Prevalensi Temuan Leukosituria pada Pasien DM

25 87 merupakan DM tipe 2 dan 13 merupakan DM tipe 1. Namun pada penelitian ini tidak dilakukan analisis untuk mencari hubungan antara tipe DM dengan kejadian ISK. 17 Tabel. 4.5 Hubungan glukosuria dengan temuan leukosituria Temuan Leukosituria p-value Glukosuria Positif Negatif Positif 14 73,7 19 82,6 Negatif 5 26,3 4 17,4 0,707 Total 19 100 23 100 Secara statistik, temuan glukosuria berhubungan dengan bakteriuria asimtomatik. 29 Secara in vitro memang ditemukan pertumbuhan bakteri dengan penambahan glukosa namun secara in vivo glukosuria belum ditemukan memiliki hubungan yang bermakna dengan bakteriuria asimtomatik atau perkembangan ke arah ISK. 30 Sehingga ini sesuai dengan tidak bermaknanya hubungan glukosuria dengan temuan leukosituria pada penelitian ini. Tabel. 4.6 Hubungan proteinuria dengan temuan leukosituria Temuan Leukosituria p-value Proteinuria Positif Negatif Positif 12 63,2 16 69,6 Negatif 7 36,8 7 30,4 0,661 Total 19 100 23 100 Penelitian ini mendapatkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara proteinuria dengan temuan leukosituria. Hal ini diduga karena proteinuria dapat muncul akibat berbagai macam kondisi. Pada kondisi kondisi patologis proteinuri muncul pada ISK, kelainan glomerulus, dan tubulus. 22 Pada penelitian ini tidak 26 dapat dipastikan etiologi yang pasti dari proteinuria. Penelitian Nasir menyimpulkan bahwa prevalensi leukosituria meningkat seiring dengan naiknya derajat nefropati. Pada temuan proteinuria didapatkan prevalensi leukosituria sebesar 33 dan meningkat menjadi 61 pada gagal ginjal. 31 GDS pada penelitian sebelumnya tidak dihubungkan dengan temuan leukosituria maupun ISK. Yang ditemukan berhubungan adalah kontrol gula darah dengan temuan leukosituria. 32 Pada penelitian ini GDS tidak berhubungan dengan kontrol gula darah dan didapatkan hubungan yang tidak bermakna dengan temuan leukosituria p-value: 0,112.

4.4 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis suatu temuan kondisi abnormal dalam populasi tertentu dan kemudian memaparkan keadaan dan sifat masalah dalam berbagai variabel yang ditemukan pada sampel kemudian dilakukan analisis antara variabel untuk mencari hubungan. Penggunaan data sekunder dalam penelitian ini menyebabkan sedikitnya variabel yang dapat diteliti. Padahal seharusnya dapat dicari lebih banyak variabel untuk dicari hubungan kemaknaannya. Selain itu digunakannya data sekunder menyebabkan kemungkinan adanya variabel perancu yang tidak dapat dikontrol. Penelitian ini dirasa kurang karena tidak menggunakan random sampling yang pada akhirnya lebih dapat menggambarkan kondisi populasi secara umum. Karena jumlah data yang sedikit, maka dilakukan metode consecutive sampling 27

BAB 5 PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Prevalensi temuan leukosituria pada pasien DM di Rumah Sakit Umum Kota Tangerang Selatan tahun 2013 sebesar 45,2. 2. Karakteristik pasien DM pada penelitian ini ialah:  Jenis kelamin perempuan sebanyak 68,3 dan laki-laki sebanyak 32,7.  Usia 20-44 tahun sebanyak 19,02, 45-64 tahun sebanyak 69,05 dan 64 tahun sebanyak 11,9.  Pasien DM tipe 1 sebanyak 9,5 dan DM tipe 2 sebanyak 90,5.  Glukosuria ditemukan positif pada 78,6 dan negatif pada 21,4.  Proteinuria ditemukan positif pada 66,7 dan negatif pada 33,3.  Kadar GDS memiliki nilai median 358,5 mgdl dengan nilai minimal 201 mgdl dan nilai maksimal 795 mgdl. 3. Tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, usia, tipe DM, glukosuria, proteinuria dan GDS dengan temuan leukosituria pada pasien DM di Rumah Sakit Umum Kota Tangerang Selatan Tahun 2013.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan metode dan sampel yang lebih baik agar dapat lebih menggambarkan keadaan populasi. 2. Digunakannya data primer untuk lebih memudahkan peneliti dalam mengumpulkan data. 28 3. Apabila didapatkan temuan leukosituria positif maka disarankan untuk dilakukan kultur urin untuk menegakkan diagnosis ISK. 29 DAFTAR PUSTAKA 1. Hakeem ML, et al. Diversity and Complexity of Urinary Tract Infection in Diabetes Mellitus. Br J Diabetes Vasc Dis. Vol 9. 2009: p119 –125 2. Chin-Hong PV. Infections in Patients With Diabetes Mellitus: Importance of Early Recognition, Treatment, and Prevention. Adv Stud Med. Vol 62. 2006: p71-81 3. Ocviyanti D, Fernando D. Tata Laksana dan Pencegahan Infeksi Saluran Kemih pada Kehamilan. J Indon Med Assoc. Vol. 6212. 2012: p482-487 4. Othman S, Chia YC, Ng CJ. Accuracy of Urinalysis in Detection of Urinary Tract Infection in a Primary Care Setting. Asia Pacific Family Medicine. Vol 2. 2003: p206 –212 5. IAUI. Guidelines Infeksi Saluran Kemih. Diakses dari: .iaui.or.id ast file infeksi saluran kemih.doc pada 4 September 2013 6. Nicolle LE. Asymptomatic bacteriuria: review and discussion of the IDSA guidelines. International Journal of Antimicrobial Agents 28S. 2006: p42 –48 7. Canadian Diabetes Association Clinical Practice Guidelines Expert Committee. Canadian Diabetes Association 2013 Clinical Practice Guidelines for the revention and Management of Diabetes in Canada. Can J Diabetes. vol 37suppl 1. 2013: p1-212. 8. ADA. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care. vol 35 Supplement1. January 2012. P566-571 9. Purnamasari D. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus: dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.2009. p1880 10. IDF. The IDF Diabetes Atlas 5 th Edition update 2012. Diakses dari: http:www.idf.orgsitesdefaultfiles5E_IDFAtlasPoster_2012_EN.pdf pada 7 Desember 2012 11. Mihardja L, dkk. Prevalence and Determinants of Diabetes Mellitus and Impaired Glucose Tolerance in Indonesia A Part of Basic Health