tersebut dapat terlaksana dengan baik. Sesuai dengan hakikat perkawinan itu sendiri. Karena bagi umat Islam, perkawinan bukanlah sekedar suatu ikatan lahiriyah antara
seorang pria dan wanita guna memenuhi kebutuhan biologis. Tetapi merupakan sunah Rasulullah saw dan merupakan perbuatan luhur demi mencapai ketenangan sakinah
dalam kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, suatu perkawinan harus dilaksanakan menurut petunjuk Allah swt dan Rasul-Nya
74
. Serta tunduk terhadap aturan-aturan yang telah dibukukan menjadi Undang-Undang Perkawinan Indonesia
E. Penyebab Nikah Di Bawah Umur
Perkawinan di bawah umur masih tetap saja terjadi terutama di kalangan masyarakat pedesaan atau pinggiran kota. Hal ini disebabkan beberapa faktor,
diantaranya: 1. Adat Istiadat
Dalam kehidupan masyarakat Betawi misalnya, mengawinkan seorang anak merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Para orang tua akan merasa malu bila
anaknya tak kunjung mendapatkan jodoh. Karena ada anggapan bahwa seorang anak perempuan akan menjadi ”Perawan Tua” bila setelah meningkat remaja belum juga
dikawinkan, begitu pula dengan anak laki-lakinya akan menjadi ”Perjaka Tua”. Meskipun usia anak-anak mereka masih di bawah batas usia yang diizinkan dalam
Undang-Undang Perkawinan. 2. Agama
74
Hamdan Rasyid, ed, FIqh Indonesia, HImpunan Fatwa-fatwa Aktual , t.tp: Al-Mawardi Prima, t.th, h. 171
Adanya penafsiran yang salah dalam menjalankan ajaran agama, ini terutama terjadi di kalangan masyarakat yang mempunyai fanatisme yang tinggi terhadap
ajaran suatu agama, sebagaimana yang terdapat dalam sebuah hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
”Wahai pemuda, barang siapa yang telah mampu di antara kamu memilkul beban keluarga hendaknya kawin, sebab dngan demikian ia
akan lebih
menundukkan pandangannya
dan akan
menjaga kehormatannya. Barang siapa yang benar-benar belum mampu,
hendaknya berpuasa. Sesungguhnya berpuasa itu akan menjadi benteng dari perbuatan zina dan tercela”.
Biasanya yang menjadi salah tafsir dalam hadis tersebut di atas, yaitu kata mampu,
dimana masih ada di antara mereka yang mengartikan kata mampu hanya dalam segi seksualitas saja, sehingga mereka sudah merasa mampu untuk kawin jika
sudah merasakan adanya rangsangan seksualitas. Sebenarnya yang dimaksud mampu dalam kejiwaan adalah mampu dalam akal pikiran dewasa, mampu dalam ekonomi,
materiil, dan mampu menegakkan ajaran agama dalam kehidupan berumah tangga antara suami isteri, anak-anak, keluarga, dan masyarakat.
3. Tingkat ekonomi Tingkat ekonomi suatu masyarakat dapat menjadi pendorong terjadinya
perkawinan usia muda. Masyarakat yang kemampuan ekonominya sangat lemah mendorong terjadinya perkawinan usia muda. Misalnya, seorang anak wanita yang
berasal dari keluarga ekonomi lemah ingin cepat-cepat kawin agar dapat segera keluar dari penderitaannya dengan harapan suaminya dapat menanggung keluarga
dari pihak isteri. Gambarannya adalah sebagai berikut:
a. Seorang wanita di bawah umur yang kawin dengan atau dikawinkan dengan seorang kaya yang sudah cukup umur.
b. Seorang anak wanita di bawah umur dipaksa kawin oleh orang tuanya karena orang tua dari anak tersebut terlibat hutang atau merasa berhutang budi.
Masyarakat yang tingkat ekonominya baik, juga dapat menjadi pendorong perkawinan usia muda. Misalnya, keluarga kaya karena ingin cepat menggendong
cucu dapat saja memberi modal kepada anaknya dan mengawinkan mereka. Keberhasilan mencapai kehidupan material secara layak memerlukan kesiapan
ekonomi yang memadai sebelum meamasuki kehidupan perkawinan, di samping adanya bekal pendidikan yang memadai. Sedangkan keberhasilan membina anggota
keluarga anak-anak agar menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, nusa, dan bangsa, serta keberhasilan membina anak-anak menjadi Shalih dan Akrom
75
, tidak hanya memerlukan suasana ketenteraman dalam rumah tangga, melainkan latar
belakang pendidikan orang tua pun sangat dominan.
76
Namun demikian, alasan-alasan tersebut tidak dapat dijadikan alasan bagi seseorang atau orang tua serta pihak-pihak yang berkepentingan demi memaksakan
keinginannya untuk menikahkan anak yang masih di bawah umur.
75
Shalih : Mampu mewarisi bumi ini dalam arti luas, mengelola, menyeimbangkan, dan melestarikan, Akrom: Lebih bertakwa kepada Allah swt, Lihat: Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial,
Yogyakarta: LKIS, Oktober 2003, cet. ke-2, h. 371
76
Sumaya, ”Peranan BP4 dalam Upaya Pencegahan Pernikahan Dini”, Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006, h. 48-49
Dalam hal ini Islam dengan tegas melarang memperlakukan perempuan seperti benda yang dikendalikan oleh orang tuanya atau keluarganya yang laki-laki. Ia harus
dimintai pendapat ketika hendak dinikahkan. Ketentuan ini berlaku untuk semua perempuan baik gadis maupun janda. Hal ini dikuatkan dalam sejumlah riwayat
77
yang menunjukkan bahwa Rasulullah sangat menghargai hak perempuan untuk memilih jodoh yang ia sukai. Sebagai ayah, beliau selalu meminta pendapat putrinya
ketika hendak dilamar seseorang. Perempuan sahabat juga merasakan kebebasan pasangan. Diantaranya adalah al-Khansa’ binti Khidam. Kasus al-Khansa’ adalah
dinikahkan secara paksa oleh bapaknya dan ternyata tidak diakui Nabi. Nabi mereka keberatan mereka dan membatalkan pernikahan mereka. Ditambahkan lagi dengan
keterangan al-Khansa’ bahwa Nabi saat itu tidak menanyakan status tentang dirinya, apakah gadis atau janda.
78
Dengan demikian dalam pandangan Nabi, perempuan adalah manusia yang mempunyai hak pilih sebagaimana laki-laki.
79
Apabila Nabi saja sebagai seorang Rasul dan panutan bagi umat Islam menjunjung tinggi persamaan hak dan prinsip
keadilan sesama manusia, menurut penulis sudah sepatutnyalah kita sebagai umatnya mencontoh suri tauladan Rasul tersebut.
77
Dalam Musnad Ahmad ibn Hambal disebutkan: Rasulullah berkata kepada putrinya,“Sesungguhnya si fulan menyebut-nyebut namamu.”Kemudian beliau melihat reaksi mereka.
Jika mereka diam, itu pertanda mereka setuju dan pernikahan bias segera dilangsungkan. Namun jika mereka menutup tirai kamarnya, itu pertanda mereka tidak suka dan Rasul pun tidak memaksakan
kehendaknya.
78
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, h. 170
79
DEPAG, Keadilan Dan Kesetaraan Jender..., h. 20-21
BAB III PENGARUH USIA PERKAWINAN TERHADAP
HAK-HAK REPRODUKSI PEREMPUAN
A. Usia Ideal Dalam Perkawinan
Pada pembahasan skripsi ini penulis bermaksud memaparkan tentang batas usia nikah dan usia ideal dalam perkawinan. Tentunya dengan corak pemahaman fikih dan
Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di negara hukum Indonesia. Dengan kata lain, sebenarnya kapan saat yang tepat bagi seorang gadis atau jejaka untuk dapat
melangsungkan perkawinan.
Seperti telah dijelaskan bahwa pada umumnya ulama tidak memberikan batas usia, tetapi lebih mengarah pada tanda-tanda fisik seperti puberitas biologis, seperti
yang terjadi pada laki-laki dengan keluarnya mani atau menstruasi bagi wanita. Para ulama sepakat, bahwa awal mulanya baligh yaitu 12 dua belas tahun bagi laki-laki
dan 9 sembilan tahun bagi wanita. Namun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan usia akhir baligh.
80
Usia tersebut pun tidak dapat dikatakan mutlak, karena perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan, kesehatan, geografis,
dan kualitas gizi. Pada kenyataannya pernyataan ulama klasik tersebut tidak memberikan
kejelasan tentang usia perkawinan. Adapun Majelis Ulama Indonesia MUI hanya
80
Departemen Agama, Ilmu Fiqh, Jakarta: Departemen Agama, 1984, cet.ke-2, Jilid III, h. 3-4