Perspektif hukum Islam terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tentang tata cara pelaksanaan pidana mati

(1)

PELAKSANAAN PIDANA MATI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh

EDI EFFENDI

104043101315

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1430H/2009M


(2)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh

Edi Effendi

104043101315

Pembimbing I

Dedy Nursyamsi. SH. M. Hum NIP: 196111011993031002

Pembimbing II

Dr. Asmawi. M.Ag NIP: 197210101997031008

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1430H/2009M


(3)

MATI, Telah di ujikan dalam siding Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Tanggal 7 Desember 2009 Sekripsi ini telah di terima sebagai salahsatu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program Strata 1 (S1) pada Perbandingan Madzhab Hukum.

Jakarta, 7 Desember 2009

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr.H..M. Amin Suma, SH.,MA,.MM

NIP. 195505051982031012

PANITIA SIDANG MUNAQASAH

1. Ketua :Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma,SH,MA,MM. ( ) NIP. 195505051982031012

2. Sekretaris :Dr. H. Mhammad Taufiki, M.Ag ( ) NIP. 196511191998031002

3.

Pembimbing I :Dedy Nursyamsi. SH. M. Hum ( ) NIP: 196111011993031002

4. Pembimbing II :Dr. Asmawi. M.Ag ( )

NIP: 197210101997031008

5. Penguji I :Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma,SH,MA,MM. ( ) NIP. 195505051982031012

6. Penguji II :Dr. Jenal Aripin, M.Ag ( ) NIP. 197210161998031004


(4)

KATA PENGANTAR

Dengan segenap jiwa, dan tambatan pikiran, untuk bahasakan rasa syukur kepada Allah SWT, pusatkan gerak dan lagat jiwa serta tubuh untuk ucapkan “Alhamdulillah” segala puji kupersembahkan kepadanya, penulis dapat menuntaskan kewajiban studinya, yaitu penulisan skripsi guna memenuhi syarat dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat teriring salam penulis aturkan kepada pembawa amanah, tauladan umat, dan sang sosial-revolusioner baginda Rasulullah SAW, para keluarga, sahabat, dan orang-orang yang tercerahkan untuk membumikan hukum-hukumnya.

Dalam kesempatan ini pula, penulis menghaturkan banyak terima kasih atas kerjasama dan bantuannya, baik moril maupun materil. Karena penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini susah terwujud tanpa orang-orang di sekelilingku.

Untuk itu penulis sepantasnyalah menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, M.A, Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Ahmad Mukri Adji. M.A, Ketua Jurusan PMH, dan Dr. Muhammad Taufiki. M.Ag, Sekretaris Jurusan PMH yang telah memberikan


(5)

ini.

4. Bapak Dedy Nursyamsi. SH. M. Hum, dan Bapak Dr. Asmawi. M.Ag sebagai dosen pembimbing yang rela meluangkan waktunya dan selalu memberikan masukan, arahan dan kritikan yang konstruktif pada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Pimpinan Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku dan literature lainnya sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan. 6. Semua Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum, atas semua pengetahuan yang

telah diberikan kepada penulis selama masa pendidikan berlangsung.

7. Ayahanda M. Salim, dan Ibunda Jumilah yang mengajarkan bahasa cinta dan kakek-nenek, saudara-sekandungku. Ayuk: Nurmala Sari, Fatmawati, dan Ratnawati. Abang Jamin, dan adikku Andrianto, serta Abang Zulkifli dan Kusnadi. Semuanya karena keihklasan dan dukungan, penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Tidak lupa pada keponakan yang kurindu: Riki, Era, Zillah, dan Tina. Kalian semua mutiara dalam hidupku yang di berikan Tuhan, cahaya yang tak pernah padam sepanjang hayat.

8. Terima kasih penulis ucapkan kepada ”gadis yang dicintai”, bagaimanapun secara langsung maupun tak langsung telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis agar dapat menyelesaikan tugas akhir kuliyah ini.


(6)

v

Abul, Abdur, Abdul, Halim, Muliarto, Zai, Endar, Rusli, Robi, Syarki, jefi, ipeh, inang, firda, dll. Kalian lembaran sejarah hidupku.

10.HMI Komfaksyi, LKBHMI, LEMI dan Saudaraku Gang Kodok: Panji Patra Anggaredho. SE.I, Rama Jhuwandi. SH.I, Iwin Indra. SH.I, Minhazul Abidin, Dani, Mudasir, dll. Terima kasih saya pada himpunan ini, teruslah berkiprah. “Yakin Usaha Sampai-Semoga kita benar”

11.Komite Mahasiswa Pemuda Anti-Kekerasan (KOMPAK) terima kasih saudaraku: De’ Hafiz, De’ Sidik, De’ Cahya, De’ Aqin, De’ Bahtiar, De’ Adam, De’ Idam, De’ Mustofa, De’ Rhasid, De’ atDaulay, De’ Ade, De’ Ainul, De’ Silly, De’ Ociem, De’ Ozie, De’ Sofie, De’ Rafika, De’ Arma, De’ Tari dll.

12.Teman-teman Gang Buntu (SaunG): Anas, Ridho, Suwidi, Mannan, Ulin, Andhika, Fa’i, dll. Terima kasih kawan.

Semoga segala bantuan, dukungan dan do’a untuk penulis mendapat balasan yang paling layak dari-Nya, dan skripsi ini berguna bagi wacana keislaman. Kepada-Nya kita memohon hidayah dan inayah.

Jakarta, 05 September 2009 M 15 Ramadhan 1430 H

.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 9

E. Metode Penelitian ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II KEDUDUKAN PIDANA MATI MENURUT HUKUM ISLAM A. Tujuan Pemidanaan Dalam Hukum Islam ... 14

B. Pidana Mati Dalam Hukum Islam ... 19

C. Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Dalam Hukum Islam ... 29

D. Praktik Pidana Mati di Negara-negara Muslim ... 32

BAB III PANDANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP

TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI


(8)

vii

A. Pidana Mati: Antara Norma yuridis dan praktik... 37

B. Materi Putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-VI/2008 ... 49

C. Doktrin Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-I/2008... 56

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI A. Analisis Hukum Islam Terhadap Pertimbangan Hukum Formil dan Materil Putusan... 64

1. Analisis Formil Pembentukan Undang-undang ... 64

2. Analisis Materil Putusan Mahkamah Konstitusi... 72

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-VI/2008 ... 77

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 85

B. Kritik dan Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 89


(9)

A. Latar Belakang Masalah

Di dalam Islam, hukuman tidak berangkat dari pendapat manusia atau kesepakatan manusia belaka. Karena apa yang ada dalam pandangan manusia memiliki keterbatasan. Seringkali apa yang dalam pandangan manusia baik, pada hakikatnya belum tentu baik. Demikian juga, apa yang dalam pandangan manusia buruk, hakikatnya belum tentu buruk. Sehingga bagi umat Islam, harus mengembalikan penilaian baik atau buruk, terpuji dan tercela menurut pandangan syariat. Dalam hal ini Allah sebagai syariat atau pembuat syariat.

Yang dimaksud dengan syariat adalah semua peraturan agama yang ditetapkan Allah untuk kaum muslim, baik yang ditetapkan al-Quran ataupun Sunnah Rasul, karena itu syariat mencakup ajaran-ajaran pokok agama (ushul al-din). Pengertian syariat menurut Muhammad Ali al-Tahanwy. Mengatakan “syariat ialah hukum yang telah ditetapkan Allah bagi hambanya (manusia) yang dibawa Nabi, baik yang berkaitan dengan perbuatan yag dinamakan hukum-hukum cabang dan amaliah yang di kodifikasikan dalam Ilmu Fiqih, ataupun berkaitan dengan kepercayaan yang dinamakan dengan hukun-hukum pokok dan iktiqadiah yang dikodifikasikan dalam Ilmu Kalam”1

1

Muhammad Yusup Musa, Islam Suatu Kajian Komprehensif, terj. A. Malik Madaniy dan Hamim ( Jakarta, CV. Rajawali, 1998 ), h. 131


(10)

Dalam Islam konsep tentang manusia adalah ideal (sangat tinggi) didasarkan atas suatu message (tugas kewajiban) dan menuju kepada suatu objektif yang nyata. Dengan dasar pandangan ini kita lebih dapat memahami sabda Tuhan dalam al-Quran yang selalu menekankan tanggung jawab manusia itu bersifat individu (perorangan, bukan kelompok) dan bahwa hukum Islam menjujung tinggi person-manusia sebagai norma pokok,2 misalnya barang siapa

membunuh orang yang tidak melakukan pembunuhan atau kekerasan di bumi, seakan-akan ia telah membunuh seluruh manusia. Dan barang siapa menyelamatkan jiwa seseorang, seakan-akan ia telah menyelamatkan seluruh manusia.3 Dalam hal ini, artinya benar-benar menjamin serta menghargai

kemanusiaan (memanusiakan manusia), dan dalam konteks bernegara khususnya Indonesia (Negara Hukum)4.

Negara hukum ialah Negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang, tindakan-tindakan Negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum. Inilah apa yang oleh para ahli-ahli hukum Inggris terkenal sebagai “rule of law”. Kita melihat bahwa individu pun menpunyai hak terhadap negara. Hak-hak individu terhadap Negara terutama apa yang yang dinamakan “Hak-Hak Azasi Manusia”

2

Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, terj. H. M. Rasjidi, cet, Ke- I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980 ), h. 106-107

3

Noor Wahid Hafiez, Pidana Mati Menurut Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1982), h.. 111

4

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, cet. Ke- III, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995), h. 89


(11)

dan kini lebih terkenal sebagai hak-hak manusia, dengan telah diterimanya Universal Declaration Of Human Rights secara internasional maka nyatalah betapa pentingnya sebuah Negara Hukum.5 Perlindungan hak-hak manusia ini

tidak akan terjamin dengan menyatakan bahwa hak-hak asasi manusia ini diakui, yang diperlukan ialah suatu kesediaan yang lebih konkrit.6 mencapainya dengan

penegakan hukum, tegasnya setiap yang bersalah atau melakukan kejahatan mesti dihukum.

Konstitusi Indonesia yang menjamin hak asasi manusia, berbunyi, “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.7

Sesuai dengan bahasan ini terkait pidana mati, ada beberapa hukum yang berlaku di Indonesia dengan ancaman pidana mati di antaranya, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melakukan kejahatan menghilangkan nyawa seseorang bisa diancam hukuman pidana mati, tertera dalam pasal 340 ayat (2),8 kejahatan atau pelanggaran terhadap Undang-Undang No 22 Tahun 1997

5

Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, (Bandung: Alumni, 1983), h. 3

6

Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, h. 4

7

Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945

8


(12)

tentang Narkotika, pasal 80 ayat (1) huruf a, dan kejahatan atau pelangaran terhadap Undang-Undang No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, pasal 59 ayat (2).9

Di Indonesia, hingga kini masih tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur pidana mati yang dilaksanakan dengan cara terpidana digantung sebagaimana tercantum yaitu, “Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”.10

Dengan memperhatikan perkembangan hukum di Indonesia berawal dari Pasal 11 KUHP bahwa hukuman mati dilaksanakan dengan digantung, tetapi kemudian berubah dengan adanya Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang kemudian dilaksanakan dengan cara ditembak. Hal tersebut karena seiring dengan perkembangan zaman dan dipandang eksekusi pidana mati dengan cara digantung memakan waktu yang lama, maka hukuman mati digantung diubah dengan cara ditembak Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38) yang

9

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undand-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

10


(13)

telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969.11

Ada beberapa macam bentuk tata cara pelaksanaan pidana mati di dunia, Sebagai perbandingan dari macam-macam tata cara pidana mati yang masih dipratikkan didunia sebagai berikut:

1. Digantung (hanging) 2. Dipenggal pada leher (decapitation) 3. Ditembak (shooting)

4. Strum listrik (electrocution atau the electric chair) 5. Ruang gas (gas chamber)

6. Suntik Mati (lethal injection).12

Bahwah ada pendapat Kematian adalah peristiwa yang mengerikan, mungkin paling mengerikan dalam pikiran manusia yang masih hidup. Di antara kemungkinan pengalaman hidup manusia, barangkali tidak ada yag menakutkan daripada kematian. Karena itu hukuman mati, dalam semua peradaban manusia sampai dengan akhir-akhir ini (hukuman mati ditentang oleh gerakan-gerakan

11

Diktum Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

12

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-VI/2008 tentang Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang


(14)

modern tertentu, seperti Amnesty International) yang mana hukuman mati merupakan hukuman tertinggi dan penghabisan13

Selanjutnya dari uraian diatas pada tanggal 6 agustus 2008 telah diterima dan terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, dengan regisrasi perkara Nomor 21/PUU-VI/2008, tentang perkara pengujian Undang-Undang No

02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan

Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (Lembaran Negara

Tahun 1964 Nomor 38) yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan

Undang-Undang Nomor5 Tahun 1969.14Dalam hal alasan terhadap Undang-Undang yang diajukan bertentangan secara formil pembentukkan dan materiilnya terhadap UUD 1945. Yang diajukan oleh: Amrozi bin Nurhasyim, Ali Ghufron bin Nurhasyim als. Muklas, dan Abdul Azis als. Imam Samudra (terpidana mati kasus bom Bali).

Secara lembaga, Mahkamah Konstitusi yang tersendiri diluar dan sederajat dengan Mahkamah Agung,15 dan mengenai hakikat, tugas dan wewenangnya

dalam pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki lima bidang kewenangan peradilan, yaitu:16

13

Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 226

14

Diktum Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

15

Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta. PT, Buana Ilmu Popular, 2007), h. 581

16


(15)

1) Peradilan dalam rangka pengujian konstitusionalitas Undang-Undang (terhadap UUD 1945)

2) Peradilan sengketa kewenangan konstitusional lembaga Negara 3) Peradilan perselisihan hasil pemilu umum

4) Peradilan pembubaran partai politik, dan

5) Peradilan atas pelanggaran oleh Presiden dan wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar

Berdasarkan penjelasan di atas penulis merasa perlu dan menarik untuk penelitian serta pembahasan putusan Mahkamah Konstitusi tentang tata cara pelaksanaan pidana mati dan bagaimana perspektif hukum Islam yang mana Indonesia penduduknya mayoritas muslim. Maka Penulis merangkum penelitian ini dengan judul: “Perspektif Hukum Islam Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar penelitian ini lebih terarah, maka peneliti memberikan batasan masalah pertama: tentang tata cara pelaksanaan pidana mati dalam Islam, kedua: pandangan Mahkamah Konstitusi tentang tata cara pelakasanaan pidana mati, yang akan di kaji ringkasannya beberapa pertayaan berikut, serta dapat menggambarkan rumusan masalah dalam skripsi ini:

1) Bagaimanakah kedudukan pidana mati dan tata cara pelaksanaannya menurut hukum Islam ?.


(16)

2) Bagaimanakah pendapat Mahkamah Konstitusi tentang tata cara pelaksanaan

pidana mati, dalam UU No 02/pnps/Tahun/1964 juncto UU No

05/Tahun/1969 ?.

3) Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tentang tata cara pelaksanaan pidana mati ?.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui dan menjelaskan kedudukan pidana mati dan tata cara pelaksanannya menurut hukum Islam.

2. Mengetahui dan menjelaskan pendapat Mahkamah Konstitusi tentang tata cara pelaksanaan pidana mati, dalam UU No 02/pnps/Tahun/1964 juncto UU No 05/Tahun/1969.

3. Mengetahui dan menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tentang tata cara pelaksanaan pidana mati.

D. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Di bawah ini beberapa penjelasan tinjauan terdahulu dalam penelitian ini, ada beberapa karya atau peneliti yang membahas terkait dengan penulis bahas .

Buku pertama: Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, “Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan” secara umum buku ini membahas praktik pidana mati dari masa kemasa dengan menjelaskan perubahan


(17)

tata cara dan dari segi teorinya. Singkatnya dipaparkan pidana mati dilihat dari sejarahnya, selanjutnya penulis mencoba membandingkan pidana mati dimasa lalu dengan yang berlaku sekarang, menjelaskan proses pidana mati merupakan proses bentuk hukum berkelanjutan, dan memberikan pandangan terhadap proses pidana mati yang manusiawi untuk masa mendatang.

Buku kedua: Djoko Prakoso, “Masalah Pidana Mati” (Soal Tanya Jawab), bahasan dalam buku mencoba memaparkan dan menjelaskan pidana mati secara teori maupun praktik menurut para ahli-ahli hukum dan dari beberapa pendapat dibandingkan serta menjelaskannya dari aspek teori hukum pidana dilihat dari norma yuridis maupun praktik dan memaparkan perbedaan pendapat, apakah pidana mati benar-benar bisa atau tidak efektif dalam mengurangi dan memberantas kejahatan dan menjelaskan juga pandangan dunia dewasa ini terhadap permasalahan pidana mati.

Buku Ketiga: Ahkiar Salmi, “eksistensi hukuman mati”, menjelaskan eksistensi pidana mati dalam perUndang-Undangan Indonesia yang terdapat di dalam KUHP maupun diluarnya, serta memaparkan juga beberapa yurisprudensi dalam putusan pidana mati dan menjelaskan cara pelaksanaan pidana mati yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2/pnps/1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati, juga menjelaskan cara hukuman mati yang terdapat dalam pasal 11 KUHP yang telah dicabut atau tidak diberlakukannya, dan memaparkan tinjauan pidana mati dari beberapa aspek dari teori, dan


(18)

memaparkan alasan mereka yang pro ataupun yang kontra terhadap hukuman mati.

Buku keempat: Djoko Prakoso dan Nurwachid, “Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini” dalamnya penulis mencoba menjelaskan sesuai dengan judul diatas, menjelaskan beberapa masalah penerapan pidana mati di Indonesia (proses) secara doktrin hukum dan juga mencoba menjelaskan beberapa teori yang dianut sebagai landasan hukuman dan membahas beberapa macam pelanggaran yang diancam dengan pidana mati, dan selanjuntya memaparkan sedikit perdebatan terkait pihak yang menolak penerapan hukuman mati.

Buku kelima: Noorwahidah Hafedz Anshari, “Pidana Mati Menurut Hukum Islam” dibahas bagaimana pidana mati dalam Islam beserta dalil-dalil hukumnya, menjelaskan beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana mati seperti: membunuh dengan sengaja, zina muhshan, merampok, berontak, dll. Disebutkan juga bentuk pemidanaannya berdasarkan perbuatan, disinggung juga proses pemidanaannya tapi tidak secara gamlang.

Dalam kajian terdahulu ini, selain peneliti melihat beberapa penelitian beberapa buku yang terkait dalam bahasan ini, juga meneliti di pustaka Fakultas Syariah dan Hukum, Peneliti tidak menemukan di pustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, yang meneliti sebelumnya terhadap pandangan Mahkamah Konstitusi tentang tata cara pelaksanaan pidana mati, dalam UU No 02/pnps/Tahun/1964/juncto/UU 05/Tahun/1969. Tapi ada satu penelitian oleh: Uwes Sulkkurni (2004), Tinjauan Hukum Islam Terhadap Eksekusi Hukuman


(19)

Mati Di Indonesia. Dalam penelitiannya hanya membandingkan pratik hukuman mati dalam Islam dengan pratik hukuman mati di Indonesia yang diatur dalam UU No 02/pnps/Tahun/1964/juncto/UU 05/Tahun/1969. dan letak perbedaan dengan peneliti tulis adalah peneliti berusaha menganalisis perspektif hukum Islam terhadap pendapat Mahkamah Konstitusi dalam putusan No 2/PUU-IV/2008, dengan pendekatan nilai atau syarat-syarat (doktrin hukum Islam) yang harus dipenuhi dalam proses pelaksanaan pidana mati.

E. Metode Penelitian

1) Jenis Penelitian

Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library reseach), yaitu penelitian yang kajianya menelaah beberapa literatur hukum yang terkait dengan bahasan ini, dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan selanjutnya menguraikan secara jelas berbagai bahan yang diperoleh, dengan begitu penelitian ini bersifat deskriptif, selanjutnya bahan pustaka yang diperoleh dipadukan serta dianalisis dengan prinsip penelitian hukum normatif-dokrinner

2) Metode Pengumpulan Data

Dengan berdasarkan jenis penelitian, data yang gunakan adalah studi dokumentasi yang selanjutnya disebut data primer dalam penelitian ini dan bahan yang membantu atau bahasan yang terkait dalam penelitian ini disebut data sekunder. Sumber data primer yang digunakan adalah putusan


(20)

Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-VI/2008 tentang Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang. Sedangkan bahan sekundernya berupa berupa tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan judul skripsi ini

3) Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini adalah berdasarkan tehnik analisis isi data secara kualitatif. Dengan cara data-data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka dan dokumentasi, dianalisis dengan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitis-kualitatif. Tujuan disini adalah untuk mencari persesuaian objek penelitian yang kemudian dianalisis dengan hukum Islam.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan Skripsi ini dibagi atas lima (5) bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:

Bab I Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjaun (review) kajian terdahulu, metode dan sistematika penelitian ini.

Bab II Di dalamnya akan membahas mengenai tujuan pemidanaan serta pidana mati dalam hukum Islam dan bagaimana tata cara hukuman mati menurut hukum Islam dan juga memaparkan praktik pidana mati di beberapa Negara-negara Muslim


(21)

Bab III Membahas pidana mati: antara norma yuridis dan praktik, dan materi putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian peraturan perUndang-Undang, serta memaparkan doktrin hukum Mahkamah Konstitusi terhadap UU No 02/Tahun/1964 jucnto UU No 05/Tahun/1969 dilihat dari syarat formil atau materiilnya.

Bab IV Merupakan bab yang menganalisis tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia dalam pandangan Mahkamah Konstitusi (formil dan materil), dan bagaimana perspektif hukum Islam dalam pelaksanaan hukuman mati di Indonesia (Putusan Mahkamah Konstitusi).

Bab V Adalah bab penutup, berisi kesimpulan penulis, saran dan kritik bagi siapa saja yang berkepentingan di dalamnya.


(22)

A. Tujuan Pemidanaan Dalam Hukum Islam

Ada tiga asas dalam bidang hukum pidana Islam yang harus diperhatikan selain dari asas umum lainnya seperti, asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.1 Beberapa asas di bawah ini juga bisa melihat tujuan pemidanaan itu sendiri.

1. Asas Legalitas

Tidak ada pelanggaran atau tidak ada hukuman sebelum ada Undang-Undang atau aturan tetap yang mengaturnya. Dalam al-Quran ayat (15) surat al-Isra’ dihubungkan dengan anak kalimat dalam ayat (19) surat al-An’am yang berbunyi “al-Quran ini diwahyukan padaku, agar (dengannya) aku (Muhammad) dapat menyampaikan peringatan (dalam bentuk aturan dan ancaman hukuman) kepadamu”. Biasanya dalam hukum disebut asas legalitas yang artinya tidak dikenakan hukuman pada seseorang atas perbuatannya sebelum adanya aturan yang melarangnya.

1

H. Mohammad Daud Ali. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, Cet, Ke- 10, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2001), h. 117


(23)

2. Asas Larangan Memindahkan Kesalahan Pada Orang Lain

Selanjutnya hukuman yang dikenai pada seseorang tidaklah bisa dipiindahkan atau menggantikan berlakunya hukum pada seseorang misalnya, dalam surat Muddatstsir dikatakan bahwa setiap jiwa terikat apa-apa yang ia kerjakan dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau kesalahan yang diperbuat oleh orang lain, dikatakan juga dalam surat al-An’am ayat (164), bahwa Allah mengatakan setiap pribadi yang melakukan kejahatan akan menerima balasan kejahatan yang di lakukannya, ini berarti tidak ada suatu perbuatan kejahatan atau dosa seseorang yang bisa ditanggung oleh orang lain dan sesungguhnya pertanggung jawaban seseorang itu bersifat individu (asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain).

3. Asas Praduga Tak Bersalah

Perlu diperhatikan juga asas praduga tak bersalah dalam pidana, dalam proses menentukan bersalah tidaknya seseorang pelaku pidana maka perlu

adanya pengadilan yang adil (trial fair), jadi seseorang yang dituduh

melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim memutuskan dengan bukti-bukti yang menyakinkan, maka pelaku (terdakwa) mempunyai hak untuk pembelaan diri di depan pengadilan. 2

Hukuman dalam bahasa arab disebut “uqubah”, lafaz “uqubah” menurut bahasa berasal dari kata: (۷ܿܲ) yang sinonimnya: (ݑܻ݇܎ ءﺎ܆و ݑ۹ܿܳ۸), artinya,

2

H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam:Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, h. 118-119


(24)

Dalam kamus istilah fiqih kata “uqubah” berarti: “hukuman badan yang telah ditentukan oleh syara’, yang telah dilakukan seseorang ”, disebutkan juga “uqubah” ada dua macam yaitu, “uqubah ashliyyah ”, hukuman asal yang telah ditentukan syara’ seperti hukuman potong tangan bagi pencuri baik laki-laki

maupun perempuan, jika sudah memenuhi syarat-syaratnya, dan “uqubah

badaliyyah” hukuman sebagai pengganti hukum asli yang telah ditetapkan oleh syara’ seperti, membayar seratus ekor unta sebagai pengganti hukuman bagi yang membunuh dengan sengaja, setelah mendapat ampunan dari pihak keluarga terbunuh. 4 Menurut Abdul Qadir Audah, hukuman difinisikan sebagai berikut: 5

݆ܳا

ܿ

۸ﺔ

ه

ݙ

܇݆ا

ءا

݋݆ا

ܿ

ڰﺮ

ر

݆݋

ܣ

݇

܋

܇݆ا

݋

ܲﺎ

ܲ

݇

ܲ

ܣ

ݛ

نﺎ

أ݊

݆ا

ڰܟ

رﺎ

ع

Artinya: “hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk

memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’

Dari definisi tersebut dapatlah dipahami bahwa hukuman adalah salah satu tindakan yang diberikan oleh syara’ sebagai pembalasan atas perbuatan yang

3

H. Ahmad Wardi Muslih, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah), (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004), Cet, Ke- 1, h. 136

4

M. Abdul Mujieb, Mabrul Tholhah, dan Syafi’ah A. M, Kamus Istilah Fiqih, Cet, Ke- 3 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h.

5

Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islamiy, Juz 1, (Beirut: Dar Kitab al-‘Araby, tt.), h. 609.


(25)

Selain itu, tujuan pemidanaan atau hukuman adalah. a. Pencegahan (

ﺮ܆ﺰ݆او

عدﺮ݆ا

)7

Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah

(delik pidana) agar ia tidak tidak mengulangi perbuatan jarimah-nya, atau

agar ia tidak melakukan perbuatan jarimah itu terus-menerus. Disamping

mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain agar tidak melakukan perbuatan jarimah pula. Dengan demikian, kegunaan pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan orang yang berbuat itu sendiri

6

Mashood A. Baderin, Hukum Internasianal Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, terj. Musa khazim dan Edwin Arifin, (Jakarta: KOMNASHAM, 2007), h. 39-40

7

Ahmad Wardi Muslih, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah), h. 137-139


(26)

untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan menahan orang lain untuk tidak berbuat seperti itu dan serta menjauhkan diri dari lingkungan jarimah, oleh karena tujuan hukuman pencegahan dalam hal ini, maka dalam pemberian hukuman haruslah sesuai dan cukup untuk mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukan, dengan begitu terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman.

b. Perbaikan dan pendidikan (

۷ݚﺬﻬۿ݆او

حݣܢﻹا

)

Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Di sini terlihat bagaimana perhatian syariat Islam terhadap diri pelaku, dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu

kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman,

melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat rida dari Allah SWT. Selain kebaikan pribadi, dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang diliputi hidup saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui hak dan kewajibannya. Pada hakikatnya jarimah merupakan perbuatan yang menginjak-injak keadilan atau melanggar norma masyarakat yang membuat kemarahan masyarakat dan perbuatan yang menggangu ketertiban serta kenyamanan masyarakat, dan hukuman yang diterima dimaksudkan memberikan rasa derita yang harus diterima sebagai


(27)

balasan yang telah diperbuat dan sebagai sarana penyucian diri,8 serta harapan akan terwujudnya rasa keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.

B. Pidana Mati Dalam Hukum Islam

Telah dijelaskan di atas maksud atau tujuan pidana Islam adalah menjaga ketertiban masyarakat dan mewujudkan hidup yang damai, serta mencipakan lingkungan yang saling menghormati dan menghargai hak individu maupun hak masyarakat secara umum, tentunya dalam kehidupan sosial. Selain itu juga memberikan pencegahan dan pelajaran agar setiap individu menjauhi dari perbuatan jarimah atau kejahatan. Sehingga penegakkan hukum tersebut

menyentuh dan berdasarkan asas manfaat (maslahat) dan menjauhkan kerusakan

(mafsadah). Begitu juga tentang hukuman mati dalam syariat Islam adalah untuk pencegahan (ar-rad’u wa az-zajru’) dan pendidikan (al-islah wa at-tahdzib). 9

Sanksi pidana mati dalam hukum Islam ada beberapa kategori kejahatan (jarimah10) yang dikenakan yaitu, makar-pemberontakan (al-Baghy),

8 Hukuman bagi pelaku kejahatan sebagai rehabilitasi atau perbaikan. Lihat Soerjono Soekanto, SosiologiSuatuPengantar, Cet, Ke- 31, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2001), h. 409

9

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet, Ke-5, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 255

10

Jarimah berasal dari kata, (مﺮ܆) yang sinonimnya ( ﺴآو ) artinya, “berusahadan bekerja”. Secara istilah, (ﺮ ﺰ وا ّﺪﺤﺑ ﺎﻬﻨ ﻰﻟﺎ ﷲا ﺮ ز ﺔﱠﻴ ﺮﺷ تارﻮﻈﺤ ﻢﺋاﺮ ﻟا) artinya, “jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’, yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir ” lihat, Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum…, h. 9


(28)

keluar dari Islam (ar-Riddah), berzina, dan perampokan (hirabah), membunuh (qhishas/diat). Akan diterangkan dibawah ini.

Hukum Islam membagi tindak pidana pada tiga bagian yaitu, pidana hudud, qhishas-diat, dan ta’zir11. Sebelum menjelaskan sanksi-sanksi yang dikenai pidana mati di atas, perlu kiranya sebelumnya memaparkan bagian-bagian dalam jarimah, yang sebenarnya sangat banyak macam dan ragamnya. Akan tetapi secara garis besar kita dapat membaginya dengan meninjaunya dari beberapa segi antara lain ditinjau dari segi berat ringannya hukuman yakni:

a) Pidana hudud

Pidana hudud (jarimah hudud) adalah jarimah yang diancam dengan

hukuman had. Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah

ditentukan oleh syara’ dan menjadi hak Allah (hak masyarakat). Dengan demikian ciri khas jarimahhudud itu sebagai berikut.

1) hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti hukumannya telah

ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.

2) hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak

manusia di samping hak Allah maka hak Allah lebih dominan.

11 Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Abdul Qadir Audah,

at-Tasyri’ al-Jima’i al-Islamiy Muqarrana bil Qanunil Wad’iy, terj. Tim Tsalisah, jilid ke- 3, (Bogor: PT. Kharisma Ilmu), tt, h. 111


(29)

Pengertian hak Allah sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut sebagai berikut12.

܊

ڱܽ

ﷲا

݊ﺎ

۾ܳ

ڰ݇

ܽـ

۸ݑ

ݏ݆ا

ܻ

ܱ

݆ܳا

ڱمﺎ

݆݇

܇

݋

ܲﺎ

۹݆ا

ܟ

ڰݚﺔ

،

و݆

݉

ݚ

܏

ۿ

ڱܡ

۸

܊ا

݊

ݍ

ڰݏ݆ا

سﺎ

Artinya: “hak Allah adalah suatu hak yang manfaatnya kembali

kepada masyarakat dan tidak tertentu bagi seseorang

Dalam hubungannya dengan hukuman had maka pengertian hak Allah di sini adalah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh Negara.

Jarimah hudud ini ada tujuh macam antara lain sebagai berikut, 1) Tindak pidana perzinaan (jarimah zina)

2) Tindak pidana tuduhan zina (jarimah qadzaf)

3) Tindak pidana meminum minuman keras (jarimah syurbul khamr)

4) Tindak pidana pencurian (jarimah pencurian) 5) Tindak pidana Perampokan (jarimah hirabah) 6) Tindak pidana murtad (jarimah riddah)

7) Tindak pidana pemberontakan (jarimah al-baghy13)

Dalam jarimah zina, syurbul khamr, hirabah, riddah, dan

pemberontakan yang dilanggar adalah hak Allah semata-mata. Sedangkan

12

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah), h. 17-18

13


(30)

dalam jarimah pencurian dan qadzaf (penuduhan zina) yang disinggung disamping hak Allah, juga terdapat hak manusia (individu), akan tetapi hak Allah lebih dominan.

b) Pidana qhishaswadiat

Jarimah qhishas dan diat adalah hukuman yang diancam dengan hukuman dengan qhisas dan diat. Baik qhishas maupun diat keduanya adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’. Perbedaannya dengan hukuman

had adalah bahwa had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan

qhishas dan diat adalah hak manusia (individu). Adapun yang dimaksud dengan hak manusia sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut sebagai berikut.

܊

ڱܽ

݆ܳا

۹ﺪ

ܺ

݊ﺎ

۾ܳ

ڰ݇

ܽـ

۸ݑ

ݎܻ

ܱ

܎

ﱞصﺎ

݆ﻮ

܊ا

݊

ܳڰـ

ݛ

ݍ

݊

ݍ

ڰݏ݆ا

سﺎ

Artinya: “hak manusia adalah hak yang manfaatnya kembali kepada

orang tertentu

Dalam hubungannya dengan hukuman qhishas dan diat maka

pengertian hak manusia di sini adalah hukuman tersebut bisa dihapuskan atau dimaafkan oleh korban atau keluarganya.

Dengan demikian maka ciri khas dari jarimahqhishas dan diat itu adalah

1) hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan


(31)

2) hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku.

c) Tindak pidanata’zir

Tindak pidana ta’zir (jarimah ta’zir) adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir. Pengertian ta’zir secara bahasa ialah ta’dib atau memberi pelajaran. Tapi secara istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh

Imam al-Mawardi, ta’zir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak

pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara’. Secara ringkas dapat dikatakan hukuman jarimahta’zir itu adalah hukuman yang belum ditetapkan

oleh syara’, melainkan diserahkan kepada Ulil Amri (pemerintah), baik

penentuannya maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman tersebut, penguasa hanya menetapkan hukuman secara global saja. Artinya pembuat Undang-Undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimahta’zir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang ringan seringannya dan berat seberatnya.

Ciri khas dari jarimahta’zir adalah.

1) hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas, artinya hukuman tersebut

belum ditentukan oleh syara’ dan ada batas minimal dan maksimal. 2) penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa14.

14

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah), h. 19


(32)

Telah disebut di atas beberapa jarimah yang dikenai hukuman mati dan akan dijelaskan disini yaitu,

a. Makar atau pemberontakan (al-Baghyu15)

Ada beberapa defenisi dari para ulama fiqh atau mazdhab mengenai perbuatan makar16, tapi apabila ditarik kesimpulan dari perbedaan defenisi tersebut, maka dapat dipahami makar adalah tindakan sekelompok orang yang memilki kekuatan untuk menentang pemerintah, dengan sebab adanya perbedaan paham mengenai masalah kenegaraan. Syariat Islam memberikan sanksi keras terhadap jarimah makar, karena jika tidak demikian maka akan timbul, kekacauan, anarki, serta ketidaktenangan masyarakat. Tindakan keras tersebut berupa diterapkannya hukuman mati bagi pelaku makar.

Berdasarkan firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat (9)

وإ

ن

ܪ

ﺋﺎ

ܻۿ

نﺎ

݊

ݍ

݋݆ا

݊ݏ

ݛ

ݍ

ܾا

ۿۿ

݇ﻮ

ا

ܺﺄ

ܢ

݇

܋

ﻮا

۸ا

ݛݏ

݋ﺎ

ܺﺈ

ن

۸ܷ

۽

إ

܊

ها

݋ﺎ

ܲ

݇

ﻷا

܎

ى

ܺܿ

ۿ݇

ﻮا

ڰ݆ا

ۿ

۾۹

ܷ

܊

ڰۿ

۾ܻ

ء

إ݆

أ݊

ﷲا

ܺﺈ

ن

ܺ

ءﺎ

ت

ܺﺄ

ܢ

݇

܋

ﻮا

۸ݛ

ݏﻬ

݋ﺎ

۸

݆ܳﺎ

ل

وأ

ܾ

ܛ

ـ

ܫ

ﻮﺁ

إ

ڰن

ﷲا

ݚ

܋

ڱ۷

݋݆ا

ܿ

ܛ

ـ

ݛܫ

ݍ

.

)

تاﺮ܇܋݆ا

:

٩

(

15

Dari segi bahasa Al-baghy memiliki beberapa arti antara lain: ﻢﻈﻟا (zhim/aniaya), ﻨﺎ ﻟا (perbuatan jahat), نﺎﻴﺼﻟا (durhaka), ّ ﺤﻟا لوﺪ ﻟا (menyimpang dari kebenaran), dan يّﺪ ﻟا (melanggar dan menentang), lihat, Muhammad ibn Ismail al-Kahlani, Subulus as-Salam, juz III, h. 257; Wabah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa adillatuh, juz, VII, h. 142; dan Ahmad Warson Munawwir, KamusMunawwir, h. 106

16

kumpulan tulisan dosen-dosen Fak. Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta, Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek, Dan Tantangan, editor, Jaenal Aripin, dan M. Askal Salim GP, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 58-59


(33)

Artinya: “dan jika ada golongan dari orang-orang mu’min berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongnm yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah) maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil

Ketentuan yang lebih tegas mengenai hukuman ini dijelaskan dalam hadis Nabi SAW.

و

ܲ

ݍ

ܲ

ܺ

܇

۸ا

ݍ

ܞ

ݚ

܉

ܾ

لﺎ

ܚ

݋

ܳ

۽

ر

ܚ

ل

ﷲا

ص

م

ݚܿ

ل

݊

ݍ

أ۾

آ

݉ـ

وأ

݊

آ

݉ـ

܆

݋ݛ

ܱ

ݚ

ݚﺪ

أ

ن

ݚܻ

ق

܆

݋

ܲﺎ

ۿﻜ

ـ݉

ܺ

ܾﺎ

ۿ݇

ݐ

)

أ

܎

܆

ݑ

݊

ܛ

݇݉

(

Artinya: “dari ‘Arfajah ibn Syuraih ia berkata: saya mendengar

Rasullah Saw. Bersabda: barang siapa yang datang kepada kamu sekalian, sedangkan kalian telah sepakat kepada seseorang pemimpin, untuk memecah belah kelompok kalian, maka bunuhlah ia ”. (HR. Muslim17)

b. JarimahMurtad (riddah)

Hukuman mati bagi orang yang murtad (keluar dari agama Islam) didasarkan kepada firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat (217)

☺ ⌦ ☺ . ) ةﺮܿ۹݆ا : ٧ (

Artinya: “barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya,

lalu dia mati dalm kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya

17


(34)

Ayat di atas hanya menjelaskan hukuman bagi orang murtad di akhirat

tidak di dunia, tapi hukuman di dunia dijelaskan oleh Nabi SAW18.

Sebagaimana dalam hadisnya:

و

ܲ

ݍ

۸ا

ݍ

ܲ

ڰ۹

سﺎ

ر

ﺿ

ݙ

ﷲا

ܲ

ݏﻬ

݋ـ

ܾ

لﺎ

ܾ

لﺎ

ر

ܚ

ل

ﷲا

ܢ

ڰ݇

ﷲا

ܲ

݇ݛ

ݑ

و

ܚ

ڰ݇݉

݊

ݍ

۸ڰﺪ

ل

د

ݚݏ

ݑ

ܺﺎ

ܾۿ

݇ﻮ

ݐ

Artinya: “dari ibnu abbas ra, ia berkata: telah bersbda Rasulullah SAW: barang siapa mengganti agamanya maka bunuhlah ia”.

(HR. Bukhari) 19

c. Zina Muhshan (sudahmenikah)

Hukuman rajam bagi zina muhshan, rajam adalah hukuman yang

diakui seluruh fuqaha kecuali kelompok Azariqah dari golongan Kwarij. Mereka tidak menerima hadis jika tidak mencapai batas mutawwatir menurut

mereka, hukuman bagi orang zina muhshan dan hukuman zina ghair

muhshan adalah dera, dalilnya merujuk pada surah an-Nur ayat (2)

☺ ☺ ☺ ⌧ ⌧ ☺ ) ﺮݏ݆ا : ( 18

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah), h. 152

19


(35)

Artinya: “perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”

Pendapat para ulama di luar kelompok Azariqah dari golongan kwarij menyatakan hukuman bagi pezina muhshan (sudah menikah) hukumannya adalah rajam yang bentuk hukumannya merupakan membunuh orang yang berzina dengan cara melemparinya dengan batu atau yang sejenis batu. 20 d. Perampokan (hirabah)

Orang yang melakukan Perampokan sama halnya dengan memerangi Allah dan Rasulnya, kata memerangi ini sama dengan melawan Allah dan Rasulnya, dapat dimengerti bahwa perampokan sangatlah dilarang dalam Islam dan larangan itu sesuai dengan dampak serta bahaya yang ditimbulkan

dari perampokan, bukan hanya mengancam harta bahkan nyawa21. Dalam

surah al-Maidah ayat (33) Allah berfirman:

20 Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Abdul Qadir Audah…, h. 182 21

Jaenal Aripin, M. Askal Salim GP, (editor), Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek, dan Tantangan…, h. 133


(36)

)

ﺎ݋݆ا ةﺪﺋ

: (

Artinya: “sesungguhnya balasan bagi orang yang memerangi Allah

dan Rasulnya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka itu dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya), yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar

Sangatlah jelas maksud ayat di atas, menegaskan bahwa tindak pidana perampokan merupakan kejahatan yang dikategorikan melawan Allah dan Rasulnya. Karena perampokan dapat meresahkan dan mengganggu keamanan masyarakat umum.

Ada empat macam hukuman bagi pelaku tindak pidana perampokan (hirabah), dan empat macam hukuman ini dikenakan pada pelaku dilihat dari kadar perbuatannya.

1) hukuman mati

2) hukuman mati dan salib

3) hukuman potong tangan dan kaki

4) hukuman pengasingan22

22

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah), Cet, Ke- 1, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004), h. 149-151


(37)

C. Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati dalam Hukum Islam

Melihat doktrin hukum Islam yang merupakan the living law di Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim dan terbesar di dunia, di sebutkan dalam mengeksekusi terpidana mati haruslah memenuhi syarat ihsan al-qathlu (eksekusi yang paling baik) yakni, melakukan eksekusi dengan cara yang paling baik, sehingga mempermudah kematian. Bahwa yang diajarkan oleh Islam, setiap orang di suruh untuk melakukan perbuatan, bahkan bukan hanya perbuatan, mau berbicara, bersikap, berbuat apapun juga termasuk dalam membunuh kalau memang itu di syariatkan untuk membunuh maka harus dilakukan dengan jalan yang baik. Bahwa dalam peperangan misalnya, orang Islam tetap dilarang untuk melakukan mamatsal atau mencincang atau menyiksa musuh sebelum dibunuh. Sebelum maupun sesudah mati musuh tidak boleh diperlakukan dengan jelek, artinya disiksa sebelum dibunuh maupun dicincang sesudah dia mengalami

kematian23. Bukan hanya itu, bahkan untuk menyembelih binatangpun Islam

mengajarkan agar kita melakukan dengan baik24, salah satu contoh hadis yang diriwayatkan oleh Muslim:

܊

ڰﺪ܂

ݏﺎ

أ۸

۸ﻜ

۸

ݍ

أ۸

ݙ

ܞ

ݛ۹

܊

ڰﺪ܂

ݏﺎ

إ

ܚ

݋

ܲﺎ

ݛ

݅

۸

ݍ

ܲ

݇ݛ

ܲ

ݍ

܎

݆ﺎ

܋݆ا

ءا

ܲ

ݍ

أ۸

ݙ

ܾ

ݣ

۸ﺔ

ܲ

ݍ

أ۸

ݙ

ﻷا

ܞ

ܳ

܁

ܲ

ݍ

ܞ

دا

۸

ݍ

أو

س

ܾ

لﺎ

إ܂

ݏۿ

نﺎ

܊

ܻ

ۿﻬ

݋ﺎ

ܲ

ݍ

ر

ܚ

ل

ا

ܢ

ڰ݇

ﷲا

ܲ

݇ݛ

ݑ

و

ܚ

ڰ݇݉

ܾ

لﺎ

إ

ڰن

23

Muhammad Iqbal, Fiqih Siayasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, Cet, Ke-2, (Jakarta: Yofa Mulia Offset, 2007), h. 258

24

Yusuf al-Qaradhawi, Retorika Islam: Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam, terj. H.M Abdul Noor Ridlo, Cet, Ke- 1, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004), h. 121


(38)

Artinya, “telah berkata Abu Bakr bin Abi Saybah, dari Isma’il bin ‘Uliyat, dari Khalid al-Haja’, dari Abi Qulabah, dari Abi al-As’ash, dari Saddad bin A’us, mereka memberi kabar dan menghapalnya dari Rasulullah SAW: Sesungguhnya Allah itu telah menetapkan kebaikan atas segala sesuatu, maka apabila kalian membunuh, maka baikkanlah cara membunuhnya, dan apabila kalian menyembelih binatang, maka baikkanlah cara penyembelihannya, dan hendaklah salah seorang di antara kalian itu menajamkan pisau sembelihannya, supaya bisa menenangkan bintang sembelihannya”.

Hadis tersebut adalah hadis yang sahih dimuat oleh Muslim dalam suruhan untuk membaguskan cara menyembelih dan membunuh dengan menajamkan pisau, sehingga kalau syariat menetapkan bahwa boleh dilakukan pembunuhan maka pembunuhan hendaknya dilakukan dengan cara yang paling baik, yang tidak memberikan sesuatu yang buruk berupa siksaan, oleh karena untuk menyiksa binatang saja tidak boleh apalagi kalau dilakukan terhadap manusia. Karena sesungguhnya pemuliaan kepada manusia disyariatkan oleh Tuhan, bisa dilihat atas sebutan manusia sebagai khalifah di dunia. Dalam Islam masalah bagaimana eksekusi mati tidak diatur dalam al-Quran, melainkan dijelaskan dalam beberapa hadis yang isinya antara satu dan yang lainnya tidak sama. Itulah sebabnya para ulama berbeda pandapatnya dalam masalah ini. Menurut Hanafiah dan pendapat yang sahih dari Hanabilah, hukuman qishas dalam jiwa hanya boleh dilaksanakan dengan menggunakan pedang, baik

25

Muslim ibn Hujaz Abu Husaini al- Qusayri al- Naysaburi, Shahih Muslim, juz III, (Beirut: Penerbit, Daarul al-Ihya Atturas al- Qirobi), h. 1547


(39)

ݢ

داﻮܾ

ڰݢا

۸

ܛ

ݛ

ܹ

artinya “tidak ada qishas kecualidengan pedang” 27.

Menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, hukuman qishas dilaksanakan dengan alat yang sama yang digunakan oleh pelaku (pembunuh). Tetapi apabila keluarga sikorban memilih pedang sebagai alat eksekusi, maka hal itu diperbolehkan28. Dengan alasan mereka adalah al-Quran surat an-Nhal ayat (126)

☺ )

݅܋ݏ݆ا

:

٦

(

Artinya:dan jika kamu memberikan balasan maka balaslah dengan

balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan padamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang bersabar ”.

Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari al-Barra Ibn ‘Azib, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

26

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Menurut Alquran, (Jakarta, Diadit Media, 2007), h. 196-197

27

Wahbah Zuhaili, al- Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VI, (Damaskus : Darul-Fikr, 1989), h. 283

28


(40)

݊

ݍ

܊

ڰﺮ

ق

܊

ڰﺮ

ܾݏ

،ﺎ

و

݊

ݍ

ܶ

ڰﺮ

ق

ܶ

ڰﺮ

ܾݏ

ݐﺎ

Artinya, “barang siapa membakar seseorang, maka kami akan

membakarnya, dan barang siapa menhanyutkannya, maka kami akan menghayutkannya”29

.

Untuk pidana selain jiwa, pelaksanaan qishas tidak boleh dengan pedang atau alat lainnya yang dikhwatirkan akan berlebihan. Oleh karenanya alat yang digunakan adalah pisau, silet atau sejenisnya yang penggunaanya mudah, praktis dan tidak akan menimbulkan kelebihan30.

D. Praktik Pidana Mati di Negara-negara Muslim

Sebelumnya perlu dijelaskan di sini maksud dari arti pendefinisian dari “Negara Muslim” yang digunakan dalam penelitian ini. Dunia muslim saat ini terbagi-bagi ke dalam sejumlah Negara-bangsa berdaulat yang terpisah-pisah. Sebagian kecil Negara-negara ini secara khusus menyatakan diri sebagai Republik Islam, sebagian lain menyatakan Islam adalah agama negara di dalam konstitusi mereka, namun sebagian besar cuma terindentifikasikan sebagai negara muslim berdasarkan penduduk mereka yang sebagian besar muslim dan ketaatan masyarakat pada Islam31. Dalam hal definisi negara muslim penelitian ini satu kriteria berbeda dari beberapa di atas. Penelitian ini mengambil dan

29

Wahbah Zuhaili, al- Fiqh al-Islami wa Adillatuh, h. 284 30 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Menurut Alquran, h. 198 31


(41)

mendefinisikan negara muslim adalah dari keanggotaan di Organisasi Konferensi Islam (OKI). Bahwa keseluruhan 57 Negara anggota OKI bisa didefinisikan sebagai negara muslim di ketahui dari tujuan pertama piagam organisasi tersebut, yaitu memajukan nilai-nilai spiritual Islam, etis, sosial, dan ekonomi di antara Negara-negara anggotanya32.

Pada bab sebelumnya sudah dipaparkan macam-macam bentuk pidana yang diancam dengan pidana mati dan dasar-dasar pemidanaan dalam hukum Islam. Menjalankan syariat adalah suatu keharusan bagi umat muslim, yang di makssud menjalankan syariat adalah umat Islam dalam menjalakan kehidupannya di dunia menjadi keharusan berpedoman pada dasar tuntunan ajaran Islam yaitu, al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, namun seiring perubahan zaman dan demikian berubah pula kebutuhan umat manusia yang begitu kompleks sedangkan permasalahn ini harus direspon atau ditanggapi oleh Islam, maka sangat dibutuhkan sekali peran ulama atau pemikir Islam dalam ijtihad hukum yang sesuai zaman atau tafsiran ajaran agama yang sesuai konteks sekarang. Upaya pembaharuan ajaran Islam tidaklah berarti melanggar syariat, tetapi selalu memegang prinsip dasar ajaran Islam (al-Quran dan Sunnah). Sebagai contoh pada bahasan tata cara pelaksanaan pidana mati yang mana sekarang adanya perubahan cara bentuk pelaksanaannya, seiring dengan perubahan nilai kemanusiaan serta telah majunya alat tehnologi yang dapat digunakan dalam

32


(42)

melaksanakan hukuman mati untuk menghindari terjadinya rasa sakit yang tidak diperlukan dalam proses hukuman mati, yang dapat terjadinya penyiksaan terhadap terpidana mati, maka dunia Islam perlu mempertimbangkan lagi praktik pidana mati yang selama ini diterapkan.

Pada bahasan ini tidak menjelaskan norma yuridis pidana mati dari beberapa Negara-negara muslim karena cukup banyak dan tidak terlalu terkait dalam penelitian ini. Jadi cukup memaparkan tata cara pelaksanaan pidana mati dari beberapa macam bentuk pidana mati di dunia muslim, sebagaimana berikut33.

BENTUK PIDANA MATI DI NEGARA-NEGARA MUSLIM No. Nama

Negara

Digantung Penggal Leher

Ditembak Dirajam Keterang an

1. Iran -

2. Irak -

3. Jordan -

4. Arab Saudi

-

5. Qatar -

6. Yaman -

7. Libya -

8. Palestina -

9. Afghanist an

-

10. Malaysia -

11. Indonesia -

33

Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-VI/2008 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati.


(43)

Dari beberapa contoh bentuk pidana mati di Negara-negara muslim dalam bagan di atas dapatlah dipahami bahwasahnya tata cara pelaksanaan pidana mati di sebagian dunia muslim masih memakai cara “tradisional” singkatnya belum menggunakan alat modern lainnya seperti, kursi listrik, suntik mati, dan ruang gas. Menggunakan Alat-alat modern dimaksudkan adalah upaya menghindari praktik pidana mati yang dapat menimbulkan penyiksaan dalam proses hukuman mati. Karena sudah dijelaskan di atas Islam mengajarkan kebaikan dalam segala tindakan sehari-hari khususnya dalam penerapan hukuman. Namun bukanlah berarti dari beberapa pilihan tata cara pelaksanaan pidana mati tersebut tidak menganut asas penghormatan kemanusiaan dalam hukuman mati, karena secara prisip umum ajaran Islam menganjurkan selalu berbuat baik dalam setiap perbuatan yang akan dilakukan umat Islam, tidak hanya ketika menerapkan hukuman namun di setiap asfek kehidupan. khususnya di Indonesia yang mana penduduknya mayoritas beragama Islam, mempunyai kewajiban untuk menjalankan prinsip-prinsip yang telah disyariatkan dalam hal ini upaya menerapkan hukuman mati yang manusiawi, penghormatan atau menjaga martabat manusia serta menghindari hukuman yang kejam atau keji atau tidak manusiawi. Upaya penerapan hukuman yang lebih manusiawi dan beradab terdapat pada sila kedua Pancasila yaitu, “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” yang mana Pancasila adalah dasar kenegaraan Indonesia dan tercermin ke UUD 1945. Indonesia memakai bentuk tata cara pidana mati dengan cara ditembak jantung tertera dalam Undang-Undang No. 2/pnps/ 1964 tentang tata cara


(44)

pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan dilingkungan peradilan umum dan militer. Apakah cara ditembak jantung bertentangan dengan sila kemanusiaan atau hukuman yang beradab akan di bahas pada bab selanjutnya.


(45)

A. Pidana Mati: Antara Norma Yuridis dan Praktik

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hukuman mati termasuk dalam kategori sanksi pidana pokok terhadap kejahatan pidana tertentu yang terdapat dalam beberapa pasal dengan ancaman hukuman mati,1 dan

hukuman mati termasuk salah satu bentuk hukuman yang dapat di jatuhkan kepada seseorang jika ia terbukti bersalah telah melakukan kejahatan tertentu, dan dari pandang sudut yuridis pidana mati masih dipertahankan hal tersebut di dasarkan atas teori absolut (aspek pembalasan) dan teori relatif (aspek menakutkan).2 Hukuman mati yang diberlakukan di Indonesia tidaklah dapat

diterima semua kalangan khususnya para pakar hukum, pro dan kontra terhadap pidana mati sudah sejak lama menjadi perdebatan yang hangat hingga sampai sekarang, kedua pihak mempunyai alasan atau argumen tentang permasalahan pidana mati namun nyatanya sampai sekarang perdebatan tak menemukan titik temu atau tak kunjung selesai dan harus diakui pidana mati hingga kini tetap

1

Pasal 10 dalam, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (KUHP)

2

Djoko Prakoso dan Nurwahid, Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, Cet, Ke-1, (Jakarta; Ghia Indonesia, 1989), h. 52


(46)

berlaku di Indonesia. Bahasan ini mencoba memaparkan pidana mati dilihat dari segi yuridis dan praktik serta menjelaskan perbedaan-perbedaan pendapat dari tema ini.

1. Pidana Mati Secara Yuridis.

Pidana dipandang suatu nestapa yang kenakan kepada pembuat karena melakukan delik. Ini bukan tujuan akhir namun tujuan terdekat. Inilah perbedaan pidana dan tindakan karena tindakan dapat berupa nestapa juga tetapi bukan tujuan. Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat menjadi satu, yaitu memperbaiki pembuat.3 Tujuan pidana untuk waktu yang panjang dapat

menunjukkan perubahan kearah yang lebih manusiawi dan rasional. Dalam segi tujuan atau retribution (revenge) bisa memberikan kepuasan pihak yang dirugikan atau pihak korban kejahatan walaupun dalam hal ini disebut alasan yang primitif namun masih mempunyai pengaruh terhadap pada zaman sekarang.4

Sebelum membahas lebih jauh lagi, perlu diketahui dahulu tujuan dan landasan teori dari pemidanaan itu sendiri karena pembahasan ini tidak dapat dipisahkan dan dari tujuan pemidanaan, dengan begitu dapat mengetahui dasar-dasar dan tujuan pidana mati. Ada beberapa pendapat dari tujuan

3

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 27


(47)

pemidaan apabila dilihat dari teori-teori hukum (straf theorien) secara garis besarnya dapat dibagi atas tiga macam, yaitu:5

Teori absolut atau teori pembalasan (absolute strafrechs theorien). Menurut teori ini, setiap kejahatan harus dibalas dengan hukuman tanpa memperhatikan akibat yang mungkin timbul dari dijatuhkan hukuman tersebut, sehingga teori ini hanya melihat masa lampau, tanpa memperhatikan masa akan datang, penganut dari teori ini antara lain Kant dan Hegel. Ada kata-kata Kant yang populer mengenai ini:6

“andaipun besok dunia akan kiamat, penjahat yang terakhirpun harus tetap dipidana mati pada hari ini”

Jadi, menurut teori pembalasan ini tujuan hukuman adalah penghukuman itu sendiri.

Selanjutnya teori relatif atau teori tujuan (doel theorien). Menurut teori ini tujuan hukuman adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum, ada dua tujuan dari pencegahan atau prevensi. Pertama, masyarakat, hukuman dijatuhkan agar masyarakat tidak melakukan kejahatan atau pelanggaran, di sebut juga sebagai prevensi umum (generale preventie). Kedua, pembahasan dari segi terhukum atau terpidana, hukuman dijatuhkan dengan tujuan agar terhukum tidak melakukan kembali perbuatannya. Dalam artian hukuman

5

Ahkiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, Cet, Ke- 1, (Jakarta: Aksara Persada, 1985), h. 85-87

6

Djoko Prakoso, Masalah Pidana Mati (Soal Jawab), Cet, Ke- 1, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 106


(48)

yang dijatuhkan untuk memperbaiki diri terhukum agar tidak berbuat kembali, yang sebut prevensi khusus (special preventie)

Terakhir berdasarkan teori gabungan (verenigings theorien). Menurut teori ini, hukuman mengandung unsur pembalasan dan pencegahan terhadap terjadinya kejahatan dan pelanggaran, sehingga tata tertib mayarakat tidak terganggu, serta memperbaiki pelaku atau si penjahat.

Dari uraian beberapa teori hukum diatas, dapatlah dipahami pidana mati berdasarkan teori hukum tersebut, memang hingga saat ini para sarjana hukum masih memberikan jawaban yang berlandaskan teori absolut atau pembalasan, teori relatif atau tujuan dan teori gabungan ini, dan alasan penganut tiga teori hukum di atas (absolut,relatif, dan gabungan) adalah dari segi pencegahan kejahatan dianggap paling efektif untuk menakuti orang untuk tidak melakukan kejahatan. Walaupun ada pendapat mengatakan hukuman mati berdasarkan teori di atas saat ini sulit dipertahankan karena secara fakta berdasarkan teori di atas tidak membuktikan berkurangnya kejahatan. Pendapat J.E. Sahetapy,7 teori tersebut sulit dipertahankan

kalaupun hendak dipertahankan cukup menjadikannya dalam rangka sumber referensi saja. Sebab teori tersebut didasarkan pemikiran secara transendental atau secara “conceptualabtractioan” belum dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Dalam lingkup tujuan pidana mati untuk Indonesia haruslah

7


(49)

berdasarkan Pancasila sebagai kesadaran hukum, harus diketahui pidana bukanlah tujuan “an sich” melainkan pidana dilihat sebagai suatu prasarana atau sarana yang mempunyai tujuan membebaskan. Pembebasan tidak identik dengan pengertian rehabilitasi atau reformasi namun pembebasan pelaku dari pikiran jahatnya dan juga dibebaskan dari kenyataan sosial tempat ia terbelengguh. Mengenai tujuan pemidanaan di Indonesia sebagaimana yang dirumuskan oleh BPHN dalam konsep rancangan KUHP Nasional sebagai berikut:8

1. Untuk mencegah dilakukannya perbuatan pidana demi pengayoman sila masyarakat dan penduduk.

2. Untuk membimbing agar terpidana insaf menjadi anggota masyarakat berbudi baik dan berguna.

3. Untuk menghilangkan noda yang diakibatkan oleh perbuatan pidana. Di bawah ini ada bebrapa pendapat yang mendukung diberlakukannya hukuman mati sebagai berikut:9

1. Lebih efektif dari ancaman hukuman lainnya, karena mempunyai efek menakuti.

2. Lebih hemat dari hukuman lainnya.

3. Untuk mencegah tindakan publik menghakimi pelaku pidana.

8

Djoko Prakoso, Masalah Pidana Mati (Soal Jawab), h. 94

9


(50)

4. Satu-satunya hukuman yang dapat ditentukan dengan pasti, karena pembunuhan yang dijatuhi hukuman seumur hidup, sering mendapat pengampunan.

5. Anggapan hukuman mati tidak bertanggung jawab dengan

perikamanusiaan, tetapi upaya melindungi bahkan melindungi perikemanusiaan itu sendiri.

Adapun pendapat pihak yang menolak hukuman mati sebagai berikut:10

1. Hukuman mati tidak selalu efektif sebagai cara menakuti pelaku pidana.

2. Pembebasan dari hukuman mati tidaklah menimbulkan penghakiman sendiri oleh publik.

3. Melanggar nilai-nilai kemanusiaan dan cenderung membenarkan pembunuhan.

4. Kesalahan dalam peradilan tidak dapat diperbaiki kembali. 5. Hanya tuhan yang berhak mencabut nyawa manusia.

Mereka yang menolak pidana mati menyatakan bahwa pidana mati tidak layak dilaksanakan karena hanya Tuhanlah yang berhak mencabut nyawa, selain itu juga tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan yaitu, education

10


(51)

dan rehabilitation. Negara yang menjalankan pidana mati dianggap tidak berhasil menyelesaikan masalah namun memberi contoh yang buruk.11

Sebenarnya pro dan kontra hukuman mati, perdebatan kedua pihak berpandangan dua asas dan konsepsi yang sama. Jika hukuman mati ditentang karena dipandang tidak efektif dan tidak memiliki efek jera, dan pihak mendukung hukuman mati berpandangan sebaliknya. Kedua pihak sama-sama menggunakan asas utilitarian dan deontologis. Asas utilitarian muncul dalam argumen efek jera, dan asas deontologis muncul dalam argumen hukuman mati sebagai penandaan atau pemuliaan kehidupan.12

2. Pidana Mati Secara Praktik.

Pada zaman belanda praktik pidana mati di Indonesia dengan cara digantung, yang tertera dalam KUHP pasal 11.

pidana mati dijalankan oleh algojo pada tempat gantungan dengan menjerat tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri ”.

Setelah kemerdekaan Indonesia memakai tata cara pidana mati dengan tembak sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang No. 2/pnps/1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati. Ada banyak macam cara pidana mati didunia, seperti: cara digantung, penggal leher, ditembak,

11

Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan, Cet, Ke-5, (Jakarta: Ghia Indonesia, 1985), h. 63-64

12

Agung Putri, ”Direktur Eksekutif Elsam, Keharusan Hukum Untuk Mati”, Kompas. (Jakarta), 2 November 2007


(52)

ruang gas, suntik mati, dan kursi listrik. Di Indonesia terdapat 16 hukuman mati baik didalam KUHP dan diluarnya yaitu,13 pidana mati yang terdapat

dalam KUHP: Makar membunuh Kepala Negara (pasal 104), mengajak atau menghasut negara lain menyerang Indonesia (pasal 111 ayat 2), melindungi atau menolong musuh yang berperang melawan Indonesia (pasal 124 ayat 3), membunuh Kepala Negara Sahabat (pasal 140 ayat 3), pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu (pasal 140 ayat 3 dan pasal 340), pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih dengan merusak rumah yang mengakibatkan luka berat atau mati (pasal 365 ayat 4), pembajakan di laut, di tepi laut, di tepi pantai, di sungai sehingga ada orang yang mati (pasal 444), menganjurkan pemberontakan atau huru-hara para buruh terhadap perusahaan pertahanan negara pada waktu perang (pasal 124), waktu perang menipu dalam menyerahkan barang-barang keperluan angkatan perang (pasal 127 dan pasal 129), dan pemerasan dengan kekerasan (pasal 368 ayat 2). Dan hukuman mati yang terdapat di luar KUHP diancam hukuman mati terdapat peraturan perUndang-Undangan antara lain adalah: Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang senjata api, Penetapan Presiden No. 5 tahun 1959 tentang wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan, Peraturan Pemerintah Pengganti


(53)

UU No. 21 tahun 1959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi, UU No. 11/pnps/1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi, UU No. 4 tahun 1976 tentang perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam KUHP perluasan berlakunya ketentuan perUndang-Undangan pidana, kejahatan, penerbangan, dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan, dan UU No. 9 tahun 1976 tentang narkotika. selanjutnya secara praktik setidaknnya ada tiga jenis tindakan pembunuhan oleh Negara yang mengemuka saat ini:14

(a) hukuman mati berdasarkan due process of law. Misalnya pengadilan perkara narkoba, sekalipun masih perlu ditinjau lebih jauh, boleh digolongkan sebagai pengadilan dengan sanksi hukuman mati yang due process of law.

(b) hukuman mati tidak berdasarkan due process of law. Ini telah terjadi pada pengadilan-pengadilan politik seperti yang dialami oleh terdakwa kasus pembajakan pesawat woyla, terdakwa peristiwa G3OS. Khusus yang terakhir bahkan Mahkamah Militer luar biasa tidak memiliki prosedur banding.

(c) selain dua jenis diatas proses hukuman ini, aparatur Negara juga menghukum tanpa melalui pengadilan, disebut extra-yudicial

14


(54)

killings.15 Ini dilakukan oleh aparat keamanan kepolisian dan

militer dan bukan berdasarkan keputusan pengadilan atau perintah Kejaksaan Agung. Ini paling banyak memakan korban, terutama di daerah konflik, seperti aceh, papua, dll. Misalnya, petugas Kepolisian Resort Khusus Bandara Soekarno Hatta, menembak mati dua tersangka pencuri (Roni Pettera, 31 tahun dan Davit Permando, 18 tahun) biasa beroperasi di Bandara Soekarno Hatta. Ditembak karena berusaha lari ketika diminta menunjukkan tempat persembunyian komplotan mereka.16

Tiga jenis ini dapat diberlangsung bersamaan, dalam keadaan damai ataupun dalam suatu operasi militer. Pendapat Harkristuti Harkrisnowo17,

mengatakan vonis hukuman mati di Indonesia berbeda dengan yang berlaku di Negara lain. Di Indonesia tidak ada standar waktu kapan suatu proses hukum selesai dari tingkat peradilan ke peradilan tingkat lainnya. Waktu pemberian atau menolak grasi sering sampai bertahun-tahun dari diajukannya permohonan menjadi kurangnya efek jera. Dalam ruang lingkup praktik

15

Exra judisial: di luar acara peradilan, lihat. Chrustine S.T. Kansil, Kamus Istilah Aneka Hukum, Cet, Ke- 3, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004), h. 10

16

”Dua Pencuri di Bandara ditembak Mati” Topik diakses 30 Agustus 2009 dari http://www.ui.ac.id/download/kliping/040205/Dua_Pencuri_di_Bandara_Ditembak_Mati.pdf

17

Sinar Harapan, Taggal 13 Juli Tahun 2004, Haman 7 Kolom 1-3, lihat http://www.ui.ac.id/download/kliping/140704/Efek_Jera_Hukuman_Mati_Dipertanyakan.pdf, diakses, 30 Agustus 2009


(55)

hukum mati, bagi pihak yang menolak tegas dengan alasan:18 hukuman mati

melanggar hak hidup (right to life) seseorang yang tidak dapat dikurangi atau hak yang fundamental (non-derogable right), dan juga atas dasar realitas pelaksanaan hukuman di Indonesia masih tidak netral dan korup. Dalam maksud secara praktik hukuman mati terjadi pada mereka yang lemah secara hukum dan politik, sebaliknya bagi mereka yang mempunyai kekuatan atau pengaruh. Berbeda dengan pendapat mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, yang mengatakan pengahapusan hukuman mati di Indonesia belum bisa dilakukan karena institusi penegak hukum masih lemah, seperti kepolisian dan kejaksaan, serta institusi pemasyarakatan masih lemah. Bila hukuman mati ditiadakan situasi Indonesia makin memburuk, khusunya pada kasus narkotika dan obat-obatan yang berbahaya.19 Terlepas dari perdebatan pro dan kontra

berlakunya hukuman mati. Dari berbagai macam cara pidana mati tersebut yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat penghormatan nilai-nilai kemanusiaan dalam mengeksekusi pelaku terpidana mati, dalam artian upaya menjaga martabat dan derajat kemanusiaan dihadapan hukum.

18

Berita Kontras, Hukuman Mati Di Indonesia: Matinya Hukum Nurani, (Jakarta) No. 02/III-VI/2005 h. 5

19

Kejaksaan Agung Tolak Penghapusan Hukum Mati, Kompas, (Jakarta) 16 Desember 2004 h.7


(1)

tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”, yang menjadi dasar keberlakuan UU 2/Pnps/1964 sampai sekarang, karena undang-undang yang baru yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan pidana mati belum ada;

d. bahwa dengan demikian, dalil-dalil Pemohon mengenai pengujian formil tidak beralasan, sehingga harus ditolak.

Tentang Pengujian Materiil

[3.19] Menimbang bahwa meskipun dalam petitum Pemohon hanya mengajukan permohonan pengujian formil, akan tetapi karena dalam posita dan proses pembuktian yang diajukan oleh Pemohon lebih berkaitan dengan uji materiil undang-undang, maka Mahkamah mempertimbangkan juga permohonan pengujian materiil Pemohon atas undang-undang a quo;

[3.20] Menimbang bahwa sepanjang mengenai pengujian materiil UU 2/Pnps/1964, khususnya Pasal 1, Pasal 14 ayat (3) dan ayat (4) terhadap Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, Pemohon mendalilkan, hukuman mati yang dilakukan dengan cara ditembak hingga mati, menimbulkan pengertian, kematian yang diterima oleh terpidana tidak sekaligus terjadi dalam ”satu kali tembakan”, namun harus dilakukan secara berkali-kali hingga mati, sehingga terjadi penderitaan yang amat sangat sebelum terpidana akhirnya mati, padahal terpidana mati pun tetap memiliki hak konstitusional untuk tidak disiksa. Terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah memberi pendapat sebagai berikut:

[3.20.1] bahwa ukuran yang harus dipedomani tentang penyiksaan harus

mengacu kepada rumusan yang dianut dalam instrumen hukum Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM) yang berlaku di Indonesia, sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishmen (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia). Pasal 1 angka 4 Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa penyiksaan adalah “setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau pihak ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang


(2)

ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan siapapun dan/atau pejabat publik”. Definisi penyiksaan tersebut telah merujuk dan mengutip sepenuhnya Pasal 1 Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment yang telah diratifikasi tersebut di atas.

[3.20.2] bahwa alasan Indonesia menjadi negara pihak dalam konvensi yang

menentang penyiksaan tersebut di atas, antara lain disebutkan:

1) Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan UUD 1945 sebagai sumber dan landasan hukum nasional, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti tercermin dalam Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Asas ini merupakan amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia bertekad untuk mencegah dan melarang segala bentuk penyiksaan, sesuai dengan isi konvensi;

2) dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945, Indonesia pada dasarnya telah menetapkan peraturan perundang-undangan yang langsung mengatur pencegahan dan pelarangan segala bentuk penyiksaan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Namun, perundang-undangan itu karena belum sepenuhnya sesuai dengan konvensi, masih perlu disempurnakan.

[3.20.3] bahwa rasa sakit yang disebut sebagai penyiksaan, bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah dan wajar, melainkan dilakukan secara sengaja dan melawan hukum untuk tujuan tertentu di luar kehendak mereka yang disiksa. Rasa sakit yang timbul secara alamiah seperti yang dialami oleh setiap wanita yang melahirkan dan orang yang menjalani operasi karena tujuan medis tertentu tidaklah termasuk dalam kategori penyiksaan. Terlebih-lebih lagi, rasa sakit yang timbul dan melekat dalam pelaksanaan pidana mati adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari akan timbul dalam tiap cara pelaksanaan pidana mati. Yang terjadi, sesungguhnya bukan karena pemilihan tata cara pelaksanaannya, melainkan melekat dalam setiap pidana mati yang dijatuhkan hakim, yang oleh Mahkamah telah dinyatakan sebagai sesuatu yang konstitusional. Konvensi secara tegas menyatakan bahwa rumusan penyiksaan yang diatur dalam Konvensi tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh satu sanksi hukum yang berlaku.

[3.20.4] bahwa akan tetapi dalam pelaksanaan pidana mati, Mahkamah


(3)

menghindari pelaksanaan pidana mati yang menimbulkan penderitaan terpidana tersebut secara berkepanjangan, dan juga siksaan yang dirasakan, diukur bukan hanya dari sisi subjektif terpidana sendiri, melainkan juga dari sisi objektif masyarakat, yang akan melihat pokok persoalan demikian dari hal-hal berikut:

• bahwa ukuran dalam menentukan apakah suatu tata cara pelaksanaan pidana mati merupakan sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan tidak biasa, dapat dinilai dari pelaksanaan, yaitu: (i) jika cara yang dilakukan menimbulkan penderitaan yang panjang dan tidak diperlukan dalam menimbulkan kematian; (ii) bertentangan dengan ukuran kesusilaan yang dianut dalam masyarakat; dan (iii) tidak menjaga dan mempertahankan harkat martabat terpidana sebagai manusia;

• bahwa pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak hingga mati tidak selalu terjadi sekaligus dalam ”satu kali tembakan”, namun ada kalanya dilakukan dengan tembakan pengakhir, karena tidak ada jaminan penembakan sekali oleh regu tembak dapat menimbulkan kematian bagi terpidana. Dengan demikian, tetap ada dua kemungkinan bahwa penembakan yang dilakukan oleh regu tembak dapat langsung mematikan dan juga dapat tidak langsung mematikan, hal mana telah menyebabkan bahwa tata cara yang dilakukan dapat menimbulkan penderitaan yang tidak diperlukan oleh terpidana untuk menimbulkan kematiannya. Keterangan Saksi Pastor Charlie Burrows, yang menerangkan bahwa Terpidana Antonius membutuhkan waktu 7 (tujuh) menit mengerang kesakitan sejak tembakan dilakukan ke arah jantung baru dinyatakan meninggal, menimbulkan pertanyaan apakah sesuai dengan ukuran yang diutarakan di atas atau ada tata cara lain yang lebih memenuhi ukuran untuk menghindarkan penderitaan yang tidak diperlukan untuk menimbulkan kematian;

• bahwa keterangan para ahli yang diajukan oleh Pemohon telah menyatakan adanya cara-cara pelaksanaan pidana mati lainnya yang dikenal, yaitu dengan cara dipancung, dikursi listrik, disuntik mati, digantung sampai mati, dan khusus menurut hukum Islam dikenal juga dengan hukuman dirajam sampai mati. Dari keterangan para ahli tersebut diketahui bahwa pidana mati dengan disuntik mati yang dilakukan dengan didahului pembiusan, kalau dilakukan oleh orang yang ahli tidak menimbulkan penderitaan yang tidak perlu, sedangkan hukuman pancung, kalau dilakukan di tempat yang tepat akan menimbulkan kematian yang segera, karena dalam waktu 7


(4)

(tujuh) sampai dengan 12 (dua belas) detik berhentinya darah ke otak akan menyebabkan kematian. Demikian juga hukuman gantung, kalau letak tali tepat di batang leher dan berat badan terpidana cukup, maka dampak kematian juga terjadi secara cukup cepat;

• bahwa akan tetapi meskipun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu dimanfaatkan dalam penegakan hukum, khususnya dalam tata cara pelaksanaan pidana mati, namun berkurangnya penderitaan atau rasa sakit itu sendiri bukanlah merupakan alasan yang cukup dalam menilai konstitusionalitas norma dalam UU 2/Pnps/1964 tersebut, karena pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak sampai mati juga sesungguhnya dapat berlangsung secara cepat, sesuai dengan keterangan ahli, apabila tembakan tepat mengenai jantung terpidana. Sejalan dengan itu, berdasarkan keterangan para ahli yang didengar dalam persidangan tidak ada satu cara pun yang menjamin pelaksanaan pidana mati yang tidak menimbulkan rasa sakit atau kematian dengan cepat;

• bahwa selain itu, baik pidana mati dengan cara dipancung, digantung, maupun ditembak mati dapat menimbulkan efek kematian secara cepat jika dilakukan dengan tepat. Akan tetapi, cara pelaksanaan pidana mati haruslah mempertimbangkan harkat dan martabat terpidana mati. Menurut Mahkamah, pidana mati yang dilakukan dengan ditembak secara tepat dapat menimbulkan kematian cepat dengan tetap menjaga harkat dan martabat terpidana mati;

[3.21] Menimbang bahwa dengan seluruh uraian di atas, maka UU 2/Pnps/1964 yang menentukan pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak, memang menimbulkan rasa sakit yang melekat di dalam pelaksanaan pidana mati sebagai akibat putusan hakim yang sah. Meskipun terdapat tata cara lain dalam pelaksanaan pidana mati sebagaimana dikemukakan para ahli yang dapat menimbulkan kematian lebih cepat dan tidak menimbulkan rasa sakit yang berkepanjangan, tetapi hal tersebut tidak berkaitan dengan konstitusionalitas undang-undang yang diuji, karena dengan cara apapun bila tidak dilakukan dengan tepat, akan menimbulkan rasa sakit, yang mengesankan sebagai penyiksaan. Lagipula, sepanjang yang berhubungan dengan tembakan pengakhir karena kegagalan tembakan pertama tidak terdapat data-data yang membuktikan terjadinya kegagalan tersebut, sehingga Mahkamah harus mengesampingkan.

Namun demikian, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seyogianya dimanfaatkan dalam pencarian cara-cara pelaksanaan pidana mati yang lebih manusiawi, cepat, dan tidak menimbulkan rasa sakit yang lama. Hal tersebut


(5)

merupakan tugas pembentuk undang-undang untuk melakukan pengkajian atas kemungkinan mengubah UU 2/Pnps/1964 agar lebih sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

4. KONKLUSI

Berdasarkan seluruh pertimbangan tentang fakta dan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] bahwa dalil-dalil Pemohon mengenai pengujian formil tidak beralasan,

sehingga harus ditolak;

[4.2] bahwa rasa sakit yang dialami oleh terpidana mati merupakan konsekuensi logis yang melekat dalam proses kematian sebagai akibat pelaksanaan pidana mati terhadap terpidana sesuai dengan tata cara yang berlaku, sehingga tidak termasuk kategori penyiksaan terhadap diri terpidana mati; [4.3] bahwa dari berbagai alternatif tentang tata cara pelaksanaan pidana mati,

selain cara ditembak, seperti digantung, dipenggal pada leher, diestrum listrik, dimasukkan ke dalam ruang gas, dan disuntik mati, semuanya menimbulkan rasa sakit meskipun gradasi dan kecepatan kematiannya berbeda-beda. Tidak ada satu cara pun yang menjamin tiadanya rasa sakit dalam pelaksanaannya, bahkan semuanya mengandung risiko terjadinya ketidaktepatan dalam pelaksanaan yang menimbulkan rasa sakit. Namun, hal itu bukan merupakan penyiksaan sebagaimana dimaksud Pasal 28I UUD 1945, sehingga Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum dan Militer tidak bertentangan dengan UUD 1945, maka permohonan Pemohon sepanjang pengujian materiil tidak beralasan menurut hukum dan harus ditolak.

5. AMAR PUTUSAN

Dengan mengingat Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316), maka berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Mengadili,

Menyatakan permohonan Pemohon baik mengenai pengujian formil maupun pengujian materiil ditolak untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi, pada hari Rabu, tanggal lima belas bulan Oktober tahun dua ribu delapan, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari ini, Selasa tanggal dua puluh satu bulan Oktober tahun dua ribu delapan, oleh kami, Moh. Mahfud, MD selaku Ketua merangkap Anggota, Maruarar Siahaan, H.M. Arsyad Sanusi, Muhammad Alim, H. Abdul Mukthie Fadjar, Jimly


(6)

Asshiddiqie, Maria Farida Indrati, H.M. Akil Mochtar, dan Achmad Sodiki, masing-masing sebagai Anggota dengan didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili;

KETUA, ttd.

Moh. Mahfud MD ANGGOTA-ANGGOTA

PANITERA PENGGANTI,

ttd.

Maruarar Siahaan ttd.

H.M. Arsyad Sanusi

ttd.

Muhammad Alim ttd.

H. Abdul Mukthie Fadjar

ttd.

Jimly Asshiddiqie ttd.

Maria Farida Indrati

ttd.

H.M. Akil Mochtar ttd.

Achmad Sodiki

ttd. Cholidin Nasir