Latar Belakang Masalah Penguji II

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di dalam Islam, hukuman tidak berangkat dari pendapat manusia atau kesepakatan manusia belaka. Karena apa yang ada dalam pandangan manusia memiliki keterbatasan. Seringkali apa yang dalam pandangan manusia baik, pada hakikatnya belum tentu baik. Demikian juga, apa yang dalam pandangan manusia buruk, hakikatnya belum tentu buruk. Sehingga bagi umat Islam, harus mengembalikan penilaian baik atau buruk, terpuji dan tercela menurut pandangan syariat. Dalam hal ini Allah sebagai syariat atau pembuat syariat. Yang dimaksud dengan syariat adalah semua peraturan agama yang ditetapkan Allah untuk kaum muslim, baik yang ditetapkan al-Quran ataupun Sunnah Rasul, karena itu syariat mencakup ajaran-ajaran pokok agama ushul al- din. Pengertian syariat menurut Muhammad Ali al-Tahanwy. Mengatakan “syariat ialah hukum yang telah ditetapkan Allah bagi hambanya manusia yang dibawa Nabi, baik yang berkaitan dengan perbuatan yag dinamakan hukum- hukum cabang dan amaliah yang di kodifikasikan dalam Ilmu Fiqih, ataupun berkaitan dengan kepercayaan yang dinamakan dengan hukun-hukum pokok dan iktiqadiah yang dikodifikasikan dalam Ilmu Kalam” 1 1 Muhammad Yusup Musa, Islam Suatu Kajian Komprehensif, terj. A. Malik Madaniy dan Hamim Jakarta, CV. Rajawali, 1998 , h. 131 1 2 Dalam Islam konsep tentang manusia adalah ideal sangat tinggi didasarkan atas suatu message tugas kewajiban dan menuju kepada suatu objektif yang nyata. Dengan dasar pandangan ini kita lebih dapat memahami sabda Tuhan dalam al-Quran yang selalu menekankan tanggung jawab manusia itu bersifat individu perorangan, bukan kelompok dan bahwa hukum Islam menjujung tinggi person-manusia sebagai norma pokok, 2 misalnya barang siapa membunuh orang yang tidak melakukan pembunuhan atau kekerasan di bumi, seakan-akan ia telah membunuh seluruh manusia. Dan barang siapa menyelamatkan jiwa seseorang, seakan-akan ia telah menyelamatkan seluruh manusia. 3 Dalam hal ini, artinya benar-benar menjamin serta menghargai kemanusiaan memanusiakan manusia, dan dalam konteks bernegara khususnya Indonesia Negara Hukum 4 . Negara hukum ialah Negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang, tindakan-tindakan Negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum. Inilah apa yang oleh para ahli-ahli hukum Inggris terkenal sebagai “rule of law”. Kita melihat bahwa individu pun menpunyai hak terhadap negara. Hak-hak individu terhadap Negara terutama apa yang yang dinamakan “Hak-Hak Azasi Manusia” 2 Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, terj. H. M. Rasjidi, cet, Ke- I, Jakarta: Bulan Bintang, 1980 , h. 106-107 3 Noor Wahid Hafiez, Pidana Mati Menurut Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1982, h.. 111 4 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, cet. Ke- III, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995, h. 89 3 dan kini lebih terkenal sebagai hak-hak manusia, dengan telah diterimanya Universal Declaration Of Human Rights secara internasional maka nyatalah betapa pentingnya sebuah Negara Hukum. 5 Perlindungan hak-hak manusia ini tidak akan terjamin dengan menyatakan bahwa hak-hak asasi manusia ini diakui, yang diperlukan ialah suatu kesediaan yang lebih konkrit. 6 mencapainya dengan penegakan hukum, tegasnya setiap yang bersalah atau melakukan kejahatan mesti dihukum. Konstitusi Indonesia yang menjamin hak asasi manusia, berbunyi, “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. 7 Sesuai dengan bahasan ini terkait pidana mati, ada beberapa hukum yang berlaku di Indonesia dengan ancaman pidana mati di antaranya, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP melakukan kejahatan menghilangkan nyawa seseorang bisa diancam hukuman pidana mati, tertera dalam pasal 340 ayat 2, 8 kejahatan atau pelanggaran terhadap Undang-Undang No 22 Tahun 1997 5 Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung: Alumni, 1983, h. 3 6 Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, h. 4 7 Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945 8 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP 4 tentang Narkotika, pasal 80 ayat 1 huruf a, dan kejahatan atau pelangaran terhadap Undang-Undang No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, pasal 59 ayat 2. 9 Di Indonesia, hingga kini masih tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP mengatur pidana mati yang dilaksanakan dengan cara terpidana digantung sebagaimana tercantum yaitu, “Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”. 10 Dengan memperhatikan perkembangan hukum di Indonesia berawal dari Pasal 11 KUHP bahwa hukuman mati dilaksanakan dengan digantung, tetapi kemudian berubah dengan adanya Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang kemudian dilaksanakan dengan cara ditembak. Hal tersebut karena seiring dengan perkembangan zaman dan dipandang eksekusi pidana mati dengan cara digantung memakan waktu yang lama, maka hukuman mati digantung diubah dengan cara ditembak Undang-Undang Nomor 02PnpsTahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38 yang 9 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undand-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika 10 Pasal 11 dalam KUHP 5 telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969. 11 Ada beberapa macam bentuk tata cara pelaksanaan pidana mati di dunia, Sebagai perbandingan dari macam-macam tata cara pidana mati yang masih dipratikkan didunia sebagai berikut: 1. Digantung hanging 2. Dipenggal pada leher decapitation 3. Ditembak shooting 4. Strum listrik electrocution atau the electric chair 5. Ruang gas gas chamber 6. Suntik Mati lethal injection. 12 Bahwah ada pendapat Kematian adalah peristiwa yang mengerikan, mungkin paling mengerikan dalam pikiran manusia yang masih hidup. Di antara kemungkinan pengalaman hidup manusia, barangkali tidak ada yag menakutkan daripada kematian. Karena itu hukuman mati, dalam semua peradaban manusia sampai dengan akhir-akhir ini hukuman mati ditentang oleh gerakan-gerakan 11 Diktum Undang-Undang Nomor 02PnpsTahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati 12 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21PUU-VI2008 tentang Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang 6 modern tertentu, seperti Amnesty International yang mana hukuman mati merupakan hukuman tertinggi dan penghabisan 13 Selanjutnya dari uraian diatas pada tanggal 6 agustus 2008 telah diterima dan terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, dengan regisrasi perkara Nomor 21PUU-VI2008, tentang perkara pengujian Undang-Undang No 02PnpsTahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969. 14 Dalam hal alasan terhadap Undang-Undang yang diajukan bertentangan secara formil pembentukkan dan materiilnya terhadap UUD 1945. Yang diajukan oleh: Amrozi bin Nurhasyim, Ali Ghufron bin Nurhasyim als. Muklas, dan Abdul Azis als. Imam Samudra terpidana mati kasus bom Bali. Secara lembaga, Mahkamah Konstitusi yang tersendiri diluar dan sederajat dengan Mahkamah Agung, 15 dan mengenai hakikat, tugas dan wewenangnya dalam pasal 24C ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki lima bidang kewenangan peradilan, yaitu: 16 13 Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995, h. 226 14 Diktum Undang-Undang Nomor 02PnpsTahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati 15 Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta. PT, Buana Ilmu Popular, 2007, h. 581 16 Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, h. 588 7 1 Peradilan dalam rangka pengujian konstitusionalitas Undang-Undang terhadap UUD 1945 2 Peradilan sengketa kewenangan konstitusional lembaga Negara 3 Peradilan perselisihan hasil pemilu umum 4 Peradilan pembubaran partai politik, dan 5 Peradilan atas pelanggaran oleh Presiden dan wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar Berdasarkan penjelasan di atas penulis merasa perlu dan menarik untuk penelitian serta pembahasan putusan Mahkamah Konstitusi tentang tata cara pelaksanaan pidana mati dan bagaimana perspektif hukum Islam yang mana Indonesia penduduknya mayoritas muslim. Maka Penulis merangkum penelitian ini dengan judul: “Perspektif Hukum Islam Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati ”. B . Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar penelitian ini lebih terarah, maka peneliti memberikan batasan masalah pertama: tentang tata cara pelaksanaan pidana mati dalam Islam, kedua: pandangan Mahkamah Konstitusi tentang tata cara pelakasanaan pidana mati, yang akan di kaji ringkasannya beberapa pertayaan berikut, serta dapat menggambarkan rumusan masalah dalam skripsi ini: 1 Bagaimanakah kedudukan pidana mati dan tata cara pelaksanaannya menurut hukum Islam ?. 8 2 Bagaimanakah pendapat Mahkamah Konstitusi tentang tata cara pelaksanaan pidana mati, dalam UU No 02pnpsTahun1964 juncto UU No 05Tahun1969 ?. 3 Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tentang tata cara pelaksanaan pidana mati ?.

C. Tujuan Penelitian