Ancaman Pidana Mati Terhadap Kasus Penyalahgunaan Narkotika Sebelum dan Sesudah Putusan Mk No.2-3/Puuiv/2007 Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

DIMAS ANGGRI WIJI DWI ANGKOSO NIM: 1112048000041

KOSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

NARKOTIKA SEBELUM DAN SESUDAH PUTUSAN MK NO.2-3/PUU-IV/2007 DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA. Program Studi Ilmu Hukum, Konsenterasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1437 H/ 2016 M. x + 86 halaman + 3 halaman Daftar Pustaka + Lampiran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui maksud dari ancaman pidana mati terhadap kasus penyalahgunaan narkotika sebelum dan sesudah Mahkamah Konstitusi No.2-3/PUU-IV/2007 dalam prspektif hak asasi manusia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh begitu maraknya narkotika yang sampai saat ini semakin meluas dan masuk ke elemen-elemen pendidikan dasar yang merusak moral dan mental bangsa ini. Keadaan ini sangat memprihatinkan dan perlu adanya suatu cara atau metode pemberantasan kejahatan narkotika untuk memulihkan dan menyeimbangkan kembali keadaan masyarakat Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif yaitu penelitian hukum yang meletakan hukum sebagai bangunan sistem norma. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Peraturan Undang-Undang dalam penelitian ini diantaranya adalah Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa putuan Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perkara tersebut berdasarkan aturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan menganalisa unsur-unsur yang termuat di dalamnya. Serta implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu hukum positif di Indonesia dapat memberlakukan hukuman mati terhadap pidana narkotika dengan pertimbangan undang-undang narkotika.

Kata Kunci : Pidana Mati, Hak Asasi Manusia, Narkotika, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 2-3/PUU-IV/2007

Pembimbing : Dr. Burhanuddin, S.H., M. Hum Ali Mansur, M.A


(6)

v

Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan Yang Maha Esa yang atas Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ANCAMAN PIDANA MATI TERHADAP KASUS PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA SEBELUM DAN SESUDAH PUTUSAN MK NO.2-3/PUU-IV/2007 DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA” dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan pada Nabi Muhammad Saw, beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya.

Penulisan skripsi ini dalam penyusunannya tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak karena keterbatasan yang dimiliki penulis, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu


(7)

vi

dan II yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan, memberikan arahan, saran serta kritik yang membangun demi terselesaikannya skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu.

5. Ketua Mahkamah Konstitusi yang telah bersedia memberikan data berupa putusannya guna kepentingan penulisan skripsi ini.

6. Pimpinan dan segenap staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan dalam penulisan skripsi ini.

7. Kedua orang tua penulis Ayahanda Sukur Subagyo dan Ibunda Sri Wahyuningsih yang telah memberikan doa dan dukungannya. Kakak penulis, Nova Nugroho Cahyo Ardhi, adik penulis, Agam Arif Arakhman, serta sepupu penulis, Adika Ferdiansyah. Tidak lupa juga keluarga besar di Purwokerto, Cinere, Purbalingga dan Kutawis yang senantiasa memberikan doa dan motivasi dalam penulisan skripsi ini.


(8)

vii

angkatan 2012 atas kebersamaannya yang selalu memberikan dukungan dan doa agar dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga silatuhrahmi kita tetap terjalin.

9. Teman-teman seperjuangan Ilmu Hukum 2012 khususnya Cucu-Cucu Dekur atas kekompakkan dan kebersamaannya, semoga kelak kalian sukses.

10. Teman-teman Fakultas Syariah dan Hukum, KKN Eternal Wings, Grup GGC serta teman-teman Remaja Ismaya, terima kasih atas informasi, bantuan, semangat, dan doa-doa yang telah diberikan. Sukses mulia untuk kita semua. 11. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi yang membaca.

Jakarta 13 Oktober 2016


(9)

viii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 9

C.Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 10

D.Tujuan dan manfaat Penelitian ... 11

E.Kerangka Pemikiran ... 12

F. Kajian (review) Studi Terdahulu ... 13

G.Metode Penelitian ... 17

H.Sistematika Penulisan ... 18

BAB II PELAKSANAAN HUKUMAN MATI SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM DI INDONESIA ... 20

A.Sejarah Pidana Mati di Indonesia ... 20


(10)

ix

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK ASASI MANUSIA ... 49

A. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia ... 49

B. Pengertian Hak Asasi Manusia ... 52

C. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam ... 56

D. Pidana Mati ditinjau dari Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Positif...65

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MK NO.2-3/PUU-IV/2007 ... 70

A.Analisa Pidana Mati Sebelum Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 Terhadap Pelaku Tindak Pidana Nakotika ... 70

B.Analisa Pidana Mati Sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 Terhadap Pelaku Tindak Pidana Nakotika ... 72

BAB V PENUTUP ... 85

A. Kesimpulan ... 85

B. Saran ... 86


(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara hukum dan Negara hukum merupakan istilah yang meskipun kelihatan sederhana, namun mengandung muatan sejarah pemikiran yang relatif panjang. Negara hukum adalah istilah Indonesia yang terbentuk dari dua suku kata, negara dan hukum. Padanan kata ini menunjukkan bentuk dan sifat yang saling mengisi antara negara di satu pihak dan hukum pada pihak yang lain. Tujuan negara adalah untuk memelihara ketertiban umum (rechtsorde). Oleh karena itu, negara membutuhkan hukum dan sebaliknya pula hukum dijalankan dan ditegakkan melalui otoritas negara.1

Disini yang akan disinggung adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi Manusia dalam bahasa Prancis disebut “Droit L’Homme”, yang artinya hak-hak asasi manusia dan dalam bahasa Inggris disebut “Human Rights”. Seiring dengan perkembangan ajaran Negara Hukum, di mana manusia atau warga negara mempunyai hak-hak utama dan mendasar yang wajib dilindungi oleh Pemerintah, oleh sebabnya munculah istilah “Basic Rights” atau

1


(12)

Fundamental Rights”. Dalam bahasa Indonesianya yaitu hak-hak dasar manusia

atau lebih dikenal dengan istilah “Hak Asasi Manusia”.2

Menurut Teaching Human Right yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Hak hidup, misalnya, adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup. Tanpa hak tersebut eksistensinya sebagai manusia akan hilang.

Konsekuensi negara hukum memiliki ciri yang paling fundamental yaitu jaminan atas pelaksanaan Hak Asasi Manusia. Jaminan ini, harus terwujud ke dalam konstitusi, setidaknya terlihat dari implementasi hukum yang memiliki ajaran yang berlaku sehari-hari. Sebagai salah satu hak, maka Hak Asasi Manusia tidak terlepas dari kebebasan sekaligus kewajiban setiap individu baik pemegang kekuasaan maupun masyarakat.3 Karena konstitusi merupakan napas kehidupan ketatanegaraan sebuah bangsa, tidak terkecuali bagi Indonesia.

Dalam konteks perlindungan terhadap HAM, konstitusi memiliki peranan penting sebagai dalam mewujudkan negara hukum. Perlindungan HAM meneguhkan pendirian bahwa negara bertanggung jawab atas tegaknya

2

Ramdlon Naning, Gatra Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1982), h. 97. 3M. Solly Lubis,”Hak

-hak Asasi Menurut Undang-undang Dasar 1945”, dalam Padmo Wahjono (ed.), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 323.


(13)

supremasi hukum. Oleh karena itu, jaminan konstitusi atas HAM penting artinya bagi arah pelaksanaan ketatanegaraan sebuah negara, sebagaimana ditegaskan oleh Sri Soemantri sebagai berikut:

Adanya jaminan terhadap hak-hak dasar setiap warga negara mengandung arti bahwa setiap penguasa dalam negara tidak dapat dan tidak boleh bertindang sewenang-wenangnya kepada warga negaranya. Bahkan adanya hak-hak dasar itu juga mempunyai arti adanya keseimbangan dalam negara, yaitu keseimbangan antara kekuasaan dalam negara dan hak-hak dasar warga negara.4

Membicarakan Hak Asasi Manusia (HAM) berarti membicarakan dimensi kehidupan manusia. HAM, ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan kebaikan dari negara, melainkan hak kodrati yang melekat pada diri manusia sejak lahir.5 Salah satu diantaranya yaitu tentang hak untuk hidup yang tertuang di dalam Pasal 28A dan Pasal 28I UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta dalam pasal 4 dan Pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa ham untuk memberikan jaminan yang melindungi hak untuk hidup seluruh rakyat Indonesia.

Kini, HAM menjadi perbincangan yang intens seiring dengan intensitas kesadaran manusia atas hak yang dimilikinya. Menjadi aktual karena sering dilecehkan dalam sejarah kelam hak asasi manusia sejak awal hingga saat ini. Perjuangan HAM terus berlangsung bahkan dengan menembus batas-batas

4

Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992), h. 74.

5

Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern


(14)

teritorial sebuah negara. Begitu derasnya kemauan dan daya desak HAM, sehingga jika ada negara yang diidentifikasi melanggar HAM, dengan spontan seluruh negara akan memberikan respon, tidak terkecuali negara-negara “adi

kuasa”.6

Dalam konteks Indonesia ada juga yang memberikan sanksi yaitu pidana mati yang merupakan hukuman yang paling berat dijatuhkan oleh Majelis Hakim terhadap tindak pidana tertentu yang diancam dengan hukuman mati. Penjatuhan hukuman mati diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), seperti yag dikutip dalam Pasal 10 tentang jenis hukuman (pemidanaan) dan diatur dalam undang-undang lainnya yang merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia.7 Hukuman tersebut bertentangan dengan HAM.

Pidana mati merupakan warisan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial, dan diubah menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahhun 1946 Tentang Hukum Pidana. Bahkan sesudah Indonesia merdeka, beberapa undang-undang yang dikeluarkan kemudian, ternyata mencantumkan juga ancaman pidana mati di dalamnya. Dengan demikian, alasan bahwa pidana mati itu tercantum dalam

6

Jimly Asshidiqie dan Hafid Abbas, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 2.

7

Rizky Ariestandi Irmansyah, Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 87.


(15)

W.v.S (KUHP) pada waktu diberlakukan oleh pemerintah kolonial didasarkan pada antara lain “alasan berdasarkan faktor rasial”.8

Seperti diketahui, dalam hukum positif Indonesia kita mengenal dengan adanya pidana mati. Salah satu diantaranya adalah KUHP Indonesia yang memungkinkan terpidana dijatuhi pidana mati atas kejahatan yang berat (extra ordinary crime). Pidana mati yang merupakan salah satu jenis hukuman pidana (sebagaimana tertulis dalam Pasal 10 KUHP) masih mendapatkan tempat dalam pemberantasan kejahatan.9

Pasca Reformasi nilai-nilai HAM sudah diakomodir di UUD 1945 sehingga aturan atau norma juga bertujuan memberikan perlindungan terhadap HAM. Bukan hanya segelintir orang saja yang harus terlindungi haknya namun semua lapisan masyarakat juga harus terlindungi haknya. Namun yang masih menjadi masalah adalah pada praktek oleh Undang-undang.

Selain diakomodir dalam bentuk perundang-undangan penjaminan atas HAM juga telah diterima oleh semua lapisan anggota masyarakat.hal ini dibuktikan dengan adanya kelompok-kelompok pejuang HAM, untuk menunjukkan efektivitasnya kelompok-kelompok tersebut melakukan gerakan-gerakan seperti kegiatan mulai dari memberikan upaya pemahaman dan

8

Sahetapy, Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana, (Bandung: Alumni, 1979), h. 29.

9


(16)

penyebarluasan informasi tentang HAM kepada masyarakat sehinga msayarakat mulai dapat diterima dan dipahami dan telah dituangkan oleh UU.

Suatu hal yang tak dapat disangkal bahwa kepentingan dari orang seorang anggota masyarakat menjadi tanggung jawab negara. Negara tidak hanya menjaga ketertiban umum, tetapi juga memajukan kesejahteraan masyarakat, namun tujuan negara tersebut dirasakan kontra produktif dengan masih diberlakukannya pidana mati dalam KUHP. Sebab, dengan adanya pidana mati tersebut jaminan hak orang atau terpidana mati telah dirampas oleh negara dan upaya untuk memajukan kesejahteraan masyarakat telah gagal.10

Selagi negara masih mempunyai alat-alat lain untuk mempertahankan keamanan dan menjalankan kewajibannya sebaiknya tidak menggunakan pidana mati. Ini berarti bahwa selagi negara itu masih merupakan suatu negara yang teratur, dimana polisi dan pengadilan dapat menjalankan pekerjaan dengan tenang, maka pidana mati tidak tepat sebagai pidana. Dengan tindakan memidana mati itu negara hanya memperlihatkan ketidakmampuannya, kalau hanya untuk memberantas kejahatan. 11 Khususnya tindak pidana mati terhadap penyalahgunaan narkotika.

10Ing Oei Tjo Lam, “Sekitar Soal Hukuman Mati’

, Varia Peradilan No. 10, 11, 12 Mei, Juni, Juli 1964, h. 184-190.

11

Andi Hamzah & A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan Masa Depan, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1985), h. 39-40.


(17)

Narkotika menurut UU RI No 22 / 1997 yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Meskipun narkotika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan petunjuk pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika secara ilegal akan menimbulkan akibat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda. Bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.12

Dalam usaha menanggulangi masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut pada pokoknya mengatur narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan. Pelanggaran terhadap peraturan itu diancam dengan pidana yang tinggi dan berat dengan dimungkinkannya terdakwa divonis maksimal yakni pidana mati selain pidana penjara dan pidana denda.13

12

Syamsul Hidayat, Pidana Mati di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Press, 2010), h. 1. 13


(18)

Selain konteks politik hukum di Indonesia, karena pidana mati tidak relevan dengan UUD 195. Karakter reformasi hukum positif Indonesia masih belum menunjukkan sistem peradilan yang independen, imparsial, dan aparaturnya yang bersih. Serta bertentangan dengan konstitusi dan hukum internasional HAM. Sejumlah ketentuan perundang-undangan nasional, khususnya UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi , serta UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dukungan hukuman mati didasari argumen diantaranya bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh apalagi menghilangkan banyak nyawa lagi jika tidak jera, pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih luas. Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri, keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban.


(19)

Bisa dilihat dari ini sebelum menjatuhkan vonis dan untuk menilai apakah peristiwa hukum yang dapat menggerakan hukum untuk bekerja lebih lanjut sampai menjatuhkan sanksi, dilakukan dengan cara meletakkan peristiwa itu ke dalam undang-undang lewat penafsiran tekstual-gramatikal yang sangat mekanistik dan legalistik seperti diperagakan model penalaran Positivisme Hukum. Dengan demikian, di tangan praktisi penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan pengacara) semua peristiwa dikonstruksi dengan cara berpikir yang khas, yang disebut juridisch denken.14

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh bagaimana Ancaman Pidana Mati Terhadap Kasus Penyalahgunaan Narkotika Sebelum dan Sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Dengan demikian penulis tertarik mengangkat tema ini yang akan lebih lanjut dituangkan dalam sebuah skripsi. Hal ini menarik karena menyangkut kebebasan hidup seseorang. Dengan demikian penulis tertarik mengangkat tema ini yang akan lebih lanjut dituangkan dalam sebuah skripsi.

B.Pembatasan dan Rumusan Masalah

14

C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), h. v-vi.


(20)

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara sistematis pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis uraikan pokok-pokok bahasan dengan memberikan perumusan dan pembatasan masalah.

Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka penulis membatasinya dengan pembahasan mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Kasus Penyalahgunaan Narkotika Sebelum dan Sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka rumusan masalah disusun dengan pertanyaan penelitian (research question), yaitu:

a. Bagaimana implementasi Pidana Mati atas izin Presiden sebelum adanya

Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 ?

b. Bagaimanakah implementasi Pidana Mati atas izin Presiden sesudah

adanya Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 ?

c. Apakah penjatuhan pidana mati pada undang-undang Narkotika sesuai dengan tujuan pemidanaan ?

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian. 1. Tujuan Penelitian.


(21)

Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui dan memahami penerapan Pidana Mati atas izin Presiden sebelum adanya Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007.

b. Untuk mengetahui dan memahami penerapan Pidana Mati atas izin Presiden sesudah adanya Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007.

c. Untuk mengetahui dan memahami sesuai atau tidak dengan Undang-undang Narkotika.

2. Kegunaan Penelitian.

Kegunaan penelitian ini diuraikan menjadi dua bagian, yaitu kegunaan teoritis dan kegunaan praktis.

a. Kegunaan teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta memberikan suatu pemahaman dan kontribusi mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Kasus Penyalahgunaan Narkotika Sebelum dan Sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia.

b. Kegunaan Praktis.

Adapun manfaat praktis dari penilitian ini dapat diharapkan menjadi informasi bagi elemen masyarakat manapun untuk mengetahui Ancaman Pidana Mati Terhadap Penyalahgunaan Narkotika Sebelum dan Sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia.


(22)

Hal ini dirasa penting mengingat Pidana Mati sangat bertentangan jika di lihat dari perspektif Hak Asasi Manusia karena hak-hak Asasi haruslah dilindungi oleh Negara.

D.Tinjauan (Review) Studi Terdahulu.

Nama penulis/judul skripsi, jurnal/ tahun

Substansi Perbedaan dengan

penulis.

Rif’an, Peranan negara

dalam perlindungan hak asasi manusia (HAM) :

Studi Pemikiran al-Syathibi tentang hak asasi manusia, 2009

Skripsi ini membahas mengenai Hak Asasi Manusia namun dalam

perspektif al-Syathibi

Perbedaan dari skripsi ini dengan skripsi penulis adalah penulis

dalam skripsinya mempertanyakan eksistensi negara dalam

menjalankan fungsinya sebagai negara karena

disini terasa penting karena itulah tugas

pokok negara Husniyah, Hukuman

Pancung dalam Perspektif Fiqih dan

Ham, 2008

Skripsi ini membahas mengenai hukuman

pancung dalam perspektif fiqih dan ham

Perbedaan dari skripsi ini dengan skripsi penulis adalah Penulis

membahas tentang eksistensinya, tidak

dalam Perspektif hukumnya namun dalam


(23)

perspektif fiqih Nata Sukam Bangun,

Eksistensi Pidana Mati Dalam Sistem Hukum Indonesia, 2014

Jurnal ini membahas mengenai Pidana Mati Dalam Sistem Hukum

Indonesia

Perbedaan jurnal ini dengan skripsi penulis

yaitu jurnal ini membahas mengenai Eksistensinya Pidana

Mati dan Dalam penerapannya tidak melanggar dengan

UUD Tahun 1945, sedangkan skripsi penulis membahas

mengenai

Perbandingannya Pidana Mati dalam analisis sebelum dan sesudah

Putusan MK

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual.

Pada Hakikatnya tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan Pelanggaran . Kejahatan-Kejahatan yang berat dan Pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatan-kejahatn berat dengan pidana mati.


(24)

HAM merupakan hak-hak kodrati yang diperoleh setiap manusia berkat pemberian Tuhan semesta alam, sesungguhnnya tidak dapat dipisahkan dari hakikatnnya oleh karena itu setiap manusia berhak mendapat kehidupan yang layak, kebebesan, keselamatan dan kebahagiaan. Didalam Negara merdeka hak-hak asasi manusia seharusnnya secara keselruruhan terjamin, Karena pada hakikatannya kemerdekaan negara dan bangsa berarti kemerdekaan pula bagi warga negara oleh karena itu setiap wargan gera sudah sewajarnya menikmati kemerdekaan nasionalnya yang berwujud kebebesan dalam fitrahnnya.

F. Metode Penelitian.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala bersangkutan.15

Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini dan untuk memenuhi penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis metode Penelitian kualitatif deskriptif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji

15


(25)

penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. 16 Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif yaitu tipe penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau mencoba merumuskan teori baru.

2. Pendekatan Penelitian.

Sehubungan dengan penelitian penulis menggunakan jenis penilitian yaitu penelitian normatif, maka dalam hal teknik pengumpulan data dalam penelitian normatif, penulis menggunakan beberapa pendekatan, yaitu berupa pendekatan yuridis normatif perundang-undangan(statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan historis (historical approach).

Pendekatan perundang-undangan dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan mengenai ketentuan hukum mengenai Hukuman Pidana Mati dan Hak Asasi Manusia tersebut. Pendekatan Perundang-undangan dirasa perlu untuk memastikan bahwa pada dasarnya Hukuman Pidana Mati sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia karena tidak sesuai dengan Undang-Undang. Selain itu, pendekatan perundang-undangan juga berguna bagi penulis sebagai sumber informasi tambahan mengenai Hukuman Pidana Mati itu sendiri.

16

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. (Malang: Bayumedia Publishing, 2008). h. 294.


(26)

Pendekatan konseptual dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam bidang hak asasi manusia atau dalam komisi Nasional itu sendiri. Dalam pendekatan konseptual penulis akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi penulis dalam membangun argumentasi hukum dalam memecah isu yang dihadapi.

Sedangkan pendekatan historis dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya sejarah perkembangan Hukuman Mati. Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang dan perkembangan mengenai Hak Asasi Manusia di Indonesia.

3. Sumber Penelitian.

Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier yang berkaitan secara langsung dengan objek yang diteliti, dengan rincian sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer.

Merupakan data-data yang diperoleh dari sumber aslinya, memuat segala keterangan-keterangan yang berkaitan dengan penelitian ini.Sumber-sumber tersebut berupa UUD 1945, UU Nomor 39 tahun


(27)

1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Peraturan Perundang-Undangan yang terkait dengan Hukuman Pidana Mati. Bahan hukum primer merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan.17

b. Bahan hukum sekunder.

Merupakan data-data yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan primer yang diambil dari sumber-sumber tambahan-bahan yang memuat segala keterangan-keterangan yang berkaitan dengan penelitian ini, terdiri dari atas buku-buku (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini. Dalam penulisan skripsi, penulis mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

c. Bahan Hukum Tersier.

Merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.18

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

17

Soejono Sokanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992.), h.51. 18

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. (Malang: Bayumedia Publishing, 2008). 296


(28)

Dalam penelitian ini, penulis me

mpergunakan metode pengumpulan data melalui studi dokumen/ kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan hukuman mati, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari internet.

Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier diinvetarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas. Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan Metode Dokumentasi, metode ini dimaksudkan dengan mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.19

G.Metode Pengolahan dan Analisis Data.

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan

19

M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif , (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 201.


(29)

yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum dengan melakukan analisis secara kritis dan mendalam Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Kasus Penyalahgunaan Narkotika Sebelum dan Sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Didalamnya akan membahas mengenai kedudukan Hak Asasi Manusia, fungsi dan wewenang Negara dalam Menangani Hukuman Pidana Mati, Dasar Hukum Hukuman Pidana Mati, Bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia, lalu Bagaimana penerapan Hukuman Pidana Mati atas izin Presiden sebelum adanya Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 dan Bagaimanakah penerapan Hukuman Pidana Mati atas izin Presiden sesudah adanya Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 serta Apakah penjatuhan pidana mati pada undang-undang Narkotika sesuai dengan tujuan pemidanaan.

5. Metode Penulisan.

Metode penulisan ini berdasarkan buku pedoman Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

H.Sistematika Penulisan

Dalam penulisan penelitian ini, sama halnya dengan sistematika penulisan pada penelitian-penelitian lainnya, yaitu dimulai dari kata pengantar, daftar isi, dan dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai berikut:


(30)

Pada bab ini memuat Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Studi Terdahulu, Kerangka Teoritis dan Konseptual, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II PELAKSANAAN PIDANA MATI SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM DI INDONESIA

Sejarah Pidana Mati di Indonesia, Teori Pemidanaan, Pro dan Kontra Pidana Mati di Inonesia, Proses Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia, Negara yang Tidak Memberlakukan Hukuman Pidana Mati.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK ASASI MANUSIA

Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia, Pengertian Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam, Pidana Mati ditinjau dari Hak Asasi Manusia dalam Hukum Positif.

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MK NO.2-3/PUU-IV/2007

Pada bab ini akan membahas mengenai analisis Pidana Mati sebelum dan sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007.

BAB V PENUTUP

Pada bab penutup ini, berisi kesimpulan serta saran yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis dapatkan dari hasil menganalisis Eksistensi Hukuman Pidana Mati dalam Perspektif


(31)

Hak Asasi Manusia dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia (Analisis Putusan MK 2-3/PUU-IV/2007).


(32)

22

SUPREMASI HUKUM DI INDONESIA A. Sejarah Pidana Mati di Indonesia

Pidana mati merupakan bagian dari jenis pidana yang berlaku berdasarkan hukum pidana Indonesia. Bentuk pidana ini merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana mati ini juga merupakan hukuman tertua dan mengandung kontroversial jika dibandingkan dengan bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.1

Pidana mati di Indonesia sebenarnya telah ada sejak masa kerajaan. Pada saat itu hukuman mati diberlakukan oleh para raja untuk menjamin terciptanya keamanan dan kedamaian masyarakat yang berada di wilayah kerajaannya. Hukuman mati dilakukan dalam berbagai cara, seperti dipancung, dibakar, dan diseret dengan kuda.

Pada masa kolonial hukuman mati diberlakukan untuk kasus-kasus yang menyangkut keselamatan negara, keselamatan kepala negara dan kejahatan-kejahatan sadis lainnya. Pada masa kolonial hukuman mati diatur di dalam Wetboek van Strafrecht (KUHP).

1

R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi), (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 187.


(33)

Saat itu hukuman mati dilakukan dalam berbagai cara yang dapat dikatakan tidak manusiawi, seperti adanya kasus antara pemuda yang merupakan calon perwira muda VOC yang berusia 17 tahun yang bermesraan dengan gadis yang berusia 13 tahun, sang pemuda dipancung dan si gadis didera/dicambuk dengan badan setengah telanjang di balai kota. Selain itu ada kasus yang menimpa 6 budak yang dipatahkan tubuhnya dengan roda karena dituduh mencekik majikannya, lalu ada kasus Pieter Elberveld dan beberapa orang pengikutnya karena diduga akan melakukan pemberontakan dan akhirnya mereka dihukum mati dengan cara badannya dirobek menjadi empat bagian, kemudian potongan badan tersebut dilempar ke luar kota untuk santapan burung.

Contoh di atas adalah bentuk hukuman mati yang sangat tidak manusiawi. Hal tersebut sangat wajar karena saat itu hukum yang berlaku adalah hukum kolonial. Hukum kolonial terkenal kejam karena untuk memberikan rasa takut bagi masyarakat yang melakukan perlawanan. Dengan pemberlakuan Hukuman mati ini masyarakat Indonesia dapat diminimalisir kejahatannya.

Pada masa pemerintahan presiden Soekarno hukuman mati tetap diatur di dalam Wetboek van Strafrecht atau yang disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pada saat itu ada beberapa kasus yang dijatuhi hukuman mati seperti


(34)

kasus Kartosuwirjo, Kusni Kasdut, dan tragedi Cikini. Selain itu masih banyak vonis hukuman mati yang dijatuhkan pengadilan.2

Pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Banyak pula kasus hukuman mati yang dilakukan oleh pemerintah. Namun pada masa ini tidak terlalu dipertentangkan karena pemerintahan saat itu terkenal sangat represif. Sebagian besar yang dieksekusi mati adalah lawan politik Soeharto. Fenomena Petrus menebar teror dengan menembak mati siapa saja yang “dianggap” mengganggu ketertiban. Hal seperti itu adalah bentuk hukuman mati secara terselubung.3

Berdasarkan sejarah pidana mati bukanlah bentuk hukuman yang relatif baru di Indonesia. Pidana mati ini telah dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan jenis-jenis pidana menurut hukum adat atau hukum para penguasa terdahulu, umpamanya:

a) mencuri dihukum potong tangan ;

b) pidana mati dilakukan dengan jalan memotong-motong daging dari badan, kepala ditumbuk, dipenggal dan kemudian kepalanya ditusuk dengan gantar, dan sebagainya.4

2

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 29. 3

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I... .... h. 29. 4

R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, (Bogor: Politea, 1979), h. 14.


(35)

Dalam sejarah pidana mati di wilayah Indonesia tidak hanya terpaku pada keterangan di atas. Misalnya, Pada abad 19 di Aceh eksekusi bisa dilaksanakan dengan lembing, di Bali dapat dilaksanakan dengan cara ditenggelamkan ke laut, sedangkan pada suku Batak dilaksanakan dengan sistem alternatif dimana apabila pembunuh tidak membayar uang denda maka eksekusi bisa dilaksanakan, dan berbagai macam jenis-jenis eksekusi mati lainnya. Dengan memperhatikan kebiasaaan (adat) dan hukum adat dari Aceh sampai Irian memperlihatkan kepada kita pidana mati sudah dikenal oleh semua suku di Indonesia.

Hukum Pidana sebenarnya cermin dari tingkah laku masyarakat dan merefleksi nilai yang menjadi dasar dan berlaku di masyarakat. Bilamana nilai-nilai itu berubah, hukum pidana juga berubah. Hukum pidana secara tepat disebut sebagai one of the most faithful mirrors of a given civilization, reflecting the fundamental values on which latter rest.5

Eksistensi pidana mati sebagai sanksi pidana di dalam Pasal 10 KUHP ditinjau dari sejarah hukum merupakan kebijakan yang bersifat diskriminatif dan bersifat politis yaitu untuk memperkokoh kekuasaan Kolonial Belanda terhadap negara jajahannya. Sebab sejak tahun 1870 di dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, sanksi pidana mati sudah dihapuskan. Akan tetapi hal serupa tidak

5


(36)

dilakukan terhadap Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS-NI atau KUHP yang diberlakukan sekarang).6

Undang-undang pidana mati ini ditetapkan sebagai salah satu jenis pidana pokok yang tertuang dalam pasal 10. Pelaksanaan eksekusi pidana mati dilakukan dengan hukuman gantung sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP. Kemudian dengan Staatsblad 1945 Nomor 123 yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda, pidana mati dijatuhkan dengan cara ditembak mati. Hal ini diperkuat dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, Lembaran Negara 1964 Nomor 38 kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang nomor 5 Tahun 1969 yang menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan cara menembak mati terpidana. Dalam hal ini eksekusi harus dihadiri Jaksa (Kepala Kejaksaan Negeri) sebagai eksekutor dan secara tekhnis pelaksaan eksekusi dilakukan oleh regu tembak kepolisian.

Patut diketahui bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati haruslah dilaksanakan setelah putusan pengadilan yang telah dijatuhkan dan berkekuatan hukum tetap, terpidana telah diberikan kesempatan untuk mengajukan grasi kepada Presiden. Pelaksanaan eksekusi dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu melalui fiat executie (persetujuan Presiden).

Menurut Sahetapy, ada tiga alasan utama diberlakukannya pidana mati di Indonesia, yaitu alasan berdasarkan faktor rasial; alasan berdasarkan faktor ketertiban

6


(37)

umum; dan alasan berdasarkan hukum pidana dan kriminologi. Pemberlakuan pidana mati secara umum terkait dengan tiga permasalahan pokok di dalamnya, yaitu:

1. Masalah landasan filosofis pemberlakuannya,

2. Penentuan jenis tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, 3. Cara pelaksanaan (eksekusi) pidana mati.7

Maka jelaslah disini bahwa pidana mati pada dasarnya dan seharusnya dijadikan sebagai sarana penal yang terakhir dan hanya dapat dipergunakan terhadap orang-orang yang tidak dapat dilakukan pembinaan lagi dan dirasakan membahayakan kehidupan masyarakat luas bahkan negara sekalipun.

B. Teori Pemidanaan

Alf Ross mengemukakan bahwa “Concept of Punishment” bertolak pada dua syarat atau tujuan yaitu:

1. Pidana ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan (punishment is aimed at anflicting suffering upon the person upon whom it is imposed);

2. Pidana itu merupakan suatu pernyataan pencegahan terhadap perbuatan si pelaku (the punishment is an expression of disapproval of the action for wich it is imposed).8

7

Pujiyono, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2007), h.2. 8


(38)

Berdasarkan uraian di atas, M. Shoelehuddin mengemukakan sifat dari unsur-unsur pidana berdasarkan atas tujuan pemidanaan tersebut, yaitu:

a. Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang.

b. Edukatif, dalam artian bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan. c. Keadilan, dalam artian bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil (baik oleh

terhukum maupun oleh korban penanggulangan kejahatan).9

Hukum pidana mendapat pengaruh dari pandangan Roscue Pound, yang akhirnya menimbulkan aliran hukum pidana modern, yitu tujuan hukum pidana untuk melindungi individu dan sekaligus masyarakat terhadap kejahatan dan penjahat itu haruslah disertai penentuan tujuan pemidanaan yang tidak klasik dengan pidana tidak hanya semata-mata sebagai pembalasan.

Berikut ini adalah beberapa teori-teori yang pernah dirumuskan oleh para ahli untuk menjelaskan secara mendetail mengenai pemidanaan dan tujuan dari dijatuhkannya pemidanaan. Pada umumnya teori-teori pemidanaan terbagi atas tiga golongan besar, yaitu:

1) Teori absolut / teori pembalasan / teori retributif (Vergeldings Theorien)

9

Amir Ilyas, dan Yuyun Widaningsih, Hukum Korporasi Rumah Sakit, (Yogyakarta: 2010), h. 13.


(39)

Teori ini memberikan statement bahwa penjatuhan pidana semata-mata karena seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Adapun yang menjadi dasar pembenarannya dari penjatuhan pidana itu terletak pada adanya kejahatan itu sendiri, oleh karena itu pidana mempunyai fungsi untuk menghilangkan kejahatan tersebut.

Menurut Johanes Andenaes, mengatakan bahwa tujuan utama dari pidana adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan (to satesfy the claims of justice), sedangkan pengaruh-pengaruh lainnya yang menguntungkan adalah hal sekunder jadi menurutnya bahwa pidana yang dijatuhkan semata-mata untuk mencari keadilan dengan melakukan pembalasan.10

Tokoh lain yang menganut teori absolut ini adalah Hegel, ia berpendapat bahwa pidana merupakan suatu keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum suatu negara yang merupakan perwujudan dari cita-cita susila, maka pidana merupakan suatu pembalasan. Lebih lanjut Hegel mengatakan bahwa tindak pidana itu harus ditiadakan dengan melakukan pemidanaan sebagai suatu pembalasan yang seimbang dengan beratnya perbuatan yang dilakukan.

Hugo de Groot dengan mengikuti pendapat dari Phitagoras, menuliskan bahwa kita tidak seharusnya menjatuhkan suatu pidana karena seseorang telah

10

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), h. 11.


(40)

melakukan kejahatan, akan tetapi untuk mencegah supaya orang jangan melakukan kejahatan lagi.11

2) Teori relatif atau teori tujuan

Menurut teori ini penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana melindungi kepentingan masyarakat. Lebih lanjut teori ini menjelaskan bahwa tujuan dari penjatuhan pidana adalah sebagai berikut:

a) Teori menakutkan yaitu tujuan dari pidana itu adalah untuk menakut-nakuti seseorang, sehingga tidak melakukan tindak pidana baik terhadap pelaku itu sendiri maupun terhadap masyarakat (preventif umum).

b) Teori memperbaiki yaitu bahwa dengan menjatuhkan pidana akan mendidik para pelaku tindak pidana sehingga menjadi orang yang baik dalam masyarakat (preventif khusus).12

Menurut pandangan modern, prevensi sebagai tujuan dari pidana adalah merupakan sasaran utama yang akan dicapai sebab itu tujuan pidana dimaksudkan untuk kepembinaan atau perawatan bagi terpidana, artinya dengan penjatuhan pidana itu terpidana harus dibina sehingga setelah selesai menjalani pidananya, ia akan menjadi orang yang lebih baik dari sebelum menjalani pidana.

11

Djoko Prakoso, Hukum Penitensir Di Indonesia, (Bandung: Armico, 1988), h. 20. 12


(41)

3) Teori Gabungan

Teori ini berakar pada pemikiran yang bersifat kontradiktif antara teori absolut dengan teori relatif. Teori gabungan berusaha menjelaskan dan memberikan dasar pembenaran tentang pemidanaan dari berbagai sudut pandang yaitu dalam rangka menentukan benar dan atau tidaknya asas pembalasan, mensyaratkan agar setiap kesalahan harus dibalas dengan kesalahan, maka terhadap mereka telah meninjau tentang pentingnya suatu pidana dari sudut kebutuhan masyarakat dan asas kebenaran.

Dengan demikian, teori gabungan ini berusaha memadukan konsep-konsep yang dianut oleh teori absolut dan teori relatif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan yaitu disamping penjatuhan pidana itu harus membuat jera, juga harus memberikan perlindungan serta pendidikan terhadap masyarakat dan terpidana.

C. Pro dan Kontra Pidana Mati di Indonesia

Pidana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan tahun lalu telah menuai pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, namun terjadi hampir di seluruh Negara yang ada pada saat ini. Setiap ahli hukum, aktivis hak asasi manusia dan lain sebagainya selalu menyandarkan pendapat pro dan kontra pada lembaga pidana mati dengan alasan yang logis dan rasional.

Kontroversi seputar pidana mati sebenarnya sudah lama berlangsung. Mantan Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra mengklaim bahwa pidana mati adalah bagian yang sah dari sistem hukum nasional. Ia melandasi argumennya pada analisa biaya keuntungan. Biaya yang ditanggung abolisi pidana mati tidak setimpal


(42)

dengan keuntungan yang diperoleh. Mantan menteri kehakiman lainnya, Muladi, berkeyakinan sama. Baginya, korban yang ditimbulkan pelaku justru merupakan pelanggaran HAM yang lebih besar.13

Para ahli hukum menjelaskan pendirian mereka, bahwa pengalaman telah membuktikan bahwa ketertiban hukum di Indonesia dipertahankan dengan merumuskan tanpa perlu dijatuhkanya pidana mati terhadap kejahatan berat, maka akan tiba waktunya untuk menghapuskan pidana mati sebagaimana halnya di Belanda.14

Jonkers mendukung pidana mati dengan pendapatnya bahwa “alasan pidana

tidak dapat ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan” bukanlah alasan yang dapat diterima untuk menyatakan ”pidana mati tak dapat diterima. Sebab di pengadilan putusan hakim biasanya didasarkan alasan-alasan yang benar”.15

Selanjutnya, Lambroso dan Garofalo berpendapat bahwa pidana mati itu adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.16 Individu itu tentunya adalah orang-orang yang melakukan kejahatan yang luar biasa serius (extra ordinary crime).

13

J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, (Jakarta: CV Rajawali, 1982) h. 66.

14

W. L. G Lemaire, Het Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie vergeleken met het Ned. W.v.S, (Batavia Centrum: Noordhof Kolff, 1934), h.15-16.

15

Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa lain, Kini dan di Masa Depan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 25-26

16


(43)

Ada kesamaan substansi antara pemikiran Jongker dan kedua pemikir hukum lainnya, seperti Lambroso dan Garofallo. Kedua pemikir ini berpendapat bahwa pidana mati itu adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat, yang berguna untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.17 Kemudian belakangan ini di Indonesia telah muncul beberapa pemikir baru yang pro dengan keberadaan hukuman mati itu. Beberapa diantaranya adalah Bambang Poernomo, mendukung adanya pidana mati berdasarkan pertimbangan bahwa perlu adanya ancaman pidana mati, terutama terhadap kejahatan berat, kejahatan makar, kejahatan korupsi dan kejahatan penyelundupan. 18

Pemikiran bahwa pidana mati harus dipandang sebagai “noodrecht” dan dalam

rangka pemikiran hukum pidana sebagai sarana hukum pidana “ultimum remedium

(sebagai obat terakhir). Juga ancaman pidana mati masih diperlukann bagi kejahatan yang menyerang terhadap kehidupan manusia yang dilakukan secara bengis, untuk mengontrol kejahatan masih diperlukan ancaman pidana yang berat seperti halnya hukuman mati. Kemudian Hartawi A.M dalam The Death Penalty, yang dimuat di Jurnal Tahun I No. 5, menjabarkan bahwa bahwa ancaman dan pelaksanaan pidana mati dianggap sebagai suatu social defence, dan bahwa pidana mati itu merupakan suatu bentuk pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman bahaya besar yang mungkin terjadi dan akan menimpa

17

Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia ... ... h. 12-13. 18

Bambang Poernomo, Ancaman Pidana Mati Dalam Hukum Pidana di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1982), h. 19-20


(44)

masyarakat. Dari bencana atau bahaya kejahatan akan mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggu ketertiban serta keamanan rakyat umum dalam pergaulan hidup manusia dan bermasyarakat dan bernegara.

Salah satu pakar hukum pidana dan tokoh pembaharuan hukum pidana nasional Barda Nawawi Arief secara eksplisit dalam sebuah bukunya menyatakan bahwa pidana mati masih perlu dipertahankan dalam konteks pembaharuan KUHP Nasional. Hal ini dapat penulis gambarkan, melalui pendapatnya yang menyatakan:

“bahwa walaupun dipertahankan pidana mati terutama didasarkan sebagai upaya perlindungan masyarakat (jadi lebih menitikberatkan atau berorintasi pada kepentingan masyarakat), namun dalam penerapannya diharapkan bersifat selektif, hati-hati dan berorientasi juga pada perlindungan/kepentingan individu (pelaku tindak pidana)”.19

Bahkan Marjono Reksodiputro yang juga seorang tokoh pembaharuan hukum pidana nasional mendukung keberadaan lembaga pidana mati dengan membantah hipotesa yang meragukan efektivitas pidana mati melalui pendapatnya yang menyatakan hubungan ancaman hukuman mati dengan mengurangi kejahatan atau tindak kejahatan sangatlah sulit. Memang secara praktik kurang bisa dibuktikan, tetapi bukan berarti bahwa tidak dapat mengurangi. Orang yang mengatakan hapuskan hukuman matipun tidak dapat membuktikan bahwa pidana mati itu tidak efektif.20

19

Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), h. 89.

20

Herliady , Efektivitas Hukuman Mati, http://herliady.blog.friendster.com/efektivitas-hukuman-mati/. Diakses pada 16 Juni 2016 pukul 21:00.


(45)

Salah seorang pakar hukum yaitu Enrico Ferri seorang berkebangsaan Italia dalam hal menentang pidana mati berpendapat bahwa untuk menjaga orang yang mempunyai pradisposisi untuk kejahatan cukup dengan pidana penjara seumur hidup, tidak perlu dengan pidana mati.21

Apa yang disampaikan Enrico Ferri dalam bukunya mengenai kriminologi tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan kriminologi Oxvord, Roger Hood yang menggunakan analisis efek jera pidana mati dan penjara seumur hidup. Adapun pendapatnya yang emosional bila kita menerima hipotesis bahwa hukuman mati atas pembunuhan menghasilkan efek jera yang jauh lebih besar daripada yang dihasilkan oleh hukuman yang diangap lebih ringan, yakni hukuman penjara seumur hidup.22

Adapun hak-hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum Islam menurut

Al- Qur’an antara lain adalah :

1. Hak hidup

Hak hidup adalah hak asasi yang paling utama bagi manusia, yang merupakan karunia dari Allah bagi setiap manusia. Perlindungan hukum Islam terhadap hak hidup manusia dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan syari’ah yang melindungi dan menjunjung tinggi darah dan nyawa manusia, melalui larangan membunuh, ketentuan qishash dan larangan bunuh diri. Jadi islam memperbolehkan adanya pidana mati

21

Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia ... ... h. 37. 22

Todung mulia Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, (Jakarta: Kompas Media Group 2009), h. 106.


(46)

karena untuk menjaga keberlangsungan hidup dan demi menjaga nyawa orang banyak.

2. Hak Persamaan

Menurut Islam, manusia dilahirkan dalam keadaan fithrah, tanpa membawa dosa warisan, dan merdeka tanpa menanggung beban sebagai budak atau dosa orang lain. Konsep fithrah dan merdeka (free) ini juga memberi arti persamaan derajat (equality atauequalitarisme bagi setiap manusia yang lahir karena sama-sama lahir dalam keadaan fithrah dan merdeka tadi. Perbedaan ras, etnik, nasionalisme, atau golongan justru untuk semakin mewujudkan perkenalan bukan lambang dekradasi kedudukan.23

3. Hak atas keadilan

Keadilan adalah dasar dari cita-cita Islam dan merupakan disiplin mutlak untuk menegakkan kehormatan manusia Keadilan adalah hak setiap manusia dan menjadi dasar bagi setiap hubungan individu. Oleh karena itu, merupakan hak setiap orang untuk meminta perlindungan kepada penguasa yang sah dan menjadi kewajiban bagi para pemimpin atau penguasa untuk menegakkan keadilan dan memberikan jaminan keamanan yang cukup bagi warganya.

4. Hak mendapatkan pendidikan

23

A. Qodri Abdullah Azizy, Masyarakat Madani Antara Cita dan Fakta; Kajian Historis Normative, dalam Ismail SM dan Abdul Mukti. (ed.) Pendidikan Islam Demokratisasi dan Masyarakat Madani Cet I, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2000), h. 103.


(47)

Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan bukan hanya merupakan hanya merupakan hak, tapi juga merupakan kewajiban bagi setiap manusia. Pentingnya pendidikan ini, karena melalui pendidikan orang akan menyadari harga dirinya dan martabatnya sebagai manusia, dengan pendidikan dapat membuka akal pikiran manusia terhadap kenyataan hidup dalam alam semesta ini dan terhadap hubungan manusia dengan Tuhan-nya dan hubungan manusia dengan sesama manusia, dan dengan pendidikan pula orang dapat menyadari dan memperjuangkan hak-haknya. 5. Hak kebebasan beragama

Manusia mempunyai hak kebebasan personal untuk memiliki keyakinan atau ideologi mana saja. Kebebasan ini harus dihormati dan dilindungi oleh orang lain.

Pada putusan Mahkamah Konstitusi dalam Permohonan Pengujian materil Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa pidana mati tidaklah bertentangan dengan konstitusi terdapat empat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim konstituisi. Hakim-hakim tersebut adalah Hakim Konstitusi H. Harjono, Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi, Hakim Konstitusi H.M. Laica Marzuki, dan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan. Dalam hal ini penulis sedikit menyampaikan alasan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menolak adanya pidana mati. :

“Bagi hak untuk hidup, tidak terdapat petunjuk yang menyatakan pembatasan hak itu dapat dilakukan dengan menghilangkan hidup itu sendiri, meskipun diakui dan telah menjadi bagian dari hak asasi orang lain yang harus pula


(48)

dihormati, hak untuk hidup boleh dibatasi karena 38 iker membutuhuhkan keadilan untuk mengembalikan keseimbangan yang dicederai oleh pelanggaran yang dilakukannya berupa pembatasan ruang geraknya dengan ditempatkan dalam tempat khusus serta menjalani pembinaan-pembinaan tertentu yang diwajibkan.”

Jelas pendapat Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menitikberatkan pada konsep hak asasi manusia. Permasalahan pro dan kontra terhadap pidana mati merupakan suatu permasalahan yang tidak mudah untuk digeneralisirkan dalam satu pola 38iker yang sama pada setiap orang.

D. Proses Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia

Menurut KUHP, ada sembilan (9) Pasal yang menyangkut jenis kejahatan yang diancam pidana mati, yaitu:

1. Makar dengan maksud membunuh presiden dan wakil presiden (Pasal 104 KUHP);

2. Melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang (Pasal 111 Ayat 2 KUHP);

3. Pengkhianatan memberitahukan kepada musuh di waktu perang (Pasal 124 Ayat 3 KUHP);

4. Menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara (Pasal 124 bis KUHP); 5. Pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat (Pasal 140 Ayat 3

KUHP);


(49)

7. Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati (Pasal 365 Ayat 4 KUHP);

8. Pembajakan di laut mengakibatkan kematian (Pasal 444 KUHP);

9. Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan (Pasal 149 K Ayat 2 & Pasal 149 O Ayat 2 KUHP).24

Selain dari tindak pidana yang diatur dalam KUHP, ada beberapa ketentuan ketentuan di luar KUHP yang juga mengatur tentang kejahatan yang diancam dengan tindak pidana mati, di antaranya adalah:

1. Tindak Pidana Ekonomi ( UU Nomor 7/Drt/1955 );

2. Tindak Pidana Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009);

3. Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001);

4. Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia (UU Nomor 39 tahun 1999);

5. Tindak Pidana Terorisme ( UU Nomor 15 tahun 2003).

Penjatuhan pidana mati terhadap seorang terpidana dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka yang menaruh kepedulian atas hak-hak asasi manusia berpandangan bahwa kewenangan mencabut hak untuk hidup dapat digolongkan sebagai pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights). Karena merenggut salah satu hak yang tak boleh ditangguhkan

24


(50)

pemenuhannya. Tindakan ini merampas hidup yang merupakan hak dasar dalam diri seseorang yang tak pernah bisa tersembuhkan atau tergantikan. Pidana mati menunjukkan adanya kewenangan mencabut hak untuk hidup dan dirasa kejam, tak berperikemanusiaan serta menghina martabat manusia.25

Tujuan pemidanaan pada hakikatnya memiliki unsur sebagai pencegahan, juga untuk memperbaiki terpidana, di samping mempertahankan tata tertib hukum. Pidana mati apabila bertujuan sebagai pembalasan maupun pembelajaran bagi masyarakat atau agar masyarakat menjadi jera untuk tidak mengulangi atau meniru tindakan yang melanggar hukum, ternyata maksud dan tujuan itu tidaklah tercapai seperti yang diharapkan, karena pada kenyataannya kasus tindak pidana pembunuhan dan kejahatan narkoba tidak menjadi berkurang, bahkan meningkat, sekalipun sudah terjadi pemidanaan mati yang dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan tersebut.

Dalam kasus tindak pidana narkoba yang dianggap sebagai kejahatan yang paling serius dan dapat menjadi alat subversi, bahkan akibat yang ditimbulkan dapat menghancurkan masa depan anak bangsa. Namun, dalam data yang diperoleh ternyata tidak ada korelasi antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan tersebut, di Indonesia justru menunjukkan peningkatan dari pengguna dan pengedar, sampai pada adanya produsen. Dalam kaitan ini, upaya penanggulangan narkoba di negara-negara maju sudah mulai dilakukan dengan meningkatkan pendidikan sejak dini dan melakukan kampanye anti narkoba, serta penyuluhan

25


(51)

tentang bahayanya. Demikian seriusnya penanggulangan masalah narkoba bagi kehidupan manusia sudah mendorong kerja sama internasional dalam memerangi kejahatan narkoba tersebut.26

Pidana mati bagi bangsa Indonesia tidaklah terlepas dari pandangan dan sikap bangsa Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa pandangan dan sikap bangsa Indonesia mengenai hak asasi manusia adalah bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan Pancasila. Sehingga hak asasi manusia dirumuskan secara substansi dengan menggunakan pendekatan normatif, empiris, deskriptif, dan analitis, antara lain disebutkan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas atau diganggu gugat oleh siapa pun.27

Karena itu, dalam Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tersebut Pasal 1 menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur pemerintah, untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Pandangan dan sikap bangsa Indonesia ini

26

Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana... ... h. 56. 27


(52)

di samping termuat dalam Piagam Hak Asasi Manusia, juga tercantum dalam amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28 A, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Dengan pendekatan filosofis yuridis tersebut di atas, maka seluruh produk hukum yang ada maupun yang akan ada seharusnya tidak boleh bertentangan dengan jiwa, pandangan dan sikap bangsa. Seperti yang dikatakan oleh Friedrich Carel Von Savigny bahwa hukum tidaklah dibuat melainkan ada dan tumbuh bersama rakyat.28

Amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28 A menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sebagai Hukum Dasar yang ditegaskan dalam Tata Urutan Perundang-undangan yang merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya sebagaimana Ketetapan MPR Nomor III/MPR/ 2000, maka seluruh aturan hukum di bawahnya, baik yang telah ada maupun yang akan dibentuk harus, sejalan dengan UUD sebagai Hukum Dasar tertinggi atau yang disebut sebagai Staatgrundgezet.29

Hak asasi manusia sebagaimana yang dirumuskan dalam pandangan dan sikap bangsa Indonesia adalah juga merupakan jiwa dari Pancasila yang antara lain mengedepankan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan Yang Adil dan

28

Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia ... .... h. 52. 29


(53)

Beradab, maka sebagai filosofi yuridis esensi itu sudah berlanjut menjadi konkret ke dalam Pasal 28 A itu.

Indonesia sebagai bagian dari negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, oleh karena itu Indonesia masih mencantumkan Pasal-Pasal tentang pidana mati dalam produk peraturan perundang-undangannya, di samping harus diakui banyak pula yang mendukung terhadap pidana mati.30

Tata cara pelaksanaan hukuman mati atau pidana mati sebagaimana diatur dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan peraturan perundang-undangan lain setingkat undang-undang diatur dalam UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer(“UU 2/PNPS/1964”).

Dalam Pasal 1 UU 2/PNPS/1964 disebutkan antara lain bahwa pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati.

Eksekusi pidana mati dilakukan oleh regu penembak dari Brigade Mobil (Brimob) yang dibentuk oleh Kepala Kepolisian Daerah di wilayah kedudukan pengadilan yang menjatuhkan pidana mati. Regu tembak tersebut terdiri dari seorang Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira (lihat Pasal 10 ayat 1 UU 2/PNPS/1964). Dalam UU 2/PNPS/1964 itu juga diatur bahwa jika terpidana

30

Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2009), h. 57.


(54)

hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan (lihat Pasal 7).

Pengaturan yang lebih teknis mengenai eksekusi pidana mati diatur dalam Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati (“Perkapolri 12/2010”). Dalam Pasal 1 angka 3 Perkapolri 12/2010 disebutkan antara lain bahwa hukuman mati/pidana mati adalah salah satu hukuman pokok yang dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Berlakunya sistem hukum dengan peradilannya secara proporsional, akan menambah kepercayaan warga masyarakat terhadap hukum. Oleh karenannya, perlu dicermati didalam sistem peradilan bergantung pada sistem hukum yang dianut oleh suatu masyarakat. Meskipun demikian, ada sejumlah asas-asas peradilan yang secara universal menjadi anutan dari berbagai masyarakat modern saat ini. Dan tentu saja, juga ada hal-hal spesifik dari setiap sistem peradilan tersebut.31

Kemudian, dalam Pasal 4 Perkapolri 12/2010 ditentukan tata cara pelaksanaan pidana mati yang terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. persiapan;

b. pengorganisasian; c. pelaksanaan; dan d. pengakhiran.

31


(55)

Proses pelaksanaan pidana mati secara lebih spesifik diatur dalam Pasal 15 Perkapolri 12/2010 sebagai berikut:

1) terpidana diberikan pakaian yang bersih, sederhana, dan berwarna putih sebelum dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati;

2) pada saat dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati, terpidana dapat didampingi oleh seorang rohaniawan;

3) regu pendukung telah siap di tempat yang telah ditentukan, 2 (dua) jam sebelum waktu pelaksanaan pidana mati;

4) regu penembak telah siap di lokasi pelaksanaan pidana mati, 1 (satu) jam sebelum pelaksanaan dan berkumpul di daerah persiapan;

5) regu penembak mengatur posisi dan meletakkan 12 (dua belas) pucuk senjata api laras panjang di depan posisi tiang pelaksanaan pidana mati pada jarak 5 (lima) meter sampai dengan 10 (sepuluh) meter dan kembali ke daerah persiapan; 6) Komandan Pelaksana melaporkan kesiapan regunya kepada Jaksa Eksekutor

dengan ucapan ”LAPOR, PELAKSANAAN PIDANA MATI SIAP”;

7) Jaksa Eksekutor mengadakan pemeriksaan terakhir terhadap terpidana mati dan persenjataan yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati;

8) setelah pemeriksaan selesai, Jaksa Eksekutor kembali ke tempat semula dan memerintahkan kepada Komandan Pelaksana dengan ucapan ”LAKSANAKAN”


(56)

9) Komandan Pelaksana memerintahkan Komandan Regu penembak untuk mengisi amunisi dan mengunci senjata ke dalam 12 (dua belas) pucuk senjata api laras panjang dengan 3 (tiga) butir peluru tajam dan 9 (sembilan) butir peluru hampa yang masing-masing senjata api berisi 1 (satu) butir peluru, disaksikan oleh Jaksa Eksekutor;

10) Jaksa Eksekutor memerintahkan Komandan Regu 2 dengan anggota regunya untuk membawa terpidana ke posisi penembakan dan melepaskan borgol lalu mengikat kedua tangan dan kaki terpidana ke tiang penyangga pelaksanaan pidana mati dengan posisi berdiri, duduk, atau berlutut, kecuali ditentukan lain oleh Jaksa;

11) Terpidana diberi kesempatan terakhir untuk menenangkan diri paling lama 3 (tiga) menit dengan didampingi seorang rohaniawan;

12) Komandan Regu 2 menutup mata terpidana dengan kain hitam, kecuali jika terpidana menolak;

13) Dokter memberi tanda berwarna hitam pada baju terpidana tepat pada posisi jantung sebagai sasaran penembakan, kemudian Dokter dan Regu 2 menjauhkan diri dari terpidana;

14) Komandan Regu 2 melaporkan kepada Jaksa Eksekutor bahwa terpidana telah siap untuk dilaksanakan pidana mati;

15) Jaksa Eksekutor memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Pelaksana untuk segera dilaksanakan penembakan terhadap terpidana;


(57)

16) Komandan Pelaksana memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Regu penembak untuk membawa regu penembak mengambil posisi dan mengambil senjata dengan posisi depan senjata dan menghadap ke arah terpidana;

17) Komandan Pelaksana mengambil tempat di samping kanan depan regu penembak dengan menghadap ke arah serong kiri regu penembak; dan mengambil sikap istirahat di tempat;

18) Pada saat Komandan Pelaksana mengambil sikap sempurna, regu penembak mengambil sikap salvo ke atas;

19) Komandan Pelaksana menghunus pedang sebagai isyarat bagi regu penembak untuk membidik sasaran ke arah jantung terpidana;

20) Komandan Pelaksana mengacungkan pedang ke depan setinggi dagu sebagai isyarat kepada Regu penembak untuk membuka kunci senjata;

21) Komandan Pelaksana menghentakkan pedang ke bawah pada posisi hormat pedang sebagai isyarat kepada regu penembak untuk melakukan penembakan secara serentak;

22) Setelah penembakan selesai, Komandan Pelaksana menyarungkan pedang sebagai isyarat kepada regu penembak mengambil sikap depan senjata;

23) Komandan Pelaksana, Jaksa Eksekutor, dan Dokter memeriksa kondisi terpidana dan apabila menurut Dokter bahwa terpidana masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, Jaksa Eksekutor memerintahkan Komandan Pelaksana melakukan penembakan pengakhir;


(58)

24) Komandan Pelaksana memerintahkan komandan regu penembak untuk melakukan penembakan pengakhir dengan menempelkan ujung laras senjata genggam pada pelipis terpidana tepat di atas telinga;

25) Penembakan pengakhir ini dapat diulangi, apabila menurut keterangan Dokter masih ada tanda-tanda kehidupan;

26) Pelaksanaan pidana mati dinyatakan selesai, apabila dokter sudah menyatakan bahwa tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan pada terpidana;

27) Selesai pelaksanaan penembakan, Komandan regu penembak memerintahkan anggotanya untuk melepas magasin dan mengosongkan senjatanya; dan

28) Komandan Pelaksana melaporkan hasil penembakan kepada Jaksa Eksekutor dengan ucapan ”PELAKSANAAN PIDANA MATI SELESAI”.

Dalam hal pelaksanaan pidana mati ini dijatuhkan kepada beberapa orang terpidana dalam satu putusan, pidana mati dilaksanakan serempak pada waktu dan tempat yang sama namun dilaksanakan oleh regu penembak yang berbeda (lihat Pasal 16 Perkapolri 12/2010).32

Secara Teoritis dapat dikatakan bahwa ancaman hukuman mati menimbulkan efek jera (deterrent effect) yang sangat tinggi. Efek jera hukuman mati tersebut merupakan faktor penting dalam menyebabkan orang mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana. Hal ini pada gilirannya akan meurunkan jmlah tindak pidana terkait. Secara logika memang masuk akal, namun tidak terdapat data statistik

32

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl441/hukuman-mati diakses tanggal 14 Mei 2016 Pukul 20:00 wib


(59)

(empiris) dan riset yang secara meyakinkan mendukung kesimpulan tersebut dan yang terjadi justru sebaliknya.

E. Negara Yang Tidak Memberlakukan Hukuman Pidana Mati

Ahli Prof. William Schabas (Keterangan Tertulis, tanggal 2 Mei 2007) menegaskan bahwa untuk kejahatan-kejahatan yang menurut standar Internasional jelas termasuk dalam kategori most serious crimes seperti genosida, crimes against humanity, dan war crimes, tribunal-tribunal PBB yang mengadili penjahat perang di Eks-Yugoslavia(1993), Rwanda (1994) maupun Sierra Leone (2002) tidak memberlakukan hukuman mati sebagai salah satu bentuk sanksi. Statue of the International Criminal Court (1998) juga membatasi bahwa hukuman maksimum adalah seumur hidup.33

Sebanyak 84 negara turut menandatangani Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional, tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang bertujuan untuk menghapus hukuman mati di New York, 15 Desember 1989 silam. Berikut segelintir atau beberapa negara-negara yang telah menandatangani hukum internasional, kecuali Indonesia, perihal pidana cabut nyawa sekaligus diterapkan di peraturan domestik negara peserta, berikut penulis paparkan beberapa negara yang menghapus hukuman pidana mati, yaitu:

1. Australia, mnyetakan diri terlibat aksesi peraturan tersebut sejak 2 Oktober 1990.

33

Todung Mulya Lubis & Alexander Lay, Kontrovesi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009), h. 330.


(60)

2. Brazil, menyatakan diri ikut aksesi perjanjian tersebut pada 25 September 2009.Angola, turut menandatangani pada 24 September 2013 dan belum meratifikasi.

3. Argentina, menyatakan keterlibatan pada 20 Desember 2006 dan meratifikasinya sejak 2 September 2008.

4. Kanada, menandatangani secara aksesi sejak 25 November 2005.

5. Denmark, turut menandatangani sejak 13 Februari 1990 dan meratifikasi pada 24 Februari 1994..

6. Perancis, terlibat secara aksesi sejak 2 Oktober 2007.

7. Jerman, turut menandatangani sejak 13 Februari 1990 dan diratifikasi pada 18 Agustus 1992.

8. Italia turut menandatangani sejak 13 Februari 1990 dan meratifikasi pada 14 Februari 1995.

9. Inggris Raya dan Irlandia Utara, turut menandatangani sejak 31 Maret 1999 dan meratifikasi pada 10 Desember 1999.

10. Belanda, turut terlibat perjanjian sejak 9 Agustus 1990 dan meratifikasi pada 26 Maret 1991.

11. Selandia Baru, turut terlibat sejak 22 Februari 1990 dan meratifikasi pada 22 Februari 1990.

12. Portugal, turut menyatakan diri terlibat sejak 13 Februari 1990 dan meratifikasi pada 17 Oktober 1990.


(61)

13. Spanyol, turut menandatangani sejak 23 Februari 1990 dan meratifikasi pada 11 Aprril 1991.

14. Swedia, , turut menandatangani sejak 13 Feb 1990 dan meratifikasi pada 11 Mei 1990.

15. Turki, turut menandatangani sejak 6 April 2004 dan meratifikasi pada 2 Maret 2006.34

Di dalam bukunya Ernest Bowen Rowlands yang berjudul Judgement of Death mengatakan bahwa pidana mati tidak dapat diperbaiki kalau seorang hakim telah keliru dan pidana mati telah dilaksanakan, tak pernah kehidupan dikembalikan kepada yang dipidana mati, sedang kekhilafan yang terjadi dalam dijatuhkannya pidana penjara, jika terdakwa masih hidup dia dapat dibebaskan, rugi dapat digantikan, nama baik dapat dikembalikan dan untuk waktu dalam penjara dapat diberikan pengganti kerugian berupa uang, namun pada pidana mati tak mungkin.35

34

http://news.okezone.com/read/2015/04/28/337/1141582/84-negara-kecuali-indonesia-yang-hapus-hukuman-mati diakses pada tanggal 15 Mei 2016 pukul 20:0 wib 35


(62)

52

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG HAK ASASI MANUSIA A. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia

Para pakar HAM berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta. Piagam Magna Charta (Inggris) pada tahun 1215 yang membentuk suatu kekuasaan monarki yang terbatas. Hukum mulai berlaku tidak hanya untuk rakyat, akan tetapi juga berlaku untuk para bangsawan dan keluarga kerajaan. Piagam Magna Charta atau disebut juga Magna Charta Libertatum (The Great Charter of Freedoms) dibuat di masa pemerintahan Raja John (King John of England) dan berlaku bagi raja-raja Inggris yang berkuasa berikutnya.

Isi pokok dokumen tersebut adalah hendaknya raja tidak melakukan pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan pribadi seorangpun dari rakyat. Selain itu Magna Charta juga memuat penegasan bahwa “tiada seorangpun boleh ditangkap atau dipenjarakan atau diusir dari negerinya atau dibinasakan tanpa secara sah diadili oleh hakim-hakim yang sederajat dengannya” (judicium parjum suorum).1

Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkret, dengan lahirnya Bill Of Right di Inggris pada tahun 1689 yang berisi penegasan tentang pembatasan kekuasaan raja dan dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan kekuasaan terhadap siapapun tanpa dasar hukum yang jelas. Berbarengan dengan peristiwa itu timbullah adagium yang intinya bahwa manusia

1

Robert Audi dalam Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 52.


(1)

bertentangan dengan Konstitusi Negara Indonesia dan masih layak dipertahankan keberadaannya dalam hukum pidana positif dan juga sebagai instrumen untuk melindungi masyarakat dan Negara baik dalam bentuk preventif maupun represif demi mencapai tujuan yaitu kemaslahatan umat manusia.

B. Saran

1. Seharusnya Negara harus berani mengambil tindak tegas dengan cara menghukum mati bagi para pengedar Narkotika dan dalam rencana pembaharuan Undang-Undang Pidana di Indonesia, baik tim perumus RUU KUHP maupun tim perumus Undang-Undang bernuansa HAM, perlu duduk bersama untuk berani memutuskan dan Indonesia tetap memasukkan pidana mati dalam KUHP dan non-KUHP dan konsisten dalam pelaksanaannya.

2. Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara narkotika hendaknya memperhatikan ancaman pidana pasal yang dipakai untuk mengadili perkara yang bersangkutan, agar tidak terjadi disparitas dalam putusan perkara narkotika. Penjatuhan putusan perkara narkotika oleh hakim yang memeriksa dan mengadili, hendaknya profesional terhadap siapapun yang terlibat dalam tindak kejahatan narkotik.


(2)

(3)

1 Al-Qur’an Al Karim

Abidin, A.Z, Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983. Asshidiqie, Jimly dan Hafid Abbas, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi

Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.

Audi, Robert dalam Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.

Azizy, A. Qodri Abdullah , Masyarakat Madani Antara Cita dan Fakta; Kajian Historis Normative, dalam Ismail SM dan Abdul Mukti. (ed.) Pendidikan Islam Demokratisasi dan Masyarakat Madani Cet I, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2000.

Bangun, Nata Sukam, Eksistensi Pidana Mati Dalam Sistem Hukum Indonesia, 2014.

Boisard, Marcel A, Humanisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Umum,

2000.

Bungin, M. Burhan, Penelitian Kualitatif , Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Abdoel Djamali, R. Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi), Jakarta: Rajawali Pers, 2005.

Gautama, Sudargo, Pengertian tentang Negara Hukum, Bandung: Alumni, 1973. Hadjon, Philipus M, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Bina

Ilmu, 2010.

Hamzah, Andi dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa lain, Kini dan di Masa Depan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

Hartono, C.F.G. Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Bandung: Alumni, 1994.


(4)

2

Ibrahim, Johny, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2008.

Ilyas, Amir dan Yuyun Widaningsih, Hukum Korporasi Rumah Sakit, Yogyakarta: 2010. Irmansyah, Rizky Ariestandi, Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi

Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.

Ismail, Al-Hasani, Nadlriyyah al-Maqashid ‘Inda al-Imam Muhammad ath-Thahir bin Asyur, Cairo: IIIT, 1995.

Jonkers, J.E, Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta: PT. Bina Akasara, 1987. Lemaire, W.L.G, Het Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie vergeleken

met het Ned. W.v.S, Batavia Centrum: Noordhof Kolff, 1934.

Lopa, Baharudin, Al-Qur’an dan Hak-hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Dasar Bhakti Primayasa, 1996.

Lubis, M. Solly, ”Hak-hak Asasi Menurut Undang-undang Dasar 1945”, dalam Padmo Wahjono (ed.), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

Lubis, Todung Mulya dan Alexander Lay, Kontrovesi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009.

Mas, Marwan, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004. Marlina, Hukum Penitensier, Bandung: Refika Aditama, 2011.

Marpaung, Leden, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2005.

Maududi, Abul A’la, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1985.

Naning, Ramdlon, Gatra Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1982.

Nawawi, Arief barda, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 2005.

Nowak, Manfred, “U.N. Covenant on Civil and Political Rights CCPR

Commentary”, Revisi kedua, N.P.Engel, 2005.

Poerwadarminta, W.J.S, ” Kamus Umum Bahasa Indonesia”, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976.


(5)

Prinst, Darwin, Sosialisasi dan Diseminasi Penegakkan Hak Asasi Manusia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Pujiyono, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2007. Sahetapy, J.E, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap

Pembunuhan Berencana, Jakarta: CV Rajawali, 1982

---, Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana, (Bandung: Alumni, 1979.

Saleh, Ruslan, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, 1983.

Saputra, Indra, Skripsi Dengan Judul Analisis Putusan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Mati Kepada Pelaku Tindak Pidana Narkotika, Bandar Lampung: Fakultas Hukum, 2014.

Setiardjo, A. Gunawan, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Jakarta: Mizan, 1999.

Sjadzali, Munawir, Nurcholis Madjid, dkk., HAM dan Pluralisme Agama, Surabaya: Pusat Kajian Strategi dan Kebijakan (PKSK), 1997. Soekanto, Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992. Soenarjo, R. H. A Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara

Penterjemahan Al-Qur’an, 1989.

Soemantri, Sri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni, 1992.

Soesilo, R, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bogor: Politea, 1960.

---, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Bogor: Politea, 1979.

Sudjana, Eggi, Ham dalam perspektif Islam, Mencari Universalitas HAM bagi Tatanan Modernitas yang Hakiki, Jakarta: Nuansa Madani, 2000. Suseno, Franz Magnis, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan

Modern Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Ubaidillah, A. Dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Jakarta : IAIN Jakarta Press, 2000.

Utrecht, E, Hukum Pidana I, Bandung: Universitas, 1968.

Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2009.


(6)

4

Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Internet

http://herliady.blog.friendster.com/efektivitas-hukuman-mati/ http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl441/hukuman-mati

http://news.okezone.com/read/2015/04/28/337/1141582/84-negara-kecuali-indonesia-yang-hapus-hukuman-mati