Dasar Hukum dan Sanksi

Seorang muslim yang melakukan jinayah murtad akan dijatuhi dengan hukuman hudud. Jika ada keraguan maka dia hendaklah dibebaskan berdasarkan kaedah “hudud dihindarkan dengan syubhat.” 29 Hukuman hudud merupakan hukuman yang telah ditentukan oleh al-Quran dan Sunnah Nabi, dan ia mesti dilaksanakan jika terbukti kesalahannya. Lantaran itu, untuk menentukan apakah murtad itu perbuatan yang menurut hukum Islam ditetapkan sebagai hukuman hudud, maka perlu diperhatikan firman Allah s.w.t dan hadith yang bersangkutan dengannya. Karena di dalam al- Quran hanya terdapat tiga belas ayat yang terkandung di dalam beberapa surah mengenai murtad tetapi tidak ada satu ayat pun yang menjelaskan tentang hukuman yang disahkan kepada orang yang murtad ketika berada di dunia. Sebaliknya yang terkandung ialah jaminan bahwa orang murtad itu akan dihukum di akhirat. Sebagaimana firman Allah s.w.t; V+ XYH 2 Z H J[M +, 45 \ ,]- =_`a + b cb+, J+d _= [e4 =MJ2 E 6 7 f gDV 9 :;= U =_`a + b cE d =+Jh E D iH U 45 =e , Bj k =; lOPA Artinya : ”Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, kekal di dalamnya.”Q.S. Al-Baqarah : 217 Berbeda dengan Ibn Hazm, yang menurutnya hukuman bagi orang yang murtad tetap ada di dunia dan hukuman tersebut tidak bertentangan al-Quran. Sanksi pertukaran agama menurutnya 29 Abdul Monir Yaacob, “Kesan Pertukaran Agama dan kesan dari perspektif Syariah” kertas Kerja Seminar Pertukaran Agama dan Kesan dari Perspektif Syariah dan Perundangan, 15 Julai 2006 h. 9 terdapat tiga sanksi yaitu, sanksi asal, sanksi ganti dan sanksi sampingan. Wujud dari sanksi-sanksi tersebut adalah berkaitan dengan keputusan hakim dengan melihat kepada sebab dan latar belakang kasus-kasus murtad. 30 Berikut dijelaskan tiga sanksi pertukaran agama yang dikemukakan oleh Ibn Hazm yaitu: 1 Sanksi Asal Menurut fiqh Islami, perkara murtad adalah perkara yang dikategorikan sebagai kesalahan hudud di mana hukuman bagi kesalahan ini telah ditentukan oleh Allah s.w.t malahan ia tidak boleh dimaafkan sekiranya kesalahan ini telah dilaporkan kepada qadi. Oleh karena itu jelaslah bahwa kesalahan murtad bukanlah satu kesalahan yang boleh dianggap ringan. Sanksi asal bagi seseorang yang telah murtad adalah dibunuh. Sanksi wajib bunuh boleh dikenakan kepada siapa saja baik lelaki ataupun perempuan, tua maupun muda. Ia adalah pendapat Jumhur Ulama kecuali Imam Abu Hanifah, yang mengecualikan kaum wanita yang murtad dibunuh. 31 Bagi perempuan yang murtad terdapat dua pendapat ulama’ yang mana, pendapat pertama ialah jumhur ulama’ yang terdiri daripada mazhab Hambali, Shafi’e, Maliki dan Ja’afariah berpendapat bahwa muslimah yang murtad wajib dihukum bunuh sebagaimana lelaki. Dan di antara alasan golongan ini ialah mereka mengatakan bahwa perempuan seperti lelaki dari sudut ahli 30 Mohamed S. El Awa, Hukuman dalam Undang-undang Islam; Satu Kajian Perbandingan, Dewan Bahasa dan Pustaka DBP, Kuala Lumpur, 1999, h. 73-74 31 Muhammad Ibn Abd Rahman Al-Hattab, Mazahib al-Jalil li Syarah Mukhtasar Khalil, Qaherah, jilid 6, h. 281 taklifi . 32 Mereka menggunakan pendapat yang pernah digunakan oleh Abu Bakar bahwa orang yang murtad sekalipun perempuan hukumnya sama seperti lelaki. 33 Pendapat kedua daripada golongan mazhab Hanafi adalah, perempuan yang murtad tidak dihalalkan darahnya dan tidak dibunuh karena murtad. Tetapi wajib dipenjara dan memintanya supaya dia bertaubat dan kembali kepada Islam. Sekiranya dia kembali kepada Islam maka akan dibebaskan tetapi sekiranya dia menolak maka dia dipenjarakan sehingga dia menerima Islam ataupun mati. 34 Jika orang yang murtad melakukan perlawanan kemudian dapat dikalahkan, maka ia dihukum mati karena perbuatan hirabahnya pemberontakan itu, dan tidak perlu untuk diminta bertaubat, baik perlawanan itu dilakukan di negara Islam atau sesudah memasuki negara bukan Islam, kecuali ia menyerahkan diri. 35 2 Sanksi Ganti Apabila sanksi asal bunuh ke atas orang-orang yang melakukan jinayah murtad itu tidak boleh dijalankan, maka sanksi ganti boleh dilaksanakan mengikut sebab-sebab tertentu. Antaranya, ia boleh digugurkan daripada orang-orang murtad disebabkan dia telah bertaubat dan kembali semula kepada agama Islam. Dalam kes tersebut hakim boleh menggantikan sanksi asal itu dengan sanksi 32 Abdul Rashid Hj Abdul Latif, Undang-undang Pusaka dalam Islam, , terbitan al-Hidayah, 2002, Cetakan Keempat, h. 62 33 Muhammad Najib al-Muti’I, Kitab al-Mazmu’ Sarh al-Muhazzab li Syirazi, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, jilid 21 h. 73 34 Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Dar al-Fikr, jilid 2, h. 305 35 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid,terj, Jakarta, Pustaka Amani, 2002, cet. kedua, h. 675 takzir yang sesuai sebagai satu pengajaran kepadanya supaya tidak lagi mengulangi perbuatan tersebut seperti dipenjarakan atau dicambuk pada kadar yang tertentu. Kebanyakan ulama’ berpendapat memberikan hukuman yang agak berat kepada orang yang murtad walaupun telah bertaubat, akan tetapi sebagian ulama’ berpendapat tidak memberikan hukuman kepada orang yang murtad, tidak terkecuali yang murtad karena mencerca Rasul. 36 Sebab yang kedua digugurkan kerana didapati ada kesamaran. Terdapat kasus seperti ini, yang telah dijalankan oleh Abu Hanifah apabila beliau menggugurkan sanksi bunuh terhadap kaum wanita dan kanak-kanak yang telah murtad. Ia telah diganti dengan sanksi penjara sampai mereka bertaubat atau kembali kepada Islam. 37 3 Sanksi Sampingan Sanksi ini adalah untuk menjamin kemaslahatan dan keselamatan umat Islam yang lain dari perkara-perkara yang boleh memberi kesan yang negatif kepada kehidupan mereka dari aspek pergaulan dan kemasyarakatan. Sanksi sampingan yang digariskan dalam Islam kepada orang yang murtad ialah, merampas semua harta orang yang murtad dan mengurangi wewenangnya terhadap hartanya. Jangka waktu bertaubat, berdasarkan pandangan ulama fiqh, Imam Malik mengatakan selama tiga hari tiga malam. Ia dihitung seseorang itu diputuskan kesalahannya dan bukan dikira daripada masa seseorang itu telah menjadi murtad atau daripada kasus itu dibawa ke Mahkamah. Manakala Imam Hanafi berpendapat, ia tertakhluk kepada budi bicara dan ketetapan kerajaan atau wakilnya 36 Mahfodz Mohamed t.t, Satu Kajian Ilmiah mengenai Hukuman Hudud, Nurin Enterprise, Kuala Lumpur, h. 101. 37 Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Dar al-Fikr, jilid 2, h. 306 yaitu hakim untuk menentukannya sekiranya pihak tersebut merasa masih ada harapan untuk orang yang murtad itu bertaubat atau ia meminta supaya taubatnya itu ditangguhkan, maka pihak yang berkaitan hendaklah menangguhkan dan memberikan waktu untuk bertaubat selama tiga hari. Jika orang tersebut tidak juga bertaubat maka orang tersebut dibunuh pada masa itu juga. Mengenai masa bertaubat, Imam Syafi’e berpendapat bahwa, orang yang telah diputuskan kesalahan murtadnya diberi peluang bertaubat selama tiga hari dan orang-orang yang telah diputuskan murtad, telah diminta bertaubat menurut ahli fiqih, harus mengucap dua kalimah syahadah secara serius dan menyatakan dirinya telah bebas dari segala bentuk kekafiran. 38

E. Dampak Pertukaran Agama di dalam Undang-Undang di Malaysia

Terdapat beberapa dampak yang dapat dilihat berdasarkan isu pertukaran agama menurut undang-undang di Malaysia. Dampak ini adalah berdasarkan Islam maupun peruntukan perundangan yang ada di negara Malaysia. Dengan demikian, ada beberapa dampak terhadap pertukaran agama di dalam Islam dan Undang-undang yaitu dampak terhadap harta pusaka, hadhanah, hak perkawinan, perwalian, persaksian dan harta gono gini. a Dampak Pertukaran Agama Dari segi Harta Pusaka Orang yang murtad diibaratkan sebagai orang kafir, bahkan mengikut kedudukannya lebih rendah dan hina daripada kafir biasa. Maka ia kehilangan hak untuk menerima pusaka dari keluarga 38 Said Hj Ibrahim, Jenayah Murtad dari sudut Hukum Syara’ dan Perundangan Islam, Darul Ma’rifah, Kuala Lumpur, 1998, h. 15-16 dan sebaliknya. 39 Perkara ini boleh dikuatkuasakan di Malaysia karena undang-undang warisan bagi orang-orang Islam ialah hukum Islam. Menurut hukum Islam, hukum bagi orang murtad terkait dengan peninggalan dibagikan kepada dua bagian yaitu: i Hak orang murtad atau orang kafir untuk mewarisi harta orang yang Islam Dalam Islam, murtad merupakan salah satu penghalang bagi individu untuk mewarisi harta pusaka dan ini berdasarkan kepada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid: + , - . 1 2 3 4 - 3 4 2 Artinya : Dari Usamah R.A bahwa Nabi S.A.W telah bersabda, Seseorang Muslim tidak boleh mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Muslim . 40 Jelas menunjukkan bahwa hadis ini bermaksud sekiranya seseorang itu murtad maka haknya untuk mewarisi harta yang ditinggalkan untuknya sama ada daripada ibubapanya atau suaminya atau istrinya atau anaknya adalah terhalang sama sekali. Kedudukan orang yang telah diputuskan murtad adalah seperti orang yang mati dan tidak berhak untuk memiliki harta apapun malah hubungan mereka juga terputus dengan keluarga yang beragama Islam. 39 Abu Mazaya al-Hafiz, Fiqh Jenayah Islam, Al-Hidayah Publishers, Kuala Lumpur, 2004, h. 24 40 Hadith Riwayat al-Bukhari lihat Al Shawkani, Nayl al-Awt’ar Sharh Muntaqa al-Akhbar, Beirut; Dar al- Fikr,1994, jilid 6, h. 178 Di dalam perundangan, seseorang yang bukan Islam tidak boleh mewarisi harta peninggalan kerabat-kerabatnya yang Islam. Di dalam kasus Re Timah Binti Abdullah, Mahkamah telah memutuskan ahli waris bukan Islam kepada seorang perempuan Jepang Islam, tidak mendapat apa-apa bagian dari harta pusakanya. ii Hak orang muslim untuk mewarisi harta orang murtad Bagi hak yang kedua ini, yaitu hak orang Muslim terhadap harta orang murtad, ulama’ telah berselisih pendapat dan perselisihan ini disebabkan perbedaan penafsiran hadis Usamah bin Zaid yang menyatakan bahwa orang Islam tidak akan mewarisi daripada orang kafir dan demikian juga orang kafir terhadap orang Islam. Oleh karena itu, bagi sebagian pendapat di antaranya Sayyidina Ali, Abdullah ibn Mas’ud, Zaid bin Thabit, Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa harta orang yang murtad akan dipusakai oleh ahli-ahli warisnya yang beragama Islam dan mereka beralasan bahwa hadis tersebut merupakan hadis ahad dan ia sebenarnya ditujukan kepada orang-orang kafir yang berlainan agama dan bukannya kepada orang yang telah murtad. Dalam Rangcangan Undang-undang Kanun Jenayah Syariah Pasal 11 Kelantan disebutkan apabila Mahkamah memutuskan hukuman bunuh terhadap orang murtad, Mahkamah hendaklah memerintah supaya hartanya, sama ada diperolehi sebelum atau selepas melakukan kesalahan itu, dirampas untuk dipegang oleh Baitul Mal. Walau bagaimanapun, Rangcangan undang-undang ini tidak akan dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan artikel 13 Perlembagaan Persekutuan yaitu: