Sejarah Perkembangan Tafsir METODOLOGI TAFSIR AL-QURAN

Dus, metodologi tafsir 16 adalah ilmu atau uraian tentang cara kerja sistematis untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan menafsir. Atau kajian di sekitar metode-metode tafsir yang berkembang. 17 Atau pengetahuan mengenai cara yang ditempuh dalam menelaah, membahas, dan merefleksikan kandungan al-Qur`an secara apresiatif berdasarkan kerangka konseptual tertentu sehingga menghasilkan suatu karya tafsir yang representatif. 18 Nashruddin Baidan mengartikan metodologi tafsir sebagai pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran al-Quran. Dia juga membedakan antara metode tafsir: cara-cara menafsirkan al-Quran dan metodologi tafsir. Sebagai contoh, pembahasan teoritis dan ilmiah mengenai metode muqârin perbandingan disebut analisis metodologis. Sedangkan jika pembahasan itu berkaitan dengan cara menerapkan metode itu terhadap ayat-ayat disebut pembahasan metodik. 19

B. Sejarah Perkembangan Tafsir

Tafsir merupakan praktek alamiah, yakni praktek yang telah berjalan sejak Nabi menerangkan dan mengajarkan makna teks Kitab Suci yang diterimanya kepada para pengikutnya. Inilah yang disebut tafs ỉr al-Nabiy penafsiran Nabi. Pada masa ini karya-karya tafsir yang tertulis belum hadir. Penafsiran Nabi sendiri 16 Dalam studi teks al-Quran, selain mengenal kata tafsir kalangan sarjana Muslim juga mengenal kata ta’wil. Oleh para sarjana al-Quran, ta’wil diberi bobot lebih dari kata tafsir. Artinya, kalau tafsir hanya menjelaskan bagian luar dari al-Quran, maka ta’wil merujuk pada penjelasan makna-dalam dan tersembunyi dari al-Quran. Untuk melihat perbedaan di antara keduanya secara panjang lebar rujuk Nasr Hamid Abu-Zayd, Kritik Wacana Agama, penerjemah Khoiron Nahdliyyin Yogyakarta: LkiS, 2003, h. 116; al-Qaththân, Mabâhist, h. 324. 17 Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir: dari Periode Klasik, h. 41. 18 Samsul Bahri, Konsep-konsep Dasar Metodologi Tafsir dalam Abd. Muin Salim ed., Metodologi Ilmu Tafsir Yogyakarta: Teras, 2005, h. 38. 19 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, h. 3. 21 hanya dapat ditelusuri lewat karya-karya tentang hadis yang dikumpulkan para pengumpul hadis atas dasar riwayat-riwayat yang sampai kepada mereka. 20 Setelah Beliau wafat, para sahabat baru mulai menafsirkan al-Quran dan mengajarkan pemahaman mereka atas al-Quran kepada Muslim yang lain. Sumber utama penafsiran sahabat adalah pernyataan al-Quran yang memunyai relevansi yang sama dengan pernyataan al-Quran lain yang sedang dibahas dan ditafsirkan tafs ỉr al-Quran bi al-Quran. Sumber kedua adalah bacaan qira’ah al-Quran. Misalnya, bacaan ibn Mas’ud yang berbunyi ”atau hingga kamu memunyai rumah dari emas dzahab” memperjelas maksud dari bacaan yang resmi yang berbunyi ”sebuah rumah dari zukhruf.” Dan sumber yang terakhir adalah hadis. 21 Dari pernyataan al-Quran tersebut lihat catatan kaki sebelumnya jelas bahwa menjelaskan dan menafsirkan al-Quran merupakan satu di antara sekian tugas kenabian Muhammad. Tidak heran jika pada periode ini, karya tafsir masih bercampur baur dengan karya-karya tentang hadis dan sirah. 22 Dengan berlalunya waktu dan banyak mufasir dari kalangan sahabat yang meninggal, sementara ayat-ayat al-Quran belum tuntas dijelaskan, maka para pengikut sahabat mulai melanjutkan bidang ini. Ada tiga aliran tafsir yang utama yang dikembangkan oleh para tabi’in. 1 Aliran Mekkah dengan ibn ’Abbas sebagai pakarnya. Murid-murid dari aliran ini: Sa’id al-Jubayr [w. Sekitar 712 20 Ihsan Ali-Fauzi, Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibiliografis, h. 13. 21 Dalam al-Quran 16: 44 dikatakan: ⌧ “…. Dan telah Kami turunkan adz-dzikr al-Quran kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang teah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.” Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2008, h. 272. 22 Ihsan Ali-Fauzi, Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibiliografis, h. 13. 22 atau 713 M], Mujahid ibn Jabr al-Makki [w. 722], ’Ikrimah [w. 723], Thawus ibn Kaysan al-Yamani [w. 722], dan ’Atha ibn Abi Rabbah [w.732]. 2 Aliran Irak mendaku ibn Mas’ud sebagai imamnya. Murid-muridnya antara lain: ’Alqama ibn Qays [w. 720], al-Aswad ibn Yazid [w. 694], Masruq ibn al-Ajda’ [w. 682], Mara al-Hamadani [w. 695], ’Amir al-Sya’bi [w. 723], al- Hasan al-Bisri [w. 738], Qatada al-Sadusi [w. 735], dan Ibrahim al-Nakha’i [w. 713]. 3 Aliran Madinah yang juga sebagai pusat kekhalifan Islam. Yang paling terkemuka di sini adalah Ubayy ibn Ka’b. Murid-muridnya antara lain: Abu al- ’Aliya [w. 708], Muhammad ibn Ka’b al-Qarzi [w. 735], Zayd ibn Aslam [w. 747], ’Abd al-Rahman ibn Zayd, dan Malik ibn Anas. 23 Abdul Mustaqim mencatat ada dua faktor yang menyebabkan tafsir al- Quran sebagai sebuah keniscayaan. Pertama, faktor internal yang terbagi menjadi tiga variabel. 1 Kondisi objektif teks al-Quran itu sendiri yang memungkinkan untuk dibaca secara beragam. 2 Kondisi objektif dari kata-kata dalam al-Quran yang memang memungkinkan untuk ditafsirkan secara beragam. 3 Adanya ambiguitas makna dalam al-Quran dengan adanya kata-kata musytarak [bermakna ganda] seperti kata al-qur’u [dapat bermakna suci dapat pula bermakna haid]. 24 Kedua, faktor eksternal berupa kondisi sosial yang melingkupi sang penafsir. Bisa juga perspektif dan keahlian atau keilmuan yang ditekui sang penafsir. Lalu adanya persinggungan dunia Islam dengan peradaban-peradaban di luar Islam. Yang paling signifikan, menurut Abdul Mustaqim adalah yang berkaitan dengan faktor politik dan teologis. 25 23 Ihsan Ali-Fauzi, Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibiliografis, h. 14. 24 Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir, h. 8-12. 25 Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir, h. 12-13. 23

C. Pemetaan Metodologi Tafsir