Analisis metodologi tafsir alfatihah kerja achmad chodjim aplikasi metodologi kajian tafsir islah gusmian

(1)

ANALISIS METODOLOGI TAFSIR ALFATIHAH KARYA

ACHMAD CHODJIM; APLIKASI METODOLOGI

KAJIAN TAFSIR ISLAH GUSMIAN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Untuk Memenuhi Persyaratan Meraih Gelar

Sarjana Theologi Islam

Oleh:

Irwan

NIM: 102034024814

JURUSAN TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H/2010 M


(2)

ANALISIS METODOLOGI TAFSIR ALFATIHAH KARYA

ACHMAD CHODJIM; APLIKASI METODOLOGI

KAJIAN TAFSIR ISLAH GUSMIAN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Untuk Memenuhi Persyaratan Meraih Gelar

Sarjana Theologi Islam

Oleh:

Irwan

NIM: 102034024814

Di bawah Bimbingan

Dr. M. Suryadinata, M.A. NIP: 19600908 198903 1 005

JURUSAN TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H/2010 M


(3)

A B S T R A K

Analisis Metodologi Tafsir Alfatihah Karya Achmad Chodjim; Aplikasi Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian

Upaya menafsirkan al-Quran adalah tugas setiap generasi. Oleh sebab itu, perlu disadari bahwa hasil interpretasi dari tiap-tiap generasi tidak pernah sampai pada level absolut tapi hanya pada derajat relatif. Karena, bagaimanapun penerimaan manusia terhadap wahyu verbal-tertulis, berbeda dari waktu-waktu bergantung pada tingkat nalar masing-masing penafsir dan faktor ekstrenal yang turut mempengaruhinya.

Dalam konteks Indonesia, penafsiran al-Quran terus berkembangan hingga saat ini. Tentu ini fenomena yang sangat membanggakan mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia. Tidak hanya banyak dari sisi kuantitas, karya tafsir al-Quran di Indonesia telah memperlihatkan keragaman dari sisi teknis penulisan tafsir dan metodologi yang digunakan.

Sayangnya, jumlah karya tafsir yang banyak itu tidak dibarengi dengan maraknya penelitian ilmiah, khususnya, oleh mahasiswa Tafsir-Hadis UIN Jakarta. Data yang penulis dapat, hanya ada sekitar 16 judul skripsi yang membahas metodologi sebuah karya tafsir. Dan hanya setengahnya yang membahas metodologi tafsir dari karya tafsir yang ditulis oleh penafsir dalam negeri.

Untuk memberikan semangat positif kepada mahasiswa Tafsir-Hadis yang lain, maka penulis melakukan penelitian ilmiah terhadap tafsir Alfatihah: Membuka Mata Batin dengan Surat Pembuka karya Achmad Chodjim. Yang penulis bidik dari Alfatihah, tentu saja aspek metodologi tafsirnya.

Sosok Achmad Chodjim memang masih asing bagi komunitas mahasiswa Tafsir-Hadis. Pendidikan formalnya bukan dari IAIN atau lebih spesifik lagi Tafsir-Hadis. Profesinya juga tidak bersentuhan langsung dengan teori-teori penafsiran al-Quran atau sebagai dosen studi agama. Ia sekarang adalah mantan karyawan di perusahaan asing dan seorang motivator. Kalaupun ada kegiataan yang berkaitan dengan isu-isu keagamaan, ia dikenal sebagai orang yang getol memasarkan pemikiran Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga.

Layaknya HB. Jassin dan Dawam Rahardjo, Chodjim juga mendapat gugatan ketika meluncurkan karyanya tersebut. Bagi Salman Harun, karyanya itu bukan karya tafsir, dan itu artinya dia bukan penafsir. Meski demikian, menurut Chodjim, Allah tidak pernah memberikan hak istimewa kepada siapapun untuk menafsirkan al-Quran. “Kitab Suci itu terbuka bagi siapa saja yang ingin memahaminya”, tegasnya.

Dalam meneliti metodologi tafsir Alfatihah, penulis mengikuti rumusan yang dibuat oleh Islah Gusmian, sarjana Tafsir-Hadis UIN Jogjakarta. Dengan rumusan Gusmian, metodologi kajian tafsir dilihat dari dua sisi, yakni sisi teknis penulisan dan sisi hermeneutiknya.


(4)

LEMBAR PENGESAHAN

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul: "Analisis Metodologi Tafsir Alfatihah Karya Achmad Chodjim; Aplikasi Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian" diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 14 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Jurusan Tafsir Hadis.

Jakarta, 17 Juli 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Pembimbing Sekretaris Merangkap Anggota

Dr. M. Suryadinata, MA Muslim, S. Th. I

NIP: 19600908 198903 1 005

Anggota,

Dr. Yusuf Rahman, MA Drs. Zainal Arifin Zamzami, MA NIP: 19670213 199203 1 002


(5)

PEDOMAN TRANSLITERASI

1. Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin

Ç

dilambangkan tidak

Ø

Th

È

B

Ù

Zh

Ê

T

Ú

'

Ë

S

Û

Gh

Ì

J

Ý

F

Í

H

Þ

Q

Î

Kh

ß

K

Ï

D

á

L

Ð

Dz

ã

M

Ñ

R

ä

N

Ò

Z

æ

W

Ó

S

å

H

Ô

Sy

Á

`

Õ

Sh

í

Y

Ö

Dh

ÜÉ

Ah

2. Syiddah Ditulis Rangkap

ãÝÓøÑæä

ditulis mufassirûn

ÑÈø

ditulis rabb

3. Vokal Panjang

Tanda Baca Keterangan Ditulis


(6)

Üöí

Kasroh + ya mati Î

Üõæ

Dhammah + waw Û

4. Vokal-vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan Apostrof

ÃÃäÊã

ditulis a`antum

ÃÚÏøÊ

ditulis u'iddat

5. Kata Sandang

Bila diikuti huruf "Qamariyyah" ditulis al-

ÇáÚÈÏ

ditulis al-'abd

Bila diikuti huruf "Syamsyiyyah" ditulis dengan menghilangkan huruf L dan menggandakan huruf "Syamsyiyyah" yang mengikutinya


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT. Tuhan yang selalu mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya. Dialah ’Tangan Gaib’ yang selalu ‘menyapa’ dan terus ‘menyemangati’ penulis kala kelelahan mental dan finansial dalam perampungan tugas akhir skripsi ini. Atas pertolongan-Nya pula, penulis berhasil meraih gelar sarjana strata satu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Salawat serta salam seiring kerinduan, senantiasa tercurah-limpah kepada baginda Nabi Muhammad saw. Beliaulah mata air kehidupan dan teladan sempurna hingga akhir zaman. Motivasi-motivasinya yang selalu menganjurkan pengikutnya untuk selalu menuntut ilmu, bagaimanapun telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan penulis.

Penulis menyadari betul, bahwa skripsi yang berjudul "Analisis Metodologi Tafsir Alfatihah Karya Achmad Chodjim: Aplikasi Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian" ini tidak akan rampung dengan daya yang penulis miliki sendiri. Banyak sosok, kolega, orang-orang spesial baik langsung maupun tidak langsung telah banyak membantu penulis. Maka dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:

Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Bapak Dr. Bustamin, M.S.i., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis.

Bapak Dr. M. Suryadinata, M.A., selaku pembimbing yang telah memberikan kontribusi bermakna dalam menyelesaikan skirpsi ini. Bersama beliau, segala proses, perubahan, dan pencapaian adalah pelajaran yang sangat


(8)

berharga.

Seluruh dosen, staff, dan pegawai Fakultas Ushuluddin. Kebaikan dan kemurahhatian mereka secara sadar telah mendorong penulis untuk tidak surut sebelum menang serta menantang untuk giat membaca dan tidak pernah puas berwacana.

Bapak Achmad Chodjim untuk wawancara dan diskusinya. Ambisi beliau untuk terus menggali makna yang terdapat dalam al-Quran patut penulis apresiasi. Tugas mulia itu sebenarnya secara formal bukanlah tanggung jawabnya, melainkan tanggung jawab masyarakat Tafsir Hadis, termasuk penulis. Juga untuk Islah Gusmian yang telah menunjukkan kepada penulis dan peminat kajian tafsir sebuah buku tentang metodologi kajian tafsir yang inovatif.

Orangtua, Amrizal dan Nurhasni, yang selalu mengingatkan penulis untuk mengakhiri masa kuliah dengan husn al-khatimah. Salut untuk keduanya karena selalu menyampaikan hal itu dengan bahasa pertemanan, layaknya dari seseorang kepada temannya. Kehangatan inilah yang membuat penulis dengan santai merampungkan karya ini tanpa ada tekanan moril tapi menyiratkan tanggung jawab penuh. Semoga karya ini menjadi bukti buat keduanya bahwa penulis selalu mendengar apa yang keduanya nasihatkan.

Abang-abang dan adik perempuan penulis: Joni Amrizal, Andi Amrizal, Ifan Amrizal, Aan Amrizal, serta Karisma Yuanita. Meski dunia ini kadang begitu membosankan bersama kalian tapi ikatan darah yang mengalir dalam diri kita abadi. Tidak sopan bila penulis melupankan kakak ipar: Ka’ Anim, Ka’ Nela, dan Ka’ Dona serta dua keponakan penulis: Nazwa dan Zakwan.


(9)

intelektual penulis: Sahal Mubarok, Agus Rusli, Bagus Irawan, Abdul Majid, Tri Iswahyudi, Hasiolan, Sahro, Syamsul Munir, dan lain-lain. Tanpa Arrisalah mungkin kita tidak akan bertemu. Doakan agar presiden kalian ini bisa mendengar aspirasi kalian.

Keluarga Madina: Pak Haidar Bagir, Mas Putut Widjanarko, Mas Farid Gaban, Bang Ade Armando, Kang Hikmat Darmawan, Warsa Tarsono, Achmad Rifki, M. Husnil, dan Rika Febriani. Bersama kalian, penulis bisa menggambarkan dunia dalam aksara dan kata.

Teman-teman kelas TH-A/2002: Rifki, Asok, Yos, Umam, Away, Gonggo, Husni, Iqbal, dan Tita atas buku-buku dan disket mininya. Teman-teman HMI cabang Ciputat: Idris Madura, Opan, Asyari, Elban, Dodi, Azwar, Isnur, Su’udi, Fikri, dan lain-lain.

Zya Fatimah Baraqbah, Gusti Sari Nadia Ulfah, M. Ja’far, Nanang Sunandar, Tata Septayuda, dan Syofwatillah Mohzaib.

Sebelum mengakhiri, penulis ingin mengutip pantun kuno Minangkabau. Kayu gadang di tangah padang. Bakeh bataduah hari hujan. Bakeh balinduang hari paneh. Ureknyo buliah bakeh baselo. Batangnyo buliah bakeh basanda.

Pohon besar di tengah padang. Untuk berteduh dari hujan. Untuk berlindung hari panas. Akarnya boleh untuk bersila. Batangnya boleh untuk

bersandar.

Jakarta, 10 Mei 2010


(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

ABSTRAK ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

LEMBAR PENGESAHAN ...iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

KATA PENGANTAR ...vii

DAFTAR ISI... .x

DAFTAR TABEL...xii

DAFTAR LAMPIRAN...xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...12

C. Metodologi Penelitian ...13

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...16

E. Sistematika Penulisan ...16

BAB II METODOLOGI TAFSIR AL-QURAN A. Pengertian Metodologi Tafsir...17

B. Sejarah Perkembangan Tafsir...21

C. Pemetaan Metodologi Tafsir ...24


(11)

MENDALAMI ALFATIHAH

A. Achmad Chodjim: ...37

1.Biografi ...37

2. Karya-karya Intelektual...38

B. Alfatihah...39

1. Konteks Sosial...39

2. Masa Penulisan dan Penerbitan...40

3. Modal Penafsiran ...41

BAB IV ANALISIS METODOLOGI TAFSIR ALFATIHAH A. Aspek Teknis ...45

B. Aspek Hermeneutis...58

C. Catatan Kritis ...81

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...84

B. Saran... … 86


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Karakter Tafsir Menurut M. Yunan Yusuf ...32

Tabel 2 Konstruksi Ilmu Tafsir Nasruddin Baidan...33

Tabel 3 Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian ...34

Tabel 4 Sistematika Penyajian Alfatihah...47

Tabel 5 Bentuk Penyajian Alfatihah...49

Tabel 6 Gaya Penulisan Alfatihah...51

Tabel 7 Bentuk Penulisan Alfatihah...52

Tabel 8 Sifat Mufasir Alfatihah...53

Tabel 9 Asal-usul Keilmuan Mufasir Alfatihah...54

Tabel 10 Asal-usul Alfatihah...55

Tabel 11 Sumber-sumber Rujukan Alfatihah...57

Tabel 12 Metode Alfatihah...73

Tabel 13 Nuansa Alfatihah...78

Tabel 14 Pendekatan Alfatihah...81

Tabel 16 Metodologi Tafsir Alfatihah...85

DAFTAR LAMPIRAN


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bagi kalangan Muslim, al-Quran adalah Kitab Suci sekaligus petunjuk (huda). Oleh sebab itu kajian-kajian yang dilakukan kalangan Muslim mengenai

al-Quran sebagian besar merupakan kajian dalam rangka mengungkap makna teks al-Quran (baca: tafsir).1

Dengan kerangka al-Quran adalah petunjuk, para sarjana Muslim lalu merumuskan kesepakatan bersama tentang al-Quran: bahwa al-Quran shảlih li kuli zamản wa makản (Quran relevan di setiap zaman dan tempat). Artinya,

al-Quran dapat dipahami dengan baik jika penafsir kitab suci mampu mendialogkannya secara kritis, dinamis, dan proporsional. Diktum ini setidaknya memberi ruang bagi berbagai pemahaman al-Quran yang akan selalu berkembang seiring perkembangan peradaban dan budaya manusia.2

Atas dasar proporsisi di atas, maka wajar Nasr Hamid Abu Zayd menyebut peradaban Islam sebagai peradaban teks. Mengingat peradaban Islam berporos pada ‘Narasi Besar’ bernama al-Quran.3 Dari ’Narasi’ ini lahir ribuan karya intelektual yang ditulis para sarjana Muslim, baik klasik maupun mutakhir, sebagai bentuk persembahan pemikiran dan solusi pada konteksnya serta sebagai

1 Ihsan Ali-Fauzi, “Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibiliografis atas Karya-karya dalam Bahasa Arab” (Jurnal UQ, II. 1990), h. 12.

2 Very Verdiansyah,

Islam Emansiaptoris: Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat [P3M] dan Ford Foundation Jakarta, 2004), h. 3.

3 Nasr Hamid Abu Zayd,

Tekstualitas al-Quran; Kritik Terhadap Ulumul Quran, penerjemah Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 1.


(14)

rekapitulasi nilai-nilai agama dan untuk menegaskan kembali pemahaman Islam standar bagi para pengikutnya.4

Semula usaha menafsirkan al-Quran diserahkan sepenuhnya kepada Nabi sebagai penafsir tunggal. Tapi setelah kematian beliau, proses penafsiran al-Quran jatuh ke tangan para sahabat. Setidaknya ada 10 sahabat yang mendapat anugerah berat itu. Seperti Abu Bakar al-Shiddiq, Umar ibn al-Khattab, Usman ibn Affan, Ali ibn Abu Talib, Abdullah ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubay ibn Ka’ab, Zait ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah ibn Zubair.5

Bila ditelisik dari sisi sejarah, keberhasilan Islam sebagai pandangan hidup (world view) masyarakat Arab pada abad VII M yang melampaui agama-agama

pendahulunya, Yahudi dan Kristen serta kepercayaan lokal kaum pagan (pribumi) tak bisa dipisahkan dari peran tafsir kontekstual-liberatif Nabi.6 Mengingat betapa

pentingnya posisi tafsir al-Quran dalam menentukan wajah Islam sebagai penebar kasih bagi semesta, maka proses dan tradisi ini harus dipertahankan untuk selalu terus-menerus, berkembang, dan kaji-ulang sampai semua metode keilmuan yang dibangun manusia betul-betul bisa menjaring seluruh makna yang terkandung dalam al-Quran. Sebab secara inheren, al-Quran selalu menebarkan sayap maknanya pada setiap pembaca dan kondisi.7

4 Didin Syafruddin, “Karakter Literatur Indonesia tentang al-Qur’an.”

Jurnal Studia Islamika 2, No.2 (1995), h. 180. Review buku Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia; Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, penerjemah Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996).

5 Ahli tafsir di kalangan sahabat sebenarnya banyak jumlahnya tapi yang paling terkenal 10 sahabat di atas. Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Quran, penerjemah Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 411.

6 Harun Nasution,

Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1998), h. 298.

7 Lihat M. Quraisy Shihab,

Mukjizat al-Quran Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan, 2001), h. 94. Schoun, seperti yang dikutip A’la, menambahkan bahwa keunikan al-Quran karena bahasa al-Quran tidak disusun dalam bentuk pernyataan doktrinal melainkan dalam bentuk narasi historis dan eskatologis. Abd A’la, al-Quran dan Hermeneutik; Memahami Bahasa Agama dalam Wacana Neo-Modernitas (Jakarta: Jurnal taswirul Afkar, Edisi VIII, 2000), h. 122.


(15)

Karena upaya pengakraban terhadap al-Quran dengan berbagai metode dan pendekatannya adalah tugas setiap generasi, harus diingat bahwa hasil interpretasi tidak pernah sampai pada level absolut dan benar secara mutlak. Sebaliknya hasil pemahaman tersebut hanya sampai pada derajat relatif. Bagaimanapun resepsi manusia terhadap wahyu verbal tertulis berbeda dari waktu ke waktu, sesuai dengan tingkat nalar dan faktor-faktor ekstrenal yang turut mempengaruhinya.8

Dalam konteks Indonesia, sarjana Muslim Indonesia cukup produktif dalam mereproduksi makna al-Quran dan membukukannya dalam sebuah karya.9 Tapi sejauh ini penulis belum menemukan tulisan yang merekapitulasi berapa persisnya jumlah karya tafsir yang ditulis sarjana Muslim Indonesia.10

Sejarah mencatat ada sebuah penggalan karya tafsir surat al-Kahfi (18) dalam bahasa Melayu. Manuskrip itu tertanggal sebelum tahun 1620 yang dibawa ke Belanda oleh sebuah armada Belanda. Bahasanya sangat fasih dan idiomatis. Jelasnya, karya tersebut termasuk kajian al-Quran yang telah terbangun dengan baik, dan yang–tidak kalah dari terjemahan Hamzah Fansuri—telah mencapai standar yang tinggi. Meskipun tidak ada pengarang yang terindikasi, dapat dipastikan bahwa karya tersebut adalah terjemahan Tafsir al-Khazin (w. 1340)

8 Pengantar Nur Kholis Setiawan,dalam Aksin Wijaya,

Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik atas nalar Tafsir Gender (Jogjakarta: Safiria Insania Press, 2004), h. xiv.

9 Aktivitas penafsiran al-Quran di Indonesia, setidaknya, bisa dibagi menjadi tiga periode. Periode pertama atau yang disebut periode klasik dimulai dari abad 17 sampai 19 M. Periode kedua dimulai dari awal abad 20 sampai dekade 80-an. Terakhir periode kontemporer yang dimulai dari dekade 80-an sampai sekarang. Bidik Lisma Dyawati Fuaida, “Kajian al-Quran Kontemporer: Gagasan tentang Metode dan Pendekatan Penafsiran al-Quran di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002).

10 Dalam sebuah makalah yang penulis temukan di internet, dikatakan bahwa Nasruddin Baidan mencatat ada sekitar 1000 karya tafsir yang ditulis sarjana Muslim Indonesia. Tapi penulis tidak menemukan informasi ini langsung dalam buku-buku yang ditulis Nasruddin Baidan.


(16)

atas surat al-Kahfi. Karya ini merefleksikan perbedaan penafsiran atas surat itu dam mazhab tasawuf yang berbeda dengan Hamzah Fansuri.11

Sejarah juga mencatat nama Abd al-Rauf al-Singkel (1024-1105 H/1615-1693 M) sebagai sarjana Nusantara yang menyusun karya tafsir lengkap 30 juz dan diberi judul Tarjuman al-Mustafid. Karya ini ditulis kala dirinya diangkat

sebagai mufti pada masa pemerintahan seorang sultanah dari kesultanan Aceh bernama Kamalat al-Din (berkuasa 1098-1109 H/1688-1699 M). Karya ini lahir sebagai tanggapan terhadap gerakan sufisme wujudiyyah yang dipimpin Hamzah

Fansuri (w.1607) dan muridnya Syamsuddin al-Sumatrani (w.1630) vis-a-vis

gerakan ortodoksi yang dipimpin Nur Din Muhammad ibn ‘Ali ibn Hasanji al-Humaidi al-‘Aidarusi atau yang biasa dikenal dengan al-Raniri (w.1658).12

Pada masa itu tidak ada karya tafsir yang populer dari sarjana Muslim Nusantara kecuali karya an-Nawawi al-Bantani (1813-1897). al-Bantani adalah salah seorang ulama yang menonjol pada abad ke-19 dan telah menghasilkan lebih dari 100 karya dalam pelbagai bidang ilmu keislaman. Seperti tafsir, fikih, ushuluddin, ilmu tauhid, tasawuf, sejarah Nabi, tata bahasa Arab, hadis, dan akhlak. Pada 1886, ia menyelesaikan karya monumentalnya mengenai tafsir dengan judul Tafsir Marah Labid atau Tafsir al-Munir dalam bahasa Arab setebal

985 halaman yang terdiri dari dua jilid. Mazhab tafsir yang dirujuknya bercorak

11 Anthony H. Johns, “Tafsir al-Quran di Dunia Indonesia-Melayu: Sebuah Penelitian Awal.” Jurnal Studi Al-Qur’an I, No. 3 (2006), h. 464. Untuk melihat puisi dan prosa Hamzah Fansuri bidik Abdul Hadi WM, Tasawuf yang Tertindas; Kajian Hermeneutik Karya-karya Hamzah Fansuri (Jakarta: Paramadina, 2000); Syed M. Naguib al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970); Didin Syafruddin, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, jilid IV), h. 53-57.

12 Oman Fathurahman, “Abdur Rauf Singkel Ulama Dari Serambi Mekkah,”

Kompas, 01 Januari 2000, h. 12; Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, (Bandung: Mizan, 2002), h. 110-133.


(17)

Suni sekalipun di beberapa bagian merujuk pada karya tafsir dari kalangan Muktazilah, terutama karya az-Zamakhsyari.13

Belakangan muncul nama Howard M. Federspiel. Indonesianis yang semula pemerhati dinamika politik Indonesia tapi kemudian tertarik mengamati literatur-literatur terkait studi al-Quran. Ia mencatat beberapa literatur tentang

ulum al-Quran (55 buah), terjemahan al-Quran (69), kutipan al-Quran (29-30),

peranan al-Quran (27), bagaimana cara membaca al-Quran (91-92), dan indeks al-Quran (74).14

Beberapa karya tafsir yang dicatat Federspiel antara lain: [1] Hamka,

Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982) 12 jilid. [2] H. Oemar Bakry, Tafsir Rahmat (Jakarta: Mutiara, 1983). [3] Zainuddin Hamidy dan Fachruddin

Hs., Tafsir al-Quran (Jakarta: Widjaya, 1959). [4] Ahmad Hassan, Al-Furqan: Tafsir Quran (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah, 1956). [5] A. Halim Hasan,

Zainal Arifin Abas, dan Abdur Rahim Haitami, Tafsir Al-Quranul Karim (Kuala

Lumpur: Pustaka Antara, 1969) 2 jilid. Pada 1955 diterbitkan lagi di Medan. [6] T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Bayan (Bandung: Al-Ma’arif, 1966) 2 jilid.

[7] Bactiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Quran: Huruf Arab dan Latin

(Bandung: F.A. Sumatera, 1978). [8] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Quran,15 Al-Quran dan Terjemahannya (Jakarta, 1975)

13 Didin Syafruddin,

Ilmu al-Quran Sebagai Sumber Pemikiran dalam Ensiklpodei Tematis Dunia Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, t.,t.), jilid IV, h. 54.

14 Howard M. Federspiel,

Kajian al-Quran di Indonesia; Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, penerjemah Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996), h. 100-248. Lihat juga Didin Syafruddin, “Karakter Literatur Indonesia tentang al-Qur’an.” h. 180.

15 Dua karya (nomor 8 dan 9) yang ditulis bersama-sama itu didanai oleh pemerintah dan menarik sekelompok ulama, yang dikenal akrab oleh para pejabat Departemen Agama. Sebagian besar dari mereka memiliki hubungan dengan IAIN-IAIN. Mereka adalah Bustami A. Gani (ketua), T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (wakil ketua), Kamal Muhtar (seketaris), Ghazali Thaib, Syukri Ghazali, A. Mukti Ali, M. Toha Yahya Umar, Amin Nashir, Timur Jailani, Ibrahim Husien,


(18)

11 jilid. [9] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahannya (Jakarta, 1971). Sebelumnya pernah dicetak pada 1967. [10]

H. Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1973).

Selain menginventarisasi, Federspiel juga mengelaborasi masing-masing karya tafsir dan menjelaskan perbedaan karya-karya tafsir generasi tertentu dengan karya tafsir pada generasi setelahnya. Misalnya, karya tafsir nomor 2, 3, 4, 7, dan 10 adalah karya tafsir generasi kedua. Genarasi ini dimulai pada era 1960-1970. Generasi ini merupakan penyempurnaan atas upaya generasi pertama (1900-an sampai 1960-an). Generasi pertama oleh Federspiel ditandai dengan adanya penerjemahan dan penafsiran yang masih terpisah-pisah. Karya tafsir pada generasi kedua biasanya memiliki beberapa catatan, catatan kaki, terjemahan kata per kata, dan kadang-kadang disertai indeks yang sederhana.16 Sedangkan karya

generasi ketiga diwakili oleh karya nomor 1, 5, dan 6. Karya pada generasi ketiga bertujuan untuk memahami kandungan al-Quran secara komprehensif. Oleh karena itu berisi materi tentang teks dan metodologi dalam menganalisa tafsir.17

M. Yunan Yusuf dalam artikelnya mencatat beberapa karya tafsir yang beredar pada abad 20. Karya-karya tafsir yang disebutkannya sebagian besar telah disebutkan oleh Federspiel. Seperti Tafsir Qur’an Karim-nya Mahmud Yunus, Al-Furqon Tafsir Qur’an-nya A. Hassan, dan lain-lain. Dalam artikelnya tersebut,

A. Musaddad, Mukhyar Yahya, A. Soenaryo, Ali Maksum, Musyairi Majdi, Sanusi Latif, dan Abdur Rahim. Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia, h. 106.

16 Kategorisasi Federspiel memang bermanfaat dalam rangka melihat dinamika penulisan tafsir di Indonesia. Namun dari segi tahun pemilahannya itu tampak kacau. Ia memasukan tiga karya tafsir yang menurutnya representatif untuk mewakili generasi kedua. Padahal karya itu telah muncul pada pertengahan dan akhir tahun 1950-an, yang dalam kotegorisasinya masuk dalam generasi pertama. Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia:dari Hermeneutika hingga Ideologi (Teraju: Bandung, 2003), h. 65.

17 Howard M. Federspiel,

Kajian al-Quran di Indonesia, h. 129 dan 137. Untuk melihat literature-literatur yang diteliti Federspiel selain karya-karya di atas, bidik halaman 162-164, 224 dan 260.


(19)

Yusuf membedakan masing-masing karya tafsir dari sisi metode penafsiran, tehnik penafsiran, dan aliran penafsirannya. Di akhir artikel Yusuf menyimpulkan bahwa sebagian besar karya tafsir yang ia teliti ternyata masih beraliran tradisional.18

Islah Gusmian, untuk penelitian tesisnya, mengumpulkan dan mencatat 24 karya tafsir dalam periode 1990-an. Karya-karya itu di antaranya: [1] Konsep Kufur dalam al-Quran, Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematis

(Jakarta: Bulan Bintang, 1991) karya Harifuddin Cawidu, [2] Konsep Perbuatan Manusia Menurut al-Quran, Suatu Kajian Tafsir Tematis (Jakarta: Bulan Bintang,

1992) karya Jalaluddin Rakhmat, [3] Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Quran (Yogyakarta: LESFI, 1992) karya Musa Asy’ari, dan lain-lain.19 Dalam

penelitiannya tersebut, Gusmian melihat ada keragaman dari sisi teknis penulisan tafsir dan metodologi yang digunakan. Menurutnya, itu merupakan fenomena yang memperlihatkan adanya tren baru dalam sejarah penulisan tafsir pada dasawarsa 1990-an.

M. Affifuddin, untuk penelitian skrisinya, mencata sekitar 26 kitab tafsir yang berkonsentrasi hanya pada surat al-Fatihah. Misalnya, [1] Kandungan Surat al-Fatihah: Tinjauan dari Sudut Kebudayaan, Agama, Politik, dan Sastra karya

Bahrum Rangkuti, [2] Rahasia Ummul al-Quran atau Tafsir Surat al-Fatihah

karya A. Bahri, [3] Samudera al-Fatihah, Mahkota Tuntunan Ilahi: Pesona al-Fatihah karya M. Quraish Shihab, [4] Tafsir Sufi al-Fatihah: Mukadimah karya

18 Selengkapnya bidik M. Yunan Yusuf, “Karakteristik Tafsir al-Quran di Indonesia Abad Keduapuluh.” Jurnal Ulumul Quran 3, No. 4 (1992), h. 50.


(20)

Jalaluddin Rakhmat; [5] dan Alfatihah: Membuka Mata Batin dengan Surah Pembuka karya Ahmad Chodjim.20

Karya-karya tafsir yang dicatat Howard. M. Federspiel, Yunan Yusuf, Islah Gusmian, dan M. Affifuddin jangan lantas dikumulasikan dan segitulah jumlahnya. Sebab, ada beberapa karya tafsir yang dicatat oleh lebih dari satu orang. Seperti Tafsir Sufi Surat al-Fatihah karya Jalaluddin Rakhmat, yang tidak

hanya dicatat oleh Islah Gusmian tapi juga dicatat oleh M. Affifuddin.

Dari sekian banyak karya tafsir yang diproduksi sarjana Muslim Indonesia, sayangnya masih sedikit yang dijadikan objek kajian penelitian ilmiah dalam bentuk skripsi oleh mahasiswa Tafsir Hadis UIN Jakarta, khususnya pembahasan tentang analisis metodologi karya tafsir. Data yang penulis peroleh dari katalog digital skripsi di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Jakarta, ada sekitar 231 judul skripsi21 yang membahas tentang tafsir.22 Dari 231 judul skripsi, penulis mencatat hanya ada 16 judul skripsi yang membahas tentang metodologi karya tafsir. Delapan judul skripsi membahas aspek metodologi tafsir karya dalam negeri23 dan 8 judul skripsi membahas aspek metodologi tafsir karya non-Indonesia.24

20 M. Affifuddin, “Apresiasi Spiritual Q.S al-Fatihah; Survei Profil Karya-karya Jalaluddin Rakhmat, Anand Krishna, dan Ahmad Chodjim,” (Skripsi S1, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004), h. 40. Bidik juga Izza Rohman Nahrowi, “Karakter Kajian al-Quran di Indonesia” (Skripsi S1, fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002).

21 Penulis meragukan jumlah tersebut. Sebab ada beberapa judul skripsi yang tertulis lebih dari satu kali. Di samping itu, jumlah tersebut tidak melulu berasal dari skripsi mahasiswa Tafsir hadis.

22 Tema tafsir yang dibahas oleh mahasiswa Tafsir Hadis UIN Jakarta secara umum adalah: konsep tertentu yang ‘dicomot’ dari sebuah karya tafsir, komparasi suatu konsep tertentu dari dua karya tafsir yang berbeda, melihat suatu fenomena tertentu dengan merujuk kepada sebuah karya tafsir, elaborasi metodologi penafsiran seorang tokoh, dan studi tokoh dengan karya tafsirnya.

23 [1] Tita Rodhiyatan Mardhiyyah ”Metodologi Tafsir Yayasan Al-Mu’min; Telaah Metode Mawdhû’î dan Corak Isyârî dalam Buku ’Kabar Gemberi dan Peringatan tentang Penyembahan Kita kepada Allah SWT,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas


(21)

Untuk menyemarakan studi analisis metodologi karya tafsir, penulis ingin berpartisipasi dalam pembahasan tersebut terutama karya tafsir yang ditulis sarjana Muslim Indonesia. Karya tafsir yang akan penulis telaah dalam penelitian ini adalah tafsir Alfatihah yang ditulis Achmad Chodjim.25

Karya tafsir yang diterbitkan Serambi pada Maret 2008 itu adalah karya national bestseller dengan tebal 357 halaman.26 Dalam pembukaan karya

tafsirnya, Chodjim menulis27:

”Surah ini dibaca untuk membuka mata batin kita. Dengan memahami dan menghayati surah ini diharapkan akan terbuka mata hati agar kita menyadari kandungan Kitab Allah, baik Kitab-kitab-Nya yang tertulis maupun yang tidak

Islam Negeri Jakarta, 2008). [2] Rifka Rahma Wardani ”Tafsir Tematik al-Quran tentang Hubungan Sosial Antar-umat Beragama karya Majlis Tarjih P.P. Muhammadiyah: Sebuah Telaah Analitis tentang Metodologi Penafsiran al-Quran”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006). [3] Abd. Gofur ”Metode dan Corak Tafsir al-Hijri: Kajian Analitis Karya Didin Hafiduddin”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006). [4] Hernizal Saidi Harahap ”Studi Kritis Metodologi Tafsir Rahmat”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004). [5] Mahnawil ”Tafsir al-Furqan karya Ahmad Hassan: Analisa Kritis”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006). [6] Ahmad Zaeni ”Mengenal Tafsir Tarjuman al-Mustafid karya Abd al-Rauf Singkel: Analisis terhadap Sumber, Metode, dan Corak Tafsir”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008). [7] Cucu Surahman ”Pola Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah (Pola Penafsiran Surah al-Baqarah)”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003). [8] Rena Yuniar, Analisa Metodologi Tafsir Pasé: Kajian Surah al-Fatihah dan Surah-surah dalam Juz 'Amma: Paradigma Baru (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin & Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005).

24 [1] Liza Khadijah “Metode dan Corak Penafsiran al-Quran dalam Tafsir

Ad-Durr al-Mansur fi al-Tafsir al-Ma'tsur karya Jalaluddin Suyuti”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002). [2] Syahrullah Iskandar “Manhaj Fakhruddin Arozi fi Tafsir al-Fatihah: Dirasat Tahliliyah li Tafsir Mafatih al-Ghaib”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003). [3] Achmad Rizal “Pemikiran Ibn Taimiyah dalam Tafsir: Telaah Kritis terhadap Metode Tafsir al-Kabir”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2005). [4] Yusuf Iskandar “Tafsir Ayat al-Ahkam: Studi Atas Metode Tafsir Ayat al-Ahkam karya al-Shabuni”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002). [5] Lalu M. Iqbal “Metodologi Penafsiran al-Quran Mutawalli Sya’rawi dalam Tafsir al-Sya’rawi”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006). [6] Ihat Malihatun ”Metode Penafsiran Fakhruddin ar-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004). [8] M. Rizal “Metode Penafsiran Abdurrahman al-Sa’di dalam Kitab Taysir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2005).

25 Ahmad Chodjim,

Alfatihah; Membuka Mata Batin Dengan Surah Pembuka [edisi baru] (Jakarta: Serambi, 2008).

26 Buku ini pertama kali cetak pada Februari 2002. Saat itu, buku ini berjudul

Jalan Pencerahan; Menyelami Kandungan Samudra al-Fatihah.


(22)

tertulis, yaitu kitab yang terbentang di semesta alam, termasuk kitab yang ada dalam diri kita”.

Sebagai gambaran umum Alfatihah, Chodjim menafsirkan ayat per ayat

secara berurutan.28 Mulai dari Basmalah, Segala Puji Kepunyaan Allah, Dia Maha Pemurah, Raja Hari al-Din, Ibadah dan Pertolongan, Jalan yang Lurus, Kenikmatan Surgawi, Orang yang Dimurkai, dan terakhir Amin. Masing-masing ayat tadi terpisah penafsirannya bab per bab.

Di kata pengantar karya ini Chodjim dengan bahasa diplomatis menulis bahwa karyanya itu bukan karya tafsir. Menurutnya, secara kapasitas dia tidak memiliki otoritas untuk menyatakan dirinya sebagai ahli tafsir.29 Tengok saja latar belakang pendidikan formalnya. Pada 1987 ia meraih gelar sarjana pertanian (agronomi) dari Institut Pertanian Bogor. Lalu pada 1996, ia meraih gelar magister Manajemen di Sekolah Tinggi Prasetya Mulya, Jakarta.

Di Indonesia bila aktivitas penafsiran al-Quran dilakukan oleh seseorang yang secara keilmuan dianggap tidak mempunyai kapasitas untuk melakukan penafsiran selalu dipersoalkan. Sebut saja usaha yang dilakukan HB. Jassin dengan karyanya Bacaan Mulia30 dan Dawan Rahardjo dengan Ensiklopedi A-Qur’an di jurnal Ulumul Qur’an.31 Begitupun yang dialami Achmad Chodjim.

Dalam sebuah forum diskusi di IAIN Jakarta pada 2000, Salman Harun, mantan Dekan fakultas Tarbiyah dan Ilmu Pendidikan UIN, Jakarta, dengan tegas berkata

28 Lihat daftar isi buku

Alfatihah; Membuka Mata Batin, h. 7.

29 Ahmad Chodjim,

Alfatihah; Membuka Mata Batin, h. 11.

30 Untuk mengetahui sosok HB. Jasin bidik ‘suplemen’, Ulumul Quran 5, vol. IV (1993), h. 62. Lalu untuk melihat ‘dosa kedua’ Jassin setelah Bacaan Mulia bidik D. Sirojuddin AR, “Al-Quran Berwajah Puisi: Dibenarkan Tapi Tidak Diakui.” Ulumul “Al-Quran 5, vol. IV (1993), h. 60.

31 M. Dawam Rahardjo,

Ensiklopedi al-Quran: Tafsir Sosial Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina dan Jurnal Ulumul Qur’an, 2002), h. xx. Bidik juga Nasaruddin Umar, “Refleksi Sosial dalam Memahami Qur’an: Menimbang Ensiklopedi Al-Qur’an Karya M. Dawam Rahardjo.” Jurnal Studi Al-Al-Qur’an I, No. 3 (2006), h. 487.


(23)

kepada Achmad Chodjim: ”Tafsir itu bukan wilayah Anda, sebaiknya Anda tidak masuk ke ranah tersebut”.32

Meski begitu, menurutnya, tidak seorangpun berhak mengklaim dirinya punya hak istimewa dalam menafsirkan al-Quran. Al-Quran akan membuka dirinya bagi siapapun yang ingin membaca dan memahami kandungan dalam dirinya.33

Singkat kata, ada beberapa alasan yang mendorong penulis memilih tema penelitian ini. Pertama, sarjana Muslim Indonesia tidak kalah produktifnya dalam

menghasilkan karya tafsir. Terbukti telah hadir beragam karya tafsir dari generasi awal hingga saat ini.34 Tapi ada kesenjangan antara banyaknya produk tafsir yang ditulis para sarjana Muslim Indonesia dengan sedikitnya penelitian ilmiah terhadap produk tafsir tersebut, khususnya penelitian yang dilakukan para mahasiswa Tafsir-Hadis UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Kedua, penulis Alfatihah adalah bukan orang dari lingkungan pelajar ilmu

agama dan lebih spesifik lagi Tafsir-Hadis. Tentu akan sangat menarik untuk meneliti karya yang ditulis ’orang-luar’ dari sisi metode tafsir yang digunakan dan sumber-sumber yang dirujuknya. Poin ini sekaligus menentukan apakah nantinya penulis akan sepakat dengan Salman Harun yang menyangsikan bahwa karya yang ditulis Achmad Chodjim itu adalah tafsir atau sebaliknya.

Ketiga, kebetulan Islah Gusmian, selain mencatat beberapa karya tafsir

seperti yang disebut di atas, juga membuat rumusan metodologi kajian atas karya

32 Wawancara pribadi dengan Achmad Chodjim, Senin 15 Februari 2010 di kediamannya, Pamulang.

33 Ahmad Chodjim,

Alfatihah; Membuka Mata Batin, h. 11.

34 Untuk melihat kecenderungan umum kajian tafsir di Indonesia, bidik Kusmana, “Rekontekstualisasi Tradisi Tafsir al-Quran di Indonesia; Mencari Kemungkinan Penggunaan Analisa Metodologi ‘Barat’.” Jurnal refleksi 4, No. 3 (2002), h. 63.


(24)

tafsir. Rumusan ini akan sangat mubazir kalau tidak dimanfaatkan untuk meneropong karya tafsir yang ditulis oleh sarjana Muslim, khususnya dari Indonesia.

Akhirnya untuk mengisi kelangkaan tersebut, penulis memberanikan diri melakukan penelitian tafsir Alfatihah yang ditulis Achmad Chodjim terutama dari

sisi metodologinya. Dengan mengucap bismillah sambil berharap kepada-Nya

agar selalu diberi kemudahan, penulis berniat mengajukan penelitian dalam bingkai skripsi dengan judul: ”Analisis Metodologi Tafsir Alfatihah karya Achmad Chodjim; Aplikasi Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa fokus penelitian ini adalah pada metodologinya, yakni bagaimana melihat tafsir Alfatihah karya

Achmad Chodjim dari sisi metodologinya. Untuk menopang fokus penelitian tersebut, penulis menggunakan rumusan metodologi kajian atas beberapa karya tafsir yang dibuat Islah Gusmian.

Ada pertimbangan tersendiri mengapa penulis memilih rumusan Islah Gusmian. Pertama, sependek pengetahuan penulis, rumusan Islah Gusmian

adalah rumusan mutakhir yang dibuat untuk menganalisa metodologi sebuh karya tafsir, khususnya tafsir dalam negeri.35

Kedua, Rumusan yang disusun Islah Gusmian lebih detail dibanding

rumusan yang lain. Rumusan Farmawi, misalnya, (tahlîlî, ijmâlî, muqarân, dan maudû’î)—yang sering dikutip mahasiswa Tafsir Hadis UIN Jakarta baik dalam

35 Bidik bab III halaman 31 untuk melihat perkembangan perumusan metodologi kajian karya tafsir oleh para perumus dari dalam negeri.


(25)

makalah maupun skripsi—tidak menjelaskan secara rinci hal-hal menarik yang terdapat dalam sebuah karya tafsir. Seperti bentuk penulisan tafsir, gaya bahasa yang digunakan, atau asal-usul tafsir.

Ketiga, Rumusan Farmawi harus diakui memang lebih maju dari rumusan

ulama abad ke-9 sampai abad 13 H yang membagi metodologi tafsir dalam tiga kelompok al-Tafsir bi al-Ma’tsûr, al-Tafsir bi al-Ra’yî, dan al-Tafsir bi al-Isyârî.

Tapi rumusan yang dibuat Farmawi tidak memberikan pemetaan yang tegas antara wilayah metode dan pendekatan tafsir serta teknis penulisan tafsir.36

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Bagaimana metodologi tafsir Alfatihah Achmad Chodjim bila dilihat berdasarkan rumusan

metodologi kajian tafsir Islah Gusmian?

C. Metodologi Penelitian

1. Metode pengumpulan data

Dalam mengkaji metodologi tafsir Alfatihah, penulis menggunakan

metode pengumpulan data yaitu library research (penelitian kepustakaan) dan field research (penelitian lapangan). Penelitian pertama digunakan untuk

melakukan studi terhadap buku-buku yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini, baik itu sumber-sumber primer atau skunder. Sedangkan penelitian kedua digunakan untuk mewawancarai pihak-pihak yang terkait dengan studi ini.

a. Penelitian Kepustakaan


(26)

Rujukan utama pembahasan ini ialah Alfatihah; Membuka Mata Batin dengan Surah Pembuka (Jakarta, Serambi, 2008), [edisi baru] karya Achmad

Chodjim dan Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi

(Bandung: Teraju, 2003) karya Islah Gusmian.

Data sekunder dieksplorasi kala data-data mengenai persoalan tertentu tidak tersedia dalam sumber-sumber primer. Sumber sekunder adalah buku-buku, artikel jurnal dan koran, baik yang tercetak maupun yang elektronik yang tidak secara langsung membahas tentang studi ini namun masih berkaitan.

b. Penelitian Lapangan

Untuk lebih mendalami lagi penelitian ini, penulis akan mewawancarai penulis Alfatihah. Wawancara akan berguna untuk mengungkap hal-hal yang

tidak disebutkan secara eksplisit tapi masih relevan untuk penelitian ini. 2. Metode Pembahasan

Untuk mengkaji metodologi tafsir Alfatihah dalam penelitian ini, penulis

mengikuti rumusan yang disusun Islah Gusmian.37 Dalam hal ini, ada dua variabel penting yang perlu didedah. Pertama, variabel teknis penulisan tafsir. Variabel

teknis ini menyangkut sistematika dan bentuk tekstual literatut tafsit ditulis dan disajikan, gaya bahasa yang digunakan, sifat penafsir, serta buku-buku rujukan yang digunakan.

Kedua, menyangkut aspek ’dalam’, yaitu konstruksi hermeneutik karya

tafsir. Aspek hermeneutik ini tidak hanya terbatas pada variabel linguistik dan

riwâyah, tapi juga mempertimbangkan unsur triadik: teks, penafsir, dan audiens

sebagai sasaran teks. Dalam aspek hermeneutik ini, arah kajian bergerak pada tiga


(27)

wilayah. (1) metode penafsiran, yakni tata kerja analisa yang digunakan dalam penafsiran yang terdiri dari: metode riwayat, metode pemikiran, dan metode interteks. (2) nuansa penafsiran, yaitu analisa yang menjadi nuansa atau

mainstrem yang terdapat dalam karya tafsir. Misalnya nuansa fikih, sufi, dan lain

sebagainya. (3) pendekatan tafsir, yaitu arah gerak yang dipakai dalam penafsiran. Dalam bagian ini terdiri dari: (a) pendekatan tekstual bergerak dari proses penafsiran cenderung berpusat pada teks. Sifatnya ke bawah: dari refleksi (teks)

ke praksis (konteks). (b) pendekatan kontekstual, yaitu arah gerak penafsiran yang lebih berpusat pada konteks sosio-historis di mana penafsir hidup dan berada, sifatnya cenderung ke atas: dari praksis (konteks) ke refleksi (teks).

3. Metode Penulisan

Untuk penulisan skripsi ini, penulis memakai buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” (Jakarta : CeQDA [Center for Quality Development and Assurance] Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), Cet. II.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan utama penelitian ini ialah ingin melihat metode yang digunakan Achmad Chodjim dalam tafsir Alfatihah. Penulis juga ingin mengekspolari dan

mengelaborasi ragam metodologi karya tafsir. Tujuan yang tak kalah penting ialah memenuhi syarat lulus jenjang S1 jurusan Tafsir-Hadis, fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta.

Manfaat dari penulisan skripsi ini di antaranya: Dari sisi akademis, ingin


(28)

al-Quran, khususnya metodologi Alfatihah karya Achmad Chodjim. Dari sisi praktis, ingin memberi masukan dan motivasi kepada mahasiswa Tafsir-Hadis

UIN Jakarta agar mau menggalakan kajian terhadap karya tafsir yang ditulis sarjana Muslim Indonesia sendiri.

E. Sistematika Penulisan

Secara garis besar skripsi ini terdiri dari 5 bab. BAB I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan dan pembatasan masalah, metodologi penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Pada BAB II, penulis akan menjelaskan pengertian metodologi tafsir. Lalu menjelajahi sejarah tafsir dan memetakan ragam metodologi tafsir dalam karya-karya tafsir dengan mengutip beberapa pengamat karya-karya tafsir.

Pada BAB III, penulis berusaha menampilkan sosok Achmad Chodjim lebih dekat, baik dari sisi riwayat hidup dan karya-karya intelektual yang pernah ditulisnya. Selain itu, penulis juga memaparkan konteks sosial Alfatihah, masa

penulisan dan penerbitannya, serta modal penafsiran yang dipunyai Achmad Chodjim.

Pada BAB IV, penulis akan fokus menyoroti metodologi tafsir Alfatihah.

Untuk itu penulis menggunakan rumusan Islah Gusmian, yaitu membidik

Alfatihah dari aspek luar (teknis penulisan) dan aspek dalamnya (hermeneutis).

Lalu beberapa catatan kritis terhadap Alfatihah.

BAB V adalah bab terakhir dan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.


(29)

BAB II

METODOLOGI TAFSIR AL-QURAN

A. Pengertian Metodologi Tafsir

Untuk memperjelas apa yang dimaksud dengan metodologi tafsir, perlu kiranya dikemukakan terlebih dahulu pengertian semantik dari istilah yang digunakan: metodologi dan tafsir.

Dalam kamus Random House Webster’s College Dictionary,1 metodologi adalah (1) a set or system of methods, principles, and rules in a given discipline. (2) a branch of pedagogics dealing with analysis of subject to be taught and of the method of teaching them.

Menurut The New Lexicon Webster’s Dictionary of English Language2 metodologi adalah (1) a branch of philosophy dealing with the sciense of method or procedure. (2) a system of method and rules applied in a sciense.

Lorens Bagus3 menulis bahwa metodologi berasal dari bahasa Yunani

methodos, yang diambil dari bahasa Latin: methodus yang terambil dari kata meta

(setelah, mengikuti) dan hodos (jalan). Sedangkan logos berarti kata, ujaran, rasio, dan ilmu. Ada lima pengertian dari metodologi yang ditulis Lorens Bagus: (1) Studi mengenai metode-metode [prosedur, prinsip] yang digunakan dalam dispilin

1

Random House Webster’s College Dictionary (New York: Random House, 1999), h. 776. Sedangkan metode adalah procedure, technique, or planned of way doing something; order or system in doing anything; dan orderly or systematic arrangement, sequence, or the like.

2

The New Lexicon Webster’s Dictionary of English Language, vol. I (Danbury, CT: Lexicon Publications, INC., 2004), h. 628. Sedangkan metode adalah a way of doing something; a procedure for doing something; orderliness in doing, planning, etc.

3

Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta:Gramedi, 1996), h. 648-649. Sedangkan metode, Bagus mengartikannya sebagai jalan atau cara totalitas yang ingin dicapai atau dibangun; cara yang didefinisikan secara jelas dan sistematis untuk mencapai suatu tujuan. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, h. 644.


(30)

tertentu. Atau studi tentang metode [prosedur, prinsip] yang digunakan untuk menata ilmu yang teratur tersebut. (2) Prinsip-prinsip dari sistem teratur itu sendiri. (3) Cabang logika yang merumuskan dan/atau menganalisa prinsip-prinsip yang diperlukan dalam mengambil kesimpulan-kesimpulan logis dan membentuk konsep-konsep. (4) Prosedur-prosedur yang digunakan dalam suatu disiplin yang memungkinkan diperoleh pengetahuan. (5) kumpulan cara penelitian yang digunakan dalam ilmu tertentu.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan metodologi sebagai ilmu tentang metode atau uraian tentang metode. Sedangkan metode adalah cara yang teratur dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan lain sebagainya) atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.4 Dalam bahasa Arab5, metodologi diterjemahkan dengan manhaj atau minhâj yang berarti jalan yang terang.6

Adapun kata tafsir atau al-tafsîr adalah bentuk masdar (kata benda abstrak) dari kata fassara-yufassiru-tafsîran. Kata ini, dalam ilmu sorf berwazan (timbangan) kata taf’il. Kata ini sudah dipakai sejak abad kelima H/kesebelas M.7

4

Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 652-653.

5

Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman (Jakarta dan Jambi: Gaung Persada Press dan Sulthan Taha Press, 2007), h. 39.

6

Seperti yang tertulis dalam surat al-Maidah (5) ayat 48:

“….Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang….”. Departemen Agama RI, Al-Qurandan Terjemahan (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2008), h. 116.

7

Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, terjemahan Watung A. Budiman (Bandung: Mizan, 2000), h. 94. Istilah paling awal untuk menunjukan usaha interpretasi tampaknya adalah ma’âni (harfiahnya, ‘pemaknaan’). Istilah ini sendiri signifikan dengan asumsi pluralisnya yang implisit. Istilah ini, juga tafsir, dipakai pula untuk penerjemahan Arab dan Yunani atas karya-karya Aristoles, termasuk penjelasan lirik-lirik puisi pra-Islam. Goldfield, seperti yang dikutip Farid Esack, memperlihatkan bagaimana tata nama


(31)

Secara etimologis, tafsir8 berarti memperlihatkan makna yang masuk akal dan membuka (izhâr al-ma’na al-ma’qûl wa al-kasyf) atau menerangkan dan menjelaskan (al-idah waal-tabyin).9 Keterangan dan penjelasan itu pada lazimnya dibutuhkan bilamana ada ungkapan atau penyataan yang dirasa belum atau tidak jelas.10

Menurut al-Zarkasyi, kata tafsir berasal dari kata al-tafsirah yang berarti sedikit air seni dari seorang pasien yang digunakan dokter untuk menganalisa penyakitnya. Kalau tafsîrat adalah metode kedokteran yang dapat mengungkap suatu penyakit dari diri seorang pasien, maka tafsîr dapat mengeluarkan makna yang tersimpan dalam kandungan lafal-lafal atau ayat-ayat al-Quran. Dengan demikian, tafsir adalah ilmu untuk mengetahui pemahaman Kitabullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad dengan menjelaskan makna-makna dan mengeluarkan hukum-hukum serta hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya.11

Dari tinjauan makna secara bahasa di atas, setiap ulama memunyai rumusan tersendiri dalam mengartikan kata tafsir secara istilah. Al-Jurjani menyatakan bahwa tafsir adalah menjelaskan makna ayat-ayat al-Quran, baik dari konsep-konsep dalam interpreatsi ini menunjukan keakraban yang lebih besar daripada beberapa dekade sebelum wafatnya Nabi pada 632. Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, h. 115.

8

Dalam al-Quran, kata tafsir disebutkan hanya sekali. Yaitu pada surat al-Furqon (25) ayat 33.

ﻻوﻚ ْﻮﺗْﺄ ﺜﻤﺑﱠﻻإﻚ ْﺄﺟﱢﻖ ْﺎﺑ ﺴْ أواًﺮْﺴْﻔﺗ

“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” Departemen Agama RI, Al-Qurandan Terjemahan (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2008), h. 363.

9

Mannâ' Khalîl al-Qaththân, Mabâhis fî 'Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Mu`assasah ar-Risâlah, 1405 H/1985 M), h. 323.

10

Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Akidah dan Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 85.

11

Al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qurân (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, 1972), jilid II, h. 3.


(32)

segi segala persoalan, kisahnya maupun dari segi asbab al-Nuzul-nya dengan lafal (penjelasan) yang dapat menunjuk makna secara terang.12 Menurut Abd al-’Azhim al-Zarqani, tafsir adalah ilmu yang membahas al-Quran dari segi pengertian-pengertiannya sesuai dengan yang dikehendaki Allah dan kesanggupan manusia biasa.13

Menurut as-Suyuthi, tafsir adalah ilmu mengenai turunnya ayat-ayat dan hal ihwalnya, cerita-cerita–sebab turunnya, tertib Makiyah–Madaniyah-nya,

muhkâm–mutasyâbihât-nya, nâsikh–mansûkh-nya, khusus–umumnya, muthlaq

-muqayyad-nya, mujmal-mufashshal-nya, halal–haramnya, janji-ancamannya, perintah-larangannya, dan mengenai ungkapan-ungkapan dan perumpamaan-perumpamaannya.14

Berdasarkan pengertian tafsir yang dibuat ulama di atas, dapat diartikan sebuah kesimpulan bahwa tafsir sebagai suatu hasil pemahaman manusia terhadap al-Quran yang dilakukan dengan menggunakan metode atau pendekatan tertentu yang dipilih oleh seorang mufasir. Tujuannya untuk memperjelas suatu makna teks ayat-ayat al-Quran. Bila seorang mufasir menggunakan metode dan pendekatan filsafat, maka tafsir yang dihasilkan bercorak filosofis. Bila seorang mufasir menggunakan metode atau pendekatan fikih, maka tafsirannya kental dengan nuansa fikih. Begitu seterusnya.15

12

Al-Jurjani, Kitâb al-Ta’rifat (Beirut: Maktabah Lubnan, Sahatu Riyad al-Suhl, 1965), h. 65.

13

Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qurân (Mesir: Isa Babi al-Halabi, t.th.), jilid II, h. 3.

14

Jalâl ad-Dîn as-Suyûthî asy-Syâfi'î, Al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Dâr al-Fikr, 1399 H/1979 M), Jilid II, h. 174.

15

Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir: dari Periode Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), h. 2.


(33)

Dus, metodologi tafsir16 adalah ilmu atau uraian tentang cara kerja sistematis untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan menafsir. Atau kajian di sekitar metode-metode tafsir yang berkembang.17 Atau pengetahuan mengenai cara yang ditempuh dalam menelaah, membahas, dan merefleksikan kandungan al-Qur`an secara apresiatif berdasarkan kerangka konseptual tertentu sehingga menghasilkan suatu karya tafsir yang representatif.18

Nashruddin Baidan mengartikan metodologi tafsir sebagai pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran al-Quran. Dia juga membedakan antara metode tafsir: cara-cara menafsirkan al-Quran dan metodologi tafsir. Sebagai contoh, pembahasan teoritis dan ilmiah mengenai metode muqârin (perbandingan) disebut analisis metodologis. Sedangkan jika pembahasan itu berkaitan dengan cara menerapkan metode itu terhadap ayat-ayat disebut pembahasan metodik.19

B. Sejarah Perkembangan Tafsir

Tafsir merupakan praktek alamiah, yakni praktek yang telah berjalan sejak Nabi menerangkan dan mengajarkan makna teks Kitab Suci yang diterimanya kepada para pengikutnya. Inilah yang disebut tafsỉr al-Nabiy (penafsiran Nabi). Pada masa ini karya-karya tafsir yang tertulis belum hadir. Penafsiran Nabi sendiri

16

Dalam studi teks al-Quran, selain mengenal kata tafsir kalangan sarjana Muslim juga mengenal kata ta’wil. Oleh para sarjana al-Quran, ta’wil diberi bobot lebih dari kata tafsir. Artinya, kalau tafsir hanya menjelaskan bagian luar dari al-Quran, maka ta’wil merujuk pada penjelasan makna-dalam dan tersembunyi dari al-Quran. Untuk melihat perbedaan di antara keduanya secara panjang lebar rujuk Nasr Hamid Abu-Zayd, Kritik Wacana Agama, penerjemah Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 116; al-Qaththân, Mabâhist, h. 324.

17

Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir: dari Periode Klasik, h. 41.

18

Samsul Bahri, Konsep-konsep Dasar Metodologi Tafsir dalam Abd. Mu'in Salim (ed.), Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 38.

19

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 3.


(34)

hanya dapat ditelusuri lewat karya-karya tentang hadis yang dikumpulkan para pengumpul hadis atas dasar riwayat-riwayat yang sampai kepada mereka.20

Setelah Beliau wafat, para sahabat baru mulai menafsirkan al-Quran dan mengajarkan pemahaman mereka atas al-Quran kepada Muslim yang lain. Sumber utama penafsiran sahabat adalah pernyataan al-Quran yang memunyai relevansi yang sama dengan pernyataan al-Quran lain yang sedang dibahas dan ditafsirkan (tafsỉr al-Quran bi al-Quran). Sumber kedua adalah bacaan (qira’ah) al-Quran. Misalnya, bacaan ibn Mas’ud yang berbunyi ”atau hingga kamu memunyai rumah dari emas (dzahab)” memperjelas maksud dari bacaan yang resmi yang berbunyi ”sebuah rumah dari zukhruf.” Dan sumber yang terakhir adalah hadis.21 Dari pernyataan al-Quran tersebut (lihat catatan kaki sebelumnya) jelas bahwa menjelaskan dan menafsirkan al-Quran merupakan satu di antara sekian tugas kenabian Muhammad. Tidak heran jika pada periode ini, karya tafsir masih bercampur baur dengan karya-karya tentang hadis dan sirah.22

Dengan berlalunya waktu dan banyak mufasir dari kalangan sahabat yang meninggal, sementara ayat-ayat al-Quran belum tuntas dijelaskan, maka para pengikut sahabat mulai melanjutkan bidang ini. Ada tiga aliran tafsir yang utama yang dikembangkan oleh para tabi’in. (1) Aliran Mekkah dengan ibn ’Abbas sebagai pakarnya. Murid-murid dari aliran ini: Sa’id al-Jubayr [w. Sekitar 712

20

Ihsan Ali-Fauzi, Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibiliografis, h. 13.

21

Dalam al-Quran 16: 44 dikatakan:

“…. Dan telah Kami turunkan adz-dzikr (al-Quran) kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang teah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.” Departemen Agama RI, Al-Qurandan Terjemahan (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2008), h. 272.

22


(35)

atau 713 M], Mujahid ibn Jabr al-Makki [w. 722], ’Ikrimah [w. 723], Thawus ibn Kaysan al-Yamani [w. 722], dan ’Atha ibn Abi Rabbah [w.732].

(2) Aliran Irak mendaku ibn Mas’ud sebagai imamnya. Murid-muridnya antara lain: ’Alqama ibn Qays [w. 720], al-Aswad ibn Yazid [w. 694], Masruq ibn Ajda’ [w. 682], Mara Hamadani [w. 695], ’Amir Sya’bi [w. 723], al-Hasan al-Bisri [w. 738], Qatada al-Sadusi [w. 735], dan Ibrahim al-Nakha’i [w. 713]. (3) Aliran Madinah yang juga sebagai pusat kekhalifan Islam. Yang paling terkemuka di sini adalah Ubayy ibn Ka’b. Murid-muridnya antara lain: Abu al-’Aliya [w. 708], Muhammad ibn Ka’b al-Qarzi [w. 735], Zayd ibn Aslam [w. 747], ’Abd al-Rahman ibn Zayd, dan Malik ibn Anas.23

Abdul Mustaqim mencatat ada dua faktor yang menyebabkan tafsir al-Quran sebagai sebuah keniscayaan. Pertama, faktor internal yang terbagi menjadi tiga variabel. (1) Kondisi objektif teks al-Quran itu sendiri yang memungkinkan untuk dibaca secara beragam. (2) Kondisi objektif dari kata-kata dalam al-Quran yang memang memungkinkan untuk ditafsirkan secara beragam. (3) Adanya ambiguitas makna dalam al-Quran dengan adanya kata-kata musytarak [bermakna ganda] seperti kata al-qur’u [dapat bermakna suci dapat pula bermakna haid].24

Kedua, faktor eksternal berupa kondisi sosial yang melingkupi sang penafsir. Bisa juga perspektif dan keahlian atau keilmuan yang ditekui sang penafsir. Lalu adanya persinggungan dunia Islam dengan peradaban-peradaban di luar Islam. Yang paling signifikan, menurut Abdul Mustaqim adalah yang berkaitan dengan faktor politik dan teologis.25

23

Ihsan Ali-Fauzi, Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibiliografis, h. 14.

24

Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir, h. 8-12.

25


(36)

C. Pemetaan Metodologi Tafsir

Dalam kata pengantar buku Islah Gusmian, Amin Abdullah mengutip pendapat Alford T. Welc yang membagi studi al-Quran pada tiga bidang. (1)

exegesis atau studi teks al-Quran itu sendiri, (2) sejarah interpretasinya, dan (3) peran al-Quran dalam kehidupan dan pemikiran umat Islam. Menurut Amin Abdullah, studi pada permasalahan yang kedua dan ketiga tampaknya masih begitu langka dalam tradisi keilmuan yang berkembang di kalangan Muslim termasuk di Indonesia.26

Sedari awal penafsiran al-Quran hadir, metode-metode tertentu sudah digunakan untuk mengungkap makna teks al-Quran. Hanya saja para sarjana Muslim masa itu belum memelajari, memilah, dan memetakan metode tersebut. Kesadaran untuk memelajari, memilah, dan memetakan baru dilakukan belakangan setelah ilmu pengetahuan Islam berkembang. Itu artinya, studi tentang metodologi tafsir masih terbilang baru dalam khazanah intelektual umat Islam. Metodologi tafsir baru dijadikan sebagai objek kajian tersendiri jauh setelah tafsir berkembang pesat. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika metodologi tafsir tertinggal jauh dari kajian tafsir itu sendiri.27

Namun, menurut keterangan Abdul Mustaqim, kajian mengenai sejarah tafsir di kalangan sarjana Muslim sesungguhnya sudah lama. Tepatnya sejak as-Suyuti menulis karya Thabaqảt al-Mufassirỉn. Sayangnya tradisi ini tidak berlangsung lama dan bahkan menurun. Sejak saat itulah kajian di bidang ini diambil alih oleh sarjana Barat. Salah satu karya terbesar Barat yang bersentuhan

26

Pengantar Amin Abdullah dalam Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Jakarta: Teraju, 2003), h. 21.

27

Samsul Bahri, Konsep-konsep Dasar Metodologi Tafsir dalam Abd. Mu'in Salim (ed.), Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 37.


(37)

dengan khazanah tafsir ialah Die Rictungen der Islamichen Koranasulegung atau

Madzảhibut Tafsỉr al-Islảmiyyah karya Ignaz Goldziher.28

Para sarjana, baik sarjana Muslim maupun Islamolog, berbeda-beda dalam memetakan metode dan corak penafsiran yang berkembang. Pemetaan yang akan penulis paparkan nanti bukanlah paparan secara kronologis, yakni dimulai dari yang pertama kali melakukannya dan kemudian disusul oleh sarjana berikutnya yang melakukan hal yang sama.

John Wansbrough membagi karya-karya tafsir klasik (abad 2 H) ke dalam lima jenis. (1) Tafsir haggadic.29 Contohnya tafsir karya Muqatil ibn Sulayman [w. 767] yang belakangan diberi judul Tafsỉr al-Qurản. Tentang Q.S 2: 18930, misalnya Muqatil dalam tafsirnya mencoba memberi keterangan sedetail mungkin tentang siapa yang bertanya, mengapa ia atau mereka bertanya, apa yang ia atau mereka tanyakan, dan seterusnya.

(2) Tafsir halakich.31 Contohnya Tafsỉr Khams Mi’ah min al-Qurản karya ibn Sulayman. Tafsir ini berisi materi-materi tentang ayat legal al-Quran. Contoh yang lain Ahkam al-Quran karya Abu Bakr al-Jashshash [w. 981] dan al-Jami li Ahkam al-Quran karya Abu ’Abd Allah al-Qurthubi [w. 1272]. (3) Tafsir masoretic.32 Aktivitas dalam tafsir jenis ini terpusat pada penjelasan tentang

28

Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir, h. 19.

29

Hagaddic berasal dari kata haggadah. Dalam kamus Random House Webster’s College Dictionary, haggadic adalah a book containing the story of exodus, used at the seder service on passover. Random House Webster’s College Dictionary (New York: Random House, 1999), h. 552. Bidik juga Ihsan Ali-Fauzi, Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibiliografis, h. 15.

30

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah: ‘Itu adalah (petunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji”. Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan, h. 29.

31

halakihic berasal dari kata halakhah. Dalam kamus Random House Webster’s College Dictionary, halakhic adalah the body of Jewish law, comprising the oral law as transcribed in the Talmud and subsequet legal codes and rabbanical decisions. Random House Webster’s College Dictionary (New York: Random House, 1999), h. 553.

32

Masoretic berasal dari kata masorah. Dalam kamus Random House Webster’s College Dictionary, masoretic adalah a body of scribal note form textual guide to hebrew Old Testement,


(38)

aspek-aspek leksikon dalam ragam bacaan ayat-ayat al-Quran. Contohnya Ma’ảni al-Qurản karya al-Farra’ [w. 882], atau Fadâil al-Qurản karya Abu ‘Ubayd [w. 838]. Contoh lainnya adalah Kitab al-Wujûh wa al-Nazâir karya ibn Sulayman yang lain dan Musyâbihat al-Qurản karya Kisa’I [w. 804].

(4) Tafsir retorik. Di sini perhatian dipusatkan pada nilai sastra al-Quran. Contohnya, Majâs al-Qurản karya Abu ‘Ubaydah [w. 824] dan Ta’wîl Musykîl al-Qurản karya ibn Qutaybah [w. 889]. (5) Tafsir alegoris, yakni tafsir yang mengungkap makna simbolik al-Quran atas dukungan terdapatnya perbedaan antara makna zahir dan makna batin al-Quran. Contohnya, tafsir sufistik karya Sahl al-Tustari [w. 896].33

Daud Rahbar, seperti yang dikutip Ilham B. Saenong, mencatat sedikitnya ada empat belas macam metode dan pendekatan yang diterapkan untuk memahami ayat-ayat al-Quran sampai lima dasawarsa yang lalu. (1) Penafsiran yang didasarkan pada laporan tentang peristiwa yang menyebabkan turunnya suatu ayat. (2) Penafsiran yang bertujuan mempertanyakan otentisitas ayat-ayat tertentu dan mempermasalahkan penambahan dan keragaman teks. (3) Penafsiran melalui frase dari ayat tertentu secara parsial dan lepas kontek. (4) Penafsiran atas ayat atau frase yang disesuaikan dengan pandangan seseorang tentang semangat umum al-Quran. (5) Penafsiran yang menganggap bahasa dari ayat tertentu berbahasa alegoris. (6) Penafsiran esoterik dengan memercayai keseluruhan teks al-Quran bercorak metaforis.

compiled form the 7 th to 10th centuries AD . Random House Webster’s College Dictionary (New York: Random House, 1999), h. 552.

33

John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretastion (London: Oxford University, 1977), h. 119.


(39)

(7) Penafsiran atas dasar pemiliahan antara ayat-ayat yang pasti maknanya (muhkam) dan yang ambigu (mutasyâbih). (8) Penjelasan dengan menghubungkan struktur gramatikal dengan makna yang dimaksud. (9) Penjelasan dengan mempersoalkan segi etimologis. (10) Uraian dengan mengemukakan persoalan

nâsikh-mansûkh. (11) Penjelasan melalui hubungan semantis dan keterputusan antara satu ayat dengan yang lain yang berdampingan (taqâthu’-tanâsub). (12) Mempersoalkan gaya bahasa al-Quran. (13) Memilih-milih ayat-ayat tertentu secara arbitrer dalam penafsiran. (14) Dan penafsiran yang menggunakan frase-frase teks sebagai titik tolak pemikiran bebas.34

Muhammad Husein al-Dzahabi, seperti yang dikutip Very Verdiansyah, membagi kategori tafsir berdasarkan kronologi waktunya. (1) Tafsir pada masa Nabi dan sahabat. Ciri umum tafsir model ini: tidak menafsirkan seluruh al-Quran; tidak banyak perbedaan pendapat dalam penafsiran; penafsirannya bersifat ijmali; cenderung hanya menafsirkan dari aspek bahasa; jarang melakukan istinbat hukum secara ilmiah terhadap ayat-ayat yang ditafsirkan; tidak bersifat sektarian; belum terkodifikasi secara utuh; banyak menggunakan riwayat yang disampaikan secara lisan; cenderung bersifat mitis, penafsiran cenderung diterima begitu saja tanpa kritik.

(2) Tafsir masa tabi’in. Ciri umumnya: tafsir pada masa tabi’in belum dikodifikasikan secara tersendiri; tradisi tafsir masih bersifat hapalan dan periwayatan; tafsir sudah dimasuki riwayat-riwayat Israiliyyat; sudah muncul benih-benih perbedaan mazhab dalam penafsirannya; sudah banyak perbedaan pendapat antara penafsiran para tabi’in dan para sahabat. (3) Tafsir pada masa

34

Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Quran Menurut Hasan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002), h. 49.


(40)

kodifikasi. Tafsir model ini diperkirakan muncul pada pemerintahan Bani Umayyah, awal pemerintahan Abbasiyah. Pada masa ini tafsir sudah dibukukan dan berkembang pula tafsir dengan berbagai corak dan mazhabnya.35

Amina Wadud Muhsin membagi tafsir al-Quran dari perspektif gerakan feminisme dalam beberapa kelompok. (1) Tafsir tradisional, tafsir yang menggunakan pokok bahasan tertentu sesuai dengan minat dan kemampuan penafsirnya, seperti hukum, nahwu dan lain-lain. (2) Tafsir reaktif, tafsir yang berisi reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah hambatan yang dialami perempuan yang dianggap berasal dari al-Quran. (3) Tafsir holistik, tafsir yang menggunakan seluruh metode penafsiran dan mengaitkan dengan berbagai persoalan sosial, moral ekonomi, politik, isu perempuan yang muncul di era modern.36

Al-Farmawi membagi empat bentuk tafsir berdasarkan metode yang digunakan. (1) al-Tafsir al-Tahlîlî. Tafsir metode tahlîlî adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Quran dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam al-Quran Mushaf ’Ustmani. Ketika menggunakan metode ini, seorang mufasir biasanya melakukan langkah-langkah sebagai berikut. (a) Menerangkan hubungan [munâsabah] baik antara satu ayat dengan ayat yang lain atau satu surat dengan surat yang lain. (b) Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat. (c) Menganalisa kosakata dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab. (d) Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya. (e) Menerangkan unsur-unsur fashâhah,

35

Very Verdiansyah, Islam Emansipasoris: Menafsir Agama, h. 57.

36

Amina Wadud Muhsin, Al-Qur’an dan Perempuan dalam Charles Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 186-188.


(41)

bayân, dan i’jâz-nya bila dianggap perlu. (f) Menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dibahas. (g) Menerangkan makna dan maksud syara’ yang terkandung dalam ayat bersangkutan.37

Metode ini bisa dipecah lagi menjadi beberapa metode. Seperti al-Tafsỉr bi al-Ma’tsûr, al-Tafsỉr bi al-Ra’yî, al-Tafsỉr al-Fiqhi, al-Tafsỉr al-Shûfî, al-Tafsỉr al-Falsafi, al-Tafsỉral-’Ilmi, al-Tafsỉral-Adâbi al-Ijtimâ’i.

(2) al-Tafsîr al-Ijmâli. Metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan cara mengemukakan makna global. Dengan metode ini mufasir menjelaskan makna ayat-ayat al-Quran secara garis besar. Sistematikanya mengikuti urutan surat dalam al-Quran, sehingga makna-maknanya dapat saling berhubungan. Dalam menyajikan makna-makna ini mufasir menggunakan ungkapan yang diambil dari al-Quran sendiri dengan menambahkan kata-kata atau kalimat-kalimat penghubung. (3) al-Tafsîr al-Muqârin. Metode tafsir yang menggunakan cara perbandingan. Objek kajian tafsir dengan metode ini dapat dikelompokkan menjadi: (a) Perbandingan ayat al-Quran dengan ayat yang lain. (b) Perbandingan ayat al-Quran dengan hadis. (c) Perbandingan penafsiran satu mufasir dengan mufasir yang lain.

(4) al-Tafsîr al-Mawdhû’i. Metode ini memunyai dua bentuk. (a) Tafsir yang membahas satu surat al-Quran secara menyeluruh, memperkenalkan, dan menjelaskan maksud-maksud umum dan khususnya secara garis besar dengan menghubungkan ayat yang satu dengan ayat yang lain, atau antara satu satu pokok masalah dengan pokok masalah lain. Dengan metode ini suart tersebut tampak dalam bentuknya yang utuh, teratur, betul-betul cermat, teliti, dan sempurna. (b)

37

Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i, penerjemah Rosihan Anwar (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h. 23-29.


(42)

Tafsir yang menghimpun dan menyusun ayat-ayat al-Quran yang memiliki kesamaan arah dan tema, kemudian memberikan penjelasan dan mengambil kesimpulan, di bawah satu bahasa tema tertentu.

Ada beberapa langkah yang harus ditempuh dalam menyusun satu karya tafsir berdasarkan metode ini. (a) Menentukkan topik bahasan setelah menemukan batas-batasnya dan mengetahui jangkauannya dalam ayat-ayat al-Quran. (b) Menghimpun dan menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah tersebut. (c) Merangkai urutan ayat sesuai dengan masa turunnya. (d) Kajian tafsir ini merupakan kajian yang memerlukan kitab-kitab tafsir tahlîlî. (e) Menyusun pembahasan dalam satu kerangka yang sempurna. (f) Melengkapi pembahasan dengan hadis yang menyangkut masalah yang dibahas. (g) Memelajari semua ayat yang terpilih dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang sama pengertiannya. (h) Pembahasan dibagi dalam beberapa bab yang meliputi beberapa pasal, dan setiap pasal itu dibahas, kemudian ditetapkan unsur pokok yang meliputi macam-macam pembahasan yang terdapat pada bab.

Metodologi yang dirumuskan Farmawi banyak dianut oleh sarjana Muslim Indonesia dalam memetakan sebuah karya tafsir. Seperti Quraish Shihab, Komaruddin Hidayat, Harifuddin Cawidu, dan Tim Penulisan38 buku Sejarah dan Ulum al-Qur’an yang dieditori Azyumardi Azra.39 Sebenarnya ada dua nama tokoh yang mencoba merumuskan metodologi tafsir baru, yaitu Yunan Yusuf dan Nashruddin Baidan.

Yunan Yusuf, seperti yang dikutip Islah Gusmian, melihat literatur tafsir dengan ranah yang ia sebut ’karakter tafsir’, yakni sifat khas yang ada dalam

38

M. Quraish Shihab (ketua), Ahmad Sukardja, Badri Yatim, Dede Rosyada, dan Nasaruddin Umar.

39


(43)

literatur tafsir. Dalam konteks ini, ia memetakan dari tiga arah: (1) metode [misalnya: metode antar-ayat, ayat dengan hadis, ayat dengan kisah israiliyyat, (2) tehnik penyajian [misalnya: tehnik runut dan topikal], dan (3) pendekatan [misalnya: fiqhi, falsafi, shufi, dan lain-lain].

Tabel I

Karakter Tafsir Pemetaan M. Yunan Yusuf

Metode Tafsir Tehnik Penyajian

Tafsir

Pendekatan tafsir

Antar-ayat Runut Fiqhi

Ayat dengan hadis Falsafi

Ayat dengan kisah Israiliyyat

Topikal

Shufi, dan lain-lain

Adapun Nasruddin Baidan, membagi metodologi tafsirnya dalam dua bagian. Pertama, komponen eksternal yang terdiri dari dua bagian: (1) jati diri al-Quran [sejarah al-al-Quran, asbảb al-nuzủl, qirả’at, nasỉkh-mansủkh, munasabah, dan lain-lain], dan (2) kepribadian mufasir [akidah yang benar, ikhlas, netral, sadar, dan lain-lain]. Kedua, komponen internal, yaitu unsur-unsur yang terlibat langsung dalam proses penafsiran. Dalam hal ini, ada tiga unsur pembentuk: (1) metode penafsiran [global, analitis, komparatif, dan tematik], (2) corak penafsiran [shủfỉ, fiqhi, falsafi, dan lain-lain], dan (3) bentuk penafsiran [ma’tsủr dan ra’yu].


(44)

Dalam konteks kategorisasi yang dibangun Yunan, komponen internal versi Baidan menemukan relasinya, meskipun tidak sama.40

Tabel II

Konstruksi Ilmu Tafsir Nasruddin Baidan

Komponen Ekstrenal Komponen Internal Jati Diri

al-Quran

Kepribadian Mufasir

Bentuk Tafsir Metode Tafsir Corak Tafsir

Sejarah al-Quran

Akidah yang benar

Ma’tsủr Global Tasawuf

Qirả’at Ikhlas Analitis Fiqhi

Nasỉkh Netral Komparatif Falsafi

Mansủkh Sadar Kombinasi

Munasabah Sosial

Mukjizat al-Quran Dan lain-lain

Ilmu Muahibah

Ra’yu

Tematik

Kemasyarakatan dan lain-lain

Oleh Islah Gusmian beberapa pemetaan yang disusun para pemerhati kajian tafsir sebagian merupakan perkembangan baru. Namun menurutnya secara paradigmatik belum mampu memberikan pendasaran tentang suatu metode kajian atas tafsir. Itu sebabnya, menurutnya, perlu rumusan baru yang mampu menelisik unsur-unsur fundamental dari karya tafsir.41

40

Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 5.

41


(1)

Saleh, Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman (Jakarta dan Jambi: Gaung Persada Press dan Sulthan Taha Press, 2007).

Setiawan, Nur Kholis, dalam kata pengantar Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik atas nalar Tafsir Gender (Jogjakarta: Safiria Insania Press, 2004).

Shihab, M. Quraisy, Mukjizat al-Quran Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan, 2001).

__________et al., Sejarah & ‘Ulûm al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008). _____________, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002).

Sihabulmilah, A., “Stratifikasi Pembaca Teks Alquran.” Artikel diakses pada 19 Ferbuari 2010 dari http://islamlib.com/id/artikel/stratifikasi-pembaca-teks-alquran/

Sirojuddin AR, D., “al-Quran Berwajah Puisi: Dibenarkan Tapi Tidak Diakui.” Ulumul Qur’an 5, vol. IV (1993).

Suplemen, Ulumul Qur’an 5, vol. IV (1993).

Suyûthî, Jalâl ad-Dîn, Al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Dâr al-Fikr, 1399 H/1979 M), Jilid II.

Syafruddin, Didin, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, jilid IV).

_______________, Ilmu al-Quran Sebagai Sumber Pemikiran dalam Ensiklpodei Tematis Dunia Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, t.,t.), jilid IV.


(2)

93

____________, “Karakter Literatur Indonesia tentang al-Qur’an”, Studia Islamika 2, No. 2 (1995). Review buku Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia; Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, penerjemah Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996).

The New Lexicon Webster’s Dictionary of English Language, vol. I (Danbury, CT: Lexicon Publications, INC., 2004).

Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997).

Umar, Nasaruddin, “Refleksi Sosial dalam Memahami Al-Qur’an: Menimbang Ensiklopedi Qur’an Karya M. Dawam Rahardjo.” Jurnal Studi Al-Qur’an 1, No. 3 (2006).

Verdiansyah, Very, Islam Emansiaptoris: Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat [P3M] dan Ford Foundation Jakarta, 2004).

Wansbrough, John, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretastion (London: Oxford University, 1977).

Wawancara pribadi dengan Achmad Chodjim. Pamulang, Senin 15 Februari 2010. Yusuf, M. Yunan, “Karakteristik Tafsir al-Quran di Indonesia Abad Keduapuluh.”

Ulumul Quran 3, No. 4 (1992).

Zarqani, al, Abd ‘Azhim, Manâhil ‘Irfân fî ‘Ulûm Qurân (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, t.th.), jilid II.


(3)

Hasil Transkrip Wawancara Pribadi Dengan Achmad Chodjim. Pamulang, Senin, 15 Februari 2010.

Buku Alfatihah diterbitkan pertama kali pada 2002. Adakah konteks tertentu yang mendorong Anda untuk menulisnya?

Saya memahami bahwa al-Fatihah adalah surat yang paling sering dibaca umat Islam. Bagi yang aktif salat, al-Fatihah dibaca sebanyak 17 kali dalam sehari. Al-Fatihah juga dibaca pada momen-momen tertentu seperti dalam doa, pembuka pertemuan, dan tahlilan. Inilah yang mendorong saya untuk menulis tafsir al-Fatihah agar mereka yang sering membaca al-al-Fatihah tahu makna al-al-Fatihah. Memang sudah banyak yang menafsirkan al-Fatihah. Tapi karena ditafsirkan secara ortodoks, penafsirannya tidak terkait dengan realitas kekinian. Padahal al-Fatihah sering dibaca. Kalau begitu, mesti diberi sebuah penafsiran yang mengena alam pikiran yang sekarang sedang berjalan.

Apa yang Anda maksud dengan ‘alam pikiran yang sedang berjalan’?

Ketika membaca al-Fatihah itu kan ada harapan. Ada yang berharap kesembuhan, ada yang berharap keterbukan hati dan pikiran. Harapan-harapan itu kan adanya di alam pikiran. Tapi kadang-kadang tidak termanifestasikan. Jadi hampir setiap orang yang menafsirkan al-Fatihah dari ayat dan kalimatnya tidak mengalami perubahan. Yang berubah sama sekali yang ditulis oleh Amin Aziz yang berjudul Paradigma Al-Fatihah. Tapi yang ditulis Amin Aziz terlalu luas cakupannya. Singkat kata, saya ingin menafsirkan al-Fatihah secara simpel tapi poin-poinnya memberikan motivasi orang untuk melangkah dengan benar.

Berapa lama waktu yang Anda habiskan untuk menulis tafsir Alfatihah? Buku itu sudah saya tulis pada 1999 akhir dan selesai pada 2000. Cuma baru bisa diterbitkan pada Maret 2002. Saat itu saya adalah seorang staff di sebuah perusahan dan bukan seorang penulis. Makanya tidak gampang untuk menyakinkan penerbit apalagi saya bukan dari lingkungan IAIN. Inilah yang jadi bahan pertimbangan penerbit dan membuat prosesnya agak lama. Malah sebelumnya ada kekhawatiran di penerbit kalau tulisan saya itu tidak bernilai komersial. Judul awal buku saya adalah Jalan Pencerahan. Baru pada 2003 judulnya diganti seperti yang sekarang. Dan setelah diganti, penerbit kewalahan terus mencetak ulang.

Tulisan saya sempat tertahan tiga bulan di penerbit karena saat itu ada pergantian staff redaksi di tingkatan penerbit. Dan alhamdulillah tidak ada draft kedua atau ketiga.

Pada 2001 tulisan saya masuk ke Serambi lalu diterbitkan pada Maret 2002. Tapi pada 2000 tulisan saya ini sudah diterbitkan oleh Gramedia. Kepindahan ke Serambi karena pada Juli 2000, Gramedia didemo oleh FPI (Front Pembela Islam) dengan alasan Gramedia menerbitkan buku-buku agama Islam. Oleh FPI, Gramedia dianggap bukan bagian dari Islam. Kalaupun ada buku-buku agama Islam yang diterbitkan Gramedia tentu buku-buku agama Islam yang mendukung misi Gramedia yang mendukung liberalisme dan sejenisnya.


(4)

Akhirnya pihak Gramedia menghubungi saya untuk mengatakan bahwa saat itu mereka tidak bisa lagi menerbitkan buku-buku ajaran Islam. Kecuali buku-buku ajaran Islam yang digabungkan dari koran-koran Kompas. Seperti bukunya Komaruddin Hidayat. Oleh pihak Gramedia, saya disarankan untuk menerbitkan buku saya itu ke penerbit-penerbit yang jelas-jelas punya Muslim. Lalu saya pilih Serambi dengan pertimbangan buku-buku yang pernah diterbitkan Serambi dan mendapat sambutan di awal 2001.

Waktu itu Anda menulis buku itu hanya ‘iseng-iseng’?

Saya menulis buku itu sudah menggunakan sistematika penulisan tertentu. Kebetulan saya adalah seorang staff di sebuah perusahaan yang tentunya sudah terbiasa membuat laporan. Tapi tentu saja mesti ada titik temu dengan penerbit terkait tulisan tersebut. Setelah al-Fatihah selesai, maka tulisa saya yang selanjutnya seperti Annas dan al-Falaq bisa lolos dengan mudah.

Berapa eksemplar buku Anda yang sudah terjual dari hasil laporan penerbit?

Laporan dari penerbit rutin per semester. Kebetulan saya memang tidak pernah menghitung kumulatif dari buku saya itu. Normatifnya, Alfatihah sudah cetakan berapa lalu dikali 5000. Kalau sembilan berarti dikalikan limu ribu saja.

Dilihat dari latar belakang pendidikan formal, Anda tidak memelajari studi keagamaan khususnya studi tafsir. Apa yang membuat Anda berani menafsirkan al-Quran?

Meski pendidikan formal saya bukan di jalur pendidikan agama tapi waktu SMU, saya pernah belajar kepada guru tafsir dan hadis yang ada di Malang pada saat itu seminggu sekali. Dan guru-guru tersebut, bagi saya levelnya sudah level nasional. Saya belajar tafsir kepada K.H. Achmad Chair, ketua rohani Islam di Korem Angkatan Darat di Malang. Dan untuk hadis, saya belajar kepada Muhammad Bejo adalah mubalig nasional Muhammadiyah.

Dari belajar itulah saya mendapat pemahaman lebih dibanding hanya membaca terjemahan al-Quran saja. Guru tersebut juga menginformasikan kepada kami macam-macam kitab tafsir, baik yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Arab untuk kami pelajari. Ini tentu saja mendorong saya untuk mendalami bahasa Arab sebagai landasan penafsiran tapi bukan sebagai percakapan. Dalam bahasa Arab, saya juga belajar nahwu, sorf, mantiq, dan sastra.

Dari pembelajaran itu timbul permenungan tersendiri. Misalnya, kenapa ibn Katsir bobot penafsirannya hanya pada titik tertentu. Kenapa as-Suyuti lebih menitikberatkan di satu tempat. Artinya, banyak pilihan-pilihan yang disediakan ketika kita ingin menafsirkan Quran. Maka pilihan saya agar terjemahan al-Quran diberi penjelasan yang lebih kontemporer yang bisa dipahami oleh pembaca zaman sekarang.


(5)

Lalu modal apa yang Anda miliki untuk menafsirkan al-Quran, selain bahasa Arab tadi?

Saya tentu saja membaca ‘Ulûm al-Quran dari berbagai macam penulis. Lalu memahami hadis-hadis Nabi dan khitah-khitah yang ada dalam agama Islam. Saya juga membaca sirah Nabi dan para sahabat. Dengan memelajari ilmu-ilmu tadi, ketika akan menulis saya tahu tafsir ini lingkupnya akan ke mana arah penulisannya, karena saya sudah mengidentifikasi tafsir yang sudah kita baca sebelumnya. Pertanyaannya, kenapa kita tidak menulis setelah membaca banyak literatur?

Adakah ilmu lain yang Anda masukan dalam tafsir Anda tersebut?

Tentu saja. Sebab ketika kita membaca al-Quran tentu kita tidak bisa lepas dari pemahaman fisika, kimia, geologi, sosiologi, dan lain-lain.

Apa metode yang Anda gunakan untuk menafsirkan al-Quran?

Semua metode. Ketika kita ingin menafsirkan al-Quran hendaknya kita merujuk kepada ayat-ayat yang lain yang sama temanya. Lalu dalam menafsirkan al-Quran kita juga harus merujuk kepada hadis-hadis dan riwayat-riwayat sahabat yang ada yang relevan dalam pembahasan ayat tersebut. Kita juga bisa menggunakan asbab al-nuzul, meskipun tidak semua ayat ada asbab al-nuzul dan asbab al-nuzul bukan informasi yang eksak. Artinya, semua sumber bisa kita eksplor untuk menafsirkan ayat.

Tafsir saya bukan tafsir berdasarkan topik tertentu, tapi berdasarkan surat. Oleh sebab itu, dalam tafsir saya ada model tafsir berdasarkan urutan ayat dan karena di dalam surat ada berbagai tema, maka tema-tema yang ada saya bahas juga.

Kenapa Anda tidak menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang sesuai dengan latar belakang pendidikan formal Anda. Seperti ayat-ayat tentang pertanian atau tentang alam?

Kalau kita ingin menafsirkan al-Quran kita tidak boleh hanya terpaku pada latar belakang semata. Sebab nanti al-Quran tidak bisa lagi diakses oleh banyak orang. Kalau membahas tentang pertanian, berarti menafsirkan ayat-ayat yang secara maudu’i berbicara tentang pertanian. Dengan begitu kita tidak bisa lagi membahas al-Quran yang maknanya lebih luas baik ditinjau dari segi riwayat, dirayat, atau kaitan ayatnya. Lagipula, Wahyu yang diterima Nabi kan tidak spesifik.

Setidaknya bila ditopang dengan latar belakang pendidikan Anda, tafsir Anda tentang pertanian akan lebih mendalam?

Lebih mendalam tidak berarti lebih fungsional. Katakanlah, misalnya saya menulis karya tafsir yang sesuai dengan latar pendidikan formal saya atau tafsir yang fokus pada pertanian, maka pembacanya hanya terbatas pada orang yang mengerti pertanian. Padahal orang pertanian yang jenius tidak butuh tafsir al-Quran tentang pertanian.

Buat apa kita mendalami pertanian dengan membaca karya tafsir. Malah yang ada nanti kita dianggap orang melakukan justifikasi ayat terhadap ilmu pengetahuan yang ada. Contoh, ilmu pertanian yang sudah ada lalu kita konfirmasi dengan ayat


(6)

IV

al-Quran. Bukankah itu hal yang buruk. Ini sama dengan kasus penemuan ilmiah mutakhir oleh Barat lalu sebagian dari umat mengklaim bahwa al-Quran sudah mengatakan itu sebelumnya. Kecuali setelah kita membaca al-Quran kita mampu merumuskan sebuah ilmu baru, ini yang lebih baik.

Apa motivasi Anda menulis Alfatihah?

Agar kehidupan pembaca lebih baik lagi sebelumnya. Sehingga kualitas hidup mereka juga lebih baik lagi.

Adakah yang menggugat terhadap karya Anda tersebut?

Pada 2000 saya pernah diundang dalam sebuah forum di IAIN Jakarta. Saat itu Pak Salman Harun keberatan dengan apa yang saya tulis itu sebagai tafsir. Dia berkata kepada saya, “Tafsir bukan wilayah saya dan oleh sebab itu sebaiknya Anda tidak memasuki ranah itu.”

Mengetahui