BAB III PANDANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
TERHADAP TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI
A. Pidana Mati: Antara Norma Yuridis dan Praktik
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, hukuman mati termasuk dalam kategori sanksi pidana pokok terhadap kejahatan pidana tertentu
yang terdapat dalam beberapa pasal dengan ancaman hukuman mati,
1
dan hukuman mati termasuk salah satu bentuk hukuman yang dapat di jatuhkan
kepada seseorang jika ia terbukti bersalah telah melakukan kejahatan tertentu, dan dari pandang sudut yuridis pidana mati masih dipertahankan hal tersebut di
dasarkan atas teori absolut aspek pembalasan dan teori relatif aspek menakutkan.
2
Hukuman mati yang diberlakukan di Indonesia tidaklah dapat diterima semua kalangan khususnya para pakar hukum, pro dan kontra terhadap
pidana mati sudah sejak lama menjadi perdebatan yang hangat hingga sampai sekarang, kedua pihak mempunyai alasan atau argumen tentang permasalahan
pidana mati namun nyatanya sampai sekarang perdebatan tak menemukan titik temu atau tak kunjung selesai dan harus diakui pidana mati hingga kini tetap
1
Pasal 10 dalam, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, KUHP
2
Djoko Prakoso dan Nurwahid, Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, Cet, Ke-1, Jakarta; Ghia Indonesia, 1989, h. 52
38
berlaku di Indonesia. Bahasan ini mencoba memaparkan pidana mati dilihat dari segi yuridis dan praktik serta menjelaskan perbedaan-perbedaan pendapat dari
tema ini. 1.
Pidana Mati Secara Yuridis. Pidana dipandang suatu nestapa yang kenakan kepada pembuat karena
melakukan delik. Ini bukan tujuan akhir namun tujuan terdekat. Inilah perbedaan pidana dan tindakan karena tindakan dapat berupa nestapa juga
tetapi bukan tujuan. Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat menjadi satu, yaitu memperbaiki pembuat.
3
Tujuan pidana untuk waktu yang panjang dapat menunjukkan perubahan kearah yang lebih manusiawi dan rasional. Dalam
segi tujuan atau retribution revenge bisa memberikan kepuasan pihak yang dirugikan atau pihak korban kejahatan walaupun dalam hal ini disebut alasan
yang primitif namun masih mempunyai pengaruh terhadap pada zaman sekarang.
4
Sebelum membahas lebih jauh lagi, perlu diketahui dahulu tujuan dan landasan teori dari pemidanaan itu sendiri karena pembahasan ini tidak dapat
dipisahkan dan dari tujuan pemidanaan, dengan begitu dapat mengetahui dasar-dasar dan tujuan pidana mati. Ada beberapa pendapat dari tujuan
3
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994, h. 27
4
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana..., h. 28
pemidaan apabila dilihat dari teori-teori hukum straf theorien secara garis besarnya dapat dibagi atas tiga macam, yaitu:
5
Teori absolut atau teori pembalasan absolute strafrechs theorien. Menurut teori ini, setiap kejahatan harus dibalas dengan hukuman tanpa
memperhatikan akibat yang mungkin timbul dari dijatuhkan hukuman tersebut, sehingga teori ini hanya melihat masa lampau, tanpa memperhatikan
masa akan datang, penganut dari teori ini antara lain Kant dan Hegel. Ada kata-kata Kant yang populer mengenai ini:
6
“andaipun besok dunia akan kiamat, penjahat yang terakhirpun harus tetap dipidana mati pada hari ini”
Jadi, menurut teori pembalasan ini tujuan hukuman adalah
penghukuman itu sendiri. Selanjutnya teori relatif atau teori tujuan doel theorien. Menurut teori
ini tujuan hukuman adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum, ada dua tujuan dari pencegahan atau prevensi. Pertama, masyarakat, hukuman
dijatuhkan agar masyarakat tidak melakukan kejahatan atau pelanggaran, di sebut juga sebagai prevensi umum generale preventie. Kedua, pembahasan
dari segi terhukum atau terpidana, hukuman dijatuhkan dengan tujuan agar terhukum tidak melakukan kembali perbuatannya. Dalam artian hukuman
5
Ahkiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, Cet, Ke- 1, Jakarta: Aksara Persada, 1985, h. 85-87
6
Djoko Prakoso, Masalah Pidana Mati Soal Jawab, Cet, Ke- 1, Jakarta: Bina Aksara, 1987, h. 106
yang dijatuhkan untuk memperbaiki diri terhukum agar tidak berbuat kembali, yang sebut prevensi khusus special preventie
Terakhir berdasarkan teori gabungan verenigings theorien. Menurut teori ini, hukuman mengandung unsur pembalasan dan pencegahan terhadap
terjadinya kejahatan dan pelanggaran, sehingga tata tertib mayarakat tidak terganggu, serta memperbaiki pelaku atau si penjahat.
Dari uraian beberapa teori hukum diatas, dapatlah dipahami pidana mati berdasarkan teori hukum tersebut, memang hingga saat ini para sarjana
hukum masih memberikan jawaban yang berlandaskan teori absolut atau pembalasan, teori relatif atau tujuan dan teori gabungan ini, dan alasan
penganut tiga teori hukum di atas absolut,relatif, dan gabungan adalah dari segi pencegahan kejahatan dianggap paling efektif untuk menakuti orang
untuk tidak melakukan kejahatan. Walaupun ada pendapat mengatakan hukuman mati berdasarkan teori di atas saat ini sulit dipertahankan karena
secara fakta berdasarkan teori di atas tidak membuktikan berkurangnya kejahatan. Pendapat J.E. Sahetapy
,
7
teori tersebut sulit dipertahankan kalaupun hendak dipertahankan cukup menjadikannya dalam rangka sumber
referensi saja. Sebab teori tersebut didasarkan pemikiran secara transendental atau secara “conceptual abtractioan” belum dapat memberikan jawaban yang
memuaskan. Dalam lingkup tujuan pidana mati untuk Indonesia haruslah
7
Ahkiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, h. 89
berdasarkan Pancasila sebagai kesadaran hukum, harus diketahui pidana bukanlah tujuan “an sich” melainkan pidana dilihat sebagai suatu prasarana
atau sarana yang mempunyai tujuan membebaskan. Pembebasan tidak identik dengan pengertian rehabilitasi atau reformasi namun pembebasan pelaku dari
pikiran jahatnya dan juga dibebaskan dari kenyataan sosial tempat ia terbelengguh. Mengenai tujuan pemidanaan di Indonesia sebagaimana yang
dirumuskan oleh BPHN dalam konsep rancangan KUHP Nasional sebagai berikut:
8
1. Untuk mencegah dilakukannya perbuatan pidana demi pengayoman
sila masyarakat dan penduduk. 2.
Untuk membimbing agar terpidana insaf menjadi anggota masyarakat berbudi baik dan berguna.
3. Untuk menghilangkan noda yang diakibatkan oleh perbuatan pidana.
Di bawah ini ada bebrapa pendapat yang mendukung diberlakukannya hukuman mati sebagai berikut:
9
1. Lebih efektif dari ancaman hukuman lainnya, karena mempunyai efek
menakuti. 2.
Lebih hemat dari hukuman lainnya. 3.
Untuk mencegah tindakan publik menghakimi pelaku pidana.
8
Djoko Prakoso, Masalah Pidana Mati Soal Jawab, h. 94
9
Ahkiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, h. 93
4. Satu-satunya hukuman yang dapat ditentukan dengan pasti, karena
pembunuhan yang dijatuhi hukuman seumur hidup, sering mendapat pengampunan.
5. Anggapan hukuman mati tidak bertanggung jawab dengan
perikamanusiaan, tetapi upaya melindungi bahkan melindungi perikemanusiaan itu sendiri.
Adapun pendapat pihak yang menolak hukuman mati sebagai berikut:
10
1. Hukuman mati tidak selalu efektif sebagai cara menakuti pelaku
pidana. 2.
Pembebasan dari hukuman mati tidaklah menimbulkan penghakiman sendiri oleh publik.
3. Melanggar nilai-nilai kemanusiaan dan cenderung membenarkan
pembunuhan. 4.
Kesalahan dalam peradilan tidak dapat diperbaiki kembali. 5.
Hanya tuhan yang berhak mencabut nyawa manusia. Mereka yang menolak pidana mati menyatakan bahwa pidana mati
tidak layak dilaksanakan karena hanya Tuhanlah yang berhak mencabut nyawa, selain itu juga tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan yaitu, education
10
Ahkiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, h. 99
dan rehabilitation. Negara yang menjalankan pidana mati dianggap tidak berhasil menyelesaikan masalah namun memberi contoh yang buruk.
11
Sebenarnya pro dan kontra hukuman mati, perdebatan kedua pihak berpandangan dua asas dan konsepsi yang sama. Jika hukuman mati ditentang
karena dipandang tidak efektif dan tidak memiliki efek jera, dan pihak mendukung hukuman mati berpandangan sebaliknya. Kedua pihak sama-sama
menggunakan asas utilitarian dan deontologis. Asas utilitarian muncul dalam argumen efek jera, dan asas deontologis muncul dalam argumen hukuman
mati sebagai penandaan atau pemuliaan kehidupan.
12
2. Pidana Mati Secara Praktik.
Pada zaman belanda praktik pidana mati di Indonesia dengan cara digantung, yang tertera dalam KUHP pasal 11.
“pidana mati dijalankan oleh algojo pada tempat gantungan dengan menjerat tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana
kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri ”. Setelah kemerdekaan Indonesia memakai tata cara pidana mati
dengan tembak sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang No. 2pnps1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati. Ada banyak macam
cara pidana mati didunia, seperti: cara digantung, penggal leher, ditembak,
11
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan, Cet, Ke-5, Jakarta: Ghia Indonesia, 1985, h. 63-64
12
Agung Putri, ”Direktur Eksekutif Elsam, Keharusan Hukum Untuk Mati”, Kompas. Jakarta, 2 November 2007
ruang gas, suntik mati, dan kursi listrik. Di Indonesia terdapat 16 hukuman mati baik didalam KUHP dan diluarnya yaitu,
13
pidana mati yang terdapat dalam KUHP: Makar membunuh Kepala Negara pasal 104, mengajak atau
menghasut negara lain menyerang Indonesia pasal 111 ayat 2, melindungi atau menolong musuh yang berperang melawan Indonesia pasal 124 ayat 3,
membunuh Kepala Negara Sahabat pasal 140 ayat 3, pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu pasal 140 ayat 3 dan pasal 340, pencurian
dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih dengan merusak rumah yang mengakibatkan luka berat atau mati pasal 365 ayat 4, pembajakan di laut, di
tepi laut, di tepi pantai, di sungai sehingga ada orang yang mati pasal 444, menganjurkan pemberontakan atau huru-hara para buruh terhadap perusahaan
pertahanan negara pada waktu perang pasal 124, waktu perang menipu dalam menyerahkan barang-barang keperluan angkatan perang pasal 127 dan
pasal 129, dan pemerasan dengan kekerasan pasal 368 ayat 2. Dan hukuman mati yang terdapat di luar KUHP diancam hukuman mati terdapat
peraturan perUndang-Undangan antara lain adalah: Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang senjata api, Penetapan Presiden No. 5 tahun 1959
tentang wewenang Jaksa AgungJaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan
pelaksanaan perlengkapan sandang pangan, Peraturan Pemerintah Pengganti
13
Ahkiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati,,,. h. 29-30
UU No. 21 tahun 1959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi, UU No. 11pnps1963 tentang pemberantasan
kegiatan subversi, UU No. 4 tahun 1976 tentang perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam KUHP perluasan berlakunya ketentuan perUndang-
Undangan pidana, kejahatan, penerbangan, dan kejahatan terhadap saranaprasarana penerbangan, dan UU No. 9 tahun 1976 tentang narkotika.
selanjutnya secara praktik setidaknnya ada tiga jenis tindakan pembunuhan oleh Negara yang mengemuka saat ini:
14
a hukuman mati berdasarkan due process of law. Misalnya
pengadilan perkara narkoba, sekalipun masih perlu ditinjau lebih jauh, boleh digolongkan sebagai pengadilan dengan sanksi
hukuman mati yang due process of law. b
hukuman mati tidak berdasarkan due process of law. Ini telah terjadi pada pengadilan-pengadilan politik seperti yang dialami
oleh terdakwa kasus pembajakan pesawat woyla, terdakwa peristiwa G3OS. Khusus yang terakhir bahkan Mahkamah Militer
luar biasa tidak memiliki prosedur banding. c
selain dua jenis diatas proses hukuman ini, aparatur Negara juga menghukum tanpa melalui pengadilan, disebut extra-yudicial
14
Agung Putri, Direktur Eksekutif Elsam,,,. 2 November 2007
killings.
15
Ini dilakukan oleh aparat keamanan kepolisian dan militer dan bukan berdasarkan keputusan pengadilan atau perintah
Kejaksaan Agung. Ini paling banyak memakan korban, terutama di daerah konflik, seperti aceh, papua, dll. Misalnya, petugas
Kepolisian Resort Khusus Bandara Soekarno Hatta, menembak mati dua tersangka pencuri Roni Pettera, 31 tahun dan Davit
Permando, 18 tahun biasa beroperasi di Bandara Soekarno Hatta. Ditembak karena berusaha lari ketika diminta menunjukkan tempat
persembunyian komplotan mereka.
16
Tiga jenis ini dapat diberlangsung bersamaan, dalam keadaan damai ataupun dalam suatu operasi militer. Pendapat Harkristuti Harkrisnowo
17
, mengatakan vonis hukuman mati di Indonesia berbeda dengan yang berlaku di
Negara lain. Di Indonesia tidak ada standar waktu kapan suatu proses hukum selesai dari tingkat peradilan ke peradilan tingkat lainnya. Waktu pemberian
atau menolak grasi sering sampai bertahun-tahun dari diajukannya permohonan menjadi kurangnya efek jera. Dalam ruang lingkup praktik
15
Exra judisial: di luar acara peradilan, lihat. Chrustine S.T. Kansil, Kamus Istilah Aneka Hukum, Cet, Ke- 3, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004, h. 10
16
”Dua Pencuri di Bandara ditembak Mati” Topik diakses 30 Agustus 2009 dari http:www.ui.ac.iddownloadkliping040205Dua_Pencuri_di_Bandara_Ditembak_Mati.pdf
17
Sinar Harapan, Taggal 13 Juli Tahun 2004, Haman 7 Kolom 1-3, lihat http:www.ui.ac.iddownloadkliping140704Efek_Jera_Hukuman_Mati_Dipertanyakan.pdf,
diakses, 30 Agustus 2009
hukum mati, bagi pihak yang menolak tegas dengan alasan:
18
hukuman mati melanggar hak hidup right to life seseorang yang tidak dapat dikurangi atau
hak yang fundamental non-derogable right, dan juga atas dasar realitas pelaksanaan hukuman di Indonesia masih tidak netral dan korup. Dalam
maksud secara praktik hukuman mati terjadi pada mereka yang lemah secara hukum dan politik, sebaliknya bagi mereka yang mempunyai kekuatan atau
pengaruh. Berbeda dengan pendapat mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, yang mengatakan pengahapusan hukuman mati di Indonesia belum bisa
dilakukan karena institusi penegak hukum masih lemah, seperti kepolisian dan kejaksaan, serta institusi pemasyarakatan masih lemah. Bila hukuman mati
ditiadakan situasi Indonesia makin memburuk, khusunya pada kasus narkotika dan obat-obatan yang berbahaya.
19
Terlepas dari perdebatan pro dan kontra berlakunya hukuman mati. Dari berbagai macam cara pidana mati tersebut
yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat penghormatan nilai-nilai kemanusiaan dalam mengeksekusi pelaku terpidana mati, dalam artian upaya
menjaga martabat dan derajat kemanusiaan dihadapan hukum.
18
Berita Kontras, Hukuman Mati Di Indonesia: Matinya Hukum Nurani, Jakarta No. 02III-VI2005 h. 5
19
Kejaksaan Agung Tolak Penghapusan Hukum Mati, Kompas, Jakarta 16 Desember 2004 h.7
B. Materi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21PUU-VI2008