Analisis Hukum Islam Terhadap Pertimbangan Hukum Formil dan Materil

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI

A. Analisis Hukum Islam Terhadap Pertimbangan Hukum Formil dan Materil

Putusan Pada bab sebelumnya sudah dijelaskan norma-norma hukum pidana Islam, namun dalam pembahasan sekarang, mencoba menganalisis pendapat Mahkamah Konstitusi baik dari formil maupun matril dari perspektif Islam. Dalam pokok permohonan pemohon mengajukan dua pengujian baik secara formil pembentukkannya maupun secara materil. Mahkamah Kostitusi dalam hal ini yang harus dipertimbangkan adalah apakah UU 2pnps1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan dilingkungan peradilan umum dan militer tidak memenuhi syarat-syarat formil penbentukkan Undang- Undang yang ditentukan dalam UUD 1945 uji formil, dan apakah pasal 1, pasal 14 ayat 3 dan ayat 4 UU 2pnps1964 bertentangan dengan pasal 28I ayat 1 UUD 1945 uji materil. 1 Analisis formil pembentukkan Undang-Undang: Legislatif atau kekuasaan legislatif dalam fiqih siyasah di sebut juga dengan al-sulthah al- tasyri’iyah, yaitu kekuasaan pemerintahan Islam dalam membuat dan menetapkan hukum. Menurut Islam, tidak seorang 64 pun berhak menetapkan suatu hukum yang akan di berlakukan bagi umat Islam. Istilah al-sulthah al-tasyri’iyah di gunakan untuk menunjukkan salah satu kewenangan atau kekuasaan pemerintah Islam dalam mengatur masalah kenegaraan, di samping kekuasaan eksekutif al-sulthah al- tanfidziyah dan kekuasaan yudikatif al- sulthah al- qadha’iyah. Dalam konstitusi ini, kekuasaan legislatif al- sulthah al- tasyri’iyah berarti kekuasaan atau kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan hukum yang akan di berlakukan dan di laksanakan oleh masyarakatnya berdasarkan ketentuan yang di turunkan Allah SWT dalam syariat Islam. Dengan demikian, unsur-unsur legislatif dalam Islam meliputi: a. pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum yang akan di berlakuakan dalam masyarakat Islam. b. masyarakat Islam yang akan melaksanakannya. c. isi peraturan atau hukum itu sendiri yang harus sesuai dengan nilai-nilai dasar syariat Islam. Dengan kata lain, dalam al- sulthah al- tasyri’iyah pemerintah melakukan tugas siyasah syari’ah-nya untuk membentuk suatu hukum yang akan di berlakukan di dalam masyarakat Islam demi kemaslahatan umat Islam sesuai dengan semangat ajaran Islam. Sebenarnya, pembagian kekuasaan, dengan beberapa kekhususan dan perbedaan, telah terdapat dalam pemerintahan Islam jauh sebelum pemerintahan Barat menemukan teori mereka tentang trias politica. 1 Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan yang terpenting dalam pemerintahan Islam, karena ketentuan dan ketetapan yang dikeluarkan lembaga legislatif ini akan di laksanakan secara efektif oleh lembaga eksekutif dan akan di pertahankan oleh lembaga yudikatif atau peradilan. Orang-orang yang duduk di lembaga legislatif ini terdiri dari para Mujtahid dan ahli fatwa Mufti serta para pakar dalam berbagai bidang. Karena menetapkan syariat hanya wewenang Allah, maka wewenang dan tugas lembaga legislatif hanya menggali dan memahami sumber-sumber syariat Islam, yaitu al-Quran dan sunnah Nabi, dan menjelaskan hukum- hukum yang terkandung di dalamnya. Undang-Undang dan peraturan yang akan dikeluarkan oleh lembaga harus mengikuti ketentuan- ketentuan kedua sumber syariat Islam tersebut. Oleh karena itu, dalam hal ini terdapat dua fungsi lembaga legislatif. Pertama, dalam hal-hal yang ketentuannya sudah terdapat di dalam nash al-Quran dan Sunnah, Undang-Undang yang dikeluarkan oleh al-sulthah al-tasyri’iyah adalah Undang-Undang ilahiyah yang disyariatkannya dalam al-Quran dan dijelaskan oleh Nabi SAW. Namun hal ini sangat sedikit, karena pada prinsipnya kedua sumber ajaran Islam tersebut banyak berbicara masalah- 1 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Cet Ke- 2 Gaya Media Pratama, 2007, h. 161-162 masalah yang global dan sedikit sekali menjelaskan suatu permasalahan secara rinci. Sementara perkembangan masyarakat begitu cepat dan kompleks sehingga membutuhkan jawaban yang tepat untuk mengatisipasinya. Oleh karena itu, kekuasaan legislatif menjalankan fungsi keduanya, yaitu melakukan penalaran yang kreatif ijtihad terhadap permasalahan permasalahan yang secara tergas tidak dijelaskan oleh nash. Di sinilah perlunya al-sulthah al-tasyri’iyah tersebut diisi oleh para mujtahid dan ahli fatwa sebagaimana dijelaskan di atas. Mereka melakukan ijtihad untuk menetapkan hukumnya dengan jalan qiyas analogi. Mereka berusaha mencari ‘illat atau sebab hukum yang ada dalam permasalahan yang timbul dan menyesuaikannya dengan ketentuan yang terdapat di dalam nash. Di samping harus merujuk kepada nash, ijtihad anggota legislatif harus mengacu kepada prinsip jalb al-masalih dan daf’ al- mafasid mengambil maslahat dan menolak kemudaratan. Ijtihad mereka juga perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi sosial masyarakat, agar hasil peraturan yang akan diundangkan itu sesuai dengan aspirasi masyarakat dan tidak memberatkan mereka. 2 Pada era modern, sejalan dengan masuknya penjajah Barat ke dunia Islam sejak abad ke- 19 ide-ide politik dan kenegaraan Barat pun memulai mengembangkan pengaruhnya terhadap umat Islam, di 2 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,,,.h. 162-163 antaranya adalah ide tentang legislatif hukum yang secara praktis terlihat dalam keberadaan dewan legislatif atau parlemen. Masuknya ide ini mendapat respon dari kalangan pemikir Islam, mereka mencoba menanggapi dan melontarkan gagasan tentang legislasi hukum dalam Negara Islam. Di antara mereka misalnya Muhammad Iqbal, dalam gagasannya tentang legislasi yang berpangkal pada konsep pemikirannya tentang Negara. Menurut Iqbal, negara Islam bersifat teokratis, namun teokrasi di sini berbeda dengan pemahaman konsep teokrasi di Barat. Pendapat Iqbal teokrasi adalah pemerintahan berdasarkan tauhid dan menerapkan nilai-nilai prinsip-prinsip persamaan, kesetiakawanan, dan kebebasan yang terkandung dalam tauhid Negara adalah ruang dan kebebasan yang terkandung dalam tauhid Negara adalah suatu alat untuk menstranfer prinsip-prinsip tersebut dalam ruang dan waktu. Dalam pengertian ini, lanjut Iqbal, Negara tidak di dasarkan pada dominasi dan keistimewaan suatu kelompok manusia atas manusia yang lainnya dan bertujuan hendak melaksanakan prinsip-prinsip spiritual tauhid adalah teokrasi. Untuk mentransfer prinsip tauhid ke dalam ruang dan waktu maka di dunia modern sekarang perlu ijtihad yang kreatif dan berani. Dalam semangat ini Iqbal mengutip pola pikir Umar ibn al-Khatab. “hukum Islam akan mampu berevolusi terhadap perkembangan masyarakat di Negeri-negeri muslim, kalau umat Islam berani mendekatinya dengan semangat”. Selanjutnya pendapat Iqbal mengenai ijtihad, perlu mengalihkan kekuasaan ijtihad secara pribadi menjadi ijtihad kolektif yang tergabung dalam lembaga legislatif. Bagi Iqbal, pada zaman modern ini, peralihan kekuasaan ijtihad individu yang mewakili mazhab tertentu kepada lembaga legislatif adalah satu-satunya bentuk ijma’ yang paling tepat. Hanya dengan cara inilah umat Islam yang selama ini telah hilang dari dalam tubuh umat Islam. Memang pada zaman Bani Umayyaah dan Abasiyah bentuk semacam ini tidak berkembang. Ijtihad hanya di lakukan oleh individu. Pendapat Iqbal berikutnya, orang-orang yang menduduki lembaga legislatif tidak hanya para ulama yang ahli dalam hukum Islam, namun harus juga menepatkan orang awam dalam artian awam tentang hukum Islam, tetapi mereka ahli dalam masalah kemasyarakat. Berdasarkan alasan tersebut perlu orang-orang yang ahli dalam dalam bidang misalnya, ekonomi, sosial, budaya, politik, dan kedokteran. Dalam idenya tentang lembaga legislatif ini, sayangnya Iqbal tidak secara explicit menjelaskan bagaimana mekanisme pemilihan anggota-anggotanya. Memang Iqbal menyatakan bahwa pemilihan merupakan satu-satunya cara untuk mengekspresikan kehendak umat. 3 Dapatlah dimengerti dari penjelasan di atas bahwasahnya proses pembentukkan Undang-Undang dalam Islam mempunyai kesamaan 3 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,,,.h. 170-173 dengan dunia di luar Islam yaitu melalui badan khusus yang menangani pembentukkan Undang-Undang yang di sebut parlemen pejabat negara yang sah, namun ada perbedaan yang mendasar di Islam, yang menjadi nilai dasar atau prinsip yang harus dianut adalah sumbernya dari al-Quran dan Sunnah, dan Undang-Undang yang mana hasil ijtihad anggota legislatif harus mengacu kepada prinsip jalb al-masalih dan daf’ al- mafasid mengambil maslahat dan menolak kemudaratan. Ijtihad mereka juga perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi sosial masyarakat, agar hasil peraturan yang akan diundangkan itu sesuai dengan aspirasi masyarakat dan tidak memberatkan mereka. Khusus di Indonesia yang menjadi dasar pembentukkan Undang-Undang adalah UUD 1945 dan norma-norma hukum lainnya yang dianut oleh Negara Indonesia. Merujuk pada pendapat pemohon yang mengatakan UU No. 5pnps1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum dan militer bertentangan dengan cara pembentukkan dalam UUD 1945. Mahkamah berpendapat memang bentuk hukumnya UUD 1945 memang tidak mengatur produk hukum dengan nama Penetapan Presiden, namun hal ini dikoreksi dengan UU 51969 atas perintah ketetapan MPRS Nomor XIXMPRS1966 dan ketetapan MPRS Nomor XXXIXMPRS1968. kedua ketetapan Majlis Permusyawarakatan Rakyat Sementara MPRS berisi perintah untuk meninjau kembali terhadap status hukum atas Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden. Konsideran UU 51969 berbunyi: “bahwa dalam rangka pemurnian produk-produk legislatif yang berbentuk penetapan-penetapan presiden dan peraturan-peraturan presiden yang dikeluarkan sejak tanggal 5 juli 1959” dan “bahwah penetapan-penetapan presiden dan peraturan-peraturan presiden yang materinya sesuai dengan suara hati nurani rakyat perlu dinyatakan sebagai Undang-Undang” Dengan alasan tersebut maka Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 termasuk Penetapan Presiden penpres yang dijadikan Undang- Undang yaitu menjadi UU 2pnps1964. kata “pnps” sekedar sebagai tanda bahwa Undang-Undang tersebut berasal dari penetapan presiden, dan Undang-Undang ini masih sesuai dengan aspirasi hati nurani rakyat karena merupakan pembeharuan terhadap ketentuan pasal 11 KUHP. Setelah UU 51969 mengatakan UU 2pnps1964 berlaku, maka prosedur pembuatannya sudah sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat 1 dan pasal 20 ayat 1 UUD 1945, yaitu ditetapkan oleh Presiden atas persetujuan DPR, dalam hal ini DPRGR Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang membentuk UU No 51969 dan menyatakan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 sebagai UU 2pnps1964 adalah Presiden dan DPR yang sah pada masa transisi ketatanegaraan dari Orde Lama ke Orde Baru dan telah diterima dan diakui rakyat Indonesia. Jadi, dapatlah di simpulkan dari penjelasan di atas pendapat Mahkamah Konstitusi dari formil pembentukkan Undang-Undang tidak bertentangan dengan proses pembentukkan Undang-Undang di Islam, karena di bentuk oleh pemerintahan yang sah dan menganut norma dasar atau sumber pembentukkan yang menjamin keadilan hukum serta menjaga martabat manusia yang menjadi dasar adalah UUD 1945. 2 Analisis materil putusan Mahkamah Konstitusi; Menurut Abdul Wahhab Khallap, prinsip-prinsip yang diletakkan Islam dalam perumusan Undang-Undang adalah jaminan atas hak-hak asasi manusia setiap anggota masyarakat dan persamaan kedudukan semua orang di mata hukum, tanpa membeda-bedakan strafikasi sosial, kekayaan, pendidikan, dan agama. Pembahasan konstitusi juga berkaitan dengan sumber-sumber dan kaidah perUndang-Undangan di suatu Negara, baik sumber material, sumber sejarah, sumber pengundangan maupun sumber penafsirannya. Sumber material adalah hal-hal yang berkenaan dengan materi pokok Undang-Undang dasar. Inti persoalan dalam sumber konstitusi ini adalah peraturan tentang hubungan antara pemerintah dan rakyat yang diperintah. Kemudian agar mempunyai kekuatan hukum, sebuah Undang- Undang yang akan di rumuskan harus mempunyai landasan atau dasar perundangan. Dengan landasan yang kuat maka Undang-Undang tersebut akan memiliki kekuatan pula untuk mengikat dan mengatur masyarakat dalam Negara yang bersangkutan. Sementara sumber penafsiran adalah otoritas para ahli hukum untuk menafsirkan atau menjelaskan hal-hal yang perlu pada saat Undang-Undang dasar tersebut diterapkan. 4 Sumber utama pembentukkan Undang-Undang dasar dalam Islam adalah al-Quran dan sunnah. Akan tetapi al-Quran bukan Undang- Undang, al-Quran tidak merinci lebih jauh tentang bagaimana hubungan pemimpin dan rakyatnya serta hak dan kewajiban mereka masing- masing, dan al-Quran hanya memuat konsep-konsep dasar atau prinsip umum pemerintahan Islam secara global saja, maka ayat-ayat tersebut yang masih global ini kemudian di jelaskan oleh Nabi dalam sunnahnya, baik berbentuk perkataan, perbuatan, maupun takrir atau ketetapannya. Namun dalam prakteknya al-Quran dan sunnah tidaklah kaku, sehingga menyerahkannya kepada umat Islam untuk membentuk dan mengatur pemerintahan. Serta menyusun konstitusi yang sesuai dengan perkembangan zaman dan konstitusi sosial masyarakatnya. Dalam hal ini, dasar-dasar hukum Islam lainnya, seperti Ijma, Qiyas, Ihtihsan, Maslahah mursalah , dan Urf memegang peranan penting dalam perumusan konstitusi. Hanya saja, penerapan dasar-dasar tersebut tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok yang telah di gariskan dalam al-Quran dan Sunnah. 4 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Cet Ke- 2 Gaya Media Pratama, 2007, h. 153-154 Mengenai materil Undang-Undang tentang tata cara pelaksanaan pidana mati, dalam hal ini menurut pemohon pengujian Undang-Undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ukuran yang harus di pedomani tentang penyiksaan harus mengacu kepada rumusan yang dianut dalam instrumen hukum Hak Asasi Manusia HAM dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusia, Atau Merendahkan Martabat Manusia. Konvensi yang mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang lain yang kejam, tidak manusia, atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari atau dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat publik publik authority juga tidak dapat digunakan sebagi pembenaran atau suatu penyiksaan. 5 Adapun penyiksaan yang diatur dalam konvensi ini tidak mencakup rasa sakit atau penderitaan yang timbul, melekat, atau diakibatkan oleh sanksi hukum yang berlaku. 6 Dan selnjutnya Mahkamah memberikan ukuran yang perlu dipedomani untuk menghindari pelaksanaan pidana mati yang 5 Lihat pasal 1 angka 4 empat UU No 5 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 6 Lihat UU No 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment Konvensi Menentang Penyiksaandan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusia, Atau Merendahkan Martabat Manusia menimbulkan penderitaan terpidana secara berkepanjangan, dan siksaan yang dirasakan, diukur bukan hanya dari subjektif terpidana sendiri, melainkan juga dari objektif masyarakat. Yang akan melihat pokok persoalan demikian dari hal-hal berikut, ukuran dalam menentukan apakah suatu tata cara pelaksanaan pidana mati merupakan sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan tidak biasa, dapat dinilai dari pelaksanaan, yaitu: i jika cara yang dilakukan menimbulkan penderitaan yang panjang dan tidak diperlukan dalam menimbulkan kematian, ii bertentangan dengan ukuran kesusilaan yang dianut dalam masyarakat dan, iii tidak menjaga dan mempertahankan harkat mertabat terpidana sebagi manusia. Bertolak dari sifat mulia manusia dalam syariat, tidak ada pertentangan anatara hukum Islam dan larangan umum penyiksaan, atau perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat atau larangan menjadikan manusia sebagai obyek percobaan medis dan ilmiah tanpa kerelaan subyek. Ada banyak ayat al-Quran dan hadis Nabi yang memerintahkan kasih sayang dan melarang kekejaman dan penindasan bahkan pada binatang. Dalam upaya mengikuti prinsip manusiawi syariat ini, Khlifah Umar Ibn Abdul Aziz, saat menjawab permintaan salah seorang gebenurnya yang ingin menyiksa mereka yang menolak membayar pajak untuk perbendaharaan publik, pada saat itu khalifah menjawab sebagai berikut: 7 ”saya heran dengan permohonan izinmu padaku untuk menyiksa seolah-olah aku bisa menjadi pelindungmu dari amarah Allah, dan kepuasanku akan menyelamatkanmu dari kemarahannya. Begitu kau menerima surat ini, terimalah apa yang telah mereka berikan kepadamu atau mintalah sumpah dari mereka. Demi Allah, sungguh lebh baik bila mereka menghadapi Allah karena pelanggaran mereka dapripada aku mengahdap Allah karena menyiksa mereka” Dan para Ulama fiqh pun sepakat bahwa penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi dilarang selama dalam proses penghukuman. Karena sesungguhnya Islam mengajarkan prinsip penghormatan kepada individu serta meletakkan nilai kemanusiaan yang tinggi di dunia yaitu sebagai khalifah, maka walaupun dalam menghukum pelaku kejahatan harulah tetap menganut prinsip- prinsip yang telah di ajarkan Islam. Dari penjelasan di atas dapatlah dipahami dari beberapa pendapat Mahkamah Konstitusi sangatlah sesuai dengan prinsip-prinsip yang diajarkan Islam, yang mana pendapat Mahkamah menganut prinsip penghormatan dan menjaga mertabat manusiawi serta menolak hukuman yang kejam atau tidak manusia dan hukuman yang dapat menimbulkan penyiksaan. Dalam pedoman yang dianut oleh Mahkamah tentang penyiksaan mengacu kepada rumusan yang dianut dalam instrumen 7 Mashood A. Baderin, Hukum Internasioanl Hak Asasi Manusia,,,. h. 76-77 hukum Hak Asasi Manusia HAM dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusia, Atau Merendahkan Martabat Manusia, sangatlah bersesuaian dengan nilai-nilai dasar Islam.

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No