Materi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21PUU-VI2008

B. Materi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21PUU-VI2008

Terpidana mati kasus bom Bali Amrozi dan kawan-kawan dijatuhi hukuman mati pada tahun 2003 oleh Pengadilan Negeri Denpasar karena bertanggung jawab atas tragedi bom Bali, Oktober 2002 yang mengkibatkan korban tewas 202 dan 209 lainnya terluka. 20 Ketiga terpidana mati mengajukan pengujian Undang-Undang yudicial review kepada Mahkamah Konstitusi Pada tanggal 6 agustus 2008, telah diterima dan terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, dengan regisrasi perkara Nomor 21PUU-VI2008, yang telah diperbaiki dan diterima di kepaniteraan Mahkamah tanggal 26 agustus 2008, dan diperbaiki kembali pada tanggal 27 agustus 2008, mengemukakan hal-hal sebagai berikut: pemohon dengan ini mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang “PUU” tentang norma- norma yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 02pnps1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum dan militer Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38 yang ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1964 tentang berbagai penetapan presiden dan peraturan presiden sebagai Undang-Undang. Yang diajukan oleh: Amrozi bin Nurhasyim, Ali Ghufron bin 20 Nasional: “Eksekusi di Bukit Nirbaya”, Majalah Tempo,Jakarta, Edisi 10-16 November 2008, h. 28 Nurhasyim als. Muklas, dan Abdul Azis als. Imam Samudra terpidana mati kasus bom Bali Berdasarkan Surat Kuasa Nomor 01.TPM-Pst.Sku.MK.VIII.2006 tanggal 16 Agustus 2006, memberi kuasa kepada: A. Wirawan Adnan, SH., H.M. Mahendradatta, SH., MA., MH., H. Achmad Michdan, SH., Akhmad Kholid, SH., Qadar Faisal, SH., Fahmi Bahmid, SH., Agus Setiawan., SH., Rita, SH., Gilroy Arinoviandi, SH., Sutejo Sapto Jalu, SH., Hery Susanto, SH., Guntur Fattahillah, SH., Muannas, SH., dan Abdul Rahim, SH., semuanya berprofesi sebagai Advokat dan Penasehat Hukum, yang tergabung dalam Tim Pengacara Muslim Pusat, beralamat di Jalan Pinang I Nomor 9 Pondok Labu Jakarta Selatan 12450, bertindak untuk dan atas nama Pemohon. Mahkamh konstitusi telah membaca permohonan dari pemohon, telah mendengar keterangan dari pemohon, telah mendengar dan membaca keterangan tertulis dari pemerintah, telah memeriksa bukti-bukti, telah mendengar keterangan saksi dan para ahli dari pemohon, dan telah membaca kesimpulan tertulis dari pemohon. Dalam pengujian Undang-Undang, yang terdapat di putusan Nomor 21PUU-VI2008 pemohon mengajukan dua pengujian yudicial review dari Undang-Undang ini yaitu: a permohonan pengujian formil Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 ayat 3 huruf “a” UU MK, perihal Undang-Undang yang dapat dimohonkan untuk diuji oleh Mahkamah Konstitusi adalah Undang-Undang yang pembentukannya tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945. Bahwa menurut Pemohon Undang-Undang Nomor 02PnpsTahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, merupakan Undang-Undang yang pembentukannya tidak memenuhi ketentuan UUD 1945, berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut; 1. Bahwa Undang-Undang Nomor 02PnpsTahun 1964 UU 2Pnps1964, merupakan Undang-Undang yang pembentukannya didasarkan pada Penetapan Presiden Republik Indonesia. 2. Bahwa Penetapan Presiden a quo, kemudian menjadi Undang-Undang adalah karena diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang UU 51969. 3. Bahwa Penetapan Presiden a quo merupakan Penetapan Presiden yang dimaksud oleh Pasal 2 UU 51969 yang berbunyi: “Terhitung sejak disahkannya Undang-Undang ini, menyatakan Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden sebagaimana termaksud dalam Lampiran IIA dan IIB Undang- Undang ini, sebagai Undang-Undang dengan ketentuan, bahwa materi Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden tersebut ditampung atau dijadikan bahan bagi penyusunan Undang-Undang yang baru”. 4. Bahwa UU 2Pnps1964 juncto UU 51969 adalah Undang-Undang yang pembentukannya dilakukan dengan cara disahkan oleh Presiden Republik Indonesia dengan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. 5. Bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong DPR-GR bukan lembaga perwakilan rakyat sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, karena DPR-GR dibentuk atas dasar Penetapan Presiden dan anggotanya juga diangkat oleh Presiden, sedang Dewan Perwakilan Rakyat DPR sebagaimana dimaksud oleh Pasal 19 Amandemen UUD 1945, anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. 6. Bahwa pembentukan Undang-Undang menurut UUD 1945 adalah sebagaimana tersebut dalam Pasal 20 Amandemen UUD 1945, maka pembentukan UU 2Pnps1964 juncto UU 51969 tidak sesuai dengan Pasal 20 tersebut. 7. Bahwa dengan demikian, tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati dengan cara ditembak hingga mati oleh Regu Penembak, yang selama ini dijalankan di negara kita, Republik Indonesia, merupakan tata cara yang didasarkan pada Undang-Undang yang pembentukannya tidak sesuai dengan UUD 1945. 8. Bahwa merupakan fakta hukum, UU 2Pnps1964 yang telah diwajibkan oleh UU 51969 untuk diadakan perbaikanpenyempurnaan dalam arti bahwa materi dari penetapan tersebut dijadikan bahan untuk penyusunan Undang-Undang baru, hingga permohonan diajukan ke Mahkamah Konstitusi belum pernah ada perbaikan maupun penyempurnaan terhadap Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia b permohonan pengujian materil Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 ayat 3 huruf “b” UU MK, perihal Undang-Undang yang dapat dimohonkan untuk diuji oleh Mahkamah Konstitusi adalah Undang-Undang yang materi muatan dalam ayat, pasal, danatau bagian Undang-Undang bertentangan dengan UUD 1945. Bahwa menurut Pemohon UU 2Pnps1964 juncto UU 51969, adalah Undang- Undang yang materi muatan dalam ayat, pasal, danatau bagian Undang- Undang bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28I ayat 1 perubahan kedua, 21 berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut; 1. Bahwa Pasal 28I ayat 1, berbunyi sebagai berikut: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun“ 2. Bahwa Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati dengan cara ditembak hingga mati oleh Regu Penembak sebagaimana ditentukan dalam UU 2Pnps1964 juncto UU 51969, adalah penyiksaan terhadap Terpidana, karena alasan-alasan sebagai berikut: 21 Undang-Undang Dasar 1945, Hasil Amandemen dan Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap, Cet, Ke- 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, h. 23 Pasal 1 dari UU 2Pnps1964, menentukan bahwa hukuman mati dengan cara ditembak dilakukan dengan cara ditembak hingga mati. Kalimat ini menimbulkan pengertian bahwa kematian yang akan diterima oleh Terpidana tidak sekaligus terjadi dalam “satu kali tembakan”, namun harus dilakukan secara berkali-kali hingga mati. Dengan demikian terjadi penderitaan yang amat sangat sebelum terpidana akhirnya mati. Pasal 14 ayat 4 dari UU 2Pnps1964 lebih memberikan penegasan atas kemungkinan tidak terjadinya kematian dalam satu kali tembakan, sehingga diperlukan tembakan pengakhir, dengan kalimat Undang- Undang yang berbunyi: “Apabila setelah penembakan, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir…” Sebelum tembakan pengakhir tersebut berarti Undang-Undang ini mengakui bahwa terpidana masih hidup, padahal dia sudah dalam keadaan tertembak dan tentunya dalam keadaan berlumuran darah, sehingga dalam keadaan tersiksa yang amat sangat, sebelum akhirnya mati oleh tembakan pengakhir. 3. Bahwa Regu Penembak yang diberi tugas untuk mengeksekusi terpidana menurut UU 2Pnps1964 juncto UU 51969, diharuskan membidik pada jantung terpidana, Pasal 14 ayat 3 namun pada Pasal 14 ayat 4 menentukan untuk mengarahkan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya. Dengan demikian tata cara ini tidak memberikan kepastian akan “tiadanya penyiksaan” dalam proses kematiannya terpidana. Jika menurut pembentuk Undang-Undang yang bisa mengakibatkan kematian langsung adalah tembakan di atas telinga terpidana mengapa ada tata cara yang mengharuskan membidik pada “jantung”. Artinya, pembentuk Undang-Undang tidak meyakini bahwa tembakan pada jantung akan mengakibatkan kematian langsung, sehingga ada ketentuan Pasal 14 ayat 4 tersebut. 4. Bahwa meskipun seorang warga negara Indonesia itu statusnya adalah Terpidana maka menurut UUD 1945, khususnya Pasal 28I ayat 1, tetap dijamin hak asasi manusianya, sehingga penyiksaan terhadapnya dengan menggunakan tata cara pelaksanaan hukuman mati berdasarkan UU 2Pnps1964 juncto UU 51969, merupakan pelanggaran atas hak konstitusionalnya, dengan demikian UU 2Pnps1964 juncto UU 51969 materinya jelas bertentangan dengan UUD 1945.

C. Doktrin Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21PUU-