kontra akhirnya dicapailah satu konsesus yang membawa pengaruh pada sidang- sidang selanjutnya sehingga tercapai kata mufakat di antara anggota DPR. Setelah
mendapat persetujuan dari DPR, pemerintah mengundangkan Undang-Undang Perkawinan pada tanggal 02 Januari 1974 dalam Lampiran Nomor yang kebetulan
sama tahun dan nomornya yakni No.1 Tahun 1974. Kemudian pada 01 April 1975, setelah 1 tahun 3 bulan Undang-Undang Perkawinan diundangkan, lahirlah Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan demikian, mulai 01 Oktober 1975 Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah dapat berjalan dengan efektif.
127
B. Analisa Nikah di Bawah Umur
Dalam rancangan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa ”Hukum Perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan, yang selanjutnya mempunyai hubungan terhadap jumlah anak dan terhadap persoalan keluarga berencana KB. Undang-Undang Perkawinan ini
menentukan batas umur minimum untuk kawin dan ternyata batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin itu mempunyai pengaruh terhadap ”rate”
kelahiran jika dibandingkan dengan umur yang lebih tinggi untuk kawin. Selain daripada itu, batas umur tersebut merupakan jaminan agar calon suami isteri telah
127
Ibid., h. 87
masak jiwa raganya, supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian serta mendapat keturunan yang baik dan sehat”.
128
Dari penjelasan Rancangan Undang-Undang tersebut, menunjukkan bahwa sesungguhnya pembentukan Undang-Undang Perkawinan memiliki tujuan-tujuan
tertentu selain untuk memenuhi tuntutan masyarakat pada saat itu. Sepertinya halnya aturan batasan usia nikah bagi perempuan 16 tahun yang tujuannya adalah untuk
menekan laju angka kelahiran. Namun bila ditilik dari aspek kesehatan, batasan umur tersebut perlu ditinjau dan direvisi ulang, apalagi dikatkan dengan masalah hak-hak
dan kesehatan reproduksi yang semakin hari semakin kompleks. Alasannya karena kesehatan merupakan hal yang primer bagi manusia,
begitupun masalah hak-hak reproduksi perempuan yang merupakan cakupan daripada hak asasi manusia yang biasa disebut dengan istilah al-dharuriyat al-khams
keharusan yang lima. Hak tersebut dalam perspektif Islam modern dianggap sebagai prototipe hak asasi manusia karena memang cakupannya yang memang bersifat
universal atas hak-hak dasar manusia.
129
Oleh sebab itu, menurut pandangan penulis batasan umur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita perlu ditinjau ulang dalam konteks problematika kekinian.
128
Yayan Sopyan, Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia Seri kumpulan Rancangan UU,
Jakarta: Fak. Syari’ah Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2007
129
Al-dharuriyat al-khams al-kuliyyat al-khams meliputi: hak beragama hifz al-din, hak hidup hidz al-nafs, hak berpikir hifz al-‘Aql, hak berketurunan hifz al-nasl , dan hak memiliki
harta hifz al-mal. Sebagian ulama lain menambahkan dengan harga diri hifz al-‘irdh. Lihat Sahal Mahfudz, “Islam dan Hak Reproduksi Perempuan: Perspektif Fiqh”, dalam Syafiq Hasyim ed.
Menakar Harga Perempuan, h. 114
Dengan demikian, pemikiran tersebut sesuai dengan prinsip hukum Islam yang dinamis cocok untuk setiap zaman,
130
dimana hukum Islam merespon segala problematika kontemporer yang terjadi pada masyarakat sesuia dengan perubahan
zaman perkembangan sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang bertujuan pada kemaslahatan sebagai amanah syari’ah yang suci.
Adanya asumsi demikian karena didukung oleh fakta praktik perkawinan di bawah umur yang hingga kini masih menjadi fenomena yang hidup di masyarakat. Ini
menunjukkan bahwa Undang-Undang Perkawinan bagi sebagian umat Islam dianggap ”tidak mewakili” hukum Islam.
Melalui wawancara mendalam terungkap bahwa responden nikah di bawah umur sebagian adalah berasal dari keluarga yang secara turun temurun
mempraktikkan nikah di bawah umur. Seperti halnya responden, orang tua dan saudara-saudaranya adalah pelaku nikah di bawah umur. Hanya saja mereka
mempelakukan anak laki-laki dan perempuan tidak sama. Pada umumnya anak perempuan menghadapi tekanan yang lebih berat untuk segera melangsungkan
perkawinan dibandingkan laki-laki. Dari penelitian lapangan terungkap pula lingkungan sosial yang ”mendukung”
praktik nikah di bawah umur. Faktor ekonomi budaya dan adat istiadat seringkali menjadi alasan serta motivasi utama responden, meskipun ditemukan pula sebagian
responden yang menikah atas dasar kerelaan dengan laki-laki pilihannya. Dari hasil
130
Sifat dan karakteristik Hukum Islam: 1 Sempurna al-Kamil, 2 Elastis, 3 Universal dan Dinamis, 4 Sistematis, 5 Bersifat Ta’abbudi dan Ta’aqquli. Lihat Fathurrahman Djamil, Filsafat
Hukum Islam, h. 49
penelitian faktor nikah di bawah umur tersebut dapat diidentifikasi, faktor pendorong utama nikah di bawah umur adalah faktor sosial budaya, ekonomi, agama, dan
gabungan dari ketiganya. Dalam praktik, penulis menemukan gabungan antara nilai-nilai agama dan
sosial-budaya, yang menekan perempuan untuk segera menikah karena kekhawatiran orang tua terhadap anaknya akan pergaulan bebas. Disinilah faktor agama menjadi
pemicu, yaitu karena kesalahpahaman orang tua atau pihak-pihak dalam memahami teks-teks agama mengenai perintah menikah.
Hal ini terlihat dari keluarga yang memiliki empat orang anak. Tiga orang anak laki-laki dan dua orang perempuan.
131
Responden sendiri adalah anak keempat dalam keluarga tersebut. Dengan kondisi ekonomi yang relatif mapan, ketiga anak laki-laki
tersebut disekolahkan hingga menjadi sarjana. Sedangkan responden sendiri hanya menamatkan sampai SMP dan menikah pada usia 14 tahun. Namun kasus dari
responden tersebut menurut penulis adalah sebuah keunikan dimana responden sebenarnya adalah keturunan keluarga mampu, namun sejak kecil berada dalam
pengasuhan orang tua angkat yang juga berasal dari keluarga mampu. Dalam praktik yang sering terjadi adalah gabungan antara nilai-nilai sosial-
budaya dan kesulitan ekonomi, yang menekan perempuan dari berbagai arah untuk segera memenuhi tuntutan sosial menjadi ibu dan anak. Bahwa ada stereotipvonis
”perawan tua’, ”tak laku” merupakan suatu aib yang tidak hanya harus dihadapi oleh perempuan lajang, melainkan juga keluarga perempuan. Sehingga orang tua segera
131
Wawancara dengan Ibu Meri, Tangerang pada 07 November 2009
mencarikan pendamping untuk mereka tidak peduli suka atau tidak, calon suami sekufu
atau tidak. Dalam kondisi seperti ini, tidak ada peluang bagi perempuan untuk berpikir
dengan kepala dingin dan memilih apakah ia ingin menikah atau tidak, kapan menikah, dengan siapa menikah, kapan memiliki anak dan berapa jumlah anak yang
diinginkan. Dalam kondisi seperti ini menjadi tidak penting bagi perempuan dan keluarganya untuk mendiskusikan kualitas kehidupan perkawinan yang semata-mata
sebagai pemenuhan tuntutan sosial. Sehingga kasus nikah di bawah umur yang terjadi karena faktor sosial-budaya dan ekonomi tersebut, rentan menimbulkan dampak luas
terhadap hak-hak reproduksi perempuan, baik dari segi kesehatan, psikologis, maupun sosial.
132
C. Implikasi Nikah di Bawah Umur