2 Kausanya palsu
3 Kausanya bertentangan dengan undang-undang
4 Kausanya bertentangan dengan kesusilaan
5 Kausanya bertentangan dengan ketertiban umum.
44
C. Asas-asas Perjanjian dan Jenis-jenis Perjanjian
1. Asas-asas Perjanjian
Beberapa asas yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu: a.
Asas konsensualitas
Asas ini berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian. Kata konsensualisme berasal dari kata consensus yang berarti sepakat.
Hal ini berarti bahwa pada asasnya suatu perjanjian timbul sejak saat tercapainya konsensus atau kesepakatan atau kehendak yang
bebas antara para pihak yang melakukan perjanjian. Asas konsensualitas ini tercermin dalam unsur pertama.
Pasal 1320 KUH Perdata yang menyebutkan “sepakat mereka yang mengikatkan diri”, artinya dari asas ini menurut Subekti adalah
“pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan”, sedangkan
Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas
44
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., Halaman 196
konsensualisme mempunyai arti yang terpenting, yaitu bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya kata
sepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut, dan bahwa perjanjian sudah lahir pada saat atau detik tercapainya
consensus.
45
Eggens dalam Ibrahim menyatakan asas konsensualitas
merupakan suatu puncak peningkatan manusia yang tersirat dalam pepatah; een man een man een word een word. Selanjutnya
dikatakan olehnya bahwa ungkapan “orang harus dapat dipegang ucapannya” merupakan tuntutan kesusilaan, akan tetapi Pasal 1320
KUHPerdata menjadi landasan hukum untuk penegakkannya. Tidak dipenuhinya syarat konsensualisme dalam perjanjian
menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan, karena tidak memenuhi syarat subyektif.
46
b. Asas Kekuatan Mengikatnya Perjanjian Pacta Sunt Servanda
Asas mengikatnya perjanjian adalah suatu asas yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat
mereka yang membuat sebagai undang-undang. Dengan demikian para pihak terikat dan harus melaksanakan perjanjian yang telah
disepakati bersama, seperti hal keharusan untuk menaati undang-
45
R. Subekti, “Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional”. Alumni, Bandung, 1986. Halaman 5 Selanjutnya disingkat Subekti-IV
46
Johanes Ibrahim, “Pengimpasan Pinjaman Kompensasi dan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank”. Utomo, Bandung, 2003. Halaman 3
undang.
47
Asas kekuatan mengikatnya perjanjian ini disimpulkan dari Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menyatakan Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dijelaskan oleh Sudikno
Mertokusumo, bahwa bunyi lengkap adagium tersebut adalah
Pacta nuda servanda sunt, yang mempunyai arti bahwa kata sepakat tidak perlu dirumuskan dalam bentuk sumpah, perbuatan
atau formalitas tertentu agar menjadi kewajiban yang mengikat.
48
c. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak contacts vrijheid atau partij- autonomie adalah suatu asas yang menetapkan bahwa setiap orang
bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja, bebas untuk menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian. Asas ini disimpulkan
juga dari Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menyatakan: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya. Subekti mengatakan,
bahwa dengan menekankan pada kata semua, maka ketentuan tersebut seolah-olah berisikan pernyataan pada masyarakat bahwa,
setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan
47
J. Satrio, “Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku I”. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. Halaman 142 selanjutnya disingkat Satrio-I
48
Sudikno, Op. Cit., Halaman 97
berisi apa saja baik yang sudah diatur ataupun yang belum diatur dalam undang-undang.
49
d. Asas Itikad Baik dan Kepatutan
Asas ini menegaskan bahwa para pihak dalam membuat perjanjian harus didasarkan pada itikad baik dan kepatutan, yang
mengandung pengertian pembuatan perjanjian antara para pihak harus didasarkan pada kejujuran untuk mencapai tujuan bersama.
Pelaksanaan perjanjian juga harus mengacu pada apa yang patut dan seharusnya diikuti dalam pergaulan masyarakat. Asas itikad
baik dan kepatutan berasal dari hukum Romawi, yang kemudian dianut oleh Civil Law, bahkan dalam perkembangannya juga dianut
oleh beberapa negara berfaham Common Law. Pengertian itikad baik dan kepatutan berkembang sejalan
dengan perkembangan hukum untuk Romawi, yang semula hanya memberikan ruang bagi kontrak-kontrak yang telah diatur dalam
undang-undang iudicia stricti iuris yang bersumber pada Civil Law. Di terimanya kontrak-kontrak yang didasarkan pada bonae
fides yang mengharuskan diterapkannya asas itikad baik dan kepatutan dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian.
50
Masalah yang muncul, hingga saat ini belum satu kata untuk memberikan dasar yang tepat sebagai patokan apakah
49
Subekti-III, Op. Cit., Halaman 14
50
Ridwan Khairandi, “Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak”. Universitas Indonesia, 2003. Halaman 131.
perjanjian telah dilaksanakan atas dasar itikad baik dan kepatutan atau belum. Prakteknya diserahkan kepada hakim untuk menilai
hal tersebut. Hal ini juga terjadi di negara-negara Anglo Saxon, hakim-hakim di negara-negara Anglo Saxon belum mempunyai
standar yang telah disepakati untuk mengukur asas tersebut. Biasanya frase itikad baik dan kepatutan selalu dikaitkan dengan
makna fairness, reasonable standard of dealing, a common ethical sense.
51
2. Jenis-jenis Perjanjian
Menurut Satrio jenis-jenis perjanjian dibagi dalam lima jenis, yaitu:
52
a.
Perjanjian Timbal balik dan Perjanjian Sepihak
Perjanjian timbal balik Bilateral Contract adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua
belah pihak. Jenis perjanjian ini yang paling umum terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Pihak
yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan dan pihak lainnya berhak menerima benda yang
diberikan itu.
51
Ibid., Halaman 130
52
J. Satrio, “Hukum Perjanjian”. Aditya Bhakti, Bandung, 1992. Halaman 31 selanjutnya disingkat Satrio-II
b.
Perjanjian Percuma dan Perjanjian dengan Atas Hak yang
Membebani
Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan kepada satu pihak saja. Perjanjian dengan
alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari
pihak lainnya, sedangkan antara prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
c.
Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian khusus, dan
jumlahnya terbatas. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya
tidak terbatas.
d.
Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligator
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian
kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligator. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan
perikatan, artinya sejak terjadinya perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak untuk menuntut
penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga, pembeli berkewajiban untuk menyerahkan barang.
Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian itu ada penyerahan leverring sebagai realisasi
perjanjian dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.
e.
Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Real
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak.
Perjanjian real adalah perjanjian di samping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata
dari barangnya.
D. Wanprestasi dan Akibat-akibatnya