BAB III
Kebijakan War on Terrorism Presiden Bush
War on terrorism merupakan sebuah kebijakan. Kebijakan itu sendiri berarti serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan- hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan
tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu
43
. Dalam konteks hubungan luar negeri, maka kebijakan dapat diartikan
dengan tujuan umum yang memandu aktifitas dan hubungan antara satu negara dalam berinteraksi dengan negara lain. Pembentukan kebijakan ini dipengaruhi
oleh pertimbangan kepentingan domestik, kebijakan atau prilaku negara lain, atau rencana untuk mendapatkan disain geopolitik tertentu
44
Untuk membahas sisi imperial dari kebijakan Amerika Serikat melalui teori yang telah dibahas pada bab sebelumnya bab II, maka perlu dipaparkan
materi kebijakan war on terrorism presiden Bush tersebut secara komprehensif. Berikut penjelasannya.
A. Latar Belakang Lahirnya Kebijakan War on Terrorism
Terorisme merupakan fenomena yang sudah ada jauh sebelum tragedi 11 September 2001, namun rangkaian aksi teror sebelumnya belum dianggap
begitu membahayakan keamanan dunia umumnya dan keamanan nasional Amerika Serikat Serikat khususnya. Tahun 1993 misalnya, Yousuf Ramzi,
43
Carl J. Friedrick, Man and His Government New York: Mc Graw Hill, 1963, h.79.
44
Britannica Concise Encyclopedia 2006, diakses dari http.en.wikipedia.org
salah seorang anggota al-Qaida mencoba meruntuhkan gedung World Trade Center menggunakan bom yang cukup kuat, namun berhasil diantisipasi
dengan cepat, sehingga hanya menewaskan beberapa orang dan hanya merusak sebagian bangunan. Amerika Serikat Serikat pun tidak butuh waktu berbulan-
bulan untuk menangkap si pelaku Namun, munculnya teror global yang semakin intens dan terorganisir,
membuat situasi semakin rumit dan berbahaya. Tercatat sejak Tahun 1981 hingga 2000 dunia internasional diguncang oleh 9.181 serangan. Dalam Tahun
2000 saja terjadi 423 kali, meningkat 8 dari Tahun 1999. Tahun 2000, 405 orang terbunuh, meningkat 73 dari Tahun 1999
45
. Untuk mengatasi problema tersebut, maka Pemerintah Amerika Serikat
Serikat di bawah pimpinan Presiden Goerge W. Bush mensistematiskan kebijakan serius yang kemudian disebut war on terrorism.
Wacana war on terrorism ini sesungguhnya telah bergulir sejak masa Pemerintahan Presiden Bill Clinton. Pada tahun terjadinya bom WTC kali
pertama 1993, belum ada kekhawatiran yang berarti terhadap gejala dan perkembangan terorisme global ini. Barulah pada Tahun 1996 muncul
kekhawatiran, namun pihak Amerika Serikat Serikat belum mengira kalau al- Qaida akan menjadi organisasi teroris yang besar yang akan menjadi musuh
utama Amerika Serikat Serikat. CIA pun tidak pernah memberikan indikasi seperti itu dalam laporannya
46
45
Uwe Johannen, et.al, 911: September 11 and Political Freedom Singapore: Select Publishing, 2003, p. 31.
46
Richard A. Clarke, Menggempur Semua Musuh; di Balik Perang Amerika Serikat Melawan Teroris Against all enemies; inside America’s war on terror, Penerjemah Tim Sinergi
Jakarta: Sinergi Publishing, 2004, h. 95.
Pada tahun yang sama 1996 Bill Clinton mempresentasikan masalah terorisme di Universitas Goerge Washington dan mendeklarasikan agenda war
on terrorism yang kemudian sangat popular pada masa pemerintahan Presiden Goerge W. Bush terutama pasca tragedi 11 September 2001
47
. Pada masa pemerintahan Presiden Bush inilah istilah war on terrorism benar-benar
mendapatkan momentumnya. Hal ini dikarenakan beberapa sebab: 1. Karakter Presiden Bush.
Siapa yang akan mengira kalau Presiden Bush seperti itu?. Pikiran inilah yang ada dalam benak teman-teman dekat Goerge W Bush. Belum
banyak orang yang mengenal sosok Presiden Bush sebelum tragedi 911. Sebagian mungkin mengira bahwa Bush junior mewarisi sifat Bush senior,
tapi tidak banyak yang menyangka kalau ternyata sifat Bush junior sangat mirip dengan sifat ibunya, Barbara Bush.
Barbara Bush dikenal sebagai orang yang suka bicara blak-blakan, berlidah tajam, keras kepala kalau punya kemauan harus terlaksana,
percaya pada instink, bersikap hitam-putih terhadap suatu masalah dan tidak sabaran. Sifat-sifat itulah yang menempel pada diri Presiden Bush
48
Sifat mudah naik darah dan suka bertengkar yang dimiliki Barbara Bush, menurut April Foley, teman Bush di Harvard Business School,
dimiliki pula oleh Bush
49
. Perintahnya untuk menangkap Usamah bin Laden yang dituding ada di balik peristiwa 911 itu “hidup atau mati” merupakan
salah satu bukti.
47
Ibid., h. 125.
48
Trias Kuncahyono, “Terorisme dan Ambisi Neo-Imperialisme AS; Setahun Setelah Tragedi 11 September”, Kompas, 11 September 2002, h. 30.
49
Ibid., h. 30.
Reaksi keras dan emosional ini tidak hanya terulang sekali atau dua kali saja, Presiden Bush hampir mengulang kata-kata emosional yang sama
kapan pun, dimana pun serta kepada siapa pun. Bob Woodward, pengarang salah satu buku international best seller mengutip penggalan percakapan
antara Presiden Bush dan Wakil Presiden Dick Cheney, we’re going to find who did this” Bush said to Cheney, “and we’re going to kick their ass
50
Bagitu lah reaksi Presiden Goege W Bush dalam merespon aksi teror. Oleh karena itu, cukup bisa dimaklumi kenapa pilihan-pilihan militer
lebih diutamakan dari pada opsi diplomasi –meskipun cara diplomasi juga tetap digunakan.
Selain alasan “instrinsik” di atas, tak kalah andil sebagai penyumbang lahirnya sistimatisasi kebijakan war on terrorism pada masa
pemerintahan Bush adalah makin intensifnya kegiatan al-Qaida, Jama’ah Islamiyah dan negara-negara sponsor terorisme.
2. Serangan Al-Qaida terhadap Amerika Serikat dan Dunia
51
Al-Qaida telah membuktikan dirinya sebagai organisasi yang fleksibel, gesit dan cepat. Al-Qaida juga telah berhasil merekonfigurasi
dirinya menjadi organisasi yang lebih reflektif terhadap ideologi. Konsekuensinya adalah Amerika Serikat semakin sulit untuk
mengalahkannya
52
.
50
Bob Woodward, Bush at War London: Pocket Books, 2003, p. 18.
51
Amerika Serikat menyebut al-Qaida sebagai organisasi teroris. Namun, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Pertama, kalau tudingan itu didasari oleh data dan fakta yang benar,
maka al-Qaida bisa disebut sebagai teroris. Namun, jika tuduhan ini hanya berdasarkan asumsi dan ketakutan se pihak Amerika Serikat karena al-Qaida pernah mendeklarasikan perang melawan
Amerika Serikat tahun 1998, maka tentu bisa ditegaskan bahwa al-Qaida bukanlah organisasi teroris.
52
Bruce Hoffman, “Al-Qaida Then and Now”, dalam Karen J. Greenberg, ed., Al-Qaida Now: Understanding Today’s Terrorists Cambridge: Cambridge University Press, 2005, p. 10.
Al-Qaida memang dicatat sebagai sasaran utama kampanye war on terrorism Amerika Serikat. Organisasi Islam radikal ini telah melakukan
sejumlah pem-bom-an yang menewaskan ratusan bahkan ribuan orang. Pada Tahun 1998, al-Qaida membom kedutaan AS di Kenya dan Tanzania yang
menewaskan 223 orang dan melukai tidak kurang dari 4000 orang. Al-Qaida juga membidani 20 aksi teror di Saudi Arabia yang menewaskan 50 tenaga
pengamanan dan melukai lebih banyak orang lagi
53
. Selanjutnya dan yang paling sukses bagi al-Qaida adalah meruntuhkan menara kembar WTC yang
menewaskan lebih kurang 3000 orang. Teror WTC tersebut sungguh menimbulkan efek persepsi, efek psikologis dan efek simbolik yang hebat
dalam skala global
54
Yang lebih menakutkan lagi bagi Amerika Serikat Serikat adalah ternyata al-Qaida telah memiliki jaringan di 60 negara di dunia
55
. Inilah mengapa al-Qaida disebut sebagai jaringan teroris global, karena
pengaruhnya yang sangat luas, bahkan mungkin sampai ke Indonesia. 3. Kekhawatiran terhadap Jamaah Islamiyah
Selain al-Qaida, Jamaah Islamiyah juga merupakan organisasi yang dicap sebagai teroris global. Sedikit berbeda dengan al-Qaida yang eksklusif
– mengkhususkan aksinya pada simbol-simbol Amerika Serikat, Jamaah Islamiyah berperan secara lebih “dinamis”. Dinamis dalam arti bahwa
mereka tidak memaksa diri untuk menyerang simbol-simbol utama negara
53
Steven Simon, “Al-Qaida Then and Now” dalam Karen J. Greenberg, ed., Al-Qaida Now: Understanding Today’s Terrorists Cambridge: Cambridge University Press, 2005, p. 14-
15.
54
Yasraf Amir Piliang “Hiperterorisme dan Hiperteknologi” dalam Farid Muttaqin dan Sukidi, ed., Terorisme Serang Islam Bandung: Pustaka Hidayah, 2001, h. 63.
55
Bob Woodward, Bush at War, p. 33.
kafir seperti kedutaan, gedung pemerintahan, pusat militer dan sebagainya, namun bisa juga dengan memilih tempat-tempat atau orang tertentu yang
dianggap representatif. 4. Negara-negara Sponsor Terorisme
Faktor lain yang tak kalah dipertimbangkan dalam kampanye war on terrorism adalah makin meningkatnya dukungan negara-negara tertentu
terhadap kelompok yang dikategorikan sebagai organisasi teroris oleh Pemerintah Amerika Serikat. Dukungan tersebut bisa melalui pemberian
dana, penyediaan tempat perlindungan maupun fasilitas persenjataan. Amerika Serikat menyebutkan sejumlah negara yang menjadi
sponsor teroris
56
:
•
Iran, karena melindungi dan memberikan fasilitas persenjataan kepada Hizbullah Libanon, Hamas Palestina dan Jihad Islam
•
Irak, karena memiliki kedekatan tertentu dengan kelompok mujahidin khalq.
•
Syiria, karena memberi izin kepada Hamas untuk membuka cabang di Damaskus
•
Libya, karena memberi bantuan kepada Islamic Jihad Palestina
•
Kuba, karena keterkaitannya dengan National Liberation Army dan The Revolusionary Armed Force Colombia
•
Korea Utara karena memasok senjata ke sejumlah kelompok ekstrim dan memiliki senjata nuklir
56
Chawat Satha-Anand, “Mitigating the Success of Terrorism with Politic of Truth and Justice”, dalam Uwe Johannen, et.all., 911: September 11 and Political Freedom Singapore:
Select Publishing, 2003, p. 18.
Keberadaan kelompok teroris dan negara sponsor inilah yang membuat kampanye war on terrorism Amerika Serikat Serikat menjadi
sangat urgen dan ekspansif serta berpengaruh terhadap pola hubungan internasional. Kebijakan war on terrorism Amerika Serikat Serikat secara
sistematis dibagi ke dalam kebijakan jangka panjang dan kebijakan jangka pendek
B. Kebijakan Jangka Panjang War on terrorism