2.2 Analisis Wacana Kritis
Pengertian mengenai wacana bergantung kepada sudut pandang yang dipakai untuk melihatnya. Wacana atau discourse memiliki implikasi yang beragam dalam
teori kritis, sosiologi, linguistik, filsafat, psikologi sosial, dan disiplin lainnya Mills, 1997: 1. Dalam pandangan linguistik, wacana dapat berarti teks atau ujaran, dengan
demikian wacana dapat dipandang sebagai perluasan dari teks yang memiliki bentuk- bentuk organisasi internal, koherensi dan kohesi. Masih dalam pandangan linguistik,
wacana dapat berarti konteks dari ujaran tertentu, sehingga kemudian ada yang disebut sebagai wacana agama atau wacana iklan. Konteks penciptaan teks kemudian
akan menentukan unsur pokok internal dari teks yang diproduksi Mills, 1997: 9. Crystal 1987: 116 dalam Mills 1997: 3 memberikan defenisi wacana
sebagai berikut: Discourse analysis focuses on the structure of naturally occurring spoken
language, as found in such ‘discourse’ as conversation, interviews, commentaries, and speeches. Text analysis focuses on the structure of written
language, as found in such ‘text’ as essays, notices, road signs, and chapters. But this distinction is not clear-cut, and there have been many other uses of
these labels. In particular, ‘discourse’ and ‘text’ can be used in a much broader sense to include all language units with a definable communicative
function, whether spoken or written. Some scholars talk about ‘spoken or written text’.
Dalam pandangan LFS, yang dimaksud dengan wacana discourse=text adalah unit-unit linguistik yang fungsional function=meaning berada di dalam
konteks, unit linguistik berupa bunyi, kata, morfem, groupfrase, klausa, klausa kompleks, paragraph dan buku. Konteks adalah segala unit linguistik yang
Universitas Sumatera Utara
mendahului atau mengikuti sesuatu yang dipertanyakan. Arti yang terealisasi dalam teks merupakan hasil interaksi pemakai bahasa dengan konteks, dengan istilah lain,
teks wujud dalam konteks sosial tertentu dan tidak ada teks tanpa konteks Sinar, 2008: 53.
Konteks sosial ini terdiri dari tiga unsur yaitu konteks situasi, budaya, dan ideologi. Ketiga konteks ini mendampingi bahasa atau teks secara bertingkat dan
membentuk hubungan semiotik bertingkat dengan teks atau bahasa Sinar, 2008: 23- 24. Konteks yang paling konkret adalah konteks situasi karena konteks ini langsung
berhubungan dengan teks atau bahasa, dengan kata lain konteks situasi adalah pintu konteks sosial kepada bahasa Halliday dan Hasan, 1992: 62. Konteks budaya
berhubungan dengan penggunaan bahasa secara bersama-sama dengan anggota budaya yang bersangkutan, di mana bahasa tersebut digunakan Halliday dan Hasan,
1992: 4-5; Sinar, 2008: 64. Konteks ideologi berhubungan dengan kekuasaan yang ada di balik penggunaan suatu bahasa Sinar, 2008: 84.
Sistem makna visual merupakan bagian penting dalam studi kritis yang menjadi salah satu bagian dalam analisis terhadap sistem komunikasi. Visual, dalam
bentuk apapun secara keseluruhan adalah bagian dari ideologi. Dengan demikian, sistem makna visual bukanlah sesuatu yang netral tetapi membawa ideologi tertentu.
Analisis terhadap makna visual daalam hal ini dapat dilakukan melalui analisis wacana kritis Kress dan van Leeuwen, 2006: 12
Universitas Sumatera Utara
Analisis wacana kritis Critical Discourse Analysis melihat bahwa sesuatu yang ‘netral’ pada kenyataannya selalu membawa ideologi tertentu. Norman
Fairclogh dalam Mills 1997: 10 menyatakan bahwa produksi teks dan ujaran berhubungan dengan kekuasaan ‘power’, misalnya wacana rasisme atau seksis. Sinar
2008: 4 menyatakan bahwa analisis kritis secara sosial ditujukan kepada aplikasi analisis LFS. Unit-unit linguistik berfungsi untuk mengkodekan pola ideologi dan
struktur teks yang direpresentasikan melalui bahasa, karena itu setiap pemilihan unit- unit linguistik mengakibatkan situasi dan tujuan yang berbeda.
2.3 Gender