Usia Ideal Dalam Perkawinan

BAB III PENGARUH USIA PERKAWINAN TERHADAP

HAK-HAK REPRODUKSI PEREMPUAN

A. Usia Ideal Dalam Perkawinan

Pada pembahasan skripsi ini penulis bermaksud memaparkan tentang batas usia nikah dan usia ideal dalam perkawinan. Tentunya dengan corak pemahaman fikih dan Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di negara hukum Indonesia. Dengan kata lain, sebenarnya kapan saat yang tepat bagi seorang gadis atau jejaka untuk dapat melangsungkan perkawinan. Seperti telah dijelaskan bahwa pada umumnya ulama tidak memberikan batas usia, tetapi lebih mengarah pada tanda-tanda fisik seperti puberitas biologis, seperti yang terjadi pada laki-laki dengan keluarnya mani atau menstruasi bagi wanita. Para ulama sepakat, bahwa awal mulanya baligh yaitu 12 dua belas tahun bagi laki-laki dan 9 sembilan tahun bagi wanita. Namun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan usia akhir baligh. 80 Usia tersebut pun tidak dapat dikatakan mutlak, karena perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan, kesehatan, geografis, dan kualitas gizi. Pada kenyataannya pernyataan ulama klasik tersebut tidak memberikan kejelasan tentang usia perkawinan. Adapun Majelis Ulama Indonesia MUI hanya 80 Departemen Agama, Ilmu Fiqh, Jakarta: Departemen Agama, 1984, cet.ke-2, Jilid III, h. 3-4 memberikan dua kriteria sebelum melangsungkan pernikahan, yakni spritual dan material. 81 Secara spritual, agar di dalamnya memperoleh ketenangan dan ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan berkembangnya kasih sayang. Dan secara materil merupakan kesanggupan membayar mahar dan nafkah. Sedangkan dalam Pasal 29 kitab Undang Undang Perdata Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW dijelaskan ketentuan batas umur yang harus dipenuhi adalah batas umur minimum berkawin adalah 18 delapan belas tahun bagi pria dan 15 lima belas tahun bagi wanita. 82 Akan tetapi dalam hal ini bisa dilakukan penyimpangan, yaitu apabila dalam hal ada alasan yang penting dan memaksa. Namun menurut Pasal 30 BW, dijelaskan pula tentang hal kedewasaan ditentukan pada batas usia 21 dua puluh satu tahun ke atas, sedangkan usia 21 dua puluh tahun ke bawah dinamakan orang yang belum dewasa. Karena memang umur bukanlah suatu patokan yang mutlak untuk mencapai suatu kedewasaan atau kematangan diri. Pada umumnya para ahli pun berpendapat bahwa kedewasaan atau kematangan seseorang berada pada sekitar umur 21 dua puluh tahun. Dapat disimpulkan bahwa usia perkawinan adalah usia yang dianggap cocok secara fisik dan mental untuk melangsungkan perkawinan . Usia perkawinan dalam pengertian ini penekanannya adalah perhitungan atas umur yang secara fisik dan mental siap untuk membangun kehidupan berumah tangga. 81 MUI dan UNICEF, Ajaran Islam Dan Penanggulangan Perkawinan Usia Muda, Jakarta: MUI, 1991, h. 14 82 R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2004, cet. ke 7, h. 539 Lalu berapakah batas usia perkawinan yang ideal untuk menikah. Dijelaskan bahwa calon suami atau isteri harus berusia minimal 19 sembilan belas tahun karena kematangan usia tersebut idealnya berupa hasil akumulasi kesiapan fisik, ekonomi, sosial, mental, dan kejiwaan, agama, dan budaya. Perkawinan membutuhkan kematangan yang bukan hanya bersifat biologis, tetapi juga kematangan psikologis dan sosial. Sehingga tidak perlu ada perbedaan tingkat usia antara laki-laki dan perempuan, karena perbedaan umur terutama perbedaan yang sangat senjang mengandung potensi pemerasan dan eksploitasi dari satu pihak. Nabi Muhammad saw sendiri menikah pada usia 25 dua puluh lima tahun. 83 Sedangkan usia yang dianggap ideal dan paling baik untuk berumah tangga menurut kesehatan dan juga program Keluarga Berencana yang disingkat KB adalah usia antara 20-25 tahun bagi wanita dan usia antara 25-30 tahun bagi pria. Lazimnya usia pria lebih dari usia wanita, perbedaan usia ini bersifat relatif. 84 Oleh karenanya perempuan harus menikah setelah usia 19 sembilan belas tahun. Karena kawin pada usia dini bagi perempuan rentan menimbulkan berbagai resiko, baik bersifat biologis seperti kerusakan organ-organ reproduksi kehamilan muda disebabkan organ-organ reproduksi tersebut ”belum matang” untuk bereproduksi secara sehat, dan resiko psikologis berupa ketidakmampuan mengemban fungsi-fungsi reproduksi kehamilan, melahirkan, menyusui dengan 83 M.Zain Mukhtar Al-Shodiq, Membangun Keluarga Humanis, Jakarta: Graha Cipta, Januari 2005, cet. ke-1, h. 33 84 Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa Dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta: PT. Dana Bakti Prima Yasa, 1999, h. 252 baik serta belum mampu dalam menghadapi tantangan dalam hidup berumah tangga. 85 Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa penetapan usia dalam Undang- Undang Perkawinan tersebut belumlah dapat dikatakan sebagai usia ideal untuk menikah. Meskipun langkah penentuan usia kawin dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebenarnya secara metodologis telah didasarkan kepada metode maslahat mursalah 86 yang kebenarannya relatif, maka ketentuan tersebut tidak bersifat kaku, karena sifatnya yang ijtihadi. Sehingga undang-undang tetap memberi jalan keluar apabila karena sesuatu dan lain hal yang mendesak, perkawinan dari mereka yang usianya di bawah 21 dua puluh satu tahun–atau sekurang- kurangnya 19 sembilan belas tahun untuk pria dan 16 enam belas tahun untuk wanita. Pasal 7 ayat 2 menegaskan; ”Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 Pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Bedanya apabila usianya kurang dari dua puluh satu tahun meminta izin kepada orang tua, dan apabila kurang dari sembilan belas tahun bagi pria dan enam belas tahun bagi wanita meminta dispensasi kepada pengadilan. Dengan demikian dapat dianalisis secara jelas bahwa dengan dicantumkannya batasan umur secara eksplisit, menunjukkan apa yang disebut oleh Yahya Harahap 85 Lihat: M.Zain Mukhtar Al-Shodiq, Membangun Keluarga Humanis , h. 35-37 86 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1998, h. 67 expressip verbis atau langkah penerobosan hukum adat dan kebiasaan yang sering dijumpai di dalam masyarakat Indonesia. Misalnya di dalam masyarakat adat Jawa, sering kali dijumpai perkawinan anak perempuan yang masih muda usianya. Anak perempuan Jawa dan Aceh seringkali dikawinkan meskipun umurnya masih kurang dari 15 tahun, walaupun mereka belum diperkenankan hidup bersama sampai batas umur yang pantas. Biasanya ini disebut dengan kawin gantung. Dengan adanya batasan umur ini, maka kekaburan terhadap penafsiran batas usia baik yang terdapat di dalam adat ataupun hukum Islam sendiri dapat dihindari. 87

B. Tujuan Pembatasan Usia Perkawinan

Dokumen yang terkait

Pelaksanaan Perkawinan Terhadap Nikah Mut’ah Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Islam

3 111 109

Perlindungan Terhadap Hak-hak Istri pada Perkawinan Poligami Melalui Perjanjian Perkawinan Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

1 57 112

Undang Undang Nomor I Tahun 1974 dan kaitannya dengan perkawinan antar orang yang berlainan agama: studi tentang praktek pelaksanaannya di DKI Jakarta

0 5 91

Anak luar nikah dalam undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974: analisis putusan MK tentang status anak luar nikah

0 3 86

PENGESAHAN ANAK DI LUAR NIKAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Pengesahan Anak Di Luar Nikah Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Di Pengadilan Negeri Jepara.

0 1 10

KEDUDUKAN PASAL 2 AYAT 1 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN TERHADAP KONSEP HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

0 0 11

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM A. Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia - Pelaksanaan Perkawinan Terhadap Nikah Mut’ah Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang

0 0 35

PELAKSANAAN PERKAWINAN TERHADAP NIKAH MUT’AH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM SKRIPSI

0 0 10

HAK ASUH ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (ANALISIS PENDEKATAN KOMPARATIF)

0 0 95

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN DI BAWAH UMUR BAGI PENGANUT ASAS KEWARGANEGARAAN GANDA (Analisis Normatif Pasal 6 Undang-Undang No.12 tahnn 2006 dan Pasiil 7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974) -

0 0 76