BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam Islam, hukuman tidak berangkat dari pendapat manusia atau kesepakatan manusia belaka. Karena apa yang ada dalam pandangan manusia
memiliki keterbatasan. Seringkali apa yang dalam pandangan manusia baik, pada hakikatnya belum tentu baik. Demikian juga, apa yang dalam pandangan manusia
buruk, hakikatnya belum tentu buruk. Sehingga bagi umat Islam, harus mengembalikan penilaian baik atau buruk, terpuji dan tercela menurut pandangan
syariat. Dalam hal ini Allah sebagai syariat atau pembuat syariat.
Yang dimaksud dengan syariat adalah semua peraturan agama yang ditetapkan Allah untuk kaum muslim, baik yang ditetapkan al-Quran ataupun
Sunnah Rasul, karena itu syariat mencakup ajaran-ajaran pokok agama ushul al- din. Pengertian syariat menurut Muhammad Ali al-Tahanwy. Mengatakan
“syariat ialah hukum yang telah ditetapkan Allah bagi hambanya manusia yang dibawa Nabi, baik yang berkaitan dengan perbuatan yag dinamakan hukum-
hukum cabang dan amaliah yang di kodifikasikan dalam Ilmu Fiqih, ataupun berkaitan dengan kepercayaan yang dinamakan dengan hukun-hukum pokok dan
iktiqadiah yang dikodifikasikan dalam Ilmu Kalam”
1 1
Muhammad Yusup Musa, Islam Suatu Kajian Komprehensif, terj. A. Malik Madaniy dan Hamim Jakarta, CV. Rajawali, 1998 , h. 131
1
2
Dalam Islam konsep tentang manusia adalah ideal sangat tinggi didasarkan atas suatu message tugas kewajiban dan menuju kepada suatu
objektif yang nyata. Dengan dasar pandangan ini kita lebih dapat memahami sabda Tuhan dalam al-Quran yang selalu menekankan tanggung jawab manusia
itu bersifat individu perorangan, bukan kelompok dan bahwa hukum Islam menjujung tinggi person-manusia sebagai norma pokok,
2
misalnya barang siapa membunuh orang yang tidak melakukan pembunuhan atau kekerasan di bumi,
seakan-akan ia telah membunuh seluruh manusia. Dan barang siapa menyelamatkan jiwa seseorang, seakan-akan ia telah menyelamatkan seluruh
manusia.
3
Dalam hal ini, artinya benar-benar menjamin serta menghargai kemanusiaan memanusiakan manusia, dan dalam konteks bernegara khususnya
Indonesia Negara Hukum
4
. Negara hukum ialah Negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang,
tindakan-tindakan Negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum. Inilah apa yang oleh para ahli-ahli hukum Inggris terkenal sebagai “rule of law”. Kita
melihat bahwa individu pun menpunyai hak terhadap negara. Hak-hak individu terhadap Negara terutama apa yang yang dinamakan “Hak-Hak Azasi Manusia”
2
Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, terj. H. M. Rasjidi, cet, Ke- I, Jakarta: Bulan Bintang, 1980 , h. 106-107
3
Noor Wahid Hafiez, Pidana Mati Menurut Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1982, h.. 111
4
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, cet. Ke- III, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995, h. 89
3
dan kini lebih terkenal sebagai hak-hak manusia, dengan telah diterimanya Universal Declaration Of Human Rights secara internasional maka nyatalah
betapa pentingnya sebuah Negara Hukum.
5
Perlindungan hak-hak manusia ini tidak akan terjamin dengan menyatakan bahwa hak-hak asasi manusia ini diakui,
yang diperlukan ialah suatu kesediaan yang lebih konkrit.
6
mencapainya dengan penegakan hukum, tegasnya setiap yang bersalah atau melakukan kejahatan mesti
dihukum. Konstitusi Indonesia yang menjamin hak asasi manusia, berbunyi, “hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
7
Sesuai dengan bahasan ini terkait pidana mati, ada beberapa hukum yang berlaku di Indonesia dengan ancaman pidana mati di antaranya, dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana KUHP melakukan kejahatan menghilangkan nyawa seseorang bisa diancam hukuman pidana mati, tertera dalam pasal 340 ayat
2,
8
kejahatan atau pelanggaran terhadap Undang-Undang No 22 Tahun 1997
5
Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung: Alumni, 1983, h. 3
6
Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, h. 4
7
Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945
8
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP
4
tentang Narkotika, pasal 80 ayat 1 huruf a, dan kejahatan atau pelangaran terhadap Undang-Undang No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, pasal 59 ayat
2.
9
Di Indonesia, hingga kini masih tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP mengatur pidana mati yang dilaksanakan dengan cara
terpidana digantung sebagaimana tercantum yaitu, “Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang
gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”.
10
Dengan memperhatikan perkembangan hukum di Indonesia berawal dari Pasal 11 KUHP bahwa hukuman mati dilaksanakan dengan digantung, tetapi
kemudian berubah dengan adanya Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang kemudian dilaksanakan dengan cara ditembak. Hal tersebut karena seiring dengan
perkembangan zaman dan dipandang eksekusi pidana mati dengan cara digantung memakan waktu yang lama, maka hukuman mati digantung diubah dengan cara
ditembak Undang-Undang Nomor 02PnpsTahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan
Peradilan Umum dan Militer Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38 yang
9
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undand-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
10
Pasal 11 dalam KUHP
5
telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969.
11
Ada beberapa macam bentuk tata cara pelaksanaan pidana mati di dunia, Sebagai perbandingan dari macam-macam tata cara pidana mati yang masih
dipratikkan didunia sebagai berikut: 1.
Digantung hanging 2.
Dipenggal pada leher decapitation 3.
Ditembak shooting 4.
Strum listrik electrocution atau the electric chair 5.
Ruang gas gas chamber
6.
Suntik Mati lethal injection.
12
Bahwah ada pendapat Kematian adalah peristiwa yang mengerikan, mungkin paling mengerikan dalam pikiran manusia yang masih hidup. Di antara
kemungkinan pengalaman hidup manusia, barangkali tidak ada yag menakutkan daripada kematian. Karena itu hukuman mati, dalam semua peradaban manusia
sampai dengan akhir-akhir ini hukuman mati ditentang oleh gerakan-gerakan
11
Diktum Undang-Undang Nomor 02PnpsTahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
12
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21PUU-VI2008 tentang Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang
6
modern tertentu, seperti Amnesty International yang mana hukuman mati merupakan hukuman tertinggi dan penghabisan
13
Selanjutnya dari uraian diatas pada tanggal 6 agustus 2008 telah diterima dan terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, dengan regisrasi perkara
Nomor 21PUU-VI2008, tentang perkara pengujian Undang-Undang
No 02PnpsTahun 1964 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di
Lingkungan Peradilan Umum dan Militer Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor
38 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1969.
14
Dalam hal alasan terhadap Undang-Undang yang diajukan bertentangan secara formil pembentukkan dan materiilnya terhadap
UUD 1945. Yang diajukan oleh: Amrozi bin Nurhasyim, Ali Ghufron bin Nurhasyim als. Muklas, dan Abdul Azis als. Imam Samudra terpidana mati kasus bom Bali.
Secara lembaga, Mahkamah Konstitusi yang tersendiri diluar dan sederajat dengan Mahkamah Agung,
15
dan mengenai hakikat, tugas dan wewenangnya dalam pasal 24C ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki
lima bidang kewenangan peradilan, yaitu:
16
13
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995, h. 226
14
Diktum Undang-Undang Nomor 02PnpsTahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
15
Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta. PT, Buana Ilmu Popular, 2007, h. 581
16
Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, h. 588
7
1 Peradilan dalam rangka pengujian konstitusionalitas Undang-Undang
terhadap UUD 1945
2
Peradilan sengketa kewenangan konstitusional lembaga Negara
3
Peradilan perselisihan hasil pemilu umum
4
Peradilan pembubaran partai politik, dan
5
Peradilan atas pelanggaran oleh Presiden dan wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar
Berdasarkan penjelasan di atas penulis merasa perlu dan menarik untuk penelitian serta pembahasan putusan Mahkamah Konstitusi tentang tata
cara pelaksanaan pidana mati dan bagaimana perspektif hukum Islam yang mana Indonesia penduduknya mayoritas muslim. Maka Penulis merangkum penelitian
ini dengan judul: “Perspektif Hukum Islam Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
”.
B . Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah, maka peneliti memberikan batasan masalah pertama: tentang tata cara pelaksanaan pidana mati dalam Islam, kedua:
pandangan Mahkamah Konstitusi tentang tata cara pelakasanaan pidana mati, yang akan di kaji ringkasannya beberapa pertayaan berikut, serta dapat
menggambarkan rumusan masalah dalam skripsi ini: 1
Bagaimanakah kedudukan pidana mati dan tata cara pelaksanaannya menurut hukum Islam ?.
8
2 Bagaimanakah pendapat Mahkamah Konstitusi tentang tata cara pelaksanaan
pidana mati, dalam UU No 02pnpsTahun1964 juncto UU No 05Tahun1969 ?.
3 Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap putusan Mahkamah
Konstitusi tentang tata cara pelaksanaan pidana mati ?.
C. Tujuan Penelitian