Hubungan Antara Terorisme dan Imperialisme

C. Hubungan Antara Terorisme dan Imperialisme

Terorisme dan imperialisme memang dua hal yang berbeda. Keduanya juga memiliki akar kesejarahan yang berbeda. Namun dalam beberapa kondisi, terkhusus pasca tragedi WTC Tahun 2001, kedua nya menjadi dua realitas kembar yang tak terpisahkan dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat Serikat. Kebijakan war on terrorism yang diumumkan oleh Amerika Serikat Serikat telah membangkitkan semangat imperial di sisi lain. Tragedi WTC sepertinya mengisyaratkan banyak hal kepada Amerika Serikat Serikat. Melalui peristiwa ini negara Paman Syam bisa mengambil pelajaran bahwa ternyata pandangan negara atau segmen masyarakat tertentu di belahan dunia cukup rendah terhadap Amerika Serikat Serikat. Ekspresi ‘ketidak sukaan” tersebut tidak hanya disuarakan melalui unjuk rasa atau perang opini, namun sudah ditransformasikan dalam bentuk perjuangan baru dengan menggunakan kekerasan fisik. Peristiwa ini sekaligus juga mengingatkan Amerika Serikat Serikat bahwa negara ini tidaklah sekuat yang mereka duga. Meskipun dalam bidang ekonomi, teknologi dan sebagainya Amerika Serikat jauh lebih unggul di Tahun 2003 saja misalnya, Amerika Serikat Serikat dengan enteng mengeluarkan belanja pertahanan yang jumlahnya lebih besar dari pada gabungan 15-20 negara pembelanja terbesar 40 , namun dengan mudah negara ini bisa dimasuki dan diserang, bahkan pada tempat-tempat yang sangat strategis pula. 40 Stephen G. brooks dan William C. Wohlforth, “Keunggulan Amerika Serikat dalam Sejarah” dalam Council on Foreign Policy, Amerika Serikat dan Dunia; Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional, Penerjemah Yusi A. Pareanom dan Zaim Rofiqi Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, h. 269. Tentu peristiwa ini menggerogoti kebanggaan Amerika Serikat, untuk itu Amerika Serikat merasa perlu untuk meningkatkan kekuatannya di dunia internasional. Ibaratkan sebuah gelas, kekuatan Amerika Serikat yang sebelumnya hanya mengisi setengah gelas, akan ditingkatkan hingga memenuhi satu gelas penuh Tentu untuk melancarkan “misi” ini Amerika Serikat memerlukan justifikasi yang ampuh. Disinilah peran terorisme. Terorisme langsung mengubah arah kebijakan luar negeri Amerika Serikat Serikat 41 . Terorisme menjadi alat propaganda Amerika Serikat untuk meningkatkan pengaruh dan dominasinya di dunia internasional. Dengan terorisme, Amerika Serikat mendapat pembenaran bagi dirinya sendiri untuk memerangi Afganistan dan Irak –kedua-duanya adalah bekas sekutu Amerika Serikat— bahkan Iran. Isu terorisme ini menjadi tangga untuk meraih kepentingan politik dan ekonomi yang jauh lebih luas. Semangat inilah yang disebut dengan imperialisme. Inilah mengapa terorisme dan imperialisme memiliki kedekatan khusus dalam kebijakan war on terrorism AS. Politisasi isu seperti ini bukanlah metode baru yang sulit dianalisa. Jauh sebelum masehi tepatnya di masa dua peradaban besar; Athena dan Sparta masih ada, penggunaan propaganda atau isu demi memperluas kekuasaan sudah sering terjadi. Perang Sparta melawan Athena pada waktu itu ibaratkan perang antara kebaikan melawan kejahatan. Sparta –sebagai pihak yang mengaku membawa kebaikan- terpaksa melakukan perang demi 41 Louis Janowski, “Neo-Imperialism and U.S. Foreign Policy”, dalam Foreign Service Journal, Mei 2004, p. 55. menyelamatkan warga Athena dari pemimpin yang otoriter dan kejam. Atas alasan inilah kekuasaan Athena satu per satu ditaklukkan. Akan tetapi, faktanya tidak pernah ada perang untuk keadilan. Perang di atas ternyata hanya di latar belakangi oleh ketakutan Sparta atas dominasi Athena yang makin meluas. Oleh karena itu, Sparta memerlukan tindakan antisipatif agar dominasi Athena ini terhenti, sehingga posisi Sparta dan wilayah taklukannya tetap aman dari jangkauan Athena 42 . Dengan demikian perang ini bukanlah perang demi kemanusiaan, namun perang demi kepentingan politik belaka. Pada masa kolonialisme, justifikasi “perang adil” ini pun juga disertakan. Para penjajah termasuk Spanyol dan Belanda pada abad ke-16 juga menjustifikasi perjalannya sebagai usaha untuk menyebarkan kebaikan agama Kristen di dunia. Namun faktanya adalah penjelajahan negara-negara Eropa tersebut hanyalah demi sebuah ambisi imperial menaklukkan wilayah baru guna menciptakan koloni dan mendapatkan sumber produksi untuk kelestarian industri ekonomi di negara masing-masing. Perang atau kebijakan luar negeri lainnya memang cenderung memiliki dua wajah; demi kebaikan bersama idealisme atau demi kepentingan politik se pihak realisme. Untuk menentukan motif mana yang dominan, bisa diukur dari motif, strategi dan akibat yang ditimbulkan kemudian. 42 Lihat Thomas L Pangle dan Peter J. Ahrensdorf, Justice Among Nation; On the Moral Basis of Power and Peace Kansas: University Press of Kansas, 1999, p. 19. BAB III Kebijakan War on Terrorism Presiden Bush War on terrorism merupakan sebuah kebijakan. Kebijakan itu sendiri berarti serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan- hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu 43 . Dalam konteks hubungan luar negeri, maka kebijakan dapat diartikan dengan tujuan umum yang memandu aktifitas dan hubungan antara satu negara dalam berinteraksi dengan negara lain. Pembentukan kebijakan ini dipengaruhi oleh pertimbangan kepentingan domestik, kebijakan atau prilaku negara lain, atau rencana untuk mendapatkan disain geopolitik tertentu 44 Untuk membahas sisi imperial dari kebijakan Amerika Serikat melalui teori yang telah dibahas pada bab sebelumnya bab II, maka perlu dipaparkan materi kebijakan war on terrorism presiden Bush tersebut secara komprehensif. Berikut penjelasannya.

A. Latar Belakang Lahirnya Kebijakan War on Terrorism