berita sebagai karya jurnalistik kepada khalayak.


(35)

Fungsi pers adalah berikut ini (Effendy, 2007: 93-95) : 1. Menyiarkan informasi

Hal ini merupakan fungsi yang pertama dan utama karena khalayak pembaca memerlukan informasi mengenai berbagai hal di bumi ini. 2. Mendidik (to educate);

Mendidik artinya sebagai sarana pendidikan massa (mass education). Adapun isi dari media atau hal yang dimuat dalam media mengandung unsur pengetahuan khalayak pembaca pengetahuannya.

3. Menghibur (to entertaint),

Khalayak pembaca selain membutuhkan informasi juga membutuhkan hiburan. Ini juga menyangkut minat insani.

4. Mempengaruhi (control social)

Tidak dapat dipungkiri dalam kehidupan ini ada kejanggalan-kejanggalan, baik langsung ataupun tidak langsung, berdampak pada kehidupan social. Pada fungsi ini media dimungkinkan menjadi control social, yang karena isi dari media sendiri bersifat mempengaruhi.

Jurnalistik ataupun journalisme berasal dari perkataan journal, artinya catatan harian, ataupun catatan mengenai kejadian sehari-hari. Dari perkataan itulah lahir kata jurnalis, yaitu orang yang melakukan kegiatan ataupun pekerjaan jurnalistik. Secara sederhana jurnalistik dapat didefinisikan sebagai teknik mengelola berita mulai dari mendapatkan bahan samapai kepada menyebarluaskannya kepada khalayak (Effendy, 2007: 95).


(36)

Hubungan pers dan jurnalistik merupakan suatu kesatuan yang bergerak dalam bidang penyiaran informasi, hiburan, keterangan, dan penerangan. Artinya adalah bahwa antara pers dan jurnalistik mempunyai hubungan yang erat. Pers sebagai media komunikasi massa tidak akan berguna apabila sajiannya jauh dari prinsip-prinsip jurnalistik. Sebaliknya karya jurnalistik tidak akan bermanfaat tanpa disampaikan oleh pers sebagai medianya, bahkan boleh dikatakan bahwa pers adalah media khusus untuk digunakan dalam mewujudkan dan menyampaikan karya jurnalistik kepada khalayak.

Dalam kenyataannya jurnalistik selalu berberhubungan dengan pers. Jurnalistik diibaratkan sebagai bentuk komunikasinya, bentuk kegiatannya, isinya. Sedangkan pers itu adalah media di mana jurnalistik itu disalurkan.

Pers dan jurnalistik merupakan dwitunggal. Pers tidak mungkin berorganisasi tanpa jurnalistik, sebaliknya juranlistik tidak mungkin mewujudkan suatu karya bernama berita tanpa pers.

Fungsi pers berarti fungsi jurnalistik. Pada zaman modern sekarang ini, jurnalistik tidak hanya mengelola berita, tetapi juga aspek-aspek lain untuk isi surat kabar. Karena itu, fungsinya bukan lagi menyiarkan informasi, tetapi juga mendidik, menghibur dan mempengaruhi agar khalayak melakukan kegiatan atau hal tertentu.

Jurnalisme sangat penting di mana pun dan kapan pun. Jurnalisme sangat diperlukan dalam suatu negara demokratis. Tak peduli apa pun perubahan-perubahan yang terjadi di masa depan, baik social, ekonomi, politik maupun lain-lainya. Tak dapat dibayangkan, akan pernah ada saatnya ketika tiada seorang pun yang fungsinya mencari berita tentang peristiwa yang terjadi dan menyampaikan


(37)

berita tersebut kepada khalayak ramai, dibarengi dengan penjelasan tentang peristiwa tersebut. Dan orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik disebut dengan jurnalis (Kusumaningrat, 2007: 15).

Committee of Concerned Journalist menyimpulkan sekurang-kurangnya ada sembilan prinsip jurnalisme yang harus dikembangkan ( Ishwara, 2008: 9-13):

1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran

2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga masyarakat 3. Inti jurnalisme adalah disiplin untuk melakukan verifikasi

4. Para wartawan harus memiliki kebebasan dari sumber yang mereka liput

5. Wartawan harus mengemban tugas sebagai pemantau yang bebas terhadap kekuasaan

6. Jurnalisme harus menyediakan forum untuk kritik dan komentar publik

7. Jurnalisme harus berusaha membuat yang penting menjadi menarik dan relevan

8. Wartawan harus menjaga agar berita itu proporsional dan komprehensif

9. Wartawan itu memiliki kewajiban utama terhadap suara hatinya Seperti halnya di negara-negara lain di dunia, jurnalistik Indonesia dipengaruhi sistem pemerintahan yang berganti-ganti. Di Indonesia pers mulai dikenal pada abad 18, tepatnya pada tahun 1744, ketika surat kabar bernama “Bataviasche Nouvelles”, surat kabar pertama yang diterbitkan oleh perusahaan orang-orang Belanda. Surat kabar pertama sebagai bacaan kaum pribumi dimuali


(38)

tahun 1854 ketika majalah “Bianglala” diterbitkan, disusul “Bromartani” pada tahun 1885 kedua-duanya di Weltevreden, dan pada tahun 1856 “Soerat Kabar Bahasa Melajoe” di Surabaya (Kusumaningrat, 2007: 16).

Dan pada abad 20 muncul koran pertama milik bangsa Indonesia, yakni “Medan Prijaji” yang terbit di Bandung. Medan Prijaji yang dimiliki dan dikelola oleh Tirto Hadisurjo alias Raden Mas Djokomono ini mulanya, yakni tahun 1907 berbentuk mingguan, kemudian pada tahun 1910 diudbah menjadi harian. Tirto Hadisurjo ini dianggap sebagai pelopor yang meletakkan dasar jurnalistikmodern di Indonesia, baik dalam cara pemberitaan, pemuatan karangan, iklan dan lain-lain.

Komunikasi massa merupakan suatu tipe komunikasi manusia (human communication) yang lahir bersamaan dengan mulai digunakannya alat-alat mekanik, yang mampu melipatgandakan pesan-pesan komunikasi. Dalam sejarah publisistik dimulai satu setengah abad setelah ditemukan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg. Sejak itu dimulai suatu zaman yang dikenal dengan zaman publisistik atau awal dari era komunikasi massa. Sebaliknya, zaman sebelumny dikenal sebagai zaman pra publisistik (Umar, 2000: 1).

Istilah publisistik sering dipakai dalam arti yang identik dengan istilah komunikasi massa. Lee dalam bukunya Publisistik Pers mendefenisikan ilmu publisistik sebagai ilmu kemasyarakatan.

II.3. Media Massa dan Surat Kabar

Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan-pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat


(39)

komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, televisi (Cangara, 2000: 8). Media menampilkan diri sendiri dengan peranan yang diharapkan, dinamika masyarakat akan terbentuk, dimana media adalah pesan. Jenis media massa yaitu media yang berorentasi pada beberapa aspek yaitu :

a. penglihatan (verbal visual) misalnya media cetak

b. pendengaran (audio) semata-mata (radio, tape recorder), verbal vokal

c. pada pendengaran dan penglihatan (televisi, film, video) yang bersifat ferbal visual vokal

Media massa digunakan dalam komunikasi apabila komunikasi berjumlah banyak dan bertempat tinggal jauh. Media massa yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari umumnya adalah surat kabar, radio, televisi, dan film bioskop, yang beroperasi dalam bidang informasi, edukasi dan rekreasi, atau dalam istilah lain penerangan, pendidikan, dan hiburan (Effendy, 2007: 54).

Keuntungan komunikasi dengan menggunakan media massa adalah bahwa media massa menimbulkan keserempakan artinya suatu pesan dapat diterima oleh komunikan yang jumlah relatif banyak. Jadi untuk menyebarkan informasi, media massa sangat efektif yang dapat mengubah sikap, pendapat dan prilaku komunikasi.

Media massa yang paling pertama ditemukan adalah media cetak dalam hal ini, berupa surat kabar atau majalah, definisi surat kabar tidak bisa lepas dari karakteristiknya, surat kabar (news paper) dibatasi pengertiannya sebagai berikut: “ Penerbitan yang berupa lembaran yang berisi berita-berita, karangan-karangan,


(40)

dan iklan yang dicetak dan secara tetap atau periodik dan dijual umum”. (Assegaf, 1983: 140).

Menurut Undang-undang Pers 1982, surat kabar di Indonesia adalah sebagai berikut: “Lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mempunyai hak dan kewajiban antara lain menuntut bahwa pers membantu memperkuat kesatuan nasional dalam meningkatkan kehidupan intelektual rakyat serta mendorong kesertaan masyarakat dalam usaha-usaha pembangunan nasional.”

Surat kabar merupakan penerbitan yang berupa lembaga yang berisi berita–berita karangan, iklan yang dicetak dan di terbitkan secara tetap atau lebih periodik dan untuk dijual kepada umum. Isi berita didalamnya dapat berupa kejadian–kejadian perang, politik dan pemerintahan ekonomi, kecelakaan, bencana, pendidikan serta seni kebudayaan.

Surat kabar sebagai salah satu produk jurnalistik boleh dikatakan sebagai media massa tertua sebelum ditemukan film, radio dan televisi. Surat kabar memiliki keterbatasan karena hanya bisa dinikmati oleh mereka yang melek huruf serta lebih banyak disenangi oleh orangtua daripada kaum remaja dan anak-anak (Cangara, 2000: 139).

Surat kabar memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Publisitas

Pengertian publisitas ialah surat kabar diperuntukkan umum artinya surat kabar harus menyangkut kepentingan umum.

2. Universalitas

Universalitas sebagai ciri lain surat kabar menunjukkan surat kabar harus memuat aneka berita mengenai kejadian di seluruh dunia dan


(41)

segala aspek kehidupan manusia. 3. Aktualitas

Aktualitas di sini maksudnya adalah kecepatan mengumpulkan laporan mengenai kejadian di masyarakat kepada khalayak. Saat ini aktualitas surat kabar harus dapat mengimbangi aktualitas berita media elektronik.

4. Periodisitas

Periodisitas artinya keteraturan terbitnya surat kabar pada waktu yang telah ditentukan baik harian maupun mingguan. Surat kabar memiliki kelebihan khusus bila dibandingkan dengan media cetak lainnya yaitu pesan-pesan yang disampaikan melalui surat kabar bersifat permanen, mudah disimpan serta diambil kembali dan pengaruhnya dapat dikontrol pembaca. Isi pesannya dapat dibaca dimana dan kapan saja, yang berarti tidak terikat pada waktu.

Berita yang dimuat dalam surat kabar sendiri memiliki unsur layak berita (Kusumaningrat, 2007: 48) sebagai berikut :

a. Akurat

Dalam sebuah berita fakta yang disajikan dalam berita harus persis seperti adanya, tidak dilebih-lebihkan ataupun dikurangi. Dengan kata lain sebuah berita haruslah memiliki tingkat akurasi yang tinggi, sehingga dapat dipercaya oleh khalayak.

Akurasi disebut sebagai pondasi segala macam penulisan bentuk jurnalistik. Apabila penulis ceroboh dalam hal ini, artinya sama dengan


(42)

melakukan pembodohan dan membohongi khalayak pembaca. Untuk menjaga akurasi dalam penulisan berita, perlu perhatikan beberapa hal berikut:

1. Dapatkan berita yang benar

2. Lakukan pengecekan ulang terhadap data yang diperoleh 3. Jangan mudah berspekulasi denga isu atau desas-desus

4.Pastikan semua informasi dan data yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan kewenangan dan keabsahannya.

b. Lengkap, Adil dan Berimbang

Lengkap, adil dan berimbang yang dimaksud adalah bahwa seorang wartawan harus melaporkan apa yang sesungguhnya yang terjadi. Unsur lengkap, adil dan berimbang menempatkan wartwan selaku wakil dari pembaca dimana berita haruslah tidak boleh memihak kepada apapun atau siapapun.

Keseimbangan dimungkinkan dengan mengakomodir kedua golongan (misalnya dalam penulisan berita tentang konflik). Hal demikian dalam jurnalistik disebut dengan “Both Side Covered”.

c. Objektif

Unsur objektif adalah berita yang dibuat itu selaras dengan kenyataan, tidak berat sebelah, bebas dari prasangka. Dalam pengertian objektif ini, termasuk pula keharusan wartawan menulis dalam konteks peristiwa secara keseluruhan, tidak dipotong-potong oleh kecenderungan subjektif.

d. Ringkas dan Jelas

Penulisan berita yang efektif adalah penulisan yang ringkas dan jelas, yang mudah dicerna dan dimengerti secara sederhana. Penulisan berita haruslah


(43)

ringkas, terarah, tepat, menggugah. Inilah kandungan-kandungan kualitas yang harus dikejar oleh setiap penulis.

Faktor kejelasan bisa diukur apakah khalayak mengerti isi dan maksud berita yang disampaikan, bukan jelas dalam konteks teknis, namun lebih condong pada faktor topik, alur pemikiran, kejelasan kalimat, kemudian pemahaman bahasa dan pernyaratan penulisan lainnya.

e. Hangat

Syarat umumnya sebuah berita haruslah hangat, merupakan hal yang baru, merupakan hal yang terkini, hal yang tidak basi, ataupun hal yang baru-baru saja terjadi.

Sementara itu nilai berita dalam pandangan modern adalah aktualitas (timeliness), kedekatan (proximity), dampak (consequence), dan human interest (Kusumaningrat, 2007: 58-65). Sedangkan dalam menulis sebuah berita ada prinsip yang dikenal dengan prinsip dasar penulisan ataupun sepuluh dasar prinsip menulis berita (Ishwara, 2008: 105-108) :

1. Usahakan agar kalimat rata-rata pendek 2. Pilih yang sederhana daripada yang kompleks 3. Pilihlah kata-kata yang lazim

4. Hindari kata-kata yang tidak perlu 5. Beri kekuatan pada kata kerja

6. Tulislah sebagaimana anda berbicara

7. Gunakan istilah yang bisa digambarkan oleh pembaca 8. Hubungkan dengan pengalaman pembaca anda 9. Gunakan sepenuhnya variasi


(44)

10. Menulislah untuk menyatakan, bukan untuk mempengaruhi

II.4. Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana (discourse analysis) sebagai disiplin ilmu dengan metodologi yang jelas dan eksplisit, baru benar-benar berkembang secara mantap pada awal tahun 1980-an. Berbagai buku kajian wacana terbit pada dasawarsa itu, misalnya Stubbs (1983), Brown dan Yule (1983), dan yang paling komprehensif karya Van Dijk (1985). Pokok perhatian analisis wacana juga terus berkembang dan merebak pada hal-hal atau persoalan yang banyak diperbincangkan orang di masa sekarang, seperti perbedaan gender, wacana politik, dan emansipasi wanita, serta sejumlah masalah social lainnya (Mulyana, 2005: 69).

Menurut Yoce (2004: 49), analisis wacana kritis adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang diinginkan. Artinya, dalam sebuah konteks harus disadari akan adanya kepentingan.

Oleh karena itu, analisis yang terbentuk nantinya disadari telah dipengaruhi oleh si penulis dari berbagai faktor. Selain itu harus disadari pula bahwa di balik wacana itu terdapat makna dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan. Jadi, analisis wacana yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah sebagai upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subjek (penulis) yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan suatu pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan


(45)

menempatkan diri pada posisi sang penulis dengan mengikuti struktur makna dari sang penulis sehingga bentuk distribusi dan produksi ideologi yang disamarkan dalam wacana dapat diketahui. Jadi, wacana dapat dilihat dari bentuk hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan subjek dan berbagai tindakan representasi.

Dalam Eriyanto (2001: 7) analisis wacana kritis, wacana disini tidak dipahami sebagai studi bahasa. Bahasa di sini dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Artinya bahasa dipakai untuk tujuan dan praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan dalam melihat ketimpangan yang terjadi. Habermas dalam Yoce (2004: 53) mengemukakan pendapatnya tentang analisis wacana kritis bertujuan membantu menganalisis dan memahami masalah sosial dalam hubungannya antara ideologi dan kekuasaan.

Tujuan analisis wacana kritis adalah untuk mengembangkan asumsi-asumsi yang bersifat ideologis yang terkandung dibalik kata-kata dalam teks atau ucapan dalam berbagai bentuk kekuasaan. Analisis wacana kritis bermaksud untuk menjelajahi secara sistematis tentang keterkaitan antara praktik-praktik diskursif, teks, peristiwa, dan struktur sosiokultural yang lebih luas. Jadi, analisis wacana kritis dibentuk oleh struktur sosial (kelas, status, identitas etnik, zaman dan jenis kelamin), budaya, dan wacana (bahasa yang digunakan). Analisis wacana krtis mencoba mempersatukan dan menentukan hubungan antara teks aktual, latihan diskursif dan konteks sosial yang berhubungan dengan teks dan latihan diskursif (Eriyanto, 2001: 13).


(46)

melihat wacana –pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan- sebagai bentuk dari praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis diantara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi: ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas melalui mana perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi yang ditampilkan.

Untuk menyempurnakan pandangan di atas, Fairclough mengemukakan pengertian wacana secara komprehensif dari pandangan kritis. Menurut Fairclough wacana harus dipandang simultan, yaitu sebagai (1) teks-teks bahasa, baik lisan maupun tulisan, (2) praksis kewacanaan, yaitu produksi teks dan interpretasi teks, (3) praksis sosiokultural, yaitu perubahan-perubahan masyarakat institusi, budaya yang menentukan bentuk dan makna sebuah wacana. Menganalisis wacana secara kritis pada hakikatnya adalah menganalisis tiga dimensi wacana secara integral dan ketiga dimensi tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Analisis wacana kritis dipakai untuk mengungkap tentang hubungan suatu ilmu pengetahuan dan kekuasaan, juga digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu, menerjemahkan, menganalisis, dan mengkritik kehidupan sosial yang tercermin dalam teks atau ucapan.

Dalam Eriyanto (2001: 8-13) mengutip dari pemikiran Fairclough dan Wodak, Analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing.


(47)

Adapun karakteristik analisis wacana kritis menurut Teun A. van Dijk, Fairclough dan Wodak adalah:

1. Tindakan

Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action) yang diasosiakan sebagai bentuk interaksi. Wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyangga, beraksi dan sebagainya, Seseorang berbicara atau menulis mempunyai maksud tertentu, baik besar maupun kecil. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran.

2. Konteks

Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana di sini dipandang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Mengikuti Guy Cook, analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang mengkomunkasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak. Guy Cook menyebutkan ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana; teks, konteks, dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya.

Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi di mana


(48)

teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Wacana kritis mendefinisikan teks dan percakapan pada situasi tertentu; wacana berada dalam situasi sosial tertentu. Meskipun demikian, tidak semua konteks dimasukkan dalam analisis, hanya yang relevan dan dalam banyak hal berpengaruh atas produksi wacana. Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana. Kedua, setting sosial tertentu, seperti tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik adalah konteks yang berguna untuk mengerti suatu wacana. Oleh karena itu, wacana harus dipahami dan ditafsirkan dari kondisi dan lingkungan sosial yang mendasarinya.

3. Historis

Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa memberikan konteks historis di mana teks itu diciptakan. Bagaimana situasi sosial politik, suasana pada saat itu. Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan seterusnya.

4. Kekuasaan

Di sini, setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan atau apa pun, tidak dipandang sebagai seusatu yang alamiah, wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Analisis wacana kritis tidak membatasi dirinya pada detil teks atau struktur wacana saja tetapi juga menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya tertentu.


(49)

Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa yang disebut sebagai kontrol. Kontrol di sini tidaklah harus selalu dalam bentuk fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara mental atau psikis. Bentuk kontrol terhadap wacana tersebut dapat berupa kontrol atas konteks, atau dapat juga diwujudkan dalam bentuk mengontrol struktur wacana.

5. Ideologi

Wacana dipandang sebagai medium kelompok yang dominan mempersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar. Ideologi dari kelompok dominan hanya efektif jika didasarkan pada kenyataan bahwa anggota komunitas termasuk yang didominasi menganggap hal tersebut sebagai kebenaran dan kewajaran. Analisis wacana tidak bisa menempatkan bahasa secara tertutup, tetapi harus melihat konteks terutama bagaimana ideologi dari kelompok-kelompok yang ada tersebut berperan dalam membentuk wacana.

II.5. Ideologi

Menurut Sukarna (Sobur, 2004: 64) secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari idea dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s New Colligate Dictionary berarti “something existing in the mind as the result of the formulation on an opinion, plan or like” (sesuatu yang ada dalam pikiran atau rencana). Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti word. Kata ini berasal dari kata legein berarti science atau pengetahuan atau teori.


(50)

mengutarakan apa yang terumus dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran. Asal mula ideologi sebagai sebuah konsep kritis dalam teori sosial dapat ditelusuri ke Perancis pada akhir abad ke – 18. Sejak saat itu ideologi menurut definisi manapun menjadi perhatian utama para sejarahwan, filsuf, kritikus, sastra ahli semiotika, ahli retorika yang dapat mewakili semua bidang ilmu humaniora dan sosial (Lull, 1998: 2).

Sejumlah perangkat ideologi yang diangkat atau dibentuk dan diperkuat oleh media massa diberikan suatu legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara persuasif, sering menyolok kepada sejumlah khalayak yang besar dalam kategori jumlahnya (Lull, 1998:4). Dalam pengertian yang paling umum, ideologi adalah pikiran yang terorganisir yakni nilai, orientasi dan kecenderungan yang saling melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antar pribadi. Ideologi dipengaruhi asal-usulnya, asosiasi kelembagaan dan tujuannya, meskipun sejarah dan hubungan-hubungannya tidak pernah jelas seluruhnnya (Lull, 1998: 1).

Konsep ideologi yang penting diantaranya adalah pemikiran Althusser. Ideologi atau suprastruktur dalam konsep Althusser adalah dialektika yang dikarakteristikkan dengan kekuasaan yang tidak seimbang atau dominasi. Salah satu hal yang paling penting dalam teori Althusser adalah konsepnya mengenai subjek dan ideologi. Pada intinya, seperti yang ditulis Hari Cahyadi (Eriyanto, 2001: 99), Ideologi dalam pengertian Althusser selalu memerlukan subjek, dan subjek memerlukan ideologi. Ideologi menempatkan seseorang bukan hanya dalam posisi tertentu dalam relasi sosial tetapi juga hubungan individu dengan


(51)

relasi sosial tersebut.

Sementara itu, teori Antonio Gramsci tentang hegemoni membangun suatu teori yang menekankan bagaimana penerimaan suatu kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan. Media menjadi sasaran dimana suatu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Seperti yang dikatakan Raymond William (Eriyanto, 2001:104) hegemoni bekerja melalui dua saluran: ideologi dan budaya melalui bagaimana nilai-nilai itu bekerja. Melalui hegemoni, ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaan dapat ditukarkan.

Menurut Aart Van Zoest, dalam sebuah teks tidak akan pernah luput dari sebuah ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi (Sobur, 2004: 60). Setiap makna yang dikonstruksikan selayaknya memiliki suatu kecenderungan ideologi tertentu. Ideologi sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya (Sudibyo, 2001: 12).

Dalam konsep Marx, ideologi adalah bentuk kesadaran palsu. Kesadaran seseorang, siapa mereka dan bagaimana mereka menghubungkan dirinya dengan masyrakat dibentuk dan diproduksi oleh masyarakat. Menurut Hall (Eriyanto, 2001: 94) ada tiga bentuk hubungan pembaca dan penulisan dan bagaimana pesan itu dibaca oleh keduanya.

Pertama posisi pembaca dominan. Terjadi ketika penulis menggunakan kode-kode yang diterima oleh umum, sehingga akan menafsirkan dan membaca pesan/tanda itu dengan pesan yang sudah diterima umum tersebut. Tidak terjadi


(52)

perbedaan penafsiran antara penulis dan pembaca disebabkan keduanya mempunyai ideologi yang sama.

Kedua, pembaca dinegoisasikan. Tidak ada pembaca dominan, yang terjadi adalah kode apa yang disampaikan penulis ditafsirkan secara terus-menerus diantara kedua belah pihak. Ketiga pembacaan oposisi. Pembaca akan menandakan secara berkala atau membaca secara berseberangan dengan apa yang disampaikan oleh khalayak tersebut, karena keduanya memiliki ideologi yang berbeda.

Raymond William mengklasifikasikan penggunaan ideologi dalam tiga ranah. Pertama, suatu sistem kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat atau kelompok atas stratifikasi kelas tertentu. Sebuah ideologi dipahami sebagai sesuatu yang berlaku di masyarakat dan tidak berasal dari dalam diri individu itu sendiri. Ideologi bukan sistem unik yang dibentuk oleh pengalaman seseorang, tetapi ditentukan oleh masyarakat di mana ia hidup, posisi sosial dia, pembagian kerja dan sebagainya.

Kedua adalah suatu sistem kepercayaan yang dibuat, dalam ranah ini ideologi merupakan ide palsu atau kesadaran palsu yang akan hancur ketika dihadapkan dengan pengetahuan ilmiah. Jika diartikan, ideologi adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau yang menempatkan diri sebagai posisi yang dominan menggunakan kekuasaannya untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. Ideologi digambarkan bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial yang tampak nyata, wajar dan alamiah. Dengan sadar ataupun tidak kita dibuat untuk menerima ideologi tersebut sebagai suatu kebenaran. Di sini, ideologi disebarkan melalui


(53)

berbagai instrumen dari pendidikan, politik sampai media massa.

Ranah yang ketiga, merupakan suatu proses umum produksi makna dan ide. Ideologi diartikan sebagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Berita yang disajikan secara tidak sengaja merupakan gambaran dari ideologi tertentu. Sejumlah perangkat ideologi yang diangkat atau dibentuk dan diperkuat oleh media massa diberikan suatu legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara persuasif, sering menyolok kepada sejumlah khalayak yang besar dalam kategori jumlahnya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa batasan ideologi ini adalah sebuah sistem nilai atau gagasan yang dimiliki oleh kelompok atau lapisan masyarakat tertentu, termasuk proses-proses yang bersifat umum dalam produksi makna dan gagasan.

Ideologi memiliki beberapa implikasi penting. Pertama, ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal atau individual: ia membutuhkan share di antara anggota kelompok, organisasi atau kolektivitas dengan orang lainnya. Hal yang di-share-kan tersebut bagi anggota kelompok digunakan untuk membentuk solidaritas dan kesatuan langkah dalam bertindak dan bersikap. Kedua, ideologi meskipun bersifat sosial, ia digunakan secara internal di antara anggota kelompok atau komunitas. Oleh karena itu, ideologi tidak hanya menyediakan fungsi koordinatif dan kohesi tetapi juga membentuk identitas diri kelompok, membedakan dengan kelompok lain. Ideologi di sini bersifat umum, abstrak, dan nilai-nilai yang terbagi antar anggota kelompok menyediakan dasar bagaimana masalah harus dilihat.

Dengan pandangan semacam ini, wacana lalu tidak dipahami sebagai sesuatu yang netral dan berlangsung secara alamiah, karena dalam setiap wacana


(54)

selalu terkandung ideologi untuk mendominasi dan berebut pengaruh. Oleh karena itu, analisis wacana bisa tidak bisa menempatkan bahasa secara tertutup, tetapi harus melihat konteks terutama bagaimana ideologi dari kelompok-kelompok yang ada tersebut berperan dalam membentuk wacana.

Menurut Teun A. Van Dijk (Eriyanto,2001:13-14) ideologi terutama dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan praktik individu atau anggota suatu kelompok. Ideologi membuat anggota dari suatu kelompok akan bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah mereka, danmemberinya kontribusi dalam membentuk solidaritas dan kohesi di dalam kelompok. Dalam perspektif ini, ideologi mempunyai beberapa implikasi penting. Pertama, ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal atau individual : ia membutuhkan share di antara anggota kelompok, organisasi atau kolektivitas dengan orang lainnya. Hal yang di-share-kan tersebut bagi anggota kelompok digunakan untuk emmbentuk solidaritas dan kesatuan langkah dalam bertindak dan bersikap.

Sejumlah perangkat ideologi diangkat dan diperkuat oleh media massa, diberikan legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara persuasif, sering dengan menyolok, kepada khalayak yang besar jumlahnya. Dalam proses itu, konstelasi-konstelasi ide yang terpilih memperoleh arti penting yang terus menerus meningkat, dengan memperkuat makna semula dan memperluas dampak sosialnya (Lull.1998:4).

II.6. Analisis Wacana Teun Van Dijk

Menurut Van Dijk penelitian atas wacana tidak cukup jika didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi


(55)

yang diamati. Perlu dilihat bagaimana suatu teks diproduksi sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa seperti itu. Oleh karena itu, penelitian mengenai wacana tidak bisa mengeksklusi seakan-akan teks adalah bidang yang kosong. Sebaliknya dia adalah bagian kecil dari struktur masyarakat.

Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi berita yang melibatkan kognisi individu dai wartawan. Sedangkan konteks sosial mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah (Eriyanto, 2001:222-224)

Teks bukan sesuatu yang datang begitu saja, tetapi teks dibentuk dalam suatu praktek diskursus. Van Dijk tidak hanya membongkar teks semata, tetapi ia melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi atau pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks tersebut. Wacana oleh Van Dijk dibentuk oleh tiga dimensi : teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.

Analisis wacana menekankan bahwa wacana adalah juga bentuk interaksi. Menurut Van Dijk, sebuah wacana berfungsi sebagai suatu pernyataan (assertion), pertanyaan (question), tuduhan (accusation), atau ancaman (threat). Wacana juga dapat digunakan untuk mendiskriminasi atau mempersuasi orang lain untuk melakukan diskriminasi.

Skema penelitian dan metode yang biasa dilakukan dalam kerangka Van Dijk adalah sebagai berikut:


(56)

Tabel 1. Skema Penelitian dan Metode Van Dijk

STRUKTUR METODE

Teks Menganalisis bagaimana strategi wacana yang digunakan untuk menggambarkan seseorang atau peristiwa tertentu. Bagaimana strategi tekstual yang dipakai untuk memarjinalkan suatu kelompok, gagasan atau peristiwa tertentu.

Critical linguistic

Kognisi Sosial

Menganalisis bagaimana kognisis wartawan dalam memahami seseorang atau peristiwa tertentu yang akan ditulis

Wawancara mendalam

Analisis Sosial

Menganalisis bagaimana wacana yang berkembang dalam masyarakat, proses produksi dan reproduksi seseorang atau peristiwa digambarkan.

Studi pustaka, penelusuran sejarah

a. Analisa Teks

Van Dijk melihat teks terdiri dari berbagai struktur/tingkatan yaitu: 1. Struktur makro. Ini merupakan makna umum dari suatu teks yang


(57)

bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari peristiwa.

2. Superstruktur adalah kerangka suatu teks; bagaimana struktur dan elemen wacana disusun dalam teks secara utuh.

3. Struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, paraphrase yang dipakai dan sebagainya.

b. Analisis Kognisi Sosial

Kognisi sosial merupakan dimensi untuk menjelaskan bagaimana suatu teks diproduksi oleh individu/kelompok pembuat teks tertentu. Analisis sosial melihat bagaimana teks dihubungkan lebih jauh dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang di masyarakat atas suatu wacana.

Dalam kerangka analaisis wacana Van Dijk perlu meneliti kognisi sosial, yakni kesadaran mental wartawan yang membentuk teks tersebut. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna, makna diberikan oleh pengguna bahasa (dalam kasus ini wartawan). Oleh karena itu dibutuhkan penelitian mengenai representasi kognisi dan strategi wartawan dalam memproduksi berita. Menurut Van Dijk penelitian terhadap struktur dan proses mental ini perlu dilakukan dengan dua alasan. Pertama, mengerti teks, bagaimana makna teks secara strategis dikontruksi dan ditampilkan dalam memori sebagai representsi teks. Kedua, pemakaian bahasa, dalam hal ini wartawan mempunyai posisi yang unik, mempunyai pandangan tertentu yang dipresentasikan dalam teks.

Peristiwa dipahami berdasarkan skema atau model. Skema dikonseptualisasikan sebagai struktur mental di mana tercakup cara pandang terhadap manusia, peranan sosial dan peristiwa. Skema menunjukkan bagaimana kita menggunakan struktur mental untuk menyeleksi dan memproses informasi yang datang dari lingkungan. Skema sangat


(58)

ditentukan oleh pengalaman dan sosialisasi. Sebagai sebuah struktur mental menolong kita untuk menjelaskan realitas dunia yang kompleks.

Skema bekerja secara aktif untuk mengkonstruksi realitas. Skema menggambarkan bagaimana seseorang menggunakan informasi yang tersimpan dalam memorinya dan bagaimana diintegrasikan dengan informasi baru yang menggambarkan bagaimana peristiwa dipahami, ditafsirkan dan dimasukkan dalam pengetahuan sebagai realitas. Pemahaman terhadap realitas ini dipengaruhi oleh pengalaman dan memori. Jika suatu berita mempunyai bias umumnya karena model/skema wartawan yang menggambarkan struktur karena itu menurut Van Dijk analisis wacana harus menyertakan bagaimana reproduksi kepercayaan menjadi landasan wartawan menciptakan teks tertentu (Eriyanto, 2001; 262-263).

Ada beberapa skema/model yang dapat digunakan dalam analisis kognisi sosial wartawan, digambarkan sebagai berikut:

Tabel 2. Skema/Model Kognisi Sosial

Skema person (person

schemas)

Skema ini menggambarkan bagaimana seseorang menggambarkan dan memandang orang lain

Skema diri (self schemas)

Skema ini berhubungan dengan bagaimana diri sendiri dipandang, dipahami dan digambarkan seseorang

Skema peran (role schemas) Skema ini berhubungan dengan bagaimana seseorang memandang dan menggambarkan peranan dan posisi yang ditempati seseorang dalam masyarakat. Pandangan ini akan mempengaruhi pemberitaansuatu peristiwa


(59)

Skema peristiwa(event

schemas)

Skema ini barangkali yang paling banyak digunakan wartawan

Elemen lain yang juga penting dalam kognisi selain skema/model yaitu memori. Schlessinger dan Groves (Rakhmat, 2009: 62) mendefinisikan memori sebagai sistem yang sangat terstruktur yang menyebabkan organism sanggup merekam fakta tentang pengolahan informasi dikenal dua jenis memori yaitu memori jangka pendek(short term memory) dan memori jangka panjang(long term memory). Memori jangka pendek digunakan untuk mengingat peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu (durasi waktunya pendek). Memori ini sangat terpengaruh oleh interferensi. Bila informasi berhasil dipertahankan maka akan masuk pada memori jangka panjang. Karena jangka waktu yang panjang seringkali ada perbedaan realitas dengan memori ini.

Kognisi sosial lebih mempertimbangkan memori jangka panjang. Memori ini terdiri dari dua bagian besar yakni, memori episodik (episodic memory) dan memori semantik (semantic memory). Memori episodik yaitu memori yang berhubungan dengan diri kita sendiri. Sedangkan memori semantik adalah memori yang digunakan pengetahuan tentang dunia/realitas.

Pertanyaan utama yang diajukan Van Dijk dalam analisis kognisis sosial wartawan adalah bagaimana wartawan mendengar dan membaca peristiwa, bagaimana peristiwa tersebut dimengerti, dimaknai, dan ditampilkan dalam pikiran. Bagaimana peristiwa tersebut difokuskan, diseleksi, dan disimpulkan dalam keseluruhan proses berita? Bagaimana informasi yang telah dipunyai oleh


(1)

pendapat-pendapat korban bencana seperti masyarakat melalui wawancara yang dilakukan oleh penulis.

Wartawan juga melakukan peninjauan langsung ke lapangan dalam melihat peristiwa yang diberitakan pada harian Kompas ini. Bahkan dalam analisa teks yang dilakukan dan yang telah dipaparkan peneliti pada bagian sebelumnya menampilkan analisa sosial secara terperinci melalui detil-detil yang digunakan wartawan dalam menyajikan berita-berita pada harian ini.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan

Dalam melakukan penelitian analisis wacana Teun Van Dijk pada berita headline news mengenai tsunami dan gempa Jepang pada harian Kompas ini, peneliti menemukan beberapa kesimpulan berikut ini:

1. Makna yang terkandung dalam tiap teks yang ada dalam berita tentang bencana gempa dan tsunami Jepang ni menunjukkan bagaimana realita yang ada pada saat kondisi dan pasca gempa dan tsunami yang terjadi pada masyarakat Jepang.. Realita yang terjadi pada masyarakat Jepang dirangkum dan dikemas secera baik oleh wartawan.

2. Maksud yang ingin disampaikan penulis dalam wacana ini ditampilkan tidak hanya secara eksplisit tapi juga secara implisit melalui penggunaan rangkaian kalimat yang langsung memberikan penjelasan atau wacana tentang bencana gempa dan tsunami Jepang. Gaya penulisan penulis seperti model tulisan jurnalistik atau bentuk reportase. Idealisme wartawan dalam wacana ini adalah berbagi pengalaman serta pengetahuan baru tentang liputan berita internasional.

3. Pola pemberitaan harian Kompas banyak mengambil dari berbagai narasumber. Dalam melakukan pencarian dan penyajian berita penulis dalam rangka mencapai kedekatan (proximity) seharusnya menggunakan teknik wawancara langsung untuk mendapatkan fakta yang jelas dan relevan. Pola pemberitaan pada media Kompas banyak mengambil informasi dari wawancara


(3)

dengan pihak-pihak yang berhubungan langsung termasuk dari kalangan elit politik/pejabat.

V.2. Saran

V.2.1. Saran dalam kaitan bidang akademis

Dalam hal ini sangat disarankan agar adanya suatu pemahaman yang lebih dalam bentuk mata kuliah pada mahasiswa Ekstensi Ilmu Komunikasi FISIP USU mengenai segala penelitian yang berkaitan dengan metode penelitian kualitatif dan pendalaman materi tentang teori analisis wacana serta pendalaman tentang paradigma kontruktivitis dan kritis. Hal ini guna memperkaya khasanah bergikir dan ilmu bagi para mahasiswa Ekstensi Ilmu Komunikasi FISIP USU.

V.2.2. Saran dalam kaitan bidang praktis

1. Suatu wacana tidak ada yang benar-benar netral, karenanya diharapkan khalayak memiliki pemikiran kritis ketika melihat suatu wacana. Khalayak setidaknya telah memiliki pengetahuan tentang media yang dibaca sehingga pada akhirnya ketika menerjemahkan isi pesan memiliki empati terhadap pesan tersebut. Dengan empati khalayak mengetahui mengapa pesan tersebut disampaikan dan akan menimbulkan pemahaman yang benar terhadap suatu realita dan tidak mudah terpancinng dengan isu-isu yang berkembang di masyarakat atau media.

2. Subjektifitas memang tidak dapat dilepaskan, namun selalu ada cara yang lebih baik agar subjektifitas tersebut tidak mendominasi pemberitaan. Paling tidak media harus memiliki batasan etika dan moral ketika menyajikan berita.


(4)

memungkinkan peneliti juga turut memasukkan subjektifitasnya. sehingga tidak heran apabila pandangan peneliti dengan pandangan orang lain dapat berbeda ketika melihat sebuah teks berita. Teks dapat diartikan bermacam-macam oleh orang yang berbeda dan inilah yanng menjadi kelemahan penelitian ini. Untuk mengatasinya disarankan untuk membagikannya ke dalam kelompok sehingga didapat makna yang lebih objektif. Penelitian ini seperti penelitian kualitatif pada umumnya tidak mempunyai ukuran yang pasti tentang batas benar dan salah, semuanya tergantung dari nilai, etika dan moral yang dianut peneliti. Karena itu, peneliti menyarankan bagi mereka yang berminat untuk meneliti analisis wacana agar memiliki batasan yang pasti, mungkin dengan memakai undang-undang atau kode etik jurnalistik.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro dan Lukiati Kumala Erdinaya. 2004. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Proesdur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Assegaf, Dja’far H. 1983. Jurnalistik Masa Kini. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Cangara, Hafied. 2000. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Depdikbud. 1995. KBBI Edisi II. Jakarta: Grasindo.

Effendy, Onong Uchjana. 2007. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktik. Bandung: PT. Remadja Rosdakarya.

Eriyanto, 2001. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS.

Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Disource Analysis terhadap Berita-berita Politik. Jakarta: Granit.

Hamad, Ibnu. 2000. “Semiotika untuk Studi Media.” Pantau, Kajian, Media dan Jurnalisme. Edisi 08 Maret-April 2000. Hlm 77-85.

Ishwara, Luwi. 2008. Catatan-catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: Kompas Media Nusantara

Kriyantono, Rachmat. 2007. Teknik Riset Komunikasi. Jakarta: Prenada Media Group.

Kusumaningrat, Hikmat dan Purnama Kusumaningrat. 2007. Jurnalistik: Teori dan Praktik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Lull, James. 1998. Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Mulyana. 2005. Kajian Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Nanawi, Hadari. 2002. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.


(6)

Nurudin, 2004. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Rakhmat, Jalaluddin. 2009. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia.

Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta:

LKiS.

Sukarna. 19981. Idiologi: Suatu Studi Ilmu Politik. Bandung: Alumni. Umar, Husseyn. 2000. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Grasindo.

Wahidin, Samsul. 2007. Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Wiryanto. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Grasindo.

Yoce, Aliah Darma. 2004. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya.

Sumber lain :

Agustus

Februari 2011

diakses