11
Mati Di Indonesia. Dalam penelitiannya hanya membandingkan pratik hukuman mati dalam Islam dengan pratik hukuman mati di Indonesia yang diatur dalam
UU No 02pnpsTahun1964junctoUU 05Tahun1969. dan letak perbedaan dengan peneliti tulis adalah peneliti berusaha menganalisis perspektif hukum
Islam terhadap pendapat Mahkamah Konstitusi dalam putusan No 2PUU- IV2008, dengan pendekatan nilai atau syarat-syarat doktrin hukum Islam yang
harus dipenuhi dalam proses pelaksanaan pidana mati.
E. Metode Penelitian
1 Jenis Penelitian
Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian pustaka library reseach, yaitu penelitian yang kajianya menelaah beberapa literatur hukum yang terkait
dengan bahasan ini, dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan selanjutnya menguraikan secara jelas berbagai bahan yang
diperoleh, dengan begitu penelitian ini bersifat deskriptif, selanjutnya bahan pustaka yang diperoleh dipadukan serta dianalisis dengan prinsip penelitian
hukum normatif-dokrinner 2 Metode Pengumpulan Data
Dengan berdasarkan jenis penelitian, data yang gunakan adalah studi dokumentasi yang selanjutnya disebut data primer dalam penelitian ini dan
bahan yang membantu atau bahasan yang terkait dalam penelitian ini disebut data sekunder. Sumber data primer yang digunakan adalah putusan
12
Mahkamah Konstitusi No 21PUU-VI2008 tentang Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang. Sedangkan bahan sekundernya berupa berupa
tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan judul skripsi ini 3
Metode Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini adalah berdasarkan tehnik analisis isi data
secara kualitatif. Dengan cara data-data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka dan dokumentasi, dianalisis dengan metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analitis-kualitatif. Tujuan disini adalah untuk mencari persesuaian objek penelitian yang kemudian dianalisis dengan hukum Islam.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan Skripsi ini dibagi atas lima 5 bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:
Bab I Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang
penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjaun review kajian terdahulu, metode dan sistematika
penelitian ini. Bab II
Di dalamnya akan membahas mengenai tujuan pemidanaan serta pidana mati dalam hukum Islam dan bagaimana tata cara hukuman
mati menurut hukum Islam dan juga memaparkan praktik pidana mati di beberapa Negara-negara Muslim
13
Bab III Membahas pidana mati: antara norma yuridis dan praktik, dan materi
putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian peraturan perUndang- Undang, serta memaparkan doktrin hukum Mahkamah Konstitusi
terhadap UU No 02Tahun1964 jucnto UU No 05Tahun1969 dilihat dari syarat formil atau materiilnya.
Bab IV Merupakan bab yang menganalisis tata cara pelaksanaan pidana mati
di Indonesia dalam pandangan Mahkamah Konstitusi formil dan materil, dan bagaimana perspektif hukum Islam dalam pelaksanaan
hukuman mati di Indonesia Putusan Mahkamah Konstitusi. Bab V
Adalah bab penutup, berisi kesimpulan penulis, saran dan kritik bagi siapa saja yang berkepentingan di dalamnya.
BAB II KEDUDUKAN PIDANA MATI MENURUT HUKUM ISLAM
A. Tujuan Pemidanaan Dalam Hukum Islam
Ada tiga asas dalam bidang hukum pidana Islam yang harus diperhatikan selain dari asas umum lainnya seperti, asas keadilan, kepastian hukum, dan
kemanfaatan.
1
Beberapa asas di bawah ini juga bisa melihat tujuan pemidanaan itu sendiri.
1. Asas Legalitas
Tidak ada pelanggaran atau tidak ada hukuman sebelum ada Undang- Undang atau aturan tetap yang mengaturnya. Dalam al-Quran ayat 15 surat
al-Isra’ dihubungkan dengan anak kalimat dalam ayat 19 surat al-An’am yang berbunyi “al-Quran ini diwahyukan padaku, agar dengannya aku
Muhammad dapat menyampaikan peringatan dalam bentuk aturan dan ancaman hukuman kepadamu”. Biasanya dalam hukum disebut asas legalitas
yang artinya tidak dikenakan hukuman pada seseorang atas perbuatannya sebelum adanya aturan yang melarangnya.
1
H. Mohammad Daud Ali. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia
, Cet, Ke- 10, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2001, h. 117
15
2. Asas Larangan Memindahkan Kesalahan Pada Orang Lain
Selanjutnya hukuman yang dikenai pada seseorang tidaklah bisa dipiindahkan atau menggantikan berlakunya hukum pada seseorang misalnya,
dalam surat Muddatstsir dikatakan bahwa setiap jiwa terikat apa-apa yang ia kerjakan dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau kesalahan yang
diperbuat oleh orang lain, dikatakan juga dalam surat al-An’am ayat 164, bahwa Allah mengatakan setiap pribadi yang melakukan kejahatan akan
menerima balasan kejahatan yang di lakukannya, ini berarti tidak ada suatu perbuatan kejahatan atau dosa seseorang yang bisa ditanggung oleh orang lain
dan sesungguhnya pertanggung jawaban seseorang itu bersifat individu asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain.
3. Asas Praduga Tak Bersalah
Perlu diperhatikan juga asas praduga tak bersalah dalam pidana, dalam proses menentukan bersalah tidaknya seseorang pelaku pidana maka perlu
adanya pengadilan yang adil trial fair, jadi seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim
memutuskan dengan bukti-bukti yang menyakinkan, maka pelaku terdakwa mempunyai hak untuk pembelaan diri di depan pengadilan.
2
Hukuman dalam bahasa arab disebut “uqubah”, lafaz “uqubah” menurut bahasa berasal dari kata:
۷ܿܲ yang sinonimnya: ݑܻ݇ ءﺎ܆و ݑ۹ܿܳ۸, artinya,
2
H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia
, h. 118-119
Dalam kamus istilah fiqih kata “uqubah” berarti: “hukuman badan yang telah ditentukan oleh syara’, yang telah dilakukan seseorang ”, disebutkan juga
“uqubah” ada dua macam yaitu, “uqubah ashliyyah ”, hukuman asal yang telah ditentukan syara’ seperti hukuman potong tangan bagi pencuri baik laki-laki
maupun perempuan, jika sudah memenuhi syarat-syaratnya, dan “uqubah badaliyyah
” hukuman sebagai pengganti hukum asli yang telah ditetapkan oleh syara’ seperti, membayar seratus ekor unta sebagai pengganti hukuman bagi yang
membunuh dengan sengaja, setelah mendapat ampunan dari pihak keluarga terbunuh.
4
Menurut Abdul Qadir Audah, hukuman difinisikan sebagai berikut:
5
݆ܳا ܿ
ﻮ ۸ﺔ
ه ݙ
܇݆ا ﺰ
ءا ݆ا
ܿ ڰﺮ
ر ݆
ܣ ݇
܋ ﺔ
܇݆ا
ܲﺎ ﺔ
ܲ ݇
ﻰ ܲ
ܣ ݛ
نﺎ أ݊
ﺮ ݆ا
ڰܟ رﺎ
ع
Artinya: “hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya
pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’ ”
Dari definisi tersebut dapatlah dipahami bahwa hukuman adalah salah satu
tindakan yang diberikan oleh syara’ sebagai pembalasan atas perbuatan yang
3
H. Ahmad Wardi Muslih, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam fiqih jinayah, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004, Cet, Ke- 1, h. 136
4
M. Abdul Mujieb, Mabrul Tholhah, dan Syafi’ah A. M, Kamus Istilah Fiqih, Cet, Ke- 3 Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002, h.
5
Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islamiy, Juz 1, Beirut: Dar al-Kitab al- ‘Araby, tt., h. 609.
Selain itu, tujuan pemidanaan atau hukuman adalah. a.
Pencegahan
ﺮ܆ﺰ݆او عدﺮ݆ا
7
Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah delik pidana agar ia tidak tidak mengulangi perbuatan jarimah-nya, atau
agar ia tidak melakukan perbuatan jarimah itu terus-menerus. Disamping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain
agar tidak melakukan perbuatan jarimah pula. Dengan demikian, kegunaan pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan orang yang berbuat itu sendiri
6
Mashood A. Baderin, Hukum Internasianal Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, terj. Musa khazim dan Edwin Arifin, Jakarta: KOMNASHAM, 2007, h. 39-40
7
Ahmad Wardi Muslih, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam fiqih jinayah, h. 137-139
untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan menahan orang lain untuk tidak berbuat seperti itu dan serta menjauhkan diri dari lingkungan jarimah, oleh
karena tujuan hukuman pencegahan dalam hal ini, maka dalam pemberian hukuman haruslah sesuai dan cukup untuk mewujudkan tujuan tersebut, tidak
boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukan, dengan begitu terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman.
b. Perbaikan dan pendidikan
حݣܢﻹا ۷ݚﺬﻬۿ݆او
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Di sini
terlihat bagaimana perhatian syariat Islam terhadap diri pelaku, dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu
kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta
dengan harapan mendapat rida dari Allah SWT. Selain kebaikan pribadi, dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang
baik yang diliputi hidup saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui hak dan kewajibannya. Pada hakikatnya
jarimah merupakan perbuatan yang menginjak-injak keadilan atau melanggar norma masyarakat yang membuat kemarahan masyarakat dan perbuatan yang
menggangu ketertiban serta kenyamanan masyarakat, dan hukuman yang diterima dimaksudkan memberikan rasa derita yang harus diterima sebagai
balasan yang telah diperbuat dan sebagai sarana penyucian diri,
8
serta harapan akan terwujudnya rasa keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh
masyarakat.
B. Pidana Mati Dalam Hukum Islam