Metode Tafsir Analisis metodologi tafsir alfatihah kerja achmad chodjim aplikasi metodologi kajian tafsir islah gusmian

B. Aspek Hermeneutik

Dalam sejarah hermeneutik tafsir al-Quran, setidaknya terbagi menjadi dua: 1 hermeneutika al-Quran tradisional dan 2 hermenenutika al-Quran kontemporer. Dalam hermeneutika al-Quran tradisional, perangkat metodologi yang digunakan sebatas pada linguistik dan riwayah. Jadi, belum ada rajutan sistemik antara teks, penafsir, dan audiens sasaran teks, meskipun unsur triadik ini telah hidup di dalamnya waktu itu. Sedangkan hermeneutika al-Quran kontemporer telah melakukan perumusan sistematis unsur triadik tersebut. Di dalamnya, suatu proses penafsiran tidak lagi berpusat pada teks, tapi penafsir di satu sisi dan audiens di sisi lain, secara metodologis merupakan bagian yang mandiri. 24 Dalam konteks penggalian dimensi-dalam karya ini, yang bersifat paradigmatik, di sini diacukan pada tiga variabel pokok: 1 metode penafsiran, 2 nuansa penafsiran, dan 3 pendekatan tafsir. Dari tiga variabel ini, analisis Alfatihah dilakukan.

1. Metode Tafsir

Metode tafsir adalah suatu perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam proses penafsiran al-Quran. Perangkat kerja ini, secara teoritik menyangkut dua aspek penting. Pertama, aspek teks dengan problem semiotik dan semantiknya. Kedua, aspek konteks di dalam teks yang merepresentasikan ruang-ruang sosial- budaya yang beragam di mana teks itu muncul. Selain dua aspek ini, seperti yang terjadi dalam hermeneutika al-Quran tradisional, riwayah juga merupakan satu variabel yang digunakan untuk menjelaskan makna teks. 25 24 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 196. 25 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 196. 58 Dalam kecenderungan umum penafsiran al-Quran, ada dua arah penting dalam melihat kerangka metodologi yang dipakai, yaitu tafsir riwayat dan tafsir pemikiran. Selanjutnya akan penulis rinci kedua metode tafsir tersebut.

a. Metode Tafsir Riwayat: Pemahaman Nabi Muhammad Sebagai

Acuan Tunggal Dalam tradisi studi al-Quran klasik, riwayat merupakan sumber penting dalam pemahaman teks al-Quran. Sebab, Nabi diyakini sebagai penafsir pertama terhadap al-Quran. Dalam konteks ini, muncul istilah ’metode tafsir riwayat’. Pengertian metode riwayat dalam sejarah hermeneutik al-Quran klasik, merupakan proses penafsiran al-Quran yang menggunakan data riwayat dari Nabi dan atau sahabat sebagai variabel penting dalam proses penafsiran al-Quran. Model tafsir ini adalah menjelaskan suatu ayat sebagaimana dijelaskan Nabi dan atau para sahabat. Ini ditemukan dalam beberapa literatur tafsir klasik, misalnya Tafs ỉr al-Thabảri karya al-Thabari, Tafsỉr al-Qurản al-Azhỉm karya ibn Katsir dan yang lain. 26 Para ulama sendiri tidak ada kesepahaman tentang batasan metode tafsir riwayat. Al-Zarqani, seperti yang dikutip Gusmian, membatasinya dengan mendefiniskan sebagai tafsir yang diberikan ayat al-Quran, sunah Nabi, dan para sahabat. Dalam batasan ini ia jelas tidak memasukan tafsir yang dilakukan para tabi’in. al-Zhahabi, seperti yang dikutip Gusmian, memasukan tafsir tabi’in dalam kerangka tafsir riwayat meskipun mereka tidak menerima tafsir secara langsung dari nabi Muhammad. Tapi nyatanya kitab-kitab tafsir yang selama ini diklaim sebagai tafsir yang menggunakan metode riwayat, memuat penafsiran mereka, 26 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 197. 59 seperti Tafs ỉr al-Thabảri. Al-Shabuni, seperti yang dikutip Gusmian, memberikan pengertian lain tentang tafsir riwayat. Menurutnya, tafsir riwayat adalah model tafsir yang bersumber dari al-Quran, sunah, dan perkataan sahabat. Definisi al- Shabuni ini tampaknya lebih terfokus pada material tafsir bukan pada metodenya. Berbeda dengan al-Shabuni, ulama Syiah, seperti yang dikutip Gusmian, berpendapat bahwa tafsir riwayat adalah tafsir yang dinukil dari Nabi dan para Imam ahl al-bayt. Hal-hal yang dikutip dari para sahabat dan tabi’in menurut mereka tidak dianggap sebagai hujjah. Dari segi material, menafsirkan al-Quran memang bisa dilakukan dengan menafsirkan antar-ayat, ayat dengan hadis Nabi, dan atau perkataan sahabat. Namun secara metodologis, bila kita menafsirkan ayat al-Quran dengan ayat yang lain dan atau dengan hadis tapi proses metodologisnya itu bukan bersumber dari penafsiran yang dilakukan Nabi, tentu itu semua sepenuhnya merupakan hasil intelektualisasi penafsir. Oleh karena itu, meskipun data materialnya dari ayat atau hadis Nabi dalam menafsirkan al-Quran, tentu ini secara metodologis tidak sepenuhnya disebut sebagai metode tafsir riwayat. 27 Lepas dari keragaman definisi yang selama ini diberikan para ulama ilmu tafsir tentang tafsir riwayat di atas, metode tafsir riwayat bisa didefinisikan sebagai metode penafsiran yang data materialnya mengacu pada hasil penafsiran Nabi yang ditarik dari riwayat pernyataan Nabi danatau dalam bentuk asb ảb al- nuz ủl sebagai satu-satunya sumber data otoritatif’. Sebagai salah satu metode, model riwayat dalam pengertian yang terakhir ini tentu statis, karena hanya 27 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 198. 60 bergantung pada data riwayat penafsiran Nabi. Juga harus diketahui bahwa tidak setiap ayat mempunyai asb ảb al-nuzủl.

b. Metode Tafsir Pemikiran: Intelektualitas Sebagai Dasar Tafsir

Al-Qaththan, seperti yang dikutip Gusmian, mencatat bahwa sejak berakhirnya masa salaf, sekitar abad ke-3 H, peradaban Islam semakin berkembang dengan dibarengi lahirnya pelbagai mazhab di kalangan umat Islam. Masing-masing mazhab berusaha meyakinkan pengikutnya dengan memberikan penjelasan dari ayat-ayat al-Quran. Teks al-Quran, kemudian ditafsirkan dalam kerangka corak kepentingan dan ideologinya tersebut. Dalam konteks ini, sejarah tafsir mencatat adanya perkembangan pelbagai corak tafsir. Misalnya muncul Tafs ỉr al-Rảzi dengan corak filsafatnya yang ditulis Fakhr al-Razi, al-Kasysyảf dengan corak teologi Muktazilahnya yang ditulis al-Zamakhsyari, Tafs ỉr al- Man ảr dengan corak sosiologisnya yang ditulis Muhammad Rasyid Ridla dan seterusnya. 28 Namun, dalam konteks pengertian metode tafsir pemikiran yang dimaksud bukan seperti yang diuraikan oleh al-Qhathan di atas. Metode tafsir pemikiran didefinisikan sebagai suatu penafsiran al-Quran yang didasarkan pada kesadaran bahwa al-Quran, dalam konteks bahasa, sepenuhnya tidak bisa lepas dari wilayah budaya dan sejarah—di samping bahasa itu sendiri memang sebagai bagian dari budaya manusia. Dalam metode tafsir pemikiran, penafsir berusaha menjelaskan pengertian dan maksud suatu ayat berdasarkan hasil dari proses intelektualisasi dengan langkah epistemologis yang mempunyai dasar-pijak pada teks dengan konteks-konteksnya. 28 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 202. 61 Proses yang bersifat ijtihadi ini, bisa berupa penafsiran teks al-Quran dalam konteks internalnya dan atau meletakan teks al-Quran dalam konteks sosio- kulturalnya. Untuk kepentingan ini diperlukan suatu kajian atas medan bahasa dalam konteks semiotik dan semantiknya yang membawa ide-ide dalam historisitas masyarakatnya sebagai audiens. Teks al-Quran dengan wacana yang dikembangkan di dalamnya, juga dikaji sebagai bagian penting dalam proses perumusan dan penarikan kesimpulan dari gagasan-gagasan yang disampaikan al- Quran. Teks al-Quran dengan historisitasnya mengharuskan adanya analisis terhadap bangunan budaya yang ada pada saat teks itu muncul. Artinya, yang dibangun dalam metode tafsir pemikiran ini adalah aspek teoritis penafsiran, bahwa memahami teks al-Quran, sejatinya tidak lepas dari kesadaran pengetahuan ilmiah untuk meletakkannya pada strukturnya sebagai bahasa yang mempunyai struktur historis dengan wacana-wacana yang dipakai dan budaya masyarakat yang menjadi audiensnya. Sebab teks al-Quran, dalam konteks bahasa, merupakan bentuk representasi dan kerterwakilan budaya masyarakat saat teks diproduksi. Proses pergeseran makna dari satu terma dalam bahasa Arab juga harus dipahami dalam konteks budaya masyarakat ketika terma itu dipakai. Dengan demikian, untuk memahami al-Quran harus juga memahami persoalan budaya, wilayah geografi, dan psikologi masyarakat di mana al-Quran diturunkan dan berdialog dengannya. 29 Dengan kerangka teori yang demikian, bukan hanya bahasa dengan strukturnya yang menentukan sebuah pemahaman atas gagasan yang ada dalam teks al-Quran. Struktur wacana dan budaya yang melingkupi kemunculan teks 29 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 202. 62 juga menjadi medan analisis yang sangat penting. Dari sini, kita akan mampu mengungkap hal-hal implisit dan yang tak terkatakan mask ủt ’anhu dari teks al- Quran. Dari situ pula gagasan yang disampaikan al-Quran dapat ditemukan secara utuh. Jadi, pokok dasar dari metode ini terletak pada bangunan epistemologi tafsir yang didasarkan bukan semata-mata pada riwayat tapi pada proses intelektualisasi yang secara epistemologis bisa dipertanggungjawabkan. Pada metode tafsir pemikiran ini, ada dua variabel pokok yang akan dijadikan titik tolak. Pertama, variabel sosio-kultural di mana teks al-Quran muncul dan diarahkan pertama kali. Dalam bagian ini meliputi persoalan geografis, psikologis, budaya, dan tradisi masyarakat yang menjadi audiens pertama teks al-Quran. Kedua, adalah struktur linguistik teks. Bagian ini, meliputi analisis semantik dan semiotik lalu dipaparkan juga metode tafsir ilmiah, sebuah penafsiran yang didasarkan pada data-data yang secara material diperoleh dari penemuan sains-ilmiah yang fungsinya untuk mengukuhkan bangunan logika ilmiah yang dinarasikan al-Quran.

I. Analisis Sosio-Kultural: Melihat al-Quran dari Medan Sosial dan Budaya

Mesti dipahami bahwa teks al-Quran lahir dan diturunkan Tuhan bukan dalam ruang hampa tapi dalam sejarah umat manusia masyarakat Arab. Itu sebabnya, Fazlur Rahman, seperti yang dikutip Gusmian, menyebutnya sebagai ’respon Ilahi’ melalui pikiran Nabi terhadap situasi sosio-moral dan historis masyarakat Arab abad ke-7 M. 30 Dalam pengertian ini, budaya dan sejarah 30 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 204. 63 masyarakat Arab sebagai audiens al-Quran menjadi suatu wilayah yang harus dikaji untuk menemukan gagasan-gagasan pokok al-Quran. Analisis yang dilakukan itu, tentu tidak hanya bergantung pada asb ảb al- nuz ủl. Sebab, asbảb al-nuzủl sendiri tidak sepenuhnya mampu menggambarkan secara sempurna bangunan sosio-historis masyarakat Arab sebagai audiens di samping memang tidak semua ayat mempunyai asb ảb al-nuzủl. Langkah yang demikian menjadi penting karena dengan pelbagai unsur tersebut teks al-Quran terbentuk dan dalam konteks itu pula mestinya konsepsi-konsepsi yang dibangunnya harus dipahami. Seperti yang terlihat pada rumusan Abu Zayd, yang dikutip Gusmian, tentang level-level teks al-Quran, konteks sosio-kultural ini—yang terdiri dari aturan sosial dan kultural dengan semua konvensi, adat istiadat, dan tradisi yang terekspresikan dalam bahasa teks—merupakan otoritas epistemologis marja’iyyah ma’rifiyyah. Sebab, bahasa pada hakekatnya mengandung aturan- aturan konvensional kolektif yang bersandar pada kerangka kultural. Teks sebagai sebuah pesan ditujukan kepada masyarakat yang mempunyai kebudayaan sendiri, konsepsi-konsepsi mental dan kepercayaan kulturalnya sendiri pula. Analisis sosio-kultural terhadap teks Kitab Suci menjadi penting dalam rangka memberikan pemahaman yang lebih sesuai. Konsepsi yang dibangun dalam teks al-Quran dengan demikian menjadi bangunan yang sangat historis dan kultural sifatnya. Usaha untuk menemukan konsepsi-konsepsi itu, mesti diletakan dalam medan kesejarahannya. Ada banyak hal yang mesti dilibatkan dalam analisis sosio-historis ini: masalah wilayah geografis di mana suatu masyarakat yang menjadi audiens pertama al-Quran itu berada, psikologi dan tradisi yang 64 berkembang di dalamnya. Dalam hermeneutik al-Quran kontemporer, keterkaitan antara struktur triadik: teks, penafsir, dan audiens sasaran teks, kemudian menjadi wilayah penting yang harus dipertimbangkan. Yang terakhir ini, bisa menemukan signifikansinya bila variabel kultural dan sejarah dalam makna yang luas, dianalisis secara komprehensif.

II. Analisis Semiotik: Lewat Bahasa Menangkap Makna

Menurut Abu Zayd, seperti yang dikutip Gusmian, bahasa mengandung aturan-aturan konvensional kolektif yang bersandar pada kerangka kultural. Teks sebagai sebuah pesan ditujukan kepada masyarakat yang mempunyai kebudayaan sendiri, konsepsi-konsepsi mental, dan kepercayaan kultural. Konteks percakapan siyâq al-takhâtub yang diekspresikan dalam struktur bahasa bunyah lughawiyyah berkaitan dengan hubungan antara pembicara dan partner bicara yang didefinisikan karakteristik teks pada satu sisi, dan otoritas tafsir pada sisi lain. 31 Dalam konteks ini, makna-makna dari suatu bahasa yang telah terkontekstualisasi mengarahkan kita tentang perlunya menganalisis makna dari kata. Dalam perspektif semiotik, bahasa adalah penanda signifier yang terkait dengan yang ditandai signified. Bagi Ferdinand de Saussure, seorang ahli linguistik, seperti yang dikutip Gusmian, bahasa sebagai sistem tanda sign hanya dapat dikatakan sebagai bahasa atau berfungsi sebagai bahasa bila mengekspresikan atau menyampaikan ide-ide atau pengertian-pengertian tertentu. 32 31 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 211. 32 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 212. 65 Oleh karena itu, bahasa bagi Saussure, seperti yang dikutip Gusmian, bukanlah sekedar nomenklatur. Tinanda-tinandanya bukanlah konsep yang sudah ada lebih dulu, tapi konsep-konsep yang dapat berubah-ubah mengikuti perubahan kondisi yang lain. Tinanda dengan demikian tidaklah mandiri dan otonom yang masing-masing memiliki esensi atau inti yang menentukannya. Ketinandaan dan kepenandaan ditentukan oleh ’hubungan-hubungannya’. Dalam hubungan- hubungan ini, Saussure lalu membaginya menjadi dua. Pertama, hubungan associattive , atau yang biasa dikenal dengan istilah paradigmatik, dan kedua, hubungan syntagmatic. Hubungan ini terdapat dalam kata sebagai rangkaian bunyi maupun sebagai konsep. Hubungan sintagmatik sebuah kata adalah hubungan yang dimilikinya dengan kata-kata yang dapat berada di depannya atau di belakangnya dalam sebuah kalimat, atau juga antar-dua kata, di mana kata pertama muncul sebagai subjek bagi kata yang kedua. Selanjutnya saat menuturkan sesuatu, kita pada dasarnya juga memilih suatu kata dari perbendaharaan kata yang kita ketahui dan kita simpan dalam ingatan. Sebagian kata yang tidak kita pilih dalam ingatan itu memiliki hubungan asosiatif dengan kata yang kita ucapkan. Hubungan inilah yang disebut sebagai rangkaian paradigmatik. Teks al-Quran dalam konteks linguistik juga merupakan sistem tanda yang merepresentasikan ide-ide sebagai tinandanya. Unsur-unsur kalimat yang ada di dalamnya juga mengharuskan dipahami dalam konteks hubungan sintagmatik dan asosiatif tadi. Sebab, dengan cara demikian, makna dari sebuah kata akan ditemukan yang sesuai dengan konteks kalimat. Sehingga kata yang sama, dalam hubungan sitagmatik yang berbeda, bisa jadi akan mengungkap makna yang 66 berbeda dan makna yang berbeda mengantarkan suatu gagasan yang berbeda. Bahkan bila kita mengacu pada pendapat Jakobson yang menganggap bahwa ’kata’ tidak lagi dianggap satuan linguistik yang paling elementer tapi unsur yang paling dasar adalah bunyi fonem, maka kita juga akan menemukan analisis mendasar dari kata sebagai penanda yang memberikan makna berbeda. 33

III. Metode Semantik: Menangkap Pandangan Dunia al-Quran

Gagasan tentang analisis semantik dalam konteks al-Quran mulanya dipopulerkan Toshihiko Izutsu. Dalam pengertian etimologisnya, semantik adalah ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna dalam pergertian yang lebih luas dari kata. Begitu luas, sehingga apa saja yang mungkin dianggap memiliki makna merupakan objek semantik. ’Makna’ dalam pengertian dewasa ini dilengkapi persoalan-persoalan penting para pemikir yang bekerja dalam pelbagai bidang kajian, khususnya linguistik itu sendiri, sosiologi, antropologi, psikologi, dan seterusnya. 34 Bagi Izutsu, seperti yang dikutip Gusmian, kajian semantik merupakan kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu. Tidak hanya sebagai alat bicara dan berpikir tapi lebih penting lagi adalah pengonsepsian dan penafsiran dunia yang melingkupinya. Semantik dalam pengertian ini, bagi Izutsu merupakan kajian tentang sifat dan struktur pandangan dunia sebuah bangsa saat sekarang atau pada periode sejarahnya yang signifikan dengan menggunakan alat analisis 33 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 212. 34 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, penerjemah Agus Fahri Husein, Supriyanto Abdullah, dan Aminuddin, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2003, h. 2 67 metodologis terhadap konsep pokok yang telah dihasilkan untuk dirinya sendiri dan telah mengkristal ke dalam kata kunci bahasa itu. 35 Analisis semantik tidak saja berkaitan dengan elemen-elemen suatu kalimat, atau korelasi antar-kalimat, atau berkaitan dengan perluasan figuratif dalam arti bentuk gramatikal dan style, seperti yang terjadi dalam analisis semiotik tapi menyangkut weltanschauung al-Quran, yaitu gagasan dan pandangan dunia al-Quran yang bisa diperoleh dengan membongkar signifikansi yang implisit atau yang Abu Zayd sebut sebagai maskût ’anhu di dalam struktur wacana. Dan analisis teks melalui tanda linguistik haruslah mengungkap yang tak terkatakan tadi. 36 Analisis semantik semacam ini juga merepresentasikan kepentingan dalam merangkum gagasan al-Quran yang terpecah-pecah. Artinya, konteks internal al- Quran, juga berkaitan dengan ’ketakintegralan’ struktur teks al-Quran dan pluralitas wacananya. Ketakintegralan ini terjadi karena adanya perbedaan antara urutan teks tart ỉb al-ajzả dan urutan pewahyuan tartỉb al-nuzủl, di samping memang teks al-Quran pada hakikatnya bersifat plural dan tidak mungkin memahaminya kecuali dengan mempertimbangkan level spesifiknya. Level spesifik ini berkaitan dengan konteks pewahyuan yang didasarkan pada fakta- fakta yang masing-masing bagian mempunyai konteks dan bahasanya sendiri karena audiensnya berbeda-beda.

IV. Metode Sains Ilmiah: Relevansi al-Quran dengan Perkembangan Teknologi Sains Ilmiah

35 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 220. 36 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 220. 68 Metode tafsir ilmiah adalah pemahaman atas teks al-Quran dengan menggunakan data hasil observasi ilmiah sebagai variabel penjelas. Dalam tradisi tafsir, model ini bukanlah hal baru. Thantawi Jawhari, dalam al-Jaw ảhir-nya, misalnya, adalah penafsir yang dikenal kuat dalam menggunakan metode tafsir ilmiah ini. Dalam tafsirnya itu, ia menggunakan pelbagai data ilmiah sebagai variabel dalam menjelaskan ayat al-Quran. 37 Usaha menjelaskan ayat al-Quran dengan metode ilmiah ini bisa dipahami, mengingat dalam al-Quran sendiri terdapat banyak isyarat ilmiah. Yang menjadi persoalan adalah manakah yang lebih dulu: pemahaman ilmiah baru dicarikan justifikasi pada al-Quran ataukah pemahaman al-Quran yang kemudian mendorong riset keilmuan? Tampaknya yang pertama yang banyak terjadi selama ini. Dalam konteks ini muncul problem krusial: bagiamana bila teori ilmiah yang dijadikan penjelas, tadinya diyakini final berkesesuaian dengan al-Quran ternyata mengalami anomali dan tidak valid, sebab penemuan ilmiah tidak saja terus berkembang tapi juga berubah.

C. Metode Interteks

Dalam sebuah teks selalu ada teks-teks lain. Oleh karena itu, setiap teks secara niscaya merupakan sebuah interteks. Proses interteks bisa tampil dalam dua bentuk. Pertama, teks-teks lain yang ada di dalam tersebut diposisikan sebagai anutan dalam proses tafsir, sehingga fungsinya sebagai penguat. Kedua, teks-teks di dalam teks tersebut diposisikan sebagai teks pembanding atau bahkan sebagai objek kritik untuk memberikan suatu pembicaraan baru yang menurutnya lebih 37 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 226. 69 sesuai dengan dasar dan prinsip epistemologis yang bisa dipertanggung- jawabkan. 38 Kesimpulan: Chodjim jelas tidak menggunakan metode yang memanfaatkan data riwayat sebagai variabel utamanya, apalagi satu-satunya dalam menafsirkan al-Fatihah. Data riwayat digunakannya di bab I, Penduhuluan, ketika ia menjelaskan di mana surat ini diturunkan, nama-nama lain al-Fatihah— seperti Umm al-Kit ảb, Umm al-Qurản, dan Surah al-Syifả--, serta pentingnya al- Fatihah dalam salat. 39 Di bab III, Segala Puji Kepunyaan Allah, ia mengutip data riwayat tentang musyarawah yang dilakukan Nabi dan para sahabat terkait isu tawanan pasca perang Badr, riwayat yang terakhir tidak ada kaitan langsung dengan surat al-Fatihah. 40 Selebihnya, Chodjim mengutip hadis-hadis dari Bukhari dan Muslim. Lalu apakah Alfatihah dari sisi metodenya termasuk kategori metode pemikiran? Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, dalam metode pemikiran ada beberapa sub, yakni analisis sosio-kultural, analisis semiotik, metode semantik, metode sains-ilmiah, dan lain-lain. Mari telusuri satu per satu. Dalam analisis sosio-kultural, konsepsi yang terbangun dalam teks al-Quran menjadi bangunan yang sangat historis dan kultural sifatnya. Dengan kerangka itu, maka Alfatihah tidak masuk dalam sub-kategori ini. Mengapa? Sebab dalam analisisnya Chodjim tidak menggambarkan bagaimana kondisi masyarakat Arab ketika menerima surat al-Fatihah dari sisi psikologi dan tradisi yang berkembang di dalamnya ketika itu. Dalam konteks ini, asb ảb al-nuzủl tentu tidak berbicara banyak tentang hal-hal tadi. Bahkan dalam kasus asb ảb al-nuzủl al-Fatihah, ada 38 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 228. 39 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 20-23. 40 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 64-65. 70 ketidakpastian di mana dan kapan persisnya al-Fatihah diturunkan. Untuk mengatasi permasalahan ini, Dawan Rahardjo, misalnya, merekomendasikan buku-buku sejarah seperti Kit ảb Sirảh Rasủl Allah karya ibn Hisyam dan Muhammad at Mecca dan Muhammad at Madina karya Montgomery Watt. 41 Analisis semiotik yang menitikberatkan pada bahasa untuk menangkap makna dan metode sains-ilmiah tampaknya juga tidak dominan dalam tafsir Alfatihah . Yang paling memungkinkan menurut penulis adalah metode semantik. Meski demikian, sebenarnya metode semantik tidak akan bisa berdiri utuh tanpa ditopang dengan analisis-analisis lainnya, seperti linguistik, sosiologis, psikologis, dan lain-lain. Dengan kerangka di atas, mari perhatikan bagaimana Chodjim menafsirkan terma shirâth al-mustaqîm. Ia mencatat terma shirâth terulang dalam al-Quran sebanyak 44 kali. Dari 44 kali, hanya 32 kali yang terulang dalam al-Quran dengan lengkap. Kemudian, Chodjim menyajikan beberapa ayat yang di dalamnya terdapat terma tadi. 1 Allah memberi petunjuk Musa dan Harun untuk menyelamatkan Bani Israil seperti yang tertulis pada Q.S. 37:118, ”Dan Kami tunjuki keduanya jalan yang lurus ”. 2 Petunjuk Tuhan mengantarkan manusia kepada jalan yang lurus. Hal ini diungkapkan pada Q.S. 2:213. 42 3 Barang siapa yang berpegang teguh kepada Allah, bukan mengikuti dorongan hawa nafsu, berarti ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Perhatikan firman-Nya Q.S. Perhatikan firman-Nya Q.S. 3:101 dan 19:36. 4 al- Quran adalah kitab yang memberi petunjuk manusia ke jalan yang lurus, yang mengeluarkan orang-orang dari kegelapan kepada cahaya yang terang, sehingga 41 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci Jakarta: Paramadina dan Jurnal Ulumul Qur’an, 2002, h. 650. 42 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 226. 71 sampai kepada kesalamatan hidup. Lihat Q.S. 5:16 dan 42:52. 5 Kehendak Tuhan itu selalu berada di atas jalan yang lurus. Itu artinya, Allah tidak pernah merugikan hamba-Nya sedikitpun. Orang yang mengingkari ayat-ayat-Nya akan dibiar sesat dalam hidupnya. Sebaliknya, mereka yang berusaha memamahi ayat- ayat-Nya akan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus. Artinya, kehendak Tuhan bergantung pada pilihan manusia. Perhatikan Q.S. 6:39, 10:25, dan 24:46. 6 Jalan lurus berarti agama yang benar, seperti yang dipraktekan nabi Ibrahim. Dengan kebijakan yang dimilikinya, Ibrahim mampu mencari Tuhan melalui pemahaman alam yang pada ujungnya bahwa Tuhanlah yang berada di balik alam ini. Jalan hidup yang dilaluinya disebut jalan lurus, doktrin millah yang lurus atau agama yang lurus. 7 Para rasul, para utusan Tuhan adalah mereka yang berada di jalan yang lurus, seperti yang diungkapkan pada Q.S. 36:4. 8 Tuhan adalah Dia yang senantiasa ada di jalan yang lurus, seperti yang dinyatakan-Nya sendiri Q.S. 11:56. Analisis semantik mengandaikan adanya keharusan kajian kebahasaan secara umum, baik dalam konteks bagaimana sebuah kata dipakai menjadi terma kuci dalam al-Quran atau proses perkembangan dan perluasan medan semantiknya yang menjadi bangunan dasar dalam perumusan pandangan dunia al-Quran. Dalam Alfatihah, ayat-ayat yang terkait dengan shirâth al-mustaqîm tidak diperlihatkan perkembangan dan perluasan medan semantiknya. Walhasil, paparan ayat-ayat tadi kurang menjadi menjadi bangunan utuh yang memberikan pengertian tertentu dari pandangan dunia al-Quran. Sebagai bukti, Chodjim akhirnya berkesimpulan bahwa jalan lurus adalah jalan keselamatan bersama. Jalan lurus adalah jalan yang penuh keharmonisan dalam kehidupan masyarakat. 72 Metode konflik yang diterapkan dalam kepemimpinan adalah bertentangan dengan jalan lurus. Artinya, manusia tidak boleh menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. 43 Layaknya karya tafsir lainnya, Alfatihah juga mengutip beberapa karya tafsir yang representatif sebagai sumber rujukan. 44 Ini dalam rumusan Gusmian disebut dengan interteks. Kebanyakan karya-karya tafsir yang dirujuk Chodjim untuk menguatkan pendapatnya dan bukan untuk dijadikan objek kritik sehingga memberikan pembacaan baru. Sebagai contoh, tulisan Chodjim yang dirujuk dari Shihab: ”Menguncapkan basmalah berarti kita menyatakan ’saya berbuat dengan nama Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang’. Atau, saya bertindak atau bekerja dengan nama Tuhan Yang Rahman dan Rahim”. 45 Tabel XII Metode Alfatihah Metode Tafsir Tafsir Alfatihah Metode Interteks

2. Nuansa Tafsir