10. Menulislah untuk menyatakan, bukan untuk mempengaruhi
II.4. Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana discourse analysis sebagai disiplin ilmu dengan metodologi yang jelas dan eksplisit, baru benar-benar berkembang secara mantap
pada awal tahun 1980-an. Berbagai buku kajian wacana terbit pada dasawarsa itu, misalnya Stubbs 1983, Brown dan Yule 1983, dan yang paling komprehensif
karya Van Dijk 1985. Pokok perhatian analisis wacana juga terus berkembang dan merebak pada hal-hal atau persoalan yang banyak diperbincangkan orang di
masa sekarang, seperti perbedaan gender, wacana politik, dan emansipasi wanita, serta sejumlah masalah social lainnya Mulyana, 2005: 69.
Menurut Yoce 2004: 49, analisis wacana kritis adalah sebuah upaya atau proses penguraian untuk memberi penjelasan dari sebuah teks realitas
sosial yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang
diinginkan. Artinya, dalam sebuah konteks harus disadari akan adanya kepentingan.
Oleh karena itu, analisis yang terbentuk nantinya disadari telah dipengaruhi oleh si penulis dari berbagai faktor. Selain itu harus disadari pula
bahwa di balik wacana itu terdapat makna dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan. Jadi, analisis wacana yang dimaksudkan
dalam tulisan ini adalah sebagai upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subjek penulis yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan dilakukan
dengan menempatkan suatu pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan
Universitas Sumatera Utara
menempatkan diri pada posisi sang penulis dengan mengikuti struktur makna dari sang penulis sehingga bentuk distribusi dan produksi ideologi yang disamarkan
dalam wacana dapat diketahui. Jadi, wacana dapat dilihat dari bentuk hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan subjek dan berbagai tindakan
representasi. Dalam Eriyanto 2001: 7 analisis wacana kritis, wacana disini tidak
dipahami sebagai studi bahasa. Bahasa di sini dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga menghubungkan
dengan konteks. Artinya bahasa dipakai untuk tujuan dan praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan dalam melihat ketimpangan yang
terjadi. Habermas dalam Yoce 2004: 53 mengemukakan pendapatnya tentang analisis wacana kritis bertujuan membantu menganalisis dan memahami masalah
sosial dalam hubungannya antara ideologi dan kekuasaan. Tujuan analisis wacana kritis adalah untuk mengembangkan asumsi-
asumsi yang bersifat ideologis yang terkandung dibalik kata-kata dalam teks atau ucapan dalam berbagai bentuk kekuasaan. Analisis wacana kritis bermaksud
untuk menjelajahi secara sistematis tentang keterkaitan antara praktik-praktik diskursif, teks, peristiwa, dan struktur sosiokultural yang lebih luas. Jadi, analisis
wacana kritis dibentuk oleh struktur sosial kelas, status, identitas etnik, zaman dan jenis kelamin, budaya, dan wacana bahasa yang digunakan. Analisis
wacana krtis mencoba mempersatukan dan menentukan hubungan antara teks aktual, latihan diskursif dan konteks sosial yang berhubungan dengan teks dan
latihan diskursif Eriyanto, 2001: 13. Menurut Teun Van Djik, Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis
Universitas Sumatera Utara
melihat wacana –pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan- sebagai bentuk dari praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan
sebuah hubungan dialektis diantara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana bisa jadi
menampilkan efek ideologi: ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok
mayoritas dan minoritas melalui mana perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi yang ditampilkan.
Untuk menyempurnakan pandangan di atas, Fairclough mengemukakan pengertian wacana secara komprehensif dari pandangan kritis. Menurut
Fairclough wacana harus dipandang simultan, yaitu sebagai 1 teks-teks bahasa, baik lisan maupun tulisan, 2 praksis kewacanaan, yaitu produksi teks dan
interpretasi teks, 3 praksis sosiokultural, yaitu perubahan-perubahan masyarakat institusi, budaya yang menentukan bentuk dan makna sebuah wacana.
Menganalisis wacana secara kritis pada hakikatnya adalah menganalisis tiga dimensi wacana secara integral dan ketiga dimensi tersebut merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Analisis wacana kritis dipakai untuk mengungkap tentang hubungan suatu ilmu
pengetahuan dan kekuasaan, juga digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu, menerjemahkan, menganalisis, dan mengkritik kehidupan sosial yang tercermin
dalam teks atau ucapan. Dalam Eriyanto 2001: 8-13 mengutip dari pemikiran Fairclough dan
Wodak, Analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing.
Universitas Sumatera Utara
Adapun karakteristik analisis wacana kritis menurut Teun A. van Dijk, Fairclough dan Wodak adalah:
1. Tindakan Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan action yang diasosiakan
sebagai bentuk interaksi. Wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyangga, beraksi dan
sebagainya, Seseorang berbicara atau menulis mempunyai maksud tertentu, baik besar maupun kecil. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan
secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran.
2. Konteks Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti
latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana di sini dipandang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Mengikuti Guy Cook,
analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang mengkomunkasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi
apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak. Guy Cook
menyebutkan ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana; teks, konteks, dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang
tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya.
Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi di mana
Universitas Sumatera Utara
teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara
bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Wacana kritis mendefinisikan teks dan percakapan pada situasi tertentu; wacana berada dalam situasi sosial tertentu.
Meskipun demikian, tidak semua konteks dimasukkan dalam analisis, hanya yang relevan dan dalam banyak hal berpengaruh atas produksi wacana.
Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana. Kedua, setting sosial tertentu, seperti tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar atau
lingkungan fisik adalah konteks yang berguna untuk mengerti suatu wacana. Oleh karena itu, wacana harus dipahami dan ditafsirkan dari kondisi dan lingkungan
sosial yang mendasarinya. 3. Historis
Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa memberikan konteks historis di mana teks itu diciptakan. Bagaimana situasi
sosial politik, suasana pada saat itu. Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau
dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan seterusnya.
4. Kekuasaan Di sini, setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan atau
apa pun, tidak dipandang sebagai seusatu yang alamiah, wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Analisis wacana kritis tidak membatasi
dirinya pada detil teks atau struktur wacana saja tetapi juga menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa yang disebut sebagai kontrol. Kontrol di sini tidaklah harus selalu dalam bentuk
fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara mental atau psikis. Bentuk kontrol terhadap wacana tersebut dapat berupa kontrol atas konteks, atau dapat juga
diwujudkan dalam bentuk mengontrol struktur wacana. 5. Ideologi