Imperialisme Modern:Analisis Kebijakan War On Terorism Preseden Bush Pasca 2001

(1)

IMPERIALISME MODERN:

STUDI TERHADAP KEBIJAKAN

WAR ON TERROR

PRESIDEN BUSH PASCA 2001

Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Mendapatkan Gelar Sarjana Strata 1 Jurusan Pemikiran Politik Islam

Oleh

AHMAD ALFAJRI NIM: 103033227807

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2008 M/1429 H


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarata

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 7 Maret 2008 Ahmad Alfajri


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT serta selawat dan salam semoga disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, karena hanya dengan nikmat dan karunia-Nya lah skripsi “Imperialisme Modern: Analisis Kebijakan War on Terrorism Presiden Bush Pasca 2001”, ini bisa diselesaikan.

Penulis juga hendak mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu proses penyelesaian skripsi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Dr. M. Amin Nurdin selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Seterusnya kepada Dr, Hamid Nasuhi, Dra. Hermawati, MA dan Dr. Masri Mansoer selaku Pembantu Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat 3. Bapak Drs. Agus Darmaji, M. Fils, dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, MA

selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam

4. Selanjutnya kepada Bapak Dr. Nawiruddin, selaku pembimbing skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam membimbing penulis, memberi kritikan dan masukan yang sangat membantu dalam penulisan skripsi ini

5. Dosen-dosen jurusan pemikiran politik islam, yang telah membimbing dan mengajari kami –penulis khususnya- akan berbagai hal yang sebelumnya belum kami ketahui

6. Tak lupa, skripsi ini penulis sembahkan untuk Ayah (H. Mismardi, BA) dan Ibu (Elidarni) yang selalu memberi dukungan dan semangat kepada


(4)

penulis untuk terus maju di setiap jenjang pendidikan. Terima kasih juga tak lupa penulis ucapkan kepada “uda dan uni”, Da Haris, Uni Yossy dan Da Icep, serta kepada “adiak-adiak”, Iki dan Ayip.

7. Selanjutnya terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dinda Pratiwi (sweetheart) yang juga tak bosan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

8. Seterusnya kepada teman-teman aktivis Laboratorium Politik Islam (LPI) yang merangkap sebagai radaksi Jurnal Politik Islam, diantaranya: Bawono Kumoro, Arya Fernandes, Muamar Lutfi Harun, Shahibah Yuliani, Rosi Selly, Subairi, Hafiz, Rey dan lain-lain yang mungkin tidak bisa disebutkan satu per satu. Kebersamaan kita sangat berarti, dan mari wujudkan semangat “creative minority”.

9. Terakhir kepada teman-teman PPI A dan B Angkatan 2003. Semoga yang belum wisuda, bisa lekas menyusul.

Ciputat, 8 Maret 2008


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……….. i

DAFTAR ISI ………..iii

DAFTAR TABEL ……….v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ……… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……….. 5

C. Tujuan Penelitian ………. 6

D. Metode Penelitian ……… 6

E. Sistematika Penulisan ……….. 7

BAB II TERORISME DAN IMPERIALISME A. Definisi dan Sejarah Terorisme ………... 9

B. Mengenal Konsep Imperialisme ……….. 17

C. Hubungan antara Terorisme dan Imperialisme ……… 29

BAB III KEBIJAKAN WAR ON TERRORISM PRESIDEN BUSH A. Latar Belakang Lahirnya Kebijakan War on Terrorism… 32

1. Karakter Presiden Bush ……….. 34

2. Serangan Al-Qaida terhadap Amerika dan Dunia ……. 35

3. Kekhawatiran terhadap Jamaah Islamiyah………. 36

4. Aktifnya Negara-negara Sponsor Terorisme …………. 37

B. Kebijakan Jangka Panjang ………. 38

1. Penyebaran demokrasi yang Efektif ………. 40

2. Membangun Fail State ………. 46

3. Memperbaiki Hubungan dengan Negeri Muslim …….. 48


(6)

1. Mencegah Serangan oleh Jaringan Teroris ………….. 50 2. Menghalangi Para Teroris agar Tidak Mendapatkan

Senjata Pemusnah Masal ……….. 57 3. Menghalangi Teroris Mendapatkan Dukungan dan Per-

lindungan dari Negara Lain ……….. 60 4. Menghalangi Kontrol kelompok Teroris atas Sebuah

Negara ……….. 62

BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN WAR ON TERRORISM PRESIDEN

BUSH

A.War on Terrorism Menyimpang dari Kriteria Kebijakan yang Ideal………. 65 B. War on Terrorism adalah Propaganda Realisme Ekonomi dan

Politik ………... 71 C. War on Terrorism Membawa Tindakan-tindakan yang Tidak

Proporsional………. 88 D. War on Terrorism Membuat Dunia Semakin Tidak Aman. 94

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ……… 99

B. Saran ………. 100


(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasca tragedi World Trade Center pada 11 September 2001, terorisme menjadi isu utama dunia internasional. Perhatian yang diberikan untuk kasus ini mungkin bisa disejajarkan dengan perhatian terhadap perkembangan komunisme pada era perang dingin beberapa dekade lalu.

Tragedi ini kemudian berdampak panjang dengan dikeluarkannya dekrit perang terhadap terorisme oleh Amerika Serikat dengan bantuan para sekutu. Namun, kemudian muncul dilema dalam upaya mendefenisikan siapa yang teroris dan siapa yang bukan, serta bagaimana cara meresponnya.

Belum lagi tercapai kesepakatan masalah defenisi, cakupan dan cara merespon gejala terorisme, Amerika Serikat langsung mengklaim kelompok-kelompok seperti al-Qaida, Hamas, Hizbullah, Jamaah Islamiyyah dan kelompok lain yang memiliki ciri-ciri yang sama sebagai organisasi teroris. Kelompok-kelompok tersebut secara sosio-religius merupakan bagian dari sebuah komunitas muslim yang tersebar di berbagai tempat.

Selain itu, Amerika juga mensinyalir keberadaan beberapa negara yang dengan sengaja memberi perlindungan dan bantuan terhadap kelompok-kelompok tersebut1. Irak, Iran dan Afganistan adalah sebagian negara yang dianggap memiliki kedekatan tertentu dengan kelompok teroris. Iran adalah negara sponsor aktifitas kelompok Islam di Lebanon dan Palestina. Irak

1

Lihat Chawat Satha-Anand, “Mitigating the Success of Terrorism with Politic of Truth and Justice”, dalam Uwe Johannen, et.all., 911: September 11 and Political Freedom (Singapore: Select Publishing, 2003), p. 18.


(8)

diduga dekat dengan al-Qaida dan diperkirakan kalau senjata pemusnah masal Irak jatuh ke tangan para teroris, maka bencana besar akan melanda dunia. Sedangkan Afganistan dianggap sebagai markas dan basis utama al-Qaida yang telah menyebar ke 60 negara di dunia.

Untuk merespon gejala terorisme global ini, tidak ada pilihan lain bagi Amerika Serikat selain melakukan tindakan pre emptive. Yaitu menyerang sebelum diserang. Atas dasar inilah, maka Amerika melakukan penyerangan ke Afganistan dan Irak beberapa tahun lalu. Bagi Amerika Serikat kedua negara ini telah kehilangan kedaulatan, karena mereka telah mengorbankan kedaualatannya di saat mereka melindungi atau bekerja sama dengan kelompok teroris2.

Di samping itu, untuk mencegah agar kelompok teroris baru tidak muncul, maka Amerika merasa perlu untuk menata ulang sistem internasional. Dalam upaya ini Amerika memasuki banyak negara dan mencegah agar tidak ada negara lain di dunia yang menjadi partner kelompok teroris sekaligus mencegah agar tidak ada kekuatan baru di dunia --selain Amerika Serikat dan teman-temannya-- yang mampu mengembangkan teknologi senjata pemusnah masal.

Amerika tidak membutuhkan bukti untuk bertindak. Ada atau tidak adanya bukti bukanlah sesuatu yang penting. Tidak adanya bukti bukan berarti tidak ada aktifitas. Di zaman sekarang ini --bagi Amerika-- tidak boleh ada kesalahan sedikit pun. Ada hal-hal yang kita tahu bahwa kita tidak tahu, namun juga ada hal-hal yang kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu. Rumsfeld

2

Lihat G. John Ikenberry, “Ambisi Imperial AS”, dalam Council on Foreign Policy, Amerika dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, Penerjemah Yusi A. Pareanom dan Zaim Rofiqi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 443.


(9)

(Penasehat Presiden sekaligus Menteri Pertahanan pada waktu itu) melakukan pembenaran terhadap opsi menyerang terlebih dahulu ini dengan mengatakan bahwa ada hal-hal yang kita tahu bahwa kita tahu,ada hal-hal yang kita tahu bahwa kita tidak tahu. Namun ada juga hal-hal yang kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu. Setiap tahun kita, kita menjumpai sedikit lagi ketidaktahuan-ketidaktahuan ini3.

Dengan kekuatannya sekarang, Amerika bisa bertindak hanya dengan dasar asumsi. Itulah karakter dasar kekuatan uni polar. Tidak adanya kekuatan penyeimbang sebagai check and balance membuat negara pemegang kekuatan mampu bertindak hanya dengan asumsi dan pra-sangka. Tidak adanya penyeimbang juga membuat negara yang berkuasa –dan Amerika melakukannya-- merasa dirinya bertindak demi kebaikan dan kemanusiaan4. Kondisi uni polar ini bukanlah situasi yang bagus bagi politik internasional. Bisa saja –dan memang sering terjadi-- apa yang diinginkan oleh negara kuat bertentangan dengan pilihan dan kepentingan negara lemah, sehingga mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

Kebijakan baru Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Goerge W. Bush ini telah keluar dari kriteria ideal sebuah kebijakan, sehingga kemudian memunculkan penolakan dan kritik dari dunia internasional. Kebijakan war on terrorism ini sama sekali tidak mendapatkan legitimasi utuh dunia. Apa lagi sejak diketahui bahwa di balik kebijakan war on

3

Ibid., h. 441.

4

Wawancara Harry Kreisler dengan Kanneth Walt dengan tema “Conversations with History” 10 Februari 2003 di UC. Berkeley diakses dari http//en.wikipedia.org/wiki/Kenneth Waltz


(10)

terrorism tersebut, ternyata Amerika Serikat telah merencanakan sebuah pencapaian politik dan ekonomi yang luar biasa.

Amerika dan sekutu (terutama Inggris) hanya menjadikan terorisme sebagai justifikasi untuk memasuki wilayah-wilayah potensial yang memang telah ditargetkan sebelumnya. Terorisme hanya menjadi isu pengantar menuju isu senjata pemusnah masal Irak. Selanjutnya isu senjata pemusnah masal pun hanya sebagai langkah awal untuk melakukan perubahan rezim, dari rezim yang anti- Amerika kepada rezim yang tunduk kepada Amerika.

War on terrorism membawa misi politik dan ekonomi yang sangat ambisius. Serangan Amerika ke Afganistan dan Irak bukanlah sebuah invansi pembebasan. Irak merupakan negara penghasil minyak terbesar kedua yang memiliki 11 persen stok minyak dunia dengan kualitas tinggi dan biaya produksi yang rendah. Diperkirakan 10 tahun lagi Irak akan menjadi sumber utama pemasok energi dunia, karena di negara tersebut masih banyak kekayaan alam (terutama minyak dan gas alam) yang belum dieksplorasi. Untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional di masa mendatang, maka ”kesempatan” ini harus diambil. Dengan dikuasainya Irak, Amerika otomatis akan memegang kendali ekonomi dunia termasuk ekonomi negara-negara yang bergantung kepada energi Irak seperti Uni Eropa dan Jepang yang dewasa ini menjadi saingan Amerika.

Politik inilah yang disebut sebagai imperialisme modern. Ketertarikan penulis untuk mengangkat tema: Imperialisme Modern: Analisis Kebijakan

War on terrorism Presiden Bush Pasca 2001, berangkat dari kenyataan di atas. Penulis berpandangan bahwa perang Amerika terhadap terorisme


(11)

membawa misi politik dan ekonomi yang luar biasa yang pada tahap ekstrem akan menjaga posisi Amerika sebagai penguasa tunggal dunia untuk jangka waktu yang sangat lama

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah

Sebelum membatasi dan merumuskan masalah, maka perlu diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

1. Lahirnya gelombang terorisme baru pasca 2001 yang mulai mengancam keamanan Amerika Serikat khususnya dan dunia internasional umumnya

2. Pengidentifikasian Islam sebagai agama yang melahirkan para teroris global

3. Terbentuknya kekuatan-kekuatan baru di dunia -selain Amerika Serikat- seperti Uni Eropa, Koalisi Iran-Venezuela, Cina dan Jepang

4. Terjadinya perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam hubungannya dengan skenario memerangi terorisme

5. Munculnya kecenderungan imperial dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat berdasarkan fakta-fakta lapangan.

Dari beberapa masalah di atas, penulis hanya akan membatasi pada dua masalah terakhir yaitu tentang kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap terorisme dan kecenderungan imperialistik Amerika Serikat.

Dengan demikian, rumusan masalah dalam skripsi ini adalah:

1. Apakah kebijakan luar negeri yang diterapkan Pemerintahan Presiden Bush dalam memerangi terorisme?


(12)

2. Mengapa kebijakan luar negeri Pemerintahan Presiden Bush itu disebut sebagai tindakan imperial?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui apakah kebijakan luar negeri yang diterapkan oleh Presiden Goerge W Bush dalam memerangi terorisme global pasca tragedi WTC 2001?

2. Untuk menjawab pertanyaan mengapa kebijakan luar negeri tersebut dinilai sebagai tindakan imperialisme?

D. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang cenderung dan banyak digunakan dalam ilmu-ilmu sosial yang berhubungan dengan perilaku sosial dengan berbagai argumen, yang bersifat deskriptif atau memaparkan gejala-gejala yang diamati yang tidak harus selalu berbentuk angka-angka atau koevisien antar variabel dan lebih sering berbentuk studi kasus, penelitian lapangan dan alamiah atau apa adanya5. Pengumpulan datanya adalah melalui dokumentasi yaitu dengan mencari data mengenai masalah bersangkutan melalui literatur buku, surat kabar, jurnal dan sebagainya6.

5

Subana dan Sudrajat, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 17-18.

6

Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rieneka Cipta, 2002), h. 206.


(13)

Analisa data menggunakan metode deskriptif analitis. Data-data yang telah dikumpulkan akan dideskripsikan dan dianalisa sesuai dengan tujuan penelitian skripsi. Dari segi penulisan, penulis mengikuti berbagai aturan penulisan skripsi yang diatur dalam buku Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007/2008

E. Sistematika Penulisan

Sistematika pembahasan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini terbagi dalam beberapa bab dan sub-bab yang pada garis besarnya adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan yang di dalamnya dibahas tentang latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, maksud dan tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II: Terorisme dan Imperialisme. BAB ini akan menjelaskan pengertian dan sejarah terorisme serta sekelumit konsep imperialisme, tak lupa akan disertakan penjelasan hubungan yang memungkinkan antara kedua konsep tersebut.

BAB III: Akan berisi bahasan tentang kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam memerangi terorisme. Di sini akan dibahas secara berurut dari latar belakang lahirnya kebijakan tersebut, kebijakan jangka panjang dan kebijakan jangka pendeknya

BAB IV: Akan menjelaskan alasan mengapa kebijakan Amerika Serikat disebut kebijakan yang imperial. Alasan-alasan ini akan dibagi kepada alasan yang bersifat teoritis dan alasan realisme (motif, tindakan dan akibat)


(14)

BAB V: Pada akhir bagian skripsi ini, berisi kesimpulan umum bahwa kebijakan war on terrorism AS adalah kebijakan yang imperialistik. Karena telah mengubah status quo dunia untuk kepentingan politik dan ekonomi se pihak. Pada bagian ini sekaligus juga akan diberikan beberapa kritik dan saran yang konstruktif


(15)

BAB II

TERORISME DAN IMPERIALISME

A. Definisi dan Sejarah Terorisme 1. Definisi

Teror adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Sedangkan terorisme adalah paham yang menggunakan cara-cara teror dalam mencapai tujuan7. Dalam Ensiklopedi Indonesia, teror adalah gambaran suatu keadaan rezim yang berhasil menumbangkan rezim lama dan berusaha membangun kediktatoran dengan jalan intimidasi dan kekerasan8.

Memang belum ada satu definisi mengenai terorisme yang bisa disepakati bersama. Tercatat semenjak tahun 1936 ada 109 definisi yang dikemukakan oleh berbagai penulis9. Noam Chomsky misalnya mendefinisikan terorisme sebagai ancaman kekerasan untuk menindas atau memaksa untuk tujuan-tujuan politik baik yang dilakukan oleh negara maupun kelompok-kelompok atau perorangan yang melakukan pembalasan atas serangan sebelumnya10.

Martha Crenshaw mendefinisikan terorisme sebagai sebuah organisasi yang memiliki kesepakatan dalam penggunaan strategi dengan

7

Yusmadi N., “Implikasi Kebijakan “War on terror” Amerika Serikat Serikat Bagi Islam Politik di Indonesia,” (Tesis s2, Universitas Indonesia, 2005), h. 23.

8

Dikutip dari Yusmadi N., “Implikasi Kebijakan “War on terror” Amerika Serikat Serikat Bagi Islam Politik di Indonesia,” (Tesis s2, Universitas Indonesia, 2005) dari Ensiklopedi Indonesia, Jilid 6, h. 3518.

9

Yusmadi N., “Implikasi Kebijakan “War on terror” Amerika Serikat Serikat Bagi Islam Politik di Indonesia”, h. 26.

10

Noam Chomsky, Menguak Tabir Terorisme Internasional, Penerjemah Hamid Basyaib (Bandung: MIZAN, 1991), h. 20.


(16)

jalan kekerasan atau teror untuk mencapai tujuan baik yang bersifat politis maupun ideologis strategis11

Pemerintah Amerika Serikat Serikat mendefinisikan terorisme sebagai kekerasan terencana bermotif politik terhadap personil non tempur yang dilatarbelakangi oleh kelompok sub nasional atau agen rahasia yang bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat12. Uni Eropa menyebut terorisme sebagai sebuah usaha yang bertujuan untuk menghancurkan bangunan fundamental dari sistem politik, konstitusi, ekonomi dan struktur sosial dalam sebuah negara13.

Dari beberapa definisi di atas, bisa disintesakan bahwa terorisme adalah kekerasan terencana yang bermotif politik atau ideologi, dilakukan secara terorganisir dalam sebuah kelompok dan menimbulkan dampak ketakutan yang luar biasa.

Untuk memudahkan pemahaman kita tentang terorisme, perlu diberikan beberapa kriteria acuan apakah sebuah tindakan bisa disebut sebagai aksi terorisme atau pun bukan. Berikut kriterianya:

Pertama, Kekerasan. Menurut Walter Liqueur pada Center for Strategic and International Studies, satu-satunya karakteristik utama terorisme yang disepakati secara umum adalah penyertaan kekerasan atau ancaman kekerasan14. Tapi, kekerasan memang tidak serta merta menjadi satu-satunya tolak ukur sebuah tindakan disebut sebagai teror atau bukan,

11

M. Hilaly Basya dan David K. Alka, Amerika Serikat Perangi Teroris Bukan Islam (Jakarta: CMM, 2004), h. 16.

12

Dikutip oleh Yusmadi N dalam tesisnya “Implikasi Kebijakan “War on terror” Amerika Serikat Serikat Bagi Islam Politik di Indonesia”, dari Budi S. Satari, “Terorisme Internasional Ancaman Global Abad 21” dalam Jurnal ISIP UNAS No. 5 Tahun II (Desember 2001), h. 56.

13

Lihat, http:/en. wikipedia.org/wiki/terrorism, p. 2.

14


(17)

kekerasan ini harus diikuti oleh tindakan atau tujuan lain, karena kekerasan itu juga identik dengan perang, kerusuhan, kriminalitas yang terorganisir yang sesungguhnya bukan termasuk aksi terorisme.

Kedua, Efek psikologis dan ketakutan. Serangan terorisme memang dilancarkan untuk menimbulkan ketakutan dan dampak psikologis pada sasaran-sarasan yang ditargetkan. Inilah mengapa teror terhadap penduduk sipil menjadi sangat efektif, karena serangan itu bisa mengisyaratkan pesan menakutkan bahwa setiap orang, kapan saja dan dimana saja bisa saja menjadi korban. Jika tuntutan sang teroris tidak dipenuhi bisa saja anda atau keluarga anda menjadi korban selanjutnya.

Kelompok teroris juga sering menyerang simbol dan kebanggan sebuah negara untuk menunjukkan kekuatannya. Hal seperti ini bisa dilihat melalui tragedi 11 September 2001 lalu dengan runtuhnya World Trade Centre yang menjadi lambang supremasi ekonomi Amerika Serikat Serikat. Rentetan peristiwa tersebut tak bisa dipungkiri, telah menimbulkan ketakutan yang mendalam bagi rakyat Amerika Serikat.

Ketiga, memiliki tujuan politis. Memang cukup sering sebuah aksi berujung pada kepentingan politik. Seperti untuk perebutan kekuasaan, penghancuran negara dan sebagainya. Ini juga sering dijadikan pembeda antara aksi terorisme dengan kriminalitas biasa. Terorisme merupakan bagian dari taktik politik, sedangkan kriminalitas biasa tidak. Namun tidak jarang juga, motivasi politik tersebut dibalut dengan semangat keagamaan. Ketika keduanya sudah bergabung, maka gagal dalam cita-cita politik akan diasumsikan menjadi gagal dalam cita-cita agama. Hal seperti ini sering


(18)

dicontohkan para pemikir barat dengan kasus Palestina dimana kepentingan politik untuk merebut kembali daerah atau wilayah dari Israel terintegrasi dengan motivasi agama15.

Keempat, Collateral demage, yaitu pemilihan target secara acak. “Trend” sebelumnya dimana --seperti yang dilakukan kelompok Assassin di Iran-- aksi teror dilakukan dengan cara membunuh langsung orang-orang berpengaruh di sebuah negara dengan memakai senjata sederhana seperti belati, ternyata tidak menarik lagi16. Yang menjadi korban bukan lagi mesti mereka yang dianggap pelaku/ penyebab “kerusakan” yang dikutuk oleh para teroris, akan tetapi korban bisa siapa saja, asal mampu dijadikan simbol dan alat propaganda. Bom Bali di Indonesia merepresentasikan hal ini. Mereka tidak menargetkan orang-per orang, sehingga siapapun yang menjadi korban, tidak dipermasalahkan

Apakah yang bukan terorisme?

Beberapa kelompok politik, polisi maupun militer menciptakan pengecualian terhadap apa yang disebut dengan terorisme, ini bertujuan untuk menjauhkan mereka dari cengkeraman definisi terorisme tersebut di atas. Berikut beberapa hal yang bukan disebut sebagai tindakan teroris.

Pertama, konflik militer. Konflik militer atau perang gerilya antara dua kelompok yang bermusuhan kadang-kadang membingungkan terminologi terorisme, karena dalam hal ini mereka juga menggunakan kekuatan untuk meraih tujuan yang besar dengan memakai senjata dan

15

Ibid., p. 4.

16 Bernard Lewis, The Crisis of Islam; Holy War and Unholy Terror (London:


(19)

terorganisir secara langsung17. Namun bedanya dengan terorisme, konflik militer adalah perang antara dua kelompok militer, bukan antara kelompok militer dengan sipil, sehingga korban dari kelompok sipil diminimalkan supaya mendapat dukungan dari orang banyak. Hal ini tentu berbeda dengan aksi teroris, selain bukan perang terbuka antara dua kelompok militer, teroris juga menjadikan sipil sebagai target utama.

Kedua, kriminalitas karena kebencian. Maksudnya adalah serangan yang didorong oleh kebencian karena latar belakang etnis, kebangsaan atau agama. Kriminalitas seperti ini tidak termasuk tindakan terorisme, karena tidak memuat tujuan politis, tidak terorganisir dalam kelompok serta tidak menimbulkan dampak psikologis seperti serangan teroris18. Sebagai contoh, serangan oleh seorang muslim terhadap orang Israel di Bandara Los Angeles Tahun 2002 bisa dilihat sebagai aksi teroris karena bertepatan dengan konflik yang terjadi antara Islam dan Israel, namun faktanya adalah serangan tersebut cuma dilatar belakangi oleh ekspresi ketidak puasan karena si pelaku dicaci dengan keras.

Ketiga, lone wolves. Perlu dicatat bahwa seseorang bisa saja dihubungkan dengan sejumlah aksi yang memiliki kesamaan karakteristik dasar dengan terorisme. Namun berbeda dengan lone wolves, --sebagaimana yang disinyalir FBI-- sebuah aksi teror harus dilakukan oleh sebuah kelompok yang memiliki satu pemahaman dan bukan oleh hanya satu orang. Tindakan oleh satu orang inilah yang disebut sebagai lone wolves19

17

http:/en. wikipedia.org/wiki/terrorism, p. 3.

18

Ibid,. p. 3.

19


(20)

2. Sejarah Terorisme

a. Latar Belakang Istilah

Istilah “terorisme” berasal dari bahasa Perancis terrorisme yang diambil dari kosa kata latin terrere yang berarti menggetarkan (to cause to tremble). Pertama kali digunakan pada Tahun 1795 untuk mendeskripsikan gerakan kelompok Yacobin dalam pemerintahan pasca revolusi perancis yang kemudian dijuluki dengan pemerintahan teror (reign of terror)20. Yacobin dianggap sengaja menggunakan kata teror ini untuk menunjukkan aksinya. Di antara tindakan-tindakan yang dilakukan oleh kelompok Yacobin ini adalah menahan atau mengeksekusi lawan politiknya sebagai media untuk memaksakan ketaatan kepada khalayak ramai.

Namun kata terorisme dalam bahasa Inggris mulai populer ketika seorang konservatif bernama Edmund Burke menggunakan kata itu secara terang-terangan untuk melawan revolusi Perancis.

b. Pelopor

Aksi teror sesungguhnya sudah ada sebelum istilah itu sendiri diciptakan. Pada abad pertama masehi kelompok Zealots melakukan kampanye teror melawan Kerajaan Roma di wilayah Timur Mediterenia. Kelompok Zealot kemudian mendaftar nama-nama kalangan Yahudi kaya yang akan dimusnahkan dan beberapa orang dari luar Yahudi yang berteman dengan romawi. Kelompok teroris itu pada akhirnya bisa dikalahkan oleh Kerajaan Romawi dalam beberapa kali konflik militer.

20


(21)

Pada abad ke-11 Masehi, juga telah muncul kelompok Islam radikal yang terkenal dengan nama Hashshashin (kata ini lahir dari kata hashish

yang jika diterjemahkan mengandung arti pembunuh (assassin)). Kelompok ini melakukan sejumlah pembunuhan terencana untuk sebuah alasan yang mereka yakini benar. Selama dua abad mereka beroperasi, kelompok ini memiliki kepercayaan yang berlawanan dengan kepercayaan muslim pada umumnya terutama dalam konsep jihad. Mereka tidak memerangi para

crusaders, namun mereka melawan para pemimpin muslim yang dianggap telah murtad atau kafir21.

c. Revolusi Perancis

Estafet sejarah terorisme kemudian dilanjutkan pada masa Revolusi Perancis. Selama Revolusi Perancis (1789-1799), masa yang paling keras terjadi pada masa Pemerintahan Komite Keselamatan Publik (1793-1795) yang dilabelkan sebagai pemerintahan teror, sebuah pemerintahan yang menggunakan teror secara sistematis yang dicontohkan terutama dengan penggunaan alat pemenggal kepala dan lain-lain. Rujukan sejarah mengenai penggunaan kata terorisme dalam arti kekerasan berasal dari masa ini. d. Abad ke-19

Pada Abad ke-19 Masehi, penggunaan istilah terorisme mulai meluas. Terorisme menjadi --lebih dari sekedar penggambaran tentang era revolusi Perancis-- penggunaan teknik pembunuhan terutama oleh kaum anarkhis dan kelompok Narodniks pada Dinasti Tsar Rusia, yang jelas tercatat melakukan pembunuhan terhadap Alexander II22. Kelompok

21

Bernard Lewis, The Crisis of Islam, p. 112.

22


(22)

intelegensia (narodniks) tidak sabar terhadap Reformasi Tsar yang berjalan begitu lambat dan berfikir untuk menggerakkan kelompok yang tidak setuju kepada sebuah revolusi besar-besaran. Di antara kelompok anarkhi seperti Mikhail Bakunin menganggap proses ini tidak mungkin bisa berjalan tanpa ada pengrusakan. Tujuan mereka tidak ada selain penghancuran total sebuah negara, sehingga setiap tindakan yang berkontribusi terhadap tujuan ini dianggap sebagai sebuah tindakan moral23. Di antara kelompok yang paling terkenal pada saat itu adalah People’s Will

Selanjutnya, pada Tahun 1867 di Republik Irlandia, kelompok nasionalis revolusioner yang didukung oleh orang Irlandia asal Amerika Serikat Serikat, melakukan penyerangan di Inggris. Itulah aksi teror pertama kelompok republik yang menjadi pemandangan berulang-ulang dalam sejarah Inggris

Di negara lain, dua group di dalam dinasti Turki Usmani juga menggunakan teknik yang disebut oleh para sejarawan memiliki kategori yang sama dengan apa yang digunakan oleh people’s will dan kelompok anarkhis di Rusia. Satu kelompok berperang untuk kemerdekaan Armenia dan kelompok lain berjuang untuk kemerdekaan Macedonia.

e. Abad ke-20

Dewasa ini, teknologi senjata modern memungkinkan seseorang menjadi sangat kuat untuk menciptakan kerusakan dan penghancuran yang

23

Rikard Bangun, ‘Terorisme Gejala Global” dalam Farid Muttaqin dan Sukidi, ed., Terorisme Serang Islam (Bandung: PustakaHidayah, 2001), h. 25.


(23)

dasyat hanya dengan seorang diri dan hanya dengan sedikit konspirasi yang dilakukan oleh organisasi kecil

Semua fakta ini menunjukkan satu hal bahwa perkembangan peradaban manusia tidak berbanding lurus dengan penurunan aksi teror. Di setiap masa, akan terus timbul aksi teror dengan berbagai ragam dan cara. Terorisme atau yang lebih tepatnya hiperteroris24 di era modern ini paling tidak dicirikan oleh empat hal. Pertama, ada maksimalisasi korban secara mengerikan. Kedua, keinginan untuk mendapat liputan di media. Ketiga, serangan teroris tidak pernah bisa diduga, karena sasarannya sama dengan luasnya seluruh permukaan bumi25. Ke empat, penggunaan teknologi canggih sebagai media komunikasi dan pengeksekusian. Karakterisitk ini terlihat dalam sejumlah tragedi pemboman seperti WTC di Amerika Serikat Serikat 2001, bom Bali di Indonesia 2002 dan sebagainya.

B. Mengenal Konsep Imperialisme 1. Definisi dan Sejarah

Imperialisme memang kosa kata yang sering didengar dan dibaca dari berbagai tulisan kebudayaan, politik dan ekonomi. Sekilas kata ini mengandung makna peyoratif, menunjukkan proses jahat di balik rangkaian kata-katanya. Oleh sebab itu, imperialisme sering dijadikan propaganda efektif bagi sebagian orang untuk menentang prilaku atau kebijakan yang dijalankan oleh pihak yang tidak disenangi.

24

Hiperteroris adalah sebutan bagi teroris yang menguasai dan memanfaatkan berbagai bentuk teknologi mutahir, teknologi pengamatan, pengawasan, teknologi interaktif dan teknologi komunikasi.

25

M. Hilaly Basya dan David K. Alka, Amerika Serikat Perangi Teroris Bukan Islam, h. 41.


(24)

Orang-orang yang tidak senang terhadap Inggris pada awal abad ke-20 akan menyebut setiap kebijakan luar negeri Inggris sebagai kebijakan yang imperialistik. Begitu juga orang yang benci Rusia akan mengatakan bahwa kebijakan luar negeri Rusia sebagai kebijakan yang imperialistik. Dan sekarang pendukung gerakan anti-Amerika Serikat juga dengan mudah mengatakan bahwa Amerika Serikat Serikat adalah negara imperialis, karena kebijakan luar negerinya yang berusaha memperluas kekuasaan yang sudah ada.

Penyebutan-penyebutan seperti itu membuat istilah imperialisme menjadi kosa kata murahan yang bisa diklaim begitu saja. Oleh karena itu, dalam tulisan ini perlu diberikan penjelasan manakah yang bisa disebut imperialisme dan mana pula yang bukan imperialisme serta aspek-aspek lain yang terkait.

Hans Morganthau menyebutkan ada beberapa salah pengertian yang paling dikenal dalam penggunaan istilah imperialisme ini. Pertama, tidak semua tujuan politik luar negeri untuk meningkatkan kekuasaan suatu bangsa merupakan manifestasi imperialisme yang penting26. Hans membedakan antara politik imperialistik dengan politik konsolidasi atau

status quo. Imperialisme adalah sebutan bagi politik yang bertujuan untuk menumbangkan status quo, mengubah pola hubungan kekuasaan yang sudah ada dan menatanya menjadi susunan baru. Sedangkan politik status quo

adalah sebuah usaha untuk mempertahankan kekuasaan pada sebuah wilayah yang sudah menjadi bagian daerah kekuasaannya. Imperialisme

26

Hans Morganthau, Politik Antar Bangsa, Edisi VI, Buku Pertama, Penerjemah S. Maimoen (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990), h. 80.


(25)

ingin mengubah tatanan yang sudah ada, sedangkan status quo hanyalah proses konsolidasi.

Kedua, tidak semua politik luar negeri yang bertujuan memelihara imperium yang telah berdiri adalah imperialisme27. Banyak orang mengindentifikasikan apa saja yang dilakukan oleh negara-negara besar untuk memelihara posisinya yang lebih kuat di daerah tertentu dianggap sebagai imperialisme. Akan tetapi, imperialisme sebetulnya lebih cocok diidentifikasikan pada proses mendapatkan wilayah baru, bukan pada proses pemeliharaan kekuasaannya.

Istilah “imperialisme” sendiri sesungguhnya muncul pertama kali di Inggris pada akhir Abad XIX. Ide ini dipakai oleh kaum konservatif di bawah pimpinan Disraeli dalam kampanye pemilihan tahun 187428. Ide imperialisme seperti yang difahami Disraeli dan dikembangkan oleh Joseph Chamberlian serta Sir Winston Churchiil ternyata bertentangan dengan apa yang disebut oleh kelompok konservatif sebagai kosmopolitanisme dan internasionalisme oleh kaum liberal. Golongan oposisi takut kalau-kalau politik Disraeli itu akan menimbulkan krisis-krisis internasional29. Karena itu mereka menghendaki pemusatan perhatian pemerintah pada pembangunan dalam negeri dari pada berkecimpung dalam soal-soal luar negeri.

27

Ibid., h. 81.

28

Ibid., h. 81.

29

Yang direncanaan oleh Disraeli dalam federasi imperialnya adalah (1) penyatuan dan integrasi Inggris serta miliknya ke dalam suatu imperium ang disatukan melalui bantuan perdagangan yang bersifat protektif, (2)pencadangan tanah jajahan yang leluasa bagi orang Inggris; (3) angkatan bersenjata yang disatukan dan (4) badan perwakilan pusat di London (lihat Hans Morganthau, Politik Antar Bangsa, Edisi VI, Buku Pertama, Penerjemah S. Maimoen, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990), h. 81-82).


(26)

Golongan oposisi ini disebut golongan "Little England" dan golongan Disraeli (Joseph Chamberlain, Cecil Rhodes) disebut golongan

"Empire" atau golongan "Imperialisme". Timbulnya perkataan imperialis atau imperialisme, mula-mula hanya untuk membedakan golangan Disraeli dari golongan oposisinya, kemudian mendapat isi lain hingga mengandung arti seperti yang kita kenal sekarang.

Imperialisme berasal dari kata Latin "imperare" yang artinya "memerintah". Hak untuk memerintah (imperare) disebut "imperium". Orang yang diberi hak itu (diberi imperium) disebut "imperator". Yang lazimnya diberi imperium itu ialah raja, dan karena itu lambat-laun raja disebut imperator dan kerajaannya (ialah daerah dimana imperiumnya

berlaku) disebut imperium30. Pada zaman dahulu kebesaran seorang raja diukur menurut luas daerahnya, maka seorang raja selalu ingin memperluas kerajaannya dengan merebut wilayah-wilayah lain. Tindakan raja inilah yang disebut imperialisme oleh orang-orang sekarang, dan kemudian ditambah dengan pengertian-pengertian lain hingga perkataan imperialisme mendapat arti-kata yang kita kenal sekarang ini.

Imperialisme dalam kacamata politik ialah usaha untuk menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri yang dijadikan sebagai imperiumnya. "Menguasai" disini tidak perlu berarti merebut dengan kekuatan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan ekonomi, kultur, agama dan ideologi. Imperium disini pun tidak perlu

30


(27)

berarti suatu gabungan dari daerah jajahan-jajahan, tetapi dapat berupa daerah-daerah pengaruh, asal saja untuk kepentingan diri sendiri.

2. Teori-Teori Ekonomi Tentang Imperialisme

Mengenal imperialisme dari perspektif ekonomi juga sangat penting dalam menganalisa hubungan antar bangsa di era modern ini. Teori-teori ekonomi tentang imperialisme ditelurkan ke dalam tiga mazhab yaitu Mazhab Marxis, Mazhab Liberal dan Mazhab ‘Iblis”.

a. Mazhab Marxis

Mazhab Marxis berpegangan pada anggapan bahwa segala aktifitas politik merupakan refleksi dari kekuatan ekonomi31. Alur fikiran ini pada akhirnya menganggap gejala politis imperialisme merupakan hasil dari sistem ekonomi yang di dalamnya mengandung sumber kapitalisme. Sebagaimana logika marxisme bahwa masyarakat kapitalis telah kekurangan sumber bahan mentah dan wilayah untuk mendistribusikan hasil produksinya, untuk alasan inilah, maka imperialisme menjadi pilihan yang memungkinkan.

b. Mazhab Liberal

Berbeda dengan Mazhab Marxis, mazhab liberal memperhatikan bahwa imperialisme bukanlah tuntunan kapitalisme. Malah dengan adanya imperialisme, akan timbul –bukan perluasan kapitaslisme- ketidak mampuan sistem untuk menyesuaikan diri dengan kapitalisme

31


(28)

yang sudah mapan. Dengan demikian, imperialisme akan menghambat laju kapitalisme.

c. Mazhab “Iblis”

Lain halnya dengan Mazhab “Iblis” yang bekerja pada tingkat intelektual yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan dua mazhab rekanannya32. Teori ini muncul dari penyelidikan Komite Nye atas nama senat Amerika Serikat Serikat tentang campur tangan pihak Amerika Serikat Serikat dalam masalah industri dan ekonomi negara lain. Penyelidikan ini memunculkan fakta bahwa terdapat golongan-golongan tertentu yang memperoleh keuntungan besar dari fenomena dan intervensi Amerika Serikat terhadap dunia internasional33. Sebut saja dalam kasus peperangan, dalam perang pasti terdapat pihak pabrikan yang menyediakan pesawat dan senjata bagi Amerika Serikat. Tentu pengadaan ini mendatangkan keuntungan besar bagi pabrikan termasuk juga banker internasional (wallstreet) dan sebagainya. Oleh karena mereka memperoleh keuntungan dari peperangan tersebut, mereka cenderungan menghasut supaya peperangan itu terjadi terus agar bisa memperkaya diri.

3. Dorongan Untuk Imperialisme

a. Perang yang pasti berakhir dengan kemenangan

32

Ibid., h. 85.

33


(29)

Potensi dorongan seperti ini biasanya terjadi antara dua negara yang terlibat perang. Dimana satu negara memiliki potensi dan keyakinan yang kuat untuk memenangkan peperangan. Negara tersebut memilih jalur politik ini untuk mengubah pola hubungan yang sudah ada dengan membuat perjanjian-perjanjian yang pada akhirnya mempertahankan cengkeraman imperialistiknya34.

Potensi seperti ini biasanya dibarengi dengan perasaan bahwa mereka adalah bangsa istimewa di dunia ini (racial superiority). Tiap bangsa mempunyai harga diri. Jika harga diri ini menebal, mudah menjadi kecongkakan dan kemudian menimbulkan anggapan, bahwa merekalah bangsa teristimewa di dunia ini, dan berhak menguasai, atau mengatur bahkan memimpin bangsa-bangsa lainnya

b. Kalah Perang

Selain keyakinan akan menang dalam peperangan, imperialisme dalam arti perjuangan untuk mengubah status quo juga berpotensi muncul pada pihak yang kalah perang35. Dengan kata lain politik imperialisme yang diciptakan oleh pemenang mungkin menimbulkan politik imperialisme dari pihak yang kalah

Imperialisme dalam tipe ini bisa dicontohkan pada imperialisme Jerman dari Tahun 1935 sampai akhir perang dunia II. Status quo yang berkuasa di Eropa saat itu adalah aliansi negara-negara besar seperti Perancis, Inggris, Jerman, Inggris dan Rusia. Namun seiring kemenangan sekutu dan perjanjian-perjanjian perdamaian sesudah itu, lahirlah

34

Ibid., h. 92.

35


(30)

Perancis sebagai status quo baru yang menguasai aliansi dan sebagian besar Eropa Timur dan Eropa Tengah yang baru saja dibentuk.

Jerman Tahun 1919 sampai 1939 berupaya menggulingkan status quo ini. Usaha inilah yang kemudian memperbaiki posisi internasional Jerman. Dan sejak berkuasanya kaum nasionalis sosialis di Jerman, maka seluruh usaha Jerman dalam mengubah status quo ini berhasil menciptakan imperialisme baru.

c. Sebab Ekonomi

Tiap bangsa ingin menjadi jaya. Menjadi bangsa yang terbesar di seluruh dunia (ambition, eerzucht). Jika suatu bangsa tidak dapat mengendalikan keinginan ini, bangsa itu mudah menjadi bangsa imperialis. Karena itu dapat dikatakan, bahwa tiap bangsa memiliki benih imperialisme36. Sebab-sebab ekonomi inilah yang merupakan sebab yang terpenting dari timbulnya imperialisme, teristimewa imperialisme modern.

Labih rinci, motif ekonomi ini bisa berupa (1) keinginan untuk mendapatkan kekayaan dari suatu negara, (2) ingin ikut dalam perdagangan dunia, (3) ingin menguasai perdagangan dan (4) keinginan untuk menjamin suburnya industri.

d. Menyebarkan Ideologi dan Agama

36


(31)

Hasrat untuk menyebarkan agama atau ideologi dapat menimbulkan imperialisme. Tujuannya bukan imperialisme itu sendiri, tetapi agama atau ideologi. Imperialisme di sini dapat timbul sebagai “efek samping” saja. Tetapi jika penyebaran agama itu didukung oleh pemerintah atau negara, maka sering tujuan pertama terdesak dan merosot menjadi alasan untuk membenarkan tindakan imperialisme. e. Kelemahan suatu Negara

Imperialisme juga bisa didorong oleh adanya negara-negara yang lemah yang menjadi daya tarik bagi negara-negara kuat37. Pola hubungan yang tercipta antara negara yang kuat dan negara yang lemah akan memperlihatkan hubungan yang tidak seimbang, dalam arti kata bahwa pihak yang lemah diekploitasi dan diintervensi dalam segala bidang.

4. Tujuan Imperalisme

a. Imperium Dunia

Sejarah memang sudah mencatat berbagai fakta ambisi imperial sekelompok orang atau negara. Beberapa yang terkenal adalah politik ekspansionis Alxander Agung, Roma, Arab pada abad ke-7 M, Napoleon dan Hitler. Kekuatan-kekuatan ini akan terus memperluas wilayah kekuasaannya selama mereka belum dikalahkan. Dorongan untuk menguasai ini tidak akan habis selama masih ada daerah yang mungkin bisa didominasi.

37


(32)

Ambisi klasik itu menurut Kanneth Walt masih ada saat ini, untuk pertama kali nya sejak Roma, satu negara bisa menguasai politik dunia. Sang penguasa tersebut adalah Amerika Serikat Serikat. Tidak adanya penyeimbang kekuatan seperti uni soviet pada beberapa dekade lalu, menyebabkan terciptanya bahaya yang potensial bagi negara lain. Sebuah negara yang sangat kuat –dan Amerika Serikat Serikat melakukannya- akan berfikir dan mendaulat dirinya sebagai pihak yang bertanggung jawab membawa kedamaian, keadilan dan stabilitas dunia. Semangat sepihak ini bisa saja bertentangan dengan kepentingan negara lain. Sewaktu terjadi clash antara kekuatan besar dan kekuatan kecil, maka terjadi potensi atau dorongan untuk imperialistik38.

b. Imperium Kontinental

Imperium Kontinental berbeda dari imperium dunia dalam cakupan wilayah. Kalau imperium dunia merupakan ambisi menguasai seluruh wilayah di dunia, maka imperium kontinental hanya berambisi menguasai satu kontinental (benua) saja39. Tipe ini jelas sekali terlihat dalam hubungan negara-negara eropa pada era awal abad 20-an. Masing-masing negara berusaha menguasai negara lain dalam kawasan tersebut c. Pengaruh Lokal

Yang dimaksud dengan pengaruh lokal adalah keinginan untuk mengubah status qou dan membangun kekuasaan politik yang lebih besar dalam sebuah negara, bukan kontinental dan bukan dunia. Dengan

38

Wawancara Harry Kreisler dengan Kanneth Walt dengan tema “Conversations with History” 10 Februari 2003 di UC. Berkeley, diakses dari http//en.wikipedia.org/wiki/Kenneth Waltz

39


(33)

demikian perbedaan antara ketiga tujuan ini hanyalah permasalahan luas wilayah, namun substansinya tetap sama yaitu ingin mengubah status quo dan membangun pola kekuasaan yang baru.

5. Imperialisme Modern

Imperialisme Modern (Modern Imperialism) adalah usaha untuk menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri yang dijadikan sebagai imperiumnya. "Menguasai" disini tidak perlu berarti merebut dengan kekuatan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan ekonomi, kultur, agama dan ideologi. Imperium disini pun tidak perlu berarti suatu gabungan dari daerah jajahan-jajahan, tetapi dapat berupa daerah-daerah pengaruh, asal saja untuk kepentingan diri sendiri.

Gagasan imperialisme modern bermula dari kemajuan ekonomi. Imperialisme modern timbul sesudah revolusi industri. Industri besar-besaran (akibat revolusi industri) membutuhkan bahan mentah yang banyak dan pasar yang luas. Mereka mencari jajahan untuk dijadikan sumber bahan mentah dan pasar bagi hasil-hasil industri, kemudian juga sebagai tempat penanaman modal bagi kapital surplus.

Imperialisme modern bisa diwujudkan dalam beberapa bentuk:

1. Imperialisme politik. Negara imperialis tersebut menguasai politik sebuah bangsa. Menguasai dalam arti mempengaruhi atau mendikte pemerintahan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

2. Imperialisme Ekonomi. Sang imperialis hendak menguasai hanya ekonomi sebuah negara. Jika suatu negara tidak mungkin dapat dikuasai


(34)

dengan jalan imperialisme politik, maka negara itu masih dapat dikuasai jika ekonominya bisa dikendalikan oleh imperialis. Imperialisme ekonomi inilah yang sekarang sangat disukai oleh negara-negara tertentu untuk menggantikan imperialisme politik.

3. Imperialisme Kebudayaan. Tipe ini menghendaki penguasaan atas jiwa

(de geest, the mind) negara lain. Dalam kebudayaan terletak jiwa suatu bangsa. Jika kebudayaannya dapat diubah, berubahlah jiwa bangsa. Menguasai budaya suatu bangsa berarti mengusai segala-galanya. Imperialisme kebudayaan ini adalah imperialisme yang sangat berbahaya, karena infiltrasinya mudah, dan jika sebuah bangsa telah “terbudayakan” sesuai budaya imperialis, maka akan sulit membebaskan diri.

4. Imperialisme Militer (Military Imperialism). Di mana para imperialis hendak menguasai kedudukan militer suatu negara. Ini dijalankan untuk menjamin keselamatan mereka untuk kepentingan agresif atau ekonomi. Tidak perlu seluruh negara diduduki sebagai jajahan, cukup hanya menempati lokasi-lokasi yang strategis sehingga de facto-nya berarti menguasai seluruh negara.

Imperialisme modern inilah yang banyak menggambarkan prilaku negara kuat (Amerika Serikat) dewasa ini seperti yang akan dibahas pada bab-bab berikutnya.


(35)

C. Hubungan Antara Terorisme dan Imperialisme

Terorisme dan imperialisme memang dua hal yang berbeda. Keduanya juga memiliki akar kesejarahan yang berbeda. Namun dalam beberapa kondisi, terkhusus pasca tragedi WTC Tahun 2001, kedua nya menjadi dua realitas kembar yang tak terpisahkan dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat Serikat. Kebijakan war on terrorism yang diumumkan oleh Amerika Serikat Serikat telah membangkitkan semangat imperial di sisi lain.

Tragedi WTC sepertinya mengisyaratkan banyak hal kepada Amerika Serikat Serikat. Melalui peristiwa ini negara Paman Syam bisa mengambil pelajaran bahwa ternyata pandangan negara atau segmen masyarakat tertentu di belahan dunia cukup rendah terhadap Amerika Serikat Serikat. Ekspresi ‘ketidak sukaan” tersebut tidak hanya disuarakan melalui unjuk rasa atau perang opini, namun sudah ditransformasikan dalam bentuk perjuangan baru dengan menggunakan kekerasan fisik.

Peristiwa ini sekaligus juga mengingatkan Amerika Serikat Serikat bahwa negara ini tidaklah sekuat yang mereka duga. Meskipun dalam bidang ekonomi, teknologi dan sebagainya Amerika Serikat jauh lebih unggul (di Tahun 2003 saja misalnya, Amerika Serikat Serikat dengan enteng mengeluarkan belanja pertahanan yang jumlahnya lebih besar dari pada gabungan 15-20 negara pembelanja terbesar40), namun dengan mudah negara ini bisa dimasuki dan diserang, bahkan pada tempat-tempat yang sangat strategis pula.

40

Stephen G. brooks dan William C. Wohlforth, “Keunggulan Amerika Serikat dalam Sejarah” dalam Council on Foreign Policy, Amerika Serikat dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, Penerjemah Yusi A. Pareanom dan Zaim Rofiqi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 269.


(36)

Tentu peristiwa ini menggerogoti kebanggaan Amerika Serikat, untuk itu Amerika Serikat merasa perlu untuk meningkatkan kekuatannya di dunia internasional. Ibaratkan sebuah gelas, kekuatan Amerika Serikat yang sebelumnya hanya mengisi setengah gelas, akan ditingkatkan hingga memenuhi satu gelas penuh

Tentu untuk melancarkan “misi” ini Amerika Serikat memerlukan justifikasi yang ampuh. Disinilah peran terorisme. Terorisme langsung mengubah arah kebijakan luar negeri Amerika Serikat Serikat41. Terorisme menjadi alat propaganda Amerika Serikat untuk meningkatkan pengaruh dan dominasinya di dunia internasional. Dengan terorisme, Amerika Serikat mendapat pembenaran bagi dirinya sendiri untuk memerangi Afganistan dan Irak –kedua-duanya adalah bekas sekutu Amerika Serikat— bahkan Iran. Isu terorisme ini menjadi tangga untuk meraih kepentingan politik dan ekonomi yang jauh lebih luas. Semangat inilah yang disebut dengan imperialisme. Inilah mengapa terorisme dan imperialisme memiliki kedekatan khusus dalam kebijakan war on terrorism AS.

Politisasi isu seperti ini bukanlah metode baru yang sulit dianalisa. Jauh sebelum masehi tepatnya di masa dua peradaban besar; Athena dan Sparta masih ada, penggunaan propaganda atau isu demi memperluas kekuasaan sudah sering terjadi. Perang Sparta melawan Athena pada waktu itu ibaratkan perang antara kebaikan melawan kejahatan. Sparta –sebagai pihak yang mengaku membawa kebaikan- terpaksa melakukan perang demi

41

Louis Janowski, “Neo-Imperialism and U.S. Foreign Policy”, dalam Foreign Service Journal, Mei 2004, p. 55.


(37)

menyelamatkan warga Athena dari pemimpin yang otoriter dan kejam. Atas alasan inilah kekuasaan Athena satu per satu ditaklukkan.

Akan tetapi, faktanya tidak pernah ada perang untuk keadilan. Perang di atas ternyata hanya di latar belakangi oleh ketakutan Sparta atas dominasi Athena yang makin meluas. Oleh karena itu, Sparta memerlukan tindakan antisipatif agar dominasi Athena ini terhenti, sehingga posisi Sparta dan wilayah taklukannya tetap aman dari jangkauan Athena42. Dengan demikian perang ini bukanlah perang demi kemanusiaan, namun perang demi kepentingan politik belaka.

Pada masa kolonialisme, justifikasi “perang adil” ini pun juga disertakan. Para penjajah termasuk Spanyol dan Belanda pada abad ke-16 juga menjustifikasi perjalannya sebagai usaha untuk menyebarkan kebaikan (agama Kristen) di dunia. Namun faktanya adalah penjelajahan negara-negara Eropa tersebut hanyalah demi sebuah ambisi imperial menaklukkan wilayah baru guna menciptakan koloni dan mendapatkan sumber produksi untuk kelestarian industri ekonomi di negara masing-masing.

Perang atau kebijakan luar negeri lainnya memang cenderung memiliki dua wajah; demi kebaikan bersama (idealisme) atau demi kepentingan politik se pihak (realisme). Untuk menentukan motif mana yang dominan, bisa diukur dari motif, strategi dan akibat yang ditimbulkan kemudian.

42

Lihat Thomas L Pangle dan Peter J. Ahrensdorf, Justice Among Nation; On the Moral Basis of Power and Peace (Kansas: University Press of Kansas, 1999), p. 19.


(38)

BAB III

Kebijakan

War on Terrorism

Presiden Bush

War on terrorism merupakan sebuah kebijakan. Kebijakan itu sendiri berarti serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu43.

Dalam konteks hubungan luar negeri, maka kebijakan dapat diartikan dengan tujuan umum yang memandu aktifitas dan hubungan antara satu negara dalam berinteraksi dengan negara lain. Pembentukan kebijakan ini dipengaruhi oleh pertimbangan kepentingan domestik, kebijakan atau prilaku negara lain, atau rencana untuk mendapatkan disain geopolitik tertentu44

Untuk membahas sisi imperial dari kebijakan Amerika Serikat melalui teori yang telah dibahas pada bab sebelumnya (bab II), maka perlu dipaparkan materi kebijakan war on terrorism presiden Bush tersebut secara komprehensif. Berikut penjelasannya.

A. Latar Belakang Lahirnya Kebijakan War on Terrorism

Terorisme merupakan fenomena yang sudah ada jauh sebelum tragedi 11 September 2001, namun rangkaian aksi teror sebelumnya belum dianggap begitu membahayakan keamanan dunia umumnya dan keamanan nasional Amerika Serikat Serikat khususnya. Tahun 1993 misalnya, Yousuf Ramzi,

43

Carl J. Friedrick, Man and His Government (New York: Mc Graw Hill, 1963), h.79.

44


(39)

salah seorang anggota al-Qaida mencoba meruntuhkan gedung World Trade Center menggunakan bom yang cukup kuat, namun berhasil diantisipasi dengan cepat, sehingga hanya menewaskan beberapa orang dan hanya merusak sebagian bangunan. Amerika Serikat Serikat pun tidak butuh waktu berbulan-bulan untuk menangkap si pelaku

Namun, munculnya teror global yang semakin intens dan terorganisir, membuat situasi semakin rumit dan berbahaya. Tercatat sejak Tahun 1981 hingga 2000 dunia internasional diguncang oleh 9.181 serangan. Dalam Tahun 2000 saja terjadi 423 kali, meningkat 8% dari Tahun 1999. Tahun 2000, 405 orang terbunuh, meningkat 73% dari Tahun 199945.

Untuk mengatasi problema tersebut, maka Pemerintah Amerika Serikat Serikat di bawah pimpinan Presiden Goerge W. Bush mensistematiskan kebijakan serius yang kemudian disebut war on terrorism.

Wacana war on terrorism ini sesungguhnya telah bergulir sejak masa Pemerintahan Presiden Bill Clinton. Pada tahun terjadinya bom WTC kali pertama (1993), belum ada kekhawatiran yang berarti terhadap gejala dan perkembangan terorisme global ini. Barulah pada Tahun 1996 muncul kekhawatiran, namun pihak Amerika Serikat Serikat belum mengira kalau al-Qaida akan menjadi organisasi teroris yang besar yang akan menjadi musuh utama Amerika Serikat Serikat. CIA pun tidak pernah memberikan indikasi seperti itu dalam laporannya46

45

Uwe Johannen, et.al, 911: September 11 and Political Freedom (Singapore: Select Publishing, 2003), p. 31.

46

Richard A. Clarke, Menggempur Semua Musuh; di Balik Perang Amerika Serikat Melawan Teroris (Against all enemies; inside America’s war on terror), Penerjemah Tim Sinergi (Jakarta: Sinergi Publishing, 2004), h. 95.


(40)

Pada tahun yang sama (1996) Bill Clinton mempresentasikan masalah terorisme di Universitas Goerge Washington dan mendeklarasikan agenda war on terrorism yang kemudian sangat popular pada masa pemerintahan Presiden Goerge W. Bush terutama pasca tragedi 11 September 200147. Pada masa pemerintahan Presiden Bush inilah istilah war on terrorism benar-benar mendapatkan momentumnya. Hal ini dikarenakan beberapa sebab:

1. Karakter Presiden Bush.

Siapa yang akan mengira kalau Presiden Bush seperti itu?. Pikiran inilah yang ada dalam benak teman-teman dekat Goerge W Bush. Belum banyak orang yang mengenal sosok Presiden Bush sebelum tragedi 911. Sebagian mungkin mengira bahwa Bush junior mewarisi sifat Bush senior, tapi tidak banyak yang menyangka kalau ternyata sifat Bush junior sangat mirip dengan sifat ibunya, Barbara Bush.

Barbara Bush dikenal sebagai orang yang suka bicara blak-blakan, berlidah tajam, keras kepala (kalau punya kemauan harus terlaksana), percaya pada instink, bersikap hitam-putih terhadap suatu masalah dan tidak sabaran. Sifat-sifat itulah yang menempel pada diri Presiden Bush48

Sifat mudah naik darah dan suka bertengkar yang dimiliki Barbara Bush, menurut April Foley, teman Bush di Harvard Business School, dimiliki pula oleh Bush49. Perintahnya untuk menangkap Usamah bin Laden yang dituding ada di balik peristiwa 911 itu “hidup atau mati” merupakan salah satu bukti.

47

Ibid.,h. 125.

48

Trias Kuncahyono, “Terorisme dan Ambisi Neo-Imperialisme AS; Setahun Setelah Tragedi 11 September”, Kompas, 11 September 2002, h. 30.

49


(41)

Reaksi keras dan emosional ini tidak hanya terulang sekali atau dua kali saja, Presiden Bush hampir mengulang kata-kata emosional yang sama kapan pun, dimana pun serta kepada siapa pun. Bob Woodward, pengarang salah satu buku international best seller mengutip penggalan percakapan antara Presiden Bush dan Wakil Presiden Dick Cheney, we’re going to find who did this” Bush said to Cheney, “and we’re going to kick their ass50

Bagitu lah reaksi Presiden Goege W Bush dalam merespon aksi teror. Oleh karena itu, cukup bisa dimaklumi kenapa pilihan-pilihan militer lebih diutamakan dari pada opsi diplomasi –meskipun cara diplomasi juga tetap digunakan.

Selain alasan “instrinsik” di atas, tak kalah andil sebagai penyumbang lahirnya sistimatisasi kebijakan war on terrorism pada masa pemerintahan Bush adalah makin intensifnya kegiatan al-Qaida, Jama’ah Islamiyah dan negara-negara sponsor terorisme.

2. Serangan Al-Qaida terhadap Amerika Serikat dan Dunia51

Al-Qaida telah membuktikan dirinya sebagai organisasi yang fleksibel, gesit dan cepat. Al-Qaida juga telah berhasil merekonfigurasi dirinya menjadi organisasi yang lebih reflektif terhadap ideologi. Konsekuensinya adalah Amerika Serikat semakin sulit untuk mengalahkannya52.

50

Bob Woodward, Bush at War (London: Pocket Books, 2003), p. 18.

51

Amerika Serikat menyebut al-Qaida sebagai organisasi teroris. Namun, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Pertama, kalau tudingan itu didasari oleh data dan fakta yang benar, maka al-Qaida bisa disebut sebagai teroris. Namun, jika tuduhan ini hanya berdasarkan asumsi dan ketakutan se pihak Amerika Serikat karena al-Qaida pernah mendeklarasikan perang melawan Amerika Serikat tahun 1998, maka tentu bisa ditegaskan bahwa al-Qaida bukanlah organisasi teroris.

52

Bruce Hoffman, “Al-Qaida Then and Now”, dalam Karen J. Greenberg, ed., Al-Qaida Now: Understanding Today’s Terrorists (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), p. 10.


(42)

Al-Qaida memang dicatat sebagai sasaran utama kampanye war on terrorism Amerika Serikat. Organisasi Islam radikal ini telah melakukan sejumlah pem-bom-an yang menewaskan ratusan bahkan ribuan orang. Pada Tahun 1998, al-Qaida membom kedutaan AS di Kenya dan Tanzania yang menewaskan 223 orang dan melukai tidak kurang dari 4000 orang. Al-Qaida juga membidani 20 aksi teror di Saudi Arabia yang menewaskan 50 tenaga pengamanan dan melukai lebih banyak orang lagi53. Selanjutnya dan yang paling sukses bagi al-Qaida adalah meruntuhkan menara kembar WTC yang menewaskan lebih kurang 3000 orang. Teror WTC tersebut sungguh menimbulkan efek persepsi, efek psikologis dan efek simbolik yang hebat dalam skala global54

Yang lebih menakutkan lagi bagi Amerika Serikat Serikat adalah ternyata al-Qaida telah memiliki jaringan di 60 negara di dunia55. Inilah mengapa al-Qaida disebut sebagai jaringan teroris global, karena pengaruhnya yang sangat luas, bahkan mungkin sampai ke Indonesia.

3. Kekhawatiran terhadap Jamaah Islamiyah

Selain al-Qaida, Jamaah Islamiyah juga merupakan organisasi yang dicap sebagai teroris global. Sedikit berbeda dengan al-Qaida yang eksklusif – mengkhususkan aksinya pada simbol-simbol Amerika Serikat, Jamaah Islamiyah berperan secara lebih “dinamis”. Dinamis dalam arti bahwa mereka tidak memaksa diri untuk menyerang simbol-simbol utama negara

53

Steven Simon, “Al-Qaida Then and Now” dalam Karen J. Greenberg, ed., Al-Qaida Now: Understanding Today’s Terrorists (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), p. 14-15.

54

Yasraf Amir Piliang “Hiperterorisme dan Hiperteknologi” dalam Farid Muttaqin dan Sukidi, ed., Terorisme Serang Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 63.

55


(43)

kafir (seperti kedutaan, gedung pemerintahan, pusat militer dan sebagainya), namun bisa juga dengan memilih tempat-tempat atau orang tertentu yang dianggap representatif.

4. Negara-negara Sponsor Terorisme

Faktor lain yang tak kalah dipertimbangkan dalam kampanye war on terrorism adalah makin meningkatnya dukungan negara-negara tertentu terhadap kelompok yang dikategorikan sebagai organisasi teroris oleh Pemerintah Amerika Serikat. Dukungan tersebut bisa melalui pemberian dana, penyediaan tempat perlindungan maupun fasilitas persenjataan.

Amerika Serikat menyebutkan sejumlah negara yang menjadi sponsor teroris56:

•Iran, karena melindungi dan memberikan fasilitas persenjataan kepada Hizbullah (Libanon), Hamas (Palestina) dan Jihad Islam

•Irak, karena memiliki kedekatan tertentu dengan kelompok mujahidin khalq.

•Syiria, karena memberi izin kepada Hamas untuk membuka cabang di Damaskus

• Libya, karena memberi bantuan kepada Islamic Jihad Palestina

•Kuba, karena keterkaitannya dengan National Liberation Army dan The Revolusionary Armed Force Colombia

•Korea Utara karena memasok senjata ke sejumlah kelompok ekstrim dan memiliki senjata nuklir

56

Chawat Satha-Anand, “Mitigating the Success of Terrorism with Politic of Truth and Justice”, dalam Uwe Johannen, et.all., 911: September 11 and Political Freedom (Singapore: Select Publishing, 2003), p. 18.


(44)

Keberadaan kelompok teroris dan negara sponsor inilah yang membuat kampanye war on terrorism Amerika Serikat Serikat menjadi sangat urgen dan ekspansif serta berpengaruh terhadap pola hubungan internasional. Kebijakan war on terrorism Amerika Serikat Serikat secara sistematis dibagi ke dalam kebijakan jangka panjang dan kebijakan jangka pendek

B. Kebijakan Jangka Panjang War on terrorism

Isu terorisme telah mengubah kebijakan luar negeri Amerika Serikat Serikat secara radikal dari yang bersifat new-isolasionisme menjadi intervensionisme57. Amerika Serikat Serikat biasanya merencanakan kebijakan jangka panjangnya untuk cakupan waktu 50 tahun sekali. Sesungguhnya pada masa Pemerintahan Bill Clinton sampai masa Presiden Bush sebelum terjadi tragedi WTC, Amerika Serikat Serikat masih memiliki dua arah besar kebijakan luar negeri.

Pertama, pengimbangan kekuatan lawan (deterrence). Kebijakan ini dilatar belakangi oleh konflik dan persaingan Amerika Serikat Serikat dengan Uni Soviet. Amerika Serikat Serikat selalu berupaya mengimbangi kekuatan militer Uni Soviet untuk menjadi penyeimbang bagi stabilitas dunia internasional. Kedua belah pihak tidak saling menyerang, namun sadar bahwa mereka bermusuhan. Inilah mengapa masa itu disebut dengan parang dingin

(cold war). Strategi ini masih dipertahankan pada masa Pemerintahan Bill

57

Lihat Majid Tehranian, “The Center Cannot Hold: Terrorism and Global Change” dalam Uwe Johannen, et.all, 911: September 11 and Political Freedom (Singapore: select Publishing, 2003), p. 46. Lihat juga Louis Janowski, “Neo-Imperialism and U.S. Foreign Policy” dalam Foreign Service Journal, Mei, 2004, p. 55.


(45)

Clinton. Oleh karena itu, Clinton berusaha mengisolasi Amerika Serikat agar tidak terlibat langsung dalam konflik internasional.

Kedua adalah penyebaran liberalisme. Liberalisme secara umum adalah ideologi yang menegaskan komitmen pada kesetaraan, kebebasan, individualitas dan rasionalitas58. Dalam perspektif ekonomi, Liberalisme berarti mendukung pasar bebas dan “kapitalisme”. Ekonomi memang merupakan sasaran utama kebijakan Amerika Serikat Serikat, karena dengan menguasai perekonomian sebuah negara, berarti juga menguasai kekuatan politik negara tersebut. Strategi ini diwujudkan oleh Amerika Serikat Serikat melalui pemberian berbagai bantuan kepada negara-negara berkembang sebagai modal pengembangan ekonomi nasional mereka. Namun, bagi Amerika Serikat sendiri, bantuan itu akan menjadi modal dasar untuk menanamkan pengaruhnya di negara tersebut.

Namun bagi kebinet war on terrorism yang dibentuk oleh Presiden Bush, pendekatan lama ini dianggap kurang memadai. Untuk itu diciptakanlah kebijakan baru dalam usaha memenangkan perang melawan terorisme. Kebijakan ini bisa dibedakan menjadi kebijakan jangka panjang dan kebijakan jangka pendek.

Kebijakan jangka panjang yang diterapkan Amerika Serikat Serikat dalam usaha memenangkan perang melawan terorisme antara lain, menyebarkan demokrasi, membangun fail state dan memperbaiki hubungan dengan negeri-negeri muslim.

1. Penyebaran Demokrasi yang Efektif

58

Richard Bellamy, “Liberalisme” dalam Roger Eatwell dan Anthony Wright, ed., Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer, Penerjemah R.M. Ali (Yojyakarta: Jendela, 2004), h. 32.


(46)

Salah satu kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh Amerika Serikat Serikat adalah menyebarkan isu kebebasan dan hak asasi manusia melalui penerapan demokrasi yang efektif59. Di antara penanda utama sistem demokrasi ini adalah pengangkatan pemimpin melalui mekanisme pemilihan umum dimana masyarakat memberikan suara kepada calon pemimpin yang disukai dengan berbagai pertimbangan. Proses ini tentunya mencerminkan kebebasan individu sekaligus memberikan legitimasi yang kuat bagi seorang pemimpin.

Tapi demokrasi memang tidak hanya direpresentasikan melalui pemilihan umum semata. Demokrasi juga mesti menghargai dan membuka kebebasan dasar manusia termasuk beragama, berfikir, berbicara, berorganisasi dan kebebasan pers. Secara otomatis –kalau kebebasan ini dibuka-- pemerintah akan dipaksa untuk bertanggung jawab kepada rakyatnya dan berusaha memenuhi keinginan rakyat tersebut.

Demokrasi yang efektif juga secara otomatis akan menciptakan kedaulatan yang efektif dan menjamin keamanan di dalam teritorial negara, menyelesaikan konflik secara damai, melindungi sistem peradilan yang independen, menghukum yang bersalah, dan memerangi tindak korupsi. Demokrasi yang efektif juga akan membatasi kekuasaan pemerintah sehingga memungkinkan munculnya civil society. Dalam sebuah demokrasi yang efektif, kebebasan tidaklah terbagi, kebebasan bukan menjadi milik sebagian orang atas sebagian yang lain.

59

Homeland Security Council, 9/11 Five Years Later: Successes and Challenges (Washington: White House, September 2006), p. 5.


(47)

Semua yang digambarkan melalui penegakan demokrasi yang efektif ini merupakan anti-tesa dari ideologi yang dipegang oleh kelompok teroris. Untuk melihat lebih jauh “perang ide” antara demokrasi dan ideologi kelompok teroris tersebut, Amerika Serikat Serikat menekankan beberapa hal mengenai terorisme.

Pertama, terorisme bukanlah produk dari kemiskinan. Banyak pelaku aksi teror seperti tragedi 11 September 2001 ternyata bukan berasal dari kelompok ekonomi rendah60. Misal saja Usama bin Laden, ia adalah seorang milyarder asal Arab Saudi yang sampai sekarang memiliki asset kekayaan yang cukup banyak61.

Kedua, terorisme bukan semata lahir karena kebencian pihak lain atas kebijakan Amerika Serikat Serikat kepada Irak62. Sesungguhnya Amerika Serikat Serikat sudah diserang sejak Tahun 2001 dan bahkan jauh sebelum itu, sebelum Amerika Serikat Serikat meruntuhkan rezim Saddam Hussain.

Ketiga, terorisme bukanlah dampak dari isu pertikaian Israel - Palestina. Amerika Serikat menyebutkan bahwa serangan al-Qaida Tanggal

60

Homeland Security Council, Strategies for Winning the War on terror (Washington: White House, 2003), p. 1.

61

Asumsi pemerintahan Amerika Serikat Serikat ini cukup berbeda dari keyakinan banyak pemikir sosial dan sejarawan di berbagai negara. Motif ekonomi bagi sebagian pemikir sama kuatnya dengan motif politik maupun agama. Para eksekutor bom pada umumnya berasal dari keluarga kelas ekonomi menengah ke bawah. Dan pelaku adalah tulang punggung keluarga yang sangat mengharapkan kesejahteraan yang cukup bagi anak dan istrinya. Oleh sebab itu, tatkala datang tawaran untuk melakukan pem-bom-an dengan imbalan kesejahteraan bagi keluarga, mereka menerima tawaran tersebut. Kemudian desakan ekonomi ini dibumbuhi semangat ideologis atau semangat keagamaan. Ini juga sekaligus menjadi penjelasan mengapa aksi pem-bom-an banyak terjadi di negara-negara berkembang (miskin).

62


(48)

11 September 2001 sesungguhnya telah dimulai dengan skala berbeda sejak Tahun 1990 yang nota bene adalah masa damai antara kedua belah pihak63.

Keempat, terorisme bukanlah respon balik terhadap war on terrorism

ala Amerika Serikat Serikat. Al-Qaida telah menyerang Amerika Serikat Serikat jauh sebelum Amerika Serikat Serikat menyerang Irak dan al-Qaida64. Selain keyakinan di atas, Amerika Serikat Serikat juga mengatakan bahwa mereka saat ini menghadapi kelompok teroris yang memiliki latar belakang yang beragam mulai dari65:

Political alienation yaitu kelompok teroris yang muncul dari masyarakat yang tidak memiliki suara dalam pemerintahan dan tidak memiliki cara yang terlegitimasi untuk mengubah hal tersebut. Dengan eksistensi pemerintahan seperti ini, pemerintahan tersebut sangat mudah dimanipulasi oleh sekelompok orang dengan cara kekerasan dan penghancuran.

• Aksi balas dendam yang tidak bisa dilampiaskan kepada orang lain. Dilema psikologis yang dirasakan oleh para teroris adalah bahwa mereka merasa tidak mendapat keadilan dari masa lalu. Trauma dari masa lalu

63

Asumsi ini memang ada benarnya bahwa tidak semata lahirnya terorisme karena isu Israel-Palestina. Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa isu Israel-Palestina menjadi salah satu motivasi yang membakar semangat perjuangan kelompok yang dianggap teroris. Lahirnya terorisme secara umum merupakan sebuah respon keras atas dominasi Amerika Serikat Serikat yang secara struktural telah mengintervensi dan mendikte para pemimpin di negeri muslim. Intervensi ini kemudian mengakibatkan liberalisasi dan westernisasi di segala bidang dan akhirnya menjadi cikal bakal rusaknya ekonomi, politik bahkan moral umat. Jika intervensi Amerika Serikat ini adalah bara-nya, maka keberpihakan Amerika Serikat kepada Israel adalah api-nya.

64

Hal ini tentu benar jika orang menganggap bahwa intervensi Amerika Serikat Serikat di wilayah muslim jauh sebelum deklarasi war on terrorism bukanlah sebuah tindakan yang bisa dilabelkan dengan “kejahatan”. Namun jika orang menganggap bahwa intervensi Amerika Serikat di berbagai wilayah muslim sebagai kejahatan, maka sanggahan Amerika Serikat tentulah tak beralasan.

65


(49)

inilah yang selalu menjadi retorika dan motivasi yang kuat untuk balas dendam dan teror.

• Kelompok masyarakat korban konspirasi dan informasi yang tidak benar. Kelompok teroris merekrut --secara lebih efektif dari-- populasi yang perbendaharaan informasinya tentang dunia telah terkontaminasi atau terjerat oleh konspirasi66. Distorsi informasi ini menjaga kebencian mereka terhadap musuh sehingga menutup mata dari fakta yang sebetulnya bisa mengubah sangkaan dan propaganda se pihak tersebut.

• Adanya ideologi yang membenarkan pembunuhan. Inilah point terakhir yang menakutkan bagi Amarika Serikat. Di saat sebuah aksi sudah dibenarkan oleh ideologi seperti agama, maka pelakunya tidak akan merasa takut. Bahkan mati dalam misi adalah sebuah status istimewa yang pantas mendapat imbalan surga.

Mengalahkan terorisme dalam kurun waktu jangka panjang membutuhkan penyelesaian pada bidang-bidang tersebut di atas. Demokrasi yang efektiflah satu-satunya cara untuk menyelesaikan setiap problem di atas, karena demokrasi adalah sebuah sistem yang mampu menghancurkan kondisi-kondisi yang bisa dieksploitasi oleh kelompok teroris. Dengan demokrasi, maka:

• Problem alienasi bisa diatasi. Demokrasi menawarkan partisipasi serta kepemilikan di dalam masyarakat. Dengan adanya partisipasi dan kepemilikan tersebut masyarakat bisa menciptakan masa depannya sendiri.

66


(50)

• Untuk latar belakang dendam dan informasi yang salah, demokrasi menawarkan kebebasan berbicara, media yang independen dan pertukaran ide yang bisa meng-ekspos dan mengkoreksi hal yang salah, serta anggapan-anggapan dan propaganda yang tidak jujur.

• Dalam kaitannya dengan ideologi yang membolehkan pembunuhan, maka demokrasi menawarkan penghargaan terhadap derajat manusia yang membenci penyerangan terhadap warga yang tak bersalah.

Demokrasi dengan demikian adalah anti tesis sikap tirani kelompok teroris. Demokrasi didasarkan pada penguatan masyarakat sementara ideologi teroris berdasarkan perbudakan. Demokrasi mengangkat kebebasan masyarakat, sementara teroris berusaha memaksakan satu kepercayaan yang sempit kepada semua orang. Demokrasi melihat seorang individu setara harkat dan derajatnya dengan orang lain, individu memiliki nilai dasar yang bisa dikembangkan, mengatur diri sendiri dan melaksanakan haknya berupa kebebasan berbicara dan berpendapat. Di lain pihak teroris hanya melihat seorang individu sebagai objek eksploitasi, bisa diatur dan ditekan.

Adapun langkah-langkah strategis yang dijalankan Amerika Serikat Serikat dan sekutu dalam menyebarkan demokrasi yang efektif adalah:

Pertama, mengoperasikan USAID (lembaga bantuan Amerika Serikat Serikat) di lebih dari 26 negara baik di Asia, Timur Tengah maupun Afrika Utara dengan program-program yang inovatif yang menekankan pada perdagangan, pendidikan dan demokrasi. Kedua, Membentuk Millenium Challenge Account yang diperuntukkan guna mempercepat reformasi global dengan cara memberikan bantuan-bantuan tambahan kepada negara-negara,


(51)

berinvestasi di negara tersebut dan mempromosikan ekonomi bebas. Ketiga, membentuk “Partnership for Progress and a Common Future”, untuk mendukung reformasi politik, ekonomi dan sosial di Timur Tengah yang di prakarsai oleh negara G-8 Tahun 200467.

Demokrasi di sisi lain memang tidak kebal terhadap terorisme. Demokrasi juga tidak melulu menjanjikan kesejahteraan. Dalam beberapa kondisi yang dianggap demokratis, kadang masih terdapat beberapa etnik atau kelompok agama yang tidak bisa dan tidak mau memanfaatkan keuntungan dari kebebasan yang disediakan untuk masyarakat. Kelompok-kelompok tersebut akan menjadi bibit alienasi yang bisa dieksploitasi oleh kelompok teroris.

Strategi melawan landasan ideologis kelompok teroris dan mencegah mereka agar tidak bisa merekrut di masa mendatang hanya bisa dilakukan dengan betul betul menguatkan masyarakat yang berpotensi di eksploitasi oleh para teroris yang pada umumnya dikategorikan sebagai muslim fundamentalis. Untuk itu pemerintah Amerika Serikat Serikat sangat mendukung gerakan reformasi yang akan menguatkan muslim yang berorientasi pada kedamaian agar mereka kemudian berpartisipasi dan menafsirkan agamanya dengan lebih bijak. Amerika Serikat serikat juga akan bekerja keras untuk menghancurkan tiang-tiang ideologi kelompok Islam ekstrem dan menggalang dukungan dari kelompok muslim yang anti kekerasan di seluruh dunia.

67


(52)

Kerja yang paling vital untuk mencapai tujuan itu tentunya akan berlangsung di dalam dunia Islam itu sendiri seperti Indonesia, Jordan, Maroco dan lain-lain yang telah memulai usaha ke arah ini. Selain itu peran pemimpin agama juga sangat dibutuhkan untuk mengalahkan ideologi yang jahat yang mengeksploitasi Islam untuk membenarkan tindak pembunuhan orang-orang tak bersalah.

2. Membangun Fail State

Strategi jangka panjang kedua adalah membangun fail state. Fail state atau negara gagal adalah sebutan bagi negara-negara yang dianggap telah kehilangan kedaulatan. Kehilangan kedaulatan ini bisa disebabkan karena negara yang bersangkutan menjadi sarang atau pelindung kelompok teroris, atau bisa juga karena struktur dan rezim pemerintahannya yang sangat otoriter.

Afganistan dan Irak adalah contoh negara yang dikategorikan sebagai fail state, karena Afganistan di satu sisi dianggap sebagai pelindung kelompok al-Qaida dan Irak di sisi lain, selain dipimpin oleh seorang diktator, juga disinyalir memiliki senjata pemusnah masal yang berbahaya bagi dunia.

Pembangunan negara-negara gagal ini –dalam asumsi Amerika Serikat Serikat- menjadi poin yang cukup determinan, karena kalau negara ini dibiarkan tetap eksis, maka tidak ada jaminan atas stabilitas dan keamanan nasional maupun internasional.

Kedua negara ini –serta negara-negara lain yang satu tipe- akan terus melahirkan “usamah-usamah” baru selama struktur negara dan kultur


(53)

masyarakatnya tidak diubah. Dengan latar belakang tersebut, maka tidak ada jalan lain untuk menghentikan aksi teror global ini selain meruntuhan pemerintahan otoriter dan menggantinya dengan demokrasi yang efektif.

Amerika Serikat Serikat menjadikan hal ini sebagai poin penting, karena Amerika Serikat-lah yang nantinya menjadi sasaran utama pelampiasan dendam kelompok-kelompok ekstrem. Dengan demikian, membantu penyelesaian konflik yang berlarut-larut di negara-negara gagal tersebut bukan hanya bagus untuk dunia secara umum, namun juga membuat Amerika Serikat Serikat lebih aman68.

Amerika Serikat meyakini bahwa dunia ini adalah sebuah struktur yang memiliki hubungan ketergantungan. Ibaratkan sebuah jasad, apabila satu bagiannya terluka, maka bagian yang lain pun akan merasakan sakitnya. Sehingga untuk menghilangkan sakit yang dirasakan semua anggota jasad, maka bagian yang terluka harus disembuhkan69

Proses perbaikan fail state dimulai dengan meruntuhkan pemerintahan status quo (Saddam Hussain di Irak dan Taliban di Afganistan). Setelah ekspansi ini berhasil, maka dilakukan “reformasi” politik dan ekonomi serta kebudayaan secara radikal.

Reformasi di bidang politik dilakukan melalui demokratisasi di segala bidang serta mendukung pengangkatan pemimpin yang tunduk kepada arahan Amerika Serikat Serikat. Di bidang ekonomi dilakukan

68

Stphen M. Walt. “Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Serikat, dalam Council on Foreign Policy, Amerika Serikat dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, Penerjemah Yusi A. Pareanom dan Zaim Rofiqi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 375.

69

Lihat Arif Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 63.


(54)

melalui liberalisasi ekonomi, membuka pasar bebas termasuk mendatangkan “arsitek-arsitek” ekonomi dari Amerika Serikat khususnya untuk membidani sejumlah sektor ekonomi70.

Keseluruhan usaha ini secara otomatis berpengaruh terhadap prospek serta kultur lokal. Masyarakat yang selama ini hidup dalam struktur sosial yang hierarkhis dan tertutup, saat diperkenalkan dengan ide masyarakat bebas dan setara, tentu mengalami dilema tersendiri. Di satu sisi kondisi ini bisa mengentalkan budaya lama akibat desakan inferiority complex, namun di sisi lain infiltrasi ini bisa mengubah budaya lokal menjadi budaya baru yang mengadopsi khazanah barat

3. Memperbaiki Hubungan dengan Negeri Muslim

Strategi ketiga yang dijalankan Amerika Serikat Serikat adalah memperbaiki hubungan dengan negara-negara muslim. Kebijakan ini diperlukan untuk menghilangkan anggapan bahwa Amerika Serikat memerangi Islam. Dengan menjalin hubungan yang lebih baik dengan negara-negara muslim, diharapkan bisa mengembalikan persepsi tentang Amerika Serikat Serikat ke posisi netral dan humanis.

Untuk mencapai target tersebut, Amerika Serikat Serikat tidak bisa hanya mengandalkan pertemuan dengan pemerintahan Arab, ia juga harus memperbaiki citranya di mata publik luas. Untuk itu Amerika Serikat harus menerapkan beberapa langkah konkret. Langkah konkret pertama adalah melakukan pendekatan yang tak se pihak lagi untuk konflik antara Israel dan

70


(55)

palestina71. Amerika Serikat Serikat antara lain harus menunjukkan bahwa para pemimpin Amerika Serikat Serikat mendorong pembentukan sebuah negara Palestina dan menekankan bahwa pemerintahan Amerika Serikat melakukan banyak upaya agar negara se macam itu (Palestina) lahir. Untuk menyelesaikan proses ini secara damai, Amerika Serikat harus menekan Israel untuk menghentikan penambahan wilayah dan mendorong untuk memulai perundingan baru.

Langkah kedua, penyesuaian pendirian Amerika Serikat Serikat di Timur Tengah juga harus menyertakan sebuah pengkajian ulang tentang hubungan Amerika Serikat Serikat dengan pemerintahan-pemerintahan arab tertentu72. Misalnya Arab Saudi, terlepas negara ini adalah negara non-demokratis dan terlepas dari dukungannya terhadap kelompok ekstrem Islam, Amerika Serikat harus tetap menjaga hubungan baik dengan negara pemasok minyak tersebut. Amerika Serikat tidak berniat untuk mengubah tatanan yang sudah ada, karena bisa jadi dengan perubahan itu, negara ini akan berbalik melawan Amerika Serikat.

Sikap Amerika Serikat ini memang sering dianggap membingungkan, di satu pihak, negara ini menentang otoritarianisme dan memusuhi negara-negara –yang diduga—memberi dukungan baik dana maupun fasilitas kepada kelompok teroris. Namun, di sisi lain Amerika Serikat tetap menjalin hubungan baik dengan negara-negara dalam kategori di atas. Disinilah terlihat realisme politik Amerika Serikat Serikat

71

Stephen M Walt, “Menata Ulang Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Serikat”, dalam Council on Foreign Policy, Amerika Serikat dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional , h. 388.

72


(1)

satu kekuatan yang cukup absolut, maka akan tetap terjadi “misteri-misteri internasional” yang tak bisa diprotes oleh satu negara pun.

• Lembaga-lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa harus semakin dikuatkan posisi dan reputasinya. Setelah itu, lembaga ini perlu dipimpin oleh seseorang yang independen.dan berani melihat realitas. Dengan demikian lembaga ini akan semakin tegas terhadap setiap pelanggaran dan memberi sangsi terhadap siapa saja yang terbukti melanggar.

• Diperlukan kajian-kajian kritis untuk melihat fenomena global seperti terorisme maupun imperialisme. Disinilah peran para akedemisi baik mahasiswa maupun pengajar demi menghasilkan pemahaman yang komprehensif

• Terakhir, skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi siapa saja yang membaca terutama pada panulis sendiri.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Bartlett, C J. Fall of Americana: United State Foreign Policy in the Twentieth Century. New York: St. Martin’s Press, 1974.

Basya, M. Hilaly dan Alka, David K. Amerika Perangi Teroris Bukan Islam. Jakarta: CMM, 2004.

Budiman, Arif. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Chomsky, Noam. Menguak Tabir Terorisme Internasional. Penerjemah Hamid Basyaib. Bandung: MIZAN, 1991.

---. Power and Terror. Penerjemah Syafruddin Hasani. Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003.

Clarke, Richard A. Menggempur Semua Musuh; di Balik Perang Amerika Melawan Teroris. (Against All Enemies; Inside America’s War on Terror). Penerjemah Tim Sinergi. Jakarta: Sinergi Publishing, 2004.

Council on Foreign Policy. Amerika dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional. Penerjemah Yusi A. Pareanom dan Zaim Rofiqi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Eatwell, Roger dan Wright, Anthony. ed. Ideology-Ideologi Politik Kontemporer. Penerjemah R.M. Ali. Yojyakarta: Jendela, 2004.

Gerges, Fawaz A. Amerika dan Islam Politik; Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan. Penerjemah Kili Pringgodigdo dan Hamid Basyaib. Jakarta: Alvabet, 2002.

Greenberg, Karen J. ed. Al-Qaeda Now: Understanding Today’s Terrorists, Cambridge: Cambridge University Press, 2005.

Jacobson and Lipman. An Outline of Political Science. New York: Barnes and Noble, 1951.

Johannen, Uwe. et.al. 911: September 11 and Political Freedom. Singapore: Select Publishing, 2003.

Kegley, Charles W dan Wittkopf, Eugene R. Global Agenda: Issues and Perspectives. New York: Mc Graw Hill, 2001.


(3)

Lewis, Bernard. The Crisis of Islam; Holy War and Unholy Terror. London: Weidenfield & Nicolson, 2003.

---. What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response. Oxford: Oxford University Press, 2003.

Lutz, James M dan Lutz, Brenda J. Global Terrorism. New York: Routledge, 2004.

Mamdani, Mahmood. Good Muslim, Bad Muslim; Amerika, the Cold War and the Roots of Terror. New York: Pantheon books, 2004.

Morganthau, Hans. Politik Antar Bangsa. Edisi VI. Buku Pertama, Penerjemah S. Maimoen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990.

Muttaqin, Farid dan Sukidi. ed. Terorisme Serang Islam. Bandung: Pustaka Hidayah, 2001.

Napoleoni, Loretta. Modern Jihad: Tracing the Dollars Behind the Terror Networks. London: Pluto Press, 2003.

Nye, Joseph S. Memimpin Dunia; Sifat Kekuatan Amerika yang Berubah. Penerjemah Budhy Kusworo. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1992. Pangle, Thomas L dan Ahrensdorf, Peter J. Justice Among Nation; On the Moral

Basis of Power and Peace. Kansas: University Press of Kansas, 1999. Stern, Jessica. The Ultimate Terrorists. Harvard: Harvard University Press, 2001. Woodward, Bob. Bush at War. London: Pocket Books, 2003.

Yusmadi N. “Implikasi Kebijakan “War on Terror” Amerika Serikat Bagi Islam Politik di Indonesia”. Tesis s2, Universitas Indonesia, 2005.

Koran

“Amerika dan Eropa bersaing Kuasai dunia.” Pikiran Rakyat, 16 Desember 2004. “AS dan Terorisme Internasional.” KOMPAS, 13 September 2001.

“Blair Lihat Hubungan al-Qaeda dan Irak.” KOMPAS, 22 Januari 2003. “Bush Beri Kesaksian atas Serangan 11/9.” Media Indonesia, 30 April 2004. “Bush Panik, AS Bakal Lirik PBB.” Republika, 18 Maret 2004.


(4)

“Bush Says War on Terrorism is Succeeding.” The Jakarta Post, 05 Maret 2003. “Dua Tahun Teror “Nine-One-One.” Media Indonesia, 11 September 2003.

“Irak dan Menguatnya Terorisme serta Radikalisme Global.” KOMPAS, 14 Desember 2003.

“Ketika AS dengan Hegemoninya Menuai Teror.” KOMPAS, 15 November 2003. “Pemimpin AS Diharapkan Hati-hati soal Antiterorisme.” KOMPAS, 22

September 2001.

“Richard Clarke Bersaksi: Bush Kacaukan Perang terhadap Terorisme.” Media Indonesia, 26 Maret 2004.

“The War on Terror.” The Jakarta Post, 20 November 2002.

“U.S. Warns that al-Qaeda Network is Looking for “Soft Targets.” The Jakarta Post, 06 November 2002.

“War on Terrorism Must be Within Limits of the Law.” The Jakarta Post, 30 September 2002.

Aminy, Aisyah. “Perang terhadap Terorisme.” Republika, 27 Agustus 2003.

Amnesty International. “Perang AS Melawan Terorisme Lecehkan Hukum Internasional.” KOMPAS, 02 Juni 2003.

Baasir, Faisal. “Dunia dalam Perangkap AS.” Republika, 12 April 2003.

Ghulam Dz, Rifma. “Kebijakan Antiterorisme Bush.” Republika, 31 Oktober 2003.

Habu, Shuichi. “Sept. 11 One Year Later: Terror Aftermath Opens Cracks in the West.” The Jakarta Post, 11 September 2002.

Hasibuan, Bara. “Bush Menentang Dunia.” KOMPAS, 21 Desember 2003.

Hussain, Mushahid. “Bush Reinventing “War on Terror” in Response to Opposition.” The Jakarta Post, 14 Oktober 2003.


(5)

Kuncahyono, Trias. “Terorisme dan Ambisi Neo-Imperialisme AS.” KOMPAS, 11 September 2002.

Noer, Daliar. “Melongok Ulah Adikuasa AS.” Republika, 14 Februari 2003.

Presse, Agence France. “U.S. Popularity in the Muslim World Falls Despite Massive PR Campaign.” The Jakarta Post, 06 September 2003.

Ratna, Myrna. “Bush, Irak dan Terorisme.” KOMPAS, 28 September 2003. Rumadi. “Terorisme dan Agresi AS ke Irak.” Media Indonesia, 21 Maret 2003. Sengupta, Arnab Neil. “America Losing the War of Ideas.” The Jakarta Post, 06

Oktober 2003.

Sihbudi, Riza. “Teka-teki Tragedi 911.” Republika, 14 April 2004.

Wirayuda, Hassan. “Sept. 11 Changed American Foreign Policy.” The Jakarta Post, 11 Desember 2003.

Dokumen:

Homeland Security Council. 9/11 Five Years Later: Successes and Challenges. Washington: White House, 2006.

Homeland Security Council. Highlights of the Irak Strategy Review. Washington: White House, 2007.

Homeland Security Council. National Strategy for Homeland Security. Washington: White House, 2007.

Homeland Security Council. Strategy for Winning the War on Terror. Washington: White House, 2006.

Website

http//www.whitehouse.com

http//www.wikipedia, the free encyclopedia.com http//www.thirdworldtraveler.com

http//www.cdi.org

http//www.washingtonpost.com http//www.dansargis.org


(6)

http://www.soaw.org

http/www.americandiplomacy.org http://islamlib.com/id

http//www.worldpublicopinion.org http//www.globalpolicy.org