Pendidikan akhlak dalam keluarga pada warga RW 07 Kecamatan Jati

54 Tabel 2. Data Pekerjaan Orang Tua No. Jenis Pekerjaan Jumlah 1. Karyawan Swasta 16 2. Karyawan 10 3. Pedagang 09 4. Wiraswasta 08 5. Pegawai Negeri Sipil 03 6. Ibu Rumah Tangga 02 7. Sopir 02 8. Karyawan BUMN 01 9. Petani 01 10. Buruh 01 11. Guru 01 Tabel 2 di atas sebagian besar merupakan karyawan swasta yang berjumlah 16 warga, karyawan biasa berjumlah 10 warga, pedagang berjumlah 09 warga, wiraswasta berjumlah 08 warga, PNS berjumlah 03 warga, Ibu Rumah Tangga berjumlah 02 dan lain sebagainya. Keterangan di atas memberikan indikasi bahwa sebagian besar responden mempunyai pekerjaan dan hanya beberapa saja yang tidak memiliki pekerjaan.

C. Pendidikan akhlak dalam keluarga pada warga RW 07 Kecamatan Jati

Asih Bekasi Selatan Pendidikan akhlak dalam keluarga pada warga RW 07 Jati Asih Bekasi Selatan ini belum dapat dikatakan berjalan dengan maksimal. Seperti penurutan dari Tokoh Masyarakat setempat, hasil wawancara yaitu: “Kondisi latar belakang pendidikan orang tua yang merupakan pendidik dalam keluarga pada umumnya berbasic pendidikan umum yang mana lebih menekankan mata pelajaran umum dari pada pelajaran agama. Dengan demikian, para pendidik utama kurang memberikan arahan dan bimbingan terhadap pendidikan agama termasuk pendidikan akhlak.” 64 Untuk membahas pendidikan akhlak dalam keluarga akan dibahas beberapa ruang lingkup akhlak, di antaranya: 64 Wawancara peneliti dengan Ustadz Hafidzi, pukul 19.30-20.15 WIB, Bekasi: Jum’at, 30 April 2010, lampiran I. 55 1. Hablu Minallah Pendidikan akhak terhadap Allah dalam keluarga di RW. 07 yaitu berbentuk ketaatan seperti mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Salah satu perintah Allah yang ditekankan dalam pendidikan akhlak terhadap Allah yaitu perintah shalat. Sudah kebiasaan masyarakat desa ketika maghrib tiba anak-anak tidak ada yang boleh bermain atau berkeliaran di luar. Hal ini karena terdapat mitos bahwa jika anak bermain di waktu maghrib maka anak itu akan dibawa oleh makhluk halus yang bernama “kantong wewe”. Tetapi hal ini bisa dikatakan bahwa mitos tersebut hanya sebagai alat yang dipakai orang tua jaman dulu untuk menakut-nakuti anak-anaknya agar cepat pulang. 65 Dengan itu, ketika maghrib tiba, anak sudah berada di rumah dan orang tua mengajak anak untuk sholat baik shalat secara individu atau berjamaah. Dan pada waktu-waktu lain anak diingatkan oleh orang tua untuk shalat lima waktu juga. Kegiatan shalat ini menurut warga untuk menumbuhkan rasa keimanan pada anak. Hal ini dikarenakan anak tidak akan biasa jika tidak dibiasakan. Ada warga yang pendidikannya hanya tamat Sekolah Dasar dapat memberikan pendidikan akhlak kepada anak-anaknya dengan baik. Orang tua tersebut bernama Bpk. Ahmad yang berprofesi sebagai Pedagang berbagai jenis makanan dan peralatan rumah yang berlokasi di rumahnya. Bpk. Ahmad dan istrinya tersebut selalu melakukan dialog pada anak-anaknya mengenai aktivitas yang dilalui anaknya selama di sekolah atau ketika anaknya pergi jalan dengan temannya. Kebetulan dia adalah orang tua yang dahulu berada dalam keluarga yang pola asuhnya otoriter tetapi materi yang dididik berupa materi agama, seperti sholat, puasa, mengaji dan memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan yang pantas sehingga dia beranggapan bahwa pendidikan yang 65 Wawancara peneliti dengan Ustadz Hafidzi, pukul 19.30-20.15 WIB, Bekasi: Jum’at, 30 April 2010, lampiran I. 56 diterimanya waktu kecil merupakan pendidikan yang bagus tetapi dia mengurangi paksaan terhadap anak dengan melakukan dialog. 66 Selain gambaran keluarga di atas, kebanyakan warga cuek dengan pendidikan shalat anak. Anak dibiarkan bermain walau waktu shalat telah tiba dan tidak mengingatkan apalagi menyuruhnya. Ketidakpedulian orang tua ini dikarenakan pada diri orang tua tersebut pun belum menyadari pentingnya perintah shalat tersebut atau dengan kata lain orang tua pun tidak melaksanakan shalat lima waktu. Hal ini pun dikarenakan orang tua tersebut besar dengan pendidikan yang tidak tinggi atau pendidikan tinggi yang kurang pendidikan agamanya. Oleh kerana itu, Ketika orang tua tidak melaksanakannya maka anak yang harus mencontoh orang tuanya akan menirunya. Seperti ketika Peneliti sedang melakukan wawancara pada hari sabtu, 01 Mei 2010 terdapat seorang anak yang sedang bermain di saat Adzan Dhuhur berkumandang yang menandakan waktu shalat telah tiba. Tetapi orang tua anak itu tidak memperhatikan jadwal shalat anaknya walau waktu shalat telah tiba, dia membiarkan anaknya tetap bermain tanpa batas waktu yang tidak menentu. Akhlak kepada Allah seperti mencintai Allah melebihi cinta kepada apa dan siapa pun juga dengan mempergunakan firman-Nya dalam al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan kehidupan, melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, mengharapkan dan berusaha memperoleh keridaan-Nya, mensyukuri nikmat dan karunia-Nya, menerima dengan ikhlas semua kada dan kadar Ilahi setelah berikhtiar maksimal sebanyak-banyaknya hingga batas tinggi, memohon ampun hanya kepada-Nya, bertaubat hanya kepada-Nya, tawakkal berserah diri kepada-Nya. Rincian akhlak terhadap Allah SWT tersebut merupakan materi yang harus disampaikan para orang tua terhadap anaknya akan tetapi hanya sedikit materi yang disampaikan sehingga pendidikan dalam hal ini tidak berjalan dengan baik. 66 Wawancara peneliti dengan Bpk. Ahmad, pukul 13.00-13.20 WIB, Bekasi: Jum’at, 14 Mei 2010, lampiran II. 57 2. Hablu Minannafs Berhubungan terhadap diri sendiri yaitu bagaimana akhlak terhadap diri sendiri. Tentunya hal ini berkaitan tentang akhlak yang baik terhadap diri sendiri, seperti memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani. Memenuhi kebutuhan jasmani pada warga sekitar terdapat dua golongan. Pertama, golongan bawah, golongan ini hidup dengan ekonomi yang pas-pasan atau dapat dikatakan orang tua memiliki pekerjaan tapi tidak menentu. Hal ini pun menyebabkan kondisi keuangan yang tidak stabil sehingga berpengaruh pada menu makanan sehari-hari. Mereka makan dengan menu seadanya dengan tidak ada buah-buahan; Sedangkan yang kedua, golongan atas, golongan ini merupakkan golongan yang mana orang tuanya mempunyai pekerjaan tetap sehingga keadaan ekonominya dapat dikatakan stabil. Mereka makan makanan yang sesuai dengan empat sehat lima sempurna. Selain mengenai asupan makanan yang sesuai dengan tubuh, yaitu olah raga. Dari keterangan yang didapat, sedikit sekali keluarga yang melakukan olah raga, seperti penuturan Bapak Encep, “Saya tidak pernah menyuruh anak-anak olah raga, kalau makan saya selalu menyuruhnya.” 67 Selain itu, terdapat juga orang tua yang tidak pernah menyuruh anaknya untuk olah raga tetapi anaknya mau melakukan olah raga, seperti penuturan Ibu Syifa, “Saya tidak pernah menyuruh anak saya berolah raga, paling dia bermain bulu tangkis dengan teman- temannya.” 68 Adapun mengenai kebutuhan rohani kebanyakan keluarga tidak memberikan materi yang cukup dan hanya sedikit keluarga yang memberikan materi tentang rohani tersebut. Keluarga yang tidak memberikan arahan yang penuh dalam hal ini, seperti harus berlaku jujur, sabar, dan sebagainya, kebanyakan dari mereka menyarankan anak sekolah di Sekolah Menengah Pertama hanya beberapa saja yang menyekolahkan anaknya ke pesantren. Hal ini pun terlihat bahwa pendidikan keluarga dalam mendidik anak terhadap diri sendiri dalam hal 67 Wawancara peneliti dengan Bpk. Encep, pukul 10.00-10.20 WIB, Bekasi: Minggu, 02 Mei 2010, lampiran III. 68 Wawancara peneliti dengan Ibu Syifa, pukul 14.30-15.10 WIB, Bekasi: Minggu, 02 Mei 2010, lampiran IV. 58 kebutuhan rohani tidak berjalan dengan baik atau mereka masih mengandalkan pendidikan di sekolah dengan materi agama yang lebih sedikit. 3. Hablu Minannas Saling tolong-menolong, bantu-membantu, menjenguk yang sakit dan tidak saling mengolok merupakan beberapa contoh dalam bersikap dengan orang lain. orang lain yang dimaksud termasuk anggota keluarga, tetangga, guru, teman bermain atau teman satu organisasi. Sebagai makhluk sosial, seseorang tidak dapat berdiri sendiri tanpa membutuhkan pertolongan orang lain, apalagi manusia merupakan makhluk yang dikenal lemah. Mayoritas responden yang berada pada RW 07 Jati Asih memiliki jiwa solidaritas yang tinggi terhadap orang lain. Jika salah satu di antara mereka yang sedang sakit maka dengan suka rela mereka menjenguknya. Orang tua di sini baik para orang tua laki-laki atau orang tua perempuan. Selain itu jika ada salah satu warga yang mempunyai hajat seperti acara khitan, aqiqah atau haul maka para warga yang lain saling berdatangan untuk membawakan kue atau sejenis makanan lainnya, dan ada juga yang membantu dengan memberikan tenaga dengan membantu memasak, menyiapkan ruang acara atau membersihkan dapur dan sebagainya. Dari contoh yang diberikan para orang tua tersebut di atas, maka para anak- anak akan mencontohnya. Jika terdapat teman di sekolahnya sakit maka anak- anak mengumpulkan dana untuk membelikan sesuatu yang akan dibawa ke rumah temannya yang sakit. Sudah merupakan kebiasaan bahwa disetiap dalam pergaulan terdapat teman yang menurut salah satu warga yang memang sampai seperti anggota keluarga sendiri, teman yang seperti ini sering disebut sebagai teman akrab atau teman dekat. Hal ini karena teman akrab merupakan teman yang mau dijadikan tempat untuk mencurahkan sebuah masalah baik senang maupun susah sampai meminta solusi yang baik untuk memecahkannya. Sehingga jika terdapat waktu luang mereka meluangkan waktu untuk berbicara dan bersenda gurau dengan teman dekat mereka. Seperti penuturan ibu Nurul, hasil wawancara yaitu: 59 “Saya sudah biasa berbincang-bincang dengan Mama Difa panggilan untuk tetangga sekaligus teman akrabnya setelah selesai pekerjaan rumah. Kami membicarakan masalah anak dan sampai infoteiment. Ketika ada masalah pun kami selalu saling berbicara, saling membantu dan meminta pendapat satu sama lain. Yah...kedekatan kami ini sudah seperti keluarg sendiri.” 69 Dan sedikit dari responden tidak memiliki jiwa solidaritas yang tinggi. Mungkin hal ini dikarenakan mereka kurang bersosialisasi dengan baik terhadap warga sekitar karena kesibukkannya. Sikap seperti ini membuat asumsi negatif di kalangan warga yang lain, warga satu dengan yang lainnya saling mencurigai. Seperti salah satu warga yang termasuk golongan atas warga tersebut menamainya dengan “orang kaya” tidak pernah ikut bergabung dengan warga yang dari golongan bawah. Tentu saja hal seperti ini memunculkan anggapan bahwa orang kaya tersebut sombong. 70 4. Hablu Minal’alam Alam merupakan hal yang harus dijaga. Keberadaannya merupakan anugerah bagi makhluk hidup. Tapi kebanyakan dari makhluk hidup terutama manusia tidak menyadari bahwa mereka harus menjaga dan melestarikannya. Sebagian besar tanah kosong yang ada di RW 07 ini dijadikan tempat pembuangan sampah. Sampah rumah tangga yang berbagai macam jenisnya menjadi satu tanpa ada pemilahan terlebih dahulu. Hal ini membuat lahan tersebut menjadi kotor dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Selain itu, di setiap pagi warga membersihkan halaman luar mereka sehingga menjadi bersih tetapi di tempat lain mereka membuat polusi. Seperti salah seorang warga yang ditemui pada pagi hari. Dia sedang menyapu halaman dan jalan yang di depan rumahnya. Hal ini merupakan hal yang bagus, tetapi ada hal buruk setelahnya, ternyata sampah-sampah tersebut dibuang ke selokan atau got-got di pinggir jalan, Seperti ketika peneliti akan melakukan wawancara pada hari Jum’at, 30 April 2010 Pukul 09.00 WIB, Ibu Sari 69 Wawancara peneliti dengan Ibu Nurul, pukul 11.00-11.20 WIB, Bekasi: Jum’at, 07 Mei 2010, lampiran V. 70 Wawancara peneliti dengan Ibu Tuti, pukul 08.30-08.50 WIB, Bekasi: Sabtu, 15 Mei 2010, lampiran VI. 60 yang sedang menyapu halaman rumah dengan membuang sampah halamannya di tempat aliran air atau got. Jika dilihat lebih jauh maka hal itu menjadi wajar karena dia seorang yang mempunyai pendidikan rendah hanya setingkan Pendidikan Sekolah Dasar, tentunya hal ini menyebabkan kurangnya pemahaman terhadap perilaku yang dilakukannya dengan akibat atas hal tersebut. Kemudian warga yang mempunyai seorang pembantu rumah tangga yang mana mereka adalah seorang yang berkarir atau menjadi karyawan swasta. Mereka tidak memperdulikan pembantu mereka membuang sampah di mana, akan tetapi mereka memperdulikan bahwa sampah yang ada di rumahnya telah dibuang dan tidak boleh ada sampah di rumahnya. Seperti Ibu Sari yang merupakan Seorang Pembantu Rumah Tangga yang menuturkan bahwa dia sudah terbiasa membuang sampah di tanah kosong bahkan ketika dia sedang bekerja pun demikian majikannya hanya menegaskan bahwa sampah di rumahnya harus dibuang tanpa memberikan tempat khusus untuk membuangnya. “Saya biasanya membersihkan sampah di rumah saya dan membuang sampah itu di tanah-tanah kosong. Jika saya sedang bekerja pun demikian, majikan saya tidak mau tahu sampahnya dibuang di mana, pokoknya sampah yang ada di rumah harus dibuang.” 71 Dari sikap kebanyakan warga yang seperti itu, maka dengan tidak disadari mereka telah memberikan pendidikan yang tidak baik terhadap anak-anak mereka yaitu membuang sampah tidak pada tempatnya atau disembarang tempat. Selain hal tersebut di atas, ada satu warga yang tergolong pada golongan atas yang kebetulan ibu rumah tangga tersebut adalah seorang dosen di salah satu universitas Islam terkemuka. Di rumah yang besar, dia memiliki halaman belakang dan yang mana halaman belakang tersebut salah satunya difungsikan sebagai pembuangan sampah. Tentu saja hal ini tidak membuat polusi lingkungan yang dapat menimbulkann kerusakan tanah dan bau yang tidak 71 Wawancara peneliti dengan Ibu Sari, pukul 09.00-10.00 WIB, Bekasi: Jum’at, 30 April 2010, lampiran VII. 61 sedap. Penuturan dari Ibu Melati pemilik rumah, “Pembuangan sampah dilakukan sendiri karena untuk menekan jumlah sampah yang ada di daerah tersebut dan agar tidak menimbulkan polusi.” 72 Ibu Melati merupakan salah satu warga berpendidikan tinggi. Profesi dia adalah seorang dosen di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Jakarta. Jadi terlihat disini bahwa sudah menjadi kewajaran dia mengolah sampahnya sendiri karena termasuk golongan yang mempunyai intelektual dan kesadaran lingkungan yang tinggi. Sikap terhadap lingkungan dari responden sebanyak 98 tidak menjaga dan melestarikan alam dengan baik yaitu dengan membuang sampah dengan berbagai jenis di tanah-tanah kosong dan ketika berada di jalan mereka tidak membuang sampah di tempatnya. Sedangkan 2 dari responden menjaga kelestarian alam dengan membuat penampungan sampah sendiri. Dengan demikian pendidikan akhlak terhadap lingkungan dengan materi menjaga dan melestarikannya tidak berjalan dengan baik sehingga mengakibatkan polusi lingkungan. 72 Wawancara peneliti dengan Ibu Melati, pukul 09.00-09.50 WIB, Bekasi: Minggu, 09 Mei 2010, lampiran VIII. 62

BAB V SIKAP TANGGUNG JAWAB SOSIAL YANG TERDAPAT PADA