1.3.2 Manfaat penelitian
a. Manfaat secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat terhadap ilmu dan
pengembangan pendidikan, khususnya mengenai pengaruh self-efficacy dan kecemasan akademis terhadap self-regulated learning pada
mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Jakarta. Selain itu diharapkan juga dapat memperkaya hasil-hasil penelitian yang sudah
dilakukan sebelumnya dan menjadi bahan masukan untuk penelitian- penelitian selanjutnya.
b. Manfaat secara praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak
universitas mengenai ada tidaknya pengaruh self-efficacy dan kecemasan akademis terhadap self-regulated learning, sehingga dapat menjadi
pertimbangan dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan kecemasan akademis pada mahasiswanya.
1.4 Sistematika Penulisan Skripsi
Adapun sistematika penulisan skrispsi ini berdasarkan pada buku pedoman penyusunan dan penulisan skripsi yang dibuat oleh Fakultas Psikologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Pada skripsi ini dibagi menjadi beberapa bab, pada setiap bab dirinci menjadi beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan sebagaimana
berikut:
BAB I : PENDAHULUAN Pada bab ini berisi uraian mengenai latar belakang masalah, pembatasan masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, dan sistematika penelitian. BAB II: KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini berisi uraian teoritik mengenai variabel-variabel yang diteliti lengkap dengan kerangka pemikiran dan hipotesis penelitian.
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN Pada bab ini berisi uraian mengenal pendekatan dan metode penelitian, populasi
dan sampel, teknik pengambilan sampel, metode pengumpulan data serta teknik analisis data.
BAB IV: HASIL PENELITIAN
Pada bab ini berisi uraian mengenai hasil penelitian yang meliputi gambaran umum responden, deskripsi data penelitian, dan presentasi data.
BAB V: KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab ini berisi uraian kesimpulan dari penelitian ini serta diskusi dan saran
yang berdasarkan dari hasil penelitian ini.
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini memaparkan teori yang digunakan dalam penelitian ini. terdiri dari lima subbab yaitu teori self-regulated learning, teori self-efficacy, teori kecemasan
akademis, kerangka berfikir, dan hipotesis penelitian.
2.1 Self-Regulated Learning
2.1.1 Pengertian self-regulated learning
Pintrich dalam Yukselturk, Erman, Safure Bulut, 2009 mendefinisikan self- regulated learning SRL sebagai a berusaha keras untuk mengontrol
perilaku, motivasi dan affect, dan kognisi mereka, b berusaha keras untuk mencapai tujuan tertentu, c individu harus mengendalikan tindakannya.
Sedangkan Wolters 1998 mengatakan bahwa self-regulated learning adalah kemampuan seseorang untuk mengelola secara efektif pengalaman belajarnya
sendiri di dalam berbagai cara, sehingga mencapai hasil belajar yang optimal.
Menurut Combs dan Marzano dalam Woolfolk, 2004 mahasiswa yang memiliki pengaturan dalam belajar memiliki kombinasi dari keterampilan-
keterampilan belajar akademik dan kontrol diri yang membuat belajar lebih mudah. Santrock 2009 mengatakan bahwa self-regulated learning terdiri atas
pembangkitan diri dan pemantauan diri atas pikiran, perasaan, dan perilaku dengan tujuan untuk mencapai suatu sasaran. Sasaran-sasaran ini dapat berupa
sasaran akademik meningkatkan pemahaman saat membaca, menjadi penulis
yang lebih terorganisasi, belajar bagaimana untuk melakukan pengalian, mengajukan pertanyaan yang relevan atau sasaran sosioemosional
mengendalikan kemarahan, bergaul dengan lebih baik dengan teman sebaya. Pemaparan definisi diatas sejalan dengan definisi Zimmerman 1989 yang
memaparkan secara umum bahwa self-regulated learning pada individu dapat digambarkan melalui tingkatan atau derajat yang meliputi keaktifan
berpartisipasi baik itu secara metakognisi, motivasional, maupun perilaku dalam proses belajar.
Dari apa yang sudah diungkapkan di atas, dapat disimpulkan bahwa self- regulated learning merupakan kemampuan belajar yang menggunakan aspek
metakognisi, motivasi, dan perilaku dengan segigih mungkin melalui keyakinan dan caranya sendiri mengarahkan dirinya untuk mencapai goal yang
telah ditetapkan.
2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi self-regulated learning
Zimmerman Schunk 2001 dan Pintrich Schunk 2002 dalam Santrock, 2009 menyebutkan bahwa perkembangan self-regulated learning dipengaruhi
oleh banyak faktor, diantaranya modeling dan self-efficacy. Modeling merupakan sumber penting untuk menyampaikan keterampilan-keterampilan
pengaturan diri. Di antara keterampilan pengaturan diri di mana model dapat terlibat adalah perencanaan dan pengelolaan waktu secara efektif, perhatian
dan konsentrasi, pengorganisasian dan pengodean informasi secara strategis, pembentukan lingkungan kerja yang produktif, dan penggunaan sumber-
sumber sosial. Sedangkan menurut Thoresen dan Mahoney dalam Zimmerman, 1989 memaparkan dari perspektif sosial-kognitif, bahwa
keberadaan self-regulated learning ditentukan oleh tiga wilayah yakni wilayah person, wilayah perilaku, dan wilayah lingkungan.
1. Faktor individu personal influences. Personal siswa merupakan salah satu faktor penting dalam self-regulated
learning. Salah satu bagian dalam personal siswa ini adalah self-efficacy. Self- efficacy ini sangat berkaitan dengan bagian-bagian lainnya dalam personal
siswa, yaitu pengetahuan siswa, proses metakognitif, tujuan, dan afeksi. a. Self-efficacy
Para ahli teori sosial kognitif mengasumsikan bahwa self-efficacy merupakan variabel kunci dalam self-regulated learning Bandura dalam
Zimmerman, 1989. Zimmerman 1989 mendefinisikan self-efficacy sebagai persepsi kemampuan diri dalam mengelola dan melakukan
tindakan-tindakan yang penting untuk mencapai tingkat performa keterampilan dalam suatu tugas.
b. Pengetahuan siswa Pengetahuan self-regulated learning harus memiliki kualitas pengetahuan
prosedural dan
pengetahuan bersyarat
conditional knowledge.
Pengetahuan prosedural mengarah pada pengetahuan bagaimana menggunakan strategi, sedangkan pengetahuan bersyarat merujuk pada
pengetahuan kapan dan mengapa strategi tersebut berjalan efektif. Sebagai contoh yang menunjukkan kedua pengetahuan ini saling berhubungan
adalah pengetahuan umum siswa mengenai matematika akan memberikan kontribusi terhadap kemampuan mereka untuk membagi tugas mingguan
ke dalam tugas yang dikerjakan setiap hari. c. Tujuan goal
Menetapkan sebuah tujuan, baik itu jangka pendek maupun jangka panjang dalam sebuah proses belajar merupakan hal yang sangat penting.
Penetapan tujuan jangka panjang merupakan langkah awal dalam mengambil keputusan metakognitif. Hal ini sesuai dengan Zimmerman
1989 yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan metakognitif ini tergantung pada tujuan jangka panjang dari siswa.
d. Proses metakognitif Proses metakognitif adalah proses pengambilan keputusan yang mengatur
penyeleksian dan penggunaan berbagai bentuk pengetahuan. Pengambilan keputusan metakognitif ini tergantung pada tujuan jangka panjang dari
siswa Zimmerman, 1989. Dalam proses metakognitif, seseorang yang melakukan pengaturan diri dalam belajar self-regulated learning itu
merencanakan, menetapkan tujuan, mengelola, memonitor diri sendiri, dan melakukan evaluasi diri selama proses kemahiran itu berlangsung Corno,
1986, 1989; Ghatala, 1986; Pressley, Borkowski, Schneider, 1987 dalam Zimmerman, 1990
e. Afeksi Zimmerman
1989 mengungkapkan
bahwa afeksi
dapat juga
mempengaruhi fungsi self-regulated learning. Misalnya, terdapat sebuah
bukti bahwa kecemasan menghambat proses metakognitif, terutama proses mengontrol tindakan.
2. Faktor perilaku behavior. Tiga cara dalam merespon berhubungan dengan analisis self-regulated learning: observasi diri self-observation, penilaian
diri self-judgment, dan reaksi diri self-reaction. Meskipun diasumsikan bahwa setiap komponen tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam proses
pribadi yang tersembunyi self, namun proses dari luar diri individu juga ikut berperan. Setiap komponen terdiri dari perilaku yang dapat diamati, dilatih
dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu, self-observation, self-judgment, dan self-reaction dikategorikan sebagai faktor perilaku yang mempengaruhi
self-regulated learning. Selanjutnya, Bandura mengatakan bahwa dinamika proses beroperasinya self-regulated learning antara lain terjadi dalam
subproses yang berisi self-observation, self-judgment dan self-reaction. Ketiganya memiliki hubungan yang sifatnya timbal balik seiring dengan
konteks persoalan yang dihadapi. Hubungan timbal balik tidak selalu bersifat simetris melainkan lentur dalam arti salah satunya pada konteks tertentu dapat
menjadi lebih dominan dari aspek lainnya, demikian pula pada aspek tertentu menjadi kurang dominan.
3. Faktor lingkungan environment. Setiap gambaran faktor lingkungan diasumsikan berinteraksi secara timbal balik dengan faktor pribadi dan
perilaku. Ketika seseorang dapat memimpin dirinya, faktor pribadi digerakkan untuk mengatur perilaku secara terencana dan lingkungan belajar
dengan segera. Individu diperkirakan memahami dampak lingkungan selama
proses penerimaan dan mengetahui cara mengembangkan lingkungan melalui penggunaan strategi yang bervariasi. Individu yang menerapkan self-
regulation biasanya menggunakan strategi untuk menyusun lingkungan, mencari bantuan sosial dari guru, dan mencari informasi.
Pemaparan di atas, menunjukkan bahwa selama proses self-regulated learning berlangsung, ada tiga faktor yang dapat berpengaruh. Faktor-faktor
tersebut adalah faktor person, perilaku, dan lingkungan. Selain itu, ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa self-regulated
learning berkaitan dengan jenis kelamin gender dan tingkatan grades. Penelitian yang dilakukan oleh ZimmermanMartinez-Pons 1990 menunjukkan
hasil analisis mengenai perbedaan jenis kelamin dalam penggunaan strategi self- regulated learning bahwa secara signifikan perempuan lebih mengingat dan
memonitor diri, mengatur dan merencanakan tujuannya dibandingkan laki-laki. Selanjutnya, di dalam penelitian ini juga ditemukan hasil bahwa strategi self-
regulated learning berkaitan secara signifikan dengan tingkatan grades dalam sekolah.
2.1.3 Aspek-aspek self-regulated learning
Menurut Zimmerman 1989, self-regulated learning terdiri atas pengaturan
dari tiga aspek umum pembelajaran akademis, yaitu kognisi, motivasi dan perilaku. Sesuai aspek di atas, selanjutnya Wolters dkk. 2003 menjelaskan
secara rinci penerapan strategi dalam setiap aspek self-regulated learning
sebagai berikut:
a. Strategi untuk mengontrol atau meregulasi kognisi meliputi macam- macam aktivitas kognitif dan metakognitif yang mengharuskan individu
terlibat untuk mengadaptasi dan mengubah kognisinya. Strategi
pengulangan rehearsal,
elaborasi elaboration,
organisasi
organization, dan general metacognitive self-regulation dapat digunakan individu untuk mengontrol kognisi dan proses belajarnya.
1 Strategi pengulangan rehearsal termasuk usaha untuk mengingat
materi dengan cara mengulang terus-menerus.
2 Strategi elaborasi elaboration merefleksikan “deep learning” dengan
menggunakan kalimatnya sendiri untuk merangkum materi.
3 Strategi organisasi organization termasuk “deep process” dalam
melalui penggunaan taktik mencatat, menggambar diagram atau
bagian untuk mengorganisasi materi pelajaran.
4 Strategi meregulasi
metakognitif matacognition
regulation melibatkan perencanaan monitoring dan strategi meregulasi belajar,
seperti menentukan tujuan dari kegiatan membaca atau membuat
perubahan supaya tugas yang dikerjakan mengalami kemajuan.
b. Strategi untuk meregulasi motivasi melibatkan aktivitas yang penuh tujuan dalam memulai, mengatur atau menambah kemauan untuk memulai,
mempersiapkan tugas berikutnya, atau menyelesaikan aktivitas tertentu atau sesuai tujuan. Regulasi motivasi adalah semua pemikiran, tindakan
atau perilaku dimana siswa berusaha mempengaruhi pilihan, usaha, dan
ketekunan tugas akademisnya. Regulasi motivasi meliputi self- consequating, penyusunan lingkungan environment structuring, mastery
self-talk, performance or extrinsic self-talk, relative ability self-talk,
situasional interest enhancement, dan personal interest .
1 Self-consequating adalah manentukan dan menyediakan konsekuensi intrinsik
supaya konsisten
dalam aktivitas
belajar. Siswa
menggunakan reward dan punishment secara verbal sebagai wujud
konsekuensi.
2 Strategi penyusunan
lingkungan environment
structuring mengindikasikan siswa berusaha berkonsentrasi penuh untuk
mengurangi gangguan di sekitar tempat belajar dan mengatur kesiapan
fisik dan mental untuk menyelesaikan tugas akademis.
3 Mastery self-talk adalah berpikir tentang penguasaan yang berorientasi pada tujuan seperti memuaskan keingintahuan, menjadi labih
kompeten atau meningkatkan perasaan otonomi.
4 Performance or extrinsic self-talk adalah ketika siswa dihadapkan pada kondisi untuk menyudahi proses belajar, siswa akan berpikir
untuk memperoleh prestasi yang lebih tinggi atau berusaha sebaik mungkin dikelas sebagai cara meyakinkan diri untuk terus
melanjutkan kegiatan belajar.
5 Relative ability self-talk saat siswa berpikir tentang performa khusus untuk mencapai tujuan belajar, strategi tersebut dapat diwujudkan
dengan cara melakukan usaha yang lebih baik daripada orang lain
supaya tetap berusaha keras.
6 Strategi peningkatan yang relevan interest enhancement strategies menggambarkan aktivitas siswa ketika berusaha meningkatkan
motivasi intrinsik dalam mengerjakan tugas melalui salah satu situasi
atau minat pribadi.
7 Personal interest
melibatkan usaha
siswa meningkatkan
keterhubungan atau keberartian tugas dengan kehidupan atau minat
personal yang dimiliki.
c. Strategi untuk meregulasi perilaku merupakan usaha individu untuk mengontrol sendiri perilaku yang nampak. Regulasi perilaku meliputi
regulasi usaha effort regulation, waktu dan lingkungan time study environment adalah siswa mengatur waktu dan tempat dengan membuat
jadwal belajar untuk mempermudah proses belajar, dan pencarian bantuan help-seeking adalah mencoba mendapatkan bantuan dari teman sebaya,
guru, dan orang dewasa.
2.1.4 Karakteristik individu yang mempunyai self-regulated learning
Menurut Winne dalam Santrock, 2009, karakteristik dari pelajar yang menggunakan self regulated learning yaitu:
a. Bertujuan memperluas pengetahuan dan menjaga motivasi
b. Menyadari keadaan emosi mereka dan memiliki strategi untuk mengelola emosinya
c. Secara periodik memonitori kemajuan ke arah tujuannya d. Menyesuaikan atau memperbaiki strategi berdasarkan kemajuan yang
mereka buat e. Mengevaluasi halangan yang mungkin muncul dan melakukan adaptasi
yang diperlukan Dari beberapa karakteristik mengenai siswa yang menggunakan self-
regulated learning yang telah dikemukan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka harus memiliki motivasi yang kuat, tujuan yang akan dicapai,
mampu mengelola perasaan, dan memiliki berbagai macam strategi untuk belajar.
2.1.5 Fase-fase self-regulated learning
Berdasarkan perspektif sosial-kognitif yang dikemukakan Zimmerman dalam Pajares dan Urdan, 2006, maka proses self-regulation digambarkan sebagai
pemikiran, perasaan, dan tindakan yang muncul dari dalam diri seseorang, yang terencana dan selalu berubah perputarannya berdasarkan performa umpan
balik yang berpengaruh pada pencapaian tujuan yang ditargetkan diri sendiri. Perputaran self-regulation mencakup tiga fase umum: fase perencanaan,
pelaksanaan, dan proses evaluasi. Ketiga fase tersebut prosesnya sama dengan self-regulated learning. Fase perencanaan akan mempengaruhi performa
seseorang dalam proses fase kontrol performa atau fase pelaksanaan, yang secara bergantian akan mempengaruhi fase reaksi diri. Perputaran self-
regulation dikatakan sempurna apabila proses refleksi diri mampu mempengaruhi proses perencanaan selama seseorang berusaha memperoleh
pengetahuan berikutnya. a. Fase perencanaan Forethought
Terdapat dua kategori yang saling berkaitan erat dalam fase perencanaan: 1 Analisis tugas Task Analysis. Analisis tugas meliputi penentuan tujuan
dan perencanaan strategi. Tujuan dapat diartikan sebagai penetapan atau penentuan hasil belajar yang ingin dicapai oleh seorang individu,
misalnya memecahkan persoalan matematika selama proses belajar berlangsung. Sistem tujuan dari individu yang mampu melakukan self-
regulation tersusun secara bertahap. Proses tersebut dilakukan sebagai regulator untuk mencapai tujuan yang sama dengan hasil yang pernah
dicapai. Bentuk kedua dari analisis tugas adalah perencanaan strategi. Strategi tersebut merupakan suatu proses dan tindakan seseorang yang
bertujuan dan diarahkan untuk memperoleh dan menunjukkan suatu keterampilan yang dapat digunakannya untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkannya. Strategi yang dipilih secara tepat dapat meningkatkan prestasi dengan mengembangkan kognitif, mengontrol
afeksi dan mengarahkan kegiatan motorik. Perencanaan dan pemilihan strategi membutuhkan penyesuaian yang terus menerus karena adanya
perubahan-perubahan baik dalam diri individu sendiri ataupun dari kondisi lingkungan.
2 Keyakinan motivasi diri Self-motivation beliefs. Analisis tugas dan perencanaan strategi menjadi dasar bagi self-motivation beliefs yang
meliputi self-eficacy, outcome expectation, minat intristik atau penilaian valuing, dan orientasi tujuan. Self-eficacy merujuk pada keyakinan
seseorang terhadap kemampuannya untuk memiliki performa yang optimal untuk mencapai tujuannya, sementara outcomes expectation
merujuk pada harapan individu tentang pencapaian suatu hasil dari upaya yang telah dilakukannya. Sebagai contoh, self-eficacy yang
mempengaruhi penetapan tujuan adalah sebagai berikut: semakin mampu individu meyakini kemampuannya sendiri, maka akan semakin
tinggi tujuan yang mereka tetapkan dan semakin mantap individu akan bertahan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya.
b. Fase performa Performance Volitional control 1 Kontrol diri Self-control. Proses self-control seperti instruksi diri self-
instruction, perbandingan imagery, pemfokusan perhatian, dan strategi tugas, membantu individu berkonsentrasi pada tugas yang
dihadapi dan mengoptimalkan usaha untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2 Observasi diri Self-observation. Proses self-observation mengacu pada penelusuran individu terhadap aspek-aspek spesifik dari performa yang
ditampilkan, kondisi sekelilingnya, dan akibat yang dihasilkannya.
Penetapan tujuan yang dilakukan pada fase perencanaan mempermudah self-observation, karena tujuannya terfokus pada proses yang spesifik
dan terhadap kejadian di sekelilingnya. c. Fase refleksi diri Self-reflection
1 Penilaian diri Self-judgement. Self-judgement meliputi evaluasi diri self-evaluation terhadap performa yang ditampilkan individu dalam
upaya mencapai tujuan dan menjelaskan penyebab yang signifikan terhadap hasil yang dicapainya. Self-evaluation mengarah pada upaya
untuk membandingkan informasi yang diperolehnya melalui monitoring diri dengan standar atau tujuan yang telah ditetapkan pada fase
perencanaan. 2 Reaksi diri Self-reaction. Proses yang kedua yang terjadi pada fase ini
adalah self-reaction yang terus menerus akan mempengaruhi fase perencanaan dan seringkali berdampak pada performa yang ditampilkan
di masa mendatang terhadap tujuan yang telah ditetapkan. Fase yang terjadi pada self-regulated learning sama prosesnya dengan perputaran
self-regulation. Fase tersebut terdiri dari fase perencanaan, fase performa dan fase refleksi diri yang ketiganya membentuk siklus yang
saling terkait. Jika salah satu fase terganggu, maka fase lainnya ikut terganggu dan tidak dapat berproses secara lancar bagan 2.1.
Bagan 2.1 Fase dan subproses
self-regulation
Sumber: Pajares dan Urdan, 2006
2.1.6 Strategi-strategi self-regulated learning
Zimmerman dan Martinez-Pons akan memaparkan lebih jauh mengenai tipe- tipe strategi self-regulated learning dalam Zimmerman, 1989. Strategi
tersebut dikelompokkan menjadi 15 tipe: a. Evaluasi diri self-evaluating adalah pernyataan yang mengindikasikan
siswa berinisiatif mengevaluasi kualitas atau kemajuan pekerjaan yang dilakukan.
Performance phase
Self-control task strategies
imagery self-instruction
attention focusing Self-observation
metacognitive monitoring
Forethought phase
Task analysis Goal Setting
Strategic Planning Sources of Self Motivation
Self-efficacy Task Interest value
Outcome Expectation
Self-Reflection Phase
Self-Judgement Self-Evaluation
Causal Attributions Self-Reaction
Adaptive Inferences Satisfactions
b. Pengorganisasian dan perubahan organizing and transforming adalah pernyataan yang mengindikasikan siswa berinisiatif menyusun kembali
materi instruksional untuk meningkatkan proses belajar baik secara jelas maupun tersembunyi.
c. Penetapan tujuan dan perencanaan goal-setting and planning adalah pernyataan yang mengindikasikan siswa menetapkan tujuan pendidikan atau
subtujuan dan merencanakan langkah selanjutnya, pengaturan waktu dan menyelesaikan aktivitas yang berhubungan dengan tujuan.
d. Pencarian informasi seeking information adalah pernyataan yang mengindikasikan siswa berinisiatif untuk mendapatkan informasi berkenaan
dengan tugas selanjutnya dari sumber-sumber non-sosial ketika
mengerjakan tugas. e. Latihan mencatat dan memonitor keeping records and monitoring adalah
pernyataan yang mengindikasikan siswa berinisiatif mencatat kejadian atau hasil-hasil selama proses belajar.
f. Penyusunan lingkungan environmental structuring adalah pernyataan yang mengindikasikan siswa berinisiatif memilih atau menyusun kondisi
lingkungan fisik untuk mempermudah belajar. g. Pemberian konsekuensi diri self-consequating adalah pernyataan yang
mengindikasikan siswa memiliki susunan dan daya khayal imagination untuk memperoleh reward atau punishment apabila mengalami keberhasilan
atau kegagalan.
h. Latihan dan mengingat rehearsing and memorizing adalah pernyataan yang mengindikasikan siswa berinisiatif mengingat materi dengan cara
latihan secara overt maupun covert. i. Pencarian bantuan sosial-teman sebaya seeking social assistance-peers
adalah pernyataan yang mengindikasikan individu mencoba mendapatkan bantuan dari teman sebaya.
j. Pencarian bantuan sosial-guru seeking social assistance-teachers adalah pernyataan yang mengindikasikan siswa mencoba mendapatkan bantuan
dari guru. k. Pencarian bantuan sosial-orang dewasa seeking social assistance-adult
adalah pernyataan yang mengindikasikan siswa mencoba mendapatkan bantuan dari orang dewasa.
l. Pemeriksaan ulang catatan reviewing records-notes adalah pernyataan yang mengindikasikan siswa memiliki inisiatif membaca kembali catatan.
m. Pemeriksaan ulang soal-soal ujian reviewing records-tests adalah pernyataan yang mengindikasikan siswa mempunyai inisiatif membaca
kembali soal-soal ujian. n. Pemeriksaan ulang buku teks reviewing records-textbooks adalah
pernyataan yang mengindikasikan siswa memiliki inisiatif membaca kembali buku teks untuk mempersiapkan kelas atau ujian berikutnya.
o. Lain-lain, berupa pernyataan yang menunjukkan perilaku belajar yang diajukan oleh orang lain seperti guru atau orang tua, dan semua respon
verbal yang tidak jelas.
2.1.7 Pengukuran self-regulated learning
Pada jurnal assessing for self-regulated learning oleh Wolters, dkk 2003 menggunakan penggembangan pengukuran Motivated Strategies for Learning
Questionnaire atau MSLQ. MSLQ ini merupakan jenis instrument self-report yang memberikan pertanyaan kepada siswa tentang strategi kognitif dan
metakognitifnya untuk pembelajaran. MSLQ menggunakan 7 point skala Likert yang memiliki rentangan 1 sampai 7, dimana 1 itu sangat tidak sesuai
sedangkan 7 sangat tidak sesuai. Contoh item yang digunakan dalam skala ini adalah
“Sebelum masuk kelas, saya membaca catatan saya dan berlatih mengingatnya secara berulang kali” atau “Saya mengubah lingkungan sekitar
saya agar bisa lebih berkonsentrasi dalam mengerjakan tugas”.
2.2 Self-Efficacy
2.2.1 Pengertian self-efficacy
Menurut Albert Bandura 1986 mendefinisikan bahwa self-efficacy adalah penilaian seseorang terhadap kemampuannya untuk menyusun tindakan yang
dibutuhkan dalam menyelesaikan tugas-tugas khusus yang dihadapi. Self- efficacy tidak berkaitan langsung dengan kecakapan yang dimiliki individu,
melainkan pada penilaian diri tentang apa yang dapat dilakukan, tanpa terkait dengan kecakapan yang dimiliki.
Di samping itu, Schultz 2005 mendefinisikan self-efficacy sebagai perasaan kita terhadap kecukupan, efisiensi, dan kemampuan kita dalam
mengatasi kehidupan. Baron dan Byrne dalam GhufronRini, 2010
mendefinisikan self-efficacy sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan,
dan mengatasi hambatan.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa self- efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuan
yang dimilikinya dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas-tugas yang ia hadapi, sehingga mampu mengatasi rintangan dan mencapai tujuan yang
diharapkannya.
2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi self-efficacy
Bandura 1986 mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi self-efficacy seseorang, yakni:
a. Pencapaian kinerja performance attainment Hasil yang diharapkan secara nyata merupakan sumber penting tentang
informasi self-efficacy karena didasari oleh pengalaman otentik yang telah dikuasai Bandura, Adam, dan Beyer; Biran dan Wilson; Felzt, Landers,
dan Reader, dalam Bandura, 1986. Keberhasilan yang diperoleh akan membawa seorang pada tingkat self-efficacy yang lebih tinggi, sedang
kegagalan akan merendahkan self-efficacy, terutama jika kegagalan tersebut terjadi pada awal pengerjaan tugas dan bukan disebabkan oleh
kurangnya usaha atau juga karena hambatan dari faktor eksternal. Keberhasilan yang terjadi karena bantuan dari faktor eksternal atau
keberhasilan yang dicapai dianggap bukan sebagai hasil dari kemampuan
sendiri tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap peningkatan self- efficacy. Besarnya nilai yang diberikan dari pengalaman baru tergantung
pada sifat dan kekuatan dari persepsi diri yang ada sebelumnya. Setelah self-efficacy terbentuk karena keberhasilan yang berulang, kegagalan yang
muncul terhadap kemampuannya. b. Pengalaman orang lain Vicarious experience
Self-efficacy dapat juga dipengaruhi karena pengalaman orang lain. Individu yang melihat atau mengamati orang lain yang mencapai
keberhasilan dapat menimbulkan persepsi self-efficacy-nya. Dengan melihat keberhasilan orang lain, individu dapat meyakinkan dirinya bahwa
ia juga bisa untuk mencapai hal yang sama dengan orang yang dia amati. Ia juga meyakinkan dirinya bahwa jika orang lain bisa melakukannya, ia
juga harus dapat melakukannya. Jika seseorang melihat bahwa orang lain yang memiliki kemampuan yang sama ternyata gagal meskipun ia telah
berusaha dengan keras, maka dapat menurunkan penilaiannya terhadap kemampuan dia sendiri dan juga akan mengurangi usaha yang akan
dilakukan Brown dan Inonye dalam Bandura, 1986. Ada kondisi-kondisi dimana penilaian terhadap self-efficacy
khususnya sensitif pada informasi dari orang lain. Pertama adalah ketidakpastian mengenai kemampuan yang dimiliki individu. Self-efficacy
dapat diubah melalui pengaruh modeling yang relevan ketika seseorang memiliki sedikit pengalaman sebagai dasar penilaian kemampuannya.
Karena pengetahuan yang dimiliki tentang kemampuan diri sendiri sangat
terbatas, maka individu tersebut lebih bergantung pada indikator yang dicontohkan Tataka dan Tataka dalam Bandura, 1986. Kedua adalah
penilaian self-efficacy selalu berdasarkan kriteria dimana kemampuan dievaluasi Festinger; Suls dan Miller dalam Bandura, 1986. Kegiatan
yang bisa memberikan informasi eksternal mengenai tingkat kinerja dijadikan dasar untuk menilai kemampuan seseorang. Tetapi sebagian
besar kinerja tidak memberikan informasi yang cukup memenuhi, sehingga penilaian self-efficacy diukur melalui membandingkannya
dengan kinerja dari orang lain Bandura, 1986. c. Persuasi verbal Verbal persuasion
Persuasi verbal digunakan untuk memberikan keyakinan kepada seseorang bahwa ia memiliki suatu kemampuan yang memadai untuk mencapai apa
yang diinginkan. Seseorang yang berhasil diyakinkan secara verbal akan menunjukkan suatu usaha yang lebih keras jika dibandingkan dengan
individu yang memiliki keraguan dan hanya memikirkan kekurangan diri ketika menghadapi suatu kesulitan. Namun, peningkatan keyakinan
individu yang tidak realistis mengenai kemampuan diri hanya akan menemui kegagalan. Hal ini dapat menghilangkan kepercayaan self-
efficacy orang yang dipersuasi. d. Keadaan dan reaksi psikologis Physicological state.
Seseorang menjadikan keadaan fisiologisnya sebagai sumber informasi untuk memberikan penilaian terhadap kemampuan dirinya. Individu
merasa gejala-gejala somatik atau ketegangan yang timbul dalam situasi yang menekan sebagai pertanda bahwa ia tidak dapat untuk menguasai
keadaan atau mengalami kegagalan dan hal ini dapat menurunkan kinerjanya. Dalam kegiatan yang membutuhkan kekuatan dan stamina
tubuh, seseorang merasa bahwa keletihan dan rasa sakit yang dia alami merupakan tanda-tanda kelemahan fisik dan hal ini menurunkan keyakinan
akan kemampuan fisiknya.
2.2.3 Aspek-aspek self-efficacy
Menurut Bandura 1997, keyakinan akan kemampuan diri individu dapat bervariasi pada masing-masing dimensi. Dimensi-dimensi tersebut yaitu:
a. Level magnitude
Dimensi ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas dimana individu merasa mampu atau tidak untuk melakukannya, sebab kemampuan diri
individu berbeda-beda. Konsep dalam dimensi ini terletak pada keyakinan individu atas kemampuannya terhadap tingkat kesulitan tugas. Jika
individu dihadapkan pada tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya, maka keyakinan individu akan terbatas pada tugas-tugas
yang mudah, kemudian sedang hingga tugas-tugas yang paling sulit, sesuai dengan batas kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan
perilaku yang dibutuhkan pada masing-masing tingkat. Makin tinggi taraf kesulitan tugas, makin lemah keyakinan yang dirasakan untuk
menyelesaikannya.
Keyakinan individu berimplikasi pada pemilihan tingkah laku berdasarkan hambatan atau tingkat kesulitan suatu tugas atau aktivitas.
Individu terlebih dahulu akan mencoba tingkah laku yang dirasa mampu dilakukannya dan menghindari tingkah laku yang berada di luar batas
kemampuannya. Rentang kemampuan individu dapat dilihat dari tingkat hamabatan atau kesulitan yang bervariasi dari suatu tugas atau aktivitas
tertentu. b.
Strength Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kekuatan dari keyakinan atau
pengharapan individu mengenai kemampuannya. Pengharapan yang lemah mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung.
Sebaliknya, pengharapan yang mantap mendorong individu tetap bertahan dalam usahanya. Meskipun mungkin ditemukan pengalaman yang kurang
mendukung. Dimensi ini biasanya berkaitan langsung dengan dimensi level, yaitu makin tinggi taraf kesulitan tugas, makin lemah keyakinan
yang dirasakan untuk meyelesaikannya. c.
Generality Dimensi ini berkaitan dengan keyakinan individu akan kemampuannya
melaksanakan tugas di berbagai aktivitas. Aktivitas yang bervariasi menuntut individu yakin atas kemampuannya dalam melaksanakan tugas
atau aktivitas tersebut, apakah individu merasa yakin atau tidak. Individu mungkin yakin akan kemampuannya pada banyak bidang atau hanya
beberapa bidang tertentu, misalnya seorang mahasiswa yakin akan
kemampuannya pada mata kuliah statistik tetapi ia tidak yakin akan kemampuannya pada mata kuliah bahasa inggris, atau seseorang yang
ingin melakukan diet, yakin akan kemampuannya dapat menjalankan olahraga secara rutin, namun ia tidak yakin akan kemampuannya
mengurangi nafsu makan, itulah mengapa dietnya tidak berhasil.
2.2.4 Pengukuran self-efficacy
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa self-efficacy merupakan penilaian diri terhadap kemampuan yang dapat mempengaruhi
aktivitas, usaha, dan ketekunan seseorang dalam mengatur dan melakukan perbuatan yang dikehendaki untuk mencapai tujuannya dan harapan yang
realistik sehingga berusaha sekuatnya dalam mengatasi kesulitan dalam menyelesaikan tugasnya.
Dalam penelitian ini, pengukuran self-efficacy menggunakan skala milik Ralf Schwarzer dari Universitas Freie, Berlin. Skala self-efficacy Ralf
Schwarzer pertama kali dikembangkan pada tahun 1981 oleh Jerusalem dan Ralf Schwarzer, yang versi aslinya dibuat dalam bahasa Jerman. Awalnya skala
self-efficacy ini terdiri dari 20 item, kemudian setelah berkembang berkurang menjadi 10 item. Hanya saja, skala self-efficacy milik Ralf Schwarzer ini tidak
terdapat keterangan didalamnya mengenai blue print skala tersebut. Skala hanya disajikan dalam 10 item yang berisi pernyataan dengan respon format
dari skor 1 sampai 4, tanpa menyertakan item mana saja yang termasuk
favourable dan unfavourable. Skala self-efficacy milik Ralf Schwarzer telah diadaptasikan dalam 14 budaya Schwarzer dkk, 1996.
Alasan peneliti menggunakan skala milik Ralf Schwarzer, dkk 1996 karena landasan teori yang digunakan dalam penelitiannya menggunakan teori
sosial cognitive milik Albert Bandura. Selain itu, menurut Ralf Schwarzer,dkk 1996 koefisien reliabilitas skala self-efficacy milik Ralf Schwarzer antara
0,75 sampai 0,90 sehingga dapat dikatakan reliabel dan juga dapat dibuktikan melalui validitas diskriminan dan validitas konvergen. Dengan demikian, skala
ini dapat dipergunakan pada masa dan jangka waktu yang berbeda serta dengan karakteristik responden yang berbeda. Selain itu, peneliti juga menambahkan
item skala berdasarkan dimensi-dimensi self-efficacy.
2.3 Kecemasan Akademis 2.3.1 Pengertian kecemasan
Kecemasan anxiety adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan
frustasi dan pertentangan batin konflik Daradjat, 1986. Kartono 1981 juga mengungkapkan bahwa neurosa kecemasan ialah kondisi psikis dalam
ketakutan dan kecemasan yang kronis, sungguhpun tidak ada rangsangan yang spesifik. Menurut Nevid, dkk 2005 mengungkapkan kecemasan adalah suatu
keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi.
Kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan, bahwa terjadinya peringatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang
mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman dan sebagai respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, internal, samar-samar, atau
konfliktual. Sensasi kecemasan sering dialami oleh hampir semua manusia. Perasaan tersebut ditandai oleh rasa ketakutan yang difus, tidak
menyenangkan, dan samar-samar, seringkali disertai oleh gejala otonomik, seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, kekakuan pada dada, dan gangguan
lambung ringan Kaplan, Sadock Grebb, 1997. Atkinson 1983 menyatakan bahwa kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan, yang
ditandai dengan istilah-istilah kekhawatiran, keprihatinan, dan rasa takut yang terkadang-kadang dialami dalam tingkat yang berbeda-beda.
Dari berbagai macam uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan yang mengakibatkan individu
mengalami perasaan tidak berdaya dalam tingkat yang berbeda-beda karena ketidakmampuan menyesuaikan diri di dalam situasi pada umumnya.
2.3.2 Pengertian kecemasan akademis
Menurut Valiante dan Pajares 1999 menyatakan kecemasan akademis sebagai perasaan tegang dan ketakutan pada sesuatu yang akan terjadi, perasaan
tersebut mengganggu dalam pelaksanaan tugas dan aktivitas yang beragam dalam situasi akademis. Ottens 1991 menjelaskan bahwa kecemasan
akademis mengacu pada terganggunya pola pemikiran dan respon fisik serta
perilaku karena kemungkinan performa yang ditampilkan siswa tidak diterima secara baik ketika tugas-tugas akademis diberikan.
Perasaan berbahaya, takut, atau tegang sebagai hasil tekanan di sekolah disebut juga sebagai kecemasan akademis. Kecemasan akademis paling sering
dialami selama latihan yang bersifat rutinitas dan diharapkan siswa dalam kondisi sebaik mungkin saat performa ditunjukkan, serta saat sesuatu yang
dipertaruhkan bernilai sangat tinggi, seperti tampil di depan orang lain. Cara seseorang merasakan kecemasan dapat terjadi secara bertahap dari pertama kali
kecemasan tersebut muncul, contohnya kegugupan saat harus membaca di depan kelas dengan suara keras. Gangguan serius yang dialami seseorang
menegaskan terjadinya kepanikan dan mengalami kesulitan untuk berfungsi secara normal OConnor, 2007.
Dapat disimpulkan bahwa kecemasan akademis adalah dorongan pikiran dan perasaan dalam diri individu yang berisikan ketakutan akan bahaya atau
ancaman di masa yang akan datang tanpa sebab khusus, sehingga mengakibatkan terganggunya pola pemikiran dan respon fisik serta perilaku
sebagai hasil tekanan dalam pelaksanaan tugas dan aktivitas yang beragam dalam situasi akademis.
2.3.3 Karakteristik kecemasan akademis
Ottens 1991 berpendapat bahwa ada empat karakteristik yang ada pada kecemasan akademis.
a. Pola kecemasan-yang menimbulkan aktivitas mental pattern of anxiety-
engendering mental activity. Siswa memperlihatkan pikiran, persepsi dan dugaan yang mengarah pada
kesulitan akademis yang dihadapi. Ada tiga aktivitas mental yang terlibat. Pertama dan terpenting adalah kekhawatiran. Siswa menjebak diri sendiri
ke dalam kegelisahan dengan menganggap semua yang dilakukannya adalah salah. Kedua, dialog diri self-dialog yang maladaptif. Siswa
berbicara dengan dirinya sepanjang hari, yang merupakan wujud dari dialog sadar. Pengingat diri self-reminder, instruksi diri self-directives,
menyelamati diri self-congratulations, dan kesukaan akan sesuatu merupakan bentuk-bentuk dari dialog sadar. Tetapi berbicara dalam hati
pada siswa yang cemas secara akademik seringkali ditandai dengan kritik- diri self-criticism yang keras, penyalahan-diri self-blame, dan
kepanikan berbicara pada diri sendiri self-talk yang mengakibatkan munculnya perasaan cemas dan memperbesar peluang untuk merendahkan
kepercayaan diri serta mengacaukan siswa dalam memecahkan masalah. Ketiga, pengertian yang kurang maju dan keyakinan siswa mengenai diri
dan dunia mereka. Siswa memiliki keyakinan yang salah tentang pentingnya masalah yang ada. Cara untuk menegaskan harga diri self-
worth, mengetahui cara yang terbaik untuk memotivasi dan mengatasi kecemasan, serta memisahkan pemikiran-pemikiran salah yang menjamin
adanya kecemasan akademis. b. Perhatian yang menunjukkan arah yang salah misdirected attention.
Tugas akademis seperti membaca buku, ujian, dan mengerjakan tugas rumah membutuhkan konsentrasi penuh. Siswa yang cemas secara
akademis membiarkan perhatian mereka menurun. Perhatian dapat dialihkan melalui pengganggu eksternal perilaku siswa lain, jam, suara-
suara bising, atau melalui pengganggu internal kekhawatiran, melamun, reaksi fisik.
c. Distress secara fisik physiological distress. Perubahan pada tubuh diasosiasikan dengan kecemasan-otot tegang,
berkeringat, jantung berdetak cepat, dan tangan gemetar. Aspek fisik dan emosi dari kecemasan menjadi kacau jika diinterpretasikan sebagai bahaya
atau jika menjadi fokus penting dari perhatian selama tugas akademis berlangsung.
d. Perilaku yang kurang tepat inappropriate behaviors. Berulangkali, siswa yang cemas secara akademis memilih berperilaku
dengan cara menjadikan kesulitan menjadi satu. Perilaku siswa mengarah pada situasi akademis yang tidak tepat. Penghindaran prokrastinasi
sangat umum dijumpai, karena dengan menunjukkan tugas yang belum sempurna dan performa siswa fungsinya yang bercabang misalnya,
berbicara dengan teman ketika sedang belajar. Siswa yang cemas juga berusaha keras menjawab pertanyaan ujian atau terlalu cermat
mengerjakan untuk menghindari kesalahan dalam ujian. Dari apa yang sudah diungkapkan di atas, dapat disimpulkan bahwa
karakteristik kecemasan akademis meliputi pola kecemasan yang menimbulkan
aktivitas mental, perhatian yang menunjukkan arah yang salah, distres secara fisik, dan perilaku yang kurang tepat.
2.3.4. Komponen kecemasan akademis
Holmes 1991 membagi kecemasan dalam empat komponen, yaitu mood psikologis, kognitif, somatik, dan motorik. Adapun penjelasan dari keempat
komponen kecemasan tersebut adalah: a. Komponen Mood psikologis
Holmes mengatakan bahwa gejala mood psikologis yang terjadi berupa khawatir, ketegangan, panik, dan ketakutan. Mood psikologis seseorang
yang merasa cemas dapat berupa was-was, khawatir, gelisah, takut, tegang, gugup, dan rasa tidak aman. Individu tidak dapat merasa tenang
dan mudah tersinggung, sehingga memungkinkannya untuk terkena depresi.
b. Komponen kognitif Secara
kognitif, seseorang
yang merasa
cemas akan
terus mengkhawatirkan segala macam masalah yang mungkin terjadi, sehingga
ia akan sulit untuk berkonsentrasi atau mengambil keputusan, bingung, dan menjadi sulit untuk mengingat kembali.
c. Komponen somatik Secara somatik dalam reaksi fisik atau biologis, gangguan kecemasan
dibagi kedalam dua bagian, yaitu pertama adalah gejala langsung yang terdiri dengan mudah berkeringat, sesak nafas, jantung berdetak cepat,
tekanan darah meningkat, pusing, otot yang tegang. Kedua, kalau kecemasan dirasakan secara berlarut-larut, maka hal tersebut secara
berkesinambungan akan meningkatkan tekanan darah, sakit kepala, ketegangan otot, dan sering merasa mual.
d. Komponen motorik Secara motorik gerak tubuh kecemasan dapat terlihat dari gangguan
tubuh pada seseorang, seperti tangan yang selalu gemetar, suara yang terbata-bata, dan sikap yang terburu-buru.
Peneliti menggunakan komponen kecemasan akademis dalam pembuatan skala kecemasan karena menggambarkan kesesuaian dengan penelitian yang
dilakukan.
2.4 Kerangka Berfikir
Dalam bahasan teoritis dinyatakan oleh Zimmerman 1986 bahwa pengaturan diri dalam belajar merupakan tingkat dimana individu secara metakognitif, motivasi,
dan perilaku berpartisipasi dalam proses belajar mereka sendiri. Jadi dalam pengaturan diri dalam belajar ini, individu sendirilah yang memprakarsai dan
langsung berusaha sendiri dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilannya. Sementara Bandura 1986 mendefinisikan bahwa self-efficacy adalah penilaian
seseorang terhadap kemampuannya untuk menyusun tindakan yang dibutuhkan dalam menyelesaikan tugas-tugas khusus yang dihadapi. Ia menggunakan istilah
self-efficacy untuk menjelaskan faktor-faktor yang berperan dibalik kesenjangan ini, yang didefinisikan sebagai keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk
mengorganisasikan dan melakukan tindakan-tindakan yang perlu dalam mencapai
tingkat kinerja tertentu.
Dengan demikian mahasiswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi, akan selalu mencoba melakukan berbagai tindakan dan siap menghadapi kesulitan-
kesulitan. Hal ini diasumsikan bagi mahasiswa yang dalam setiap perkuliahannya dibebankan tugas-tugas yang memerlukan banyak energi dan seringkali menyita
perhatian yang cukup serius, dan seringkali mengalami berbagai kesulitan untuk menyelesaikan tugasnya, maka efficacy mahasiswa sangat menentukan seberapa
besar usaha yang dikeluarkan dan seberapa ia bertahan dalam menghadapi
rintangan dan pengalaman yang menyakitkan dalam tugas-tugas perkuliahan.
Jika mahasiswa tidak memiliki self-efficacy yang tinggi, diartikan mereka sama saja berhadapan dengan kegagalan karena yang ada dalam pikiran mereka
hanyalah tentang perasaan gagal. Perasaan gagal inilah yang akan menyebabkan kecemasan, maka mahasiswa tidak mampu menyerap ilmu yang telah
disampaikan oleh dosen, akibatnya prestasi mahasiswa akan menurun. Kecemasan yang terjadi selama kegiatan akademis dikenal dengan kecemasan akademis.
Kecemasan akademis adalah perasaan berbahaya, takut, atau tegang sebagai
akibat adanya tekanan di sekolah O’Connor, 2007.
Kecemasan akademis memiliki empat komponen, yaitu komponen psikologis, komponen motorik, komponen kognitif, dan komponen somatik. Kecemasan
akademis dapat dialami oleh mahasiswa manapun, baik yang mempunyai kemampuan akademis tinggi, sedang, maupun yang kemampuan akademisnya
rendah. Hanya saja penyebab dan tingkatannya berbeda-beda antara mahasiswa satu dengan mahasiswa lain.
Kecemasan akademis pada taraf yang tinggi menyebabkan terjadinya perubahan pada kondisi fisik seperti tegang, berkeringat, jantung berdetak cepat
dan gemetar. Selanjutnya kecemasan termanifestasi dalam perilaku yang kurang tepat. Kecemasan akademis memiliki pengaruh terhadap self-regulated learning,
terutama pada aspek-aspek dan proses yang terjadi dalam setiap fase self- regulated learning.
Gambar 2.2 Bagan Kerangka Berpikir
Self Regulated Learning
Kecemasan Akademis Self Efficacy
Somatik Motorik
Jenis Kelamin
Grades Psikologis
kognitif
2.5 Hipotesis Penelitian