Upaya Penyelesaian Kredit Macet Dalam Kredit Usaha Rakyat (Kur) Pada Bank (Studi Pada Bank Btn Cabang Pemuda Medan)

(1)

1

UPAYA PENYELESAIAN KREDIT MACET DALAM KREDIT USAHA RAKYAT (KUR)

PADA BANK

(STUDI PADA BANK BTN CABANG PEMUDA MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH

SABRINA AMANDA 110200354

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UPAYA PENYELESAIAN KREDIT MACET DALAM KREDIT USAHA RAKYAT (KUR)

PADA BANK

(STUDI PADA BANK BTN CABANG PEMUDA MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH

SABRINA AMANDA 110200354

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum NIP. 196603031985081001

Pembimbing I Pembimbing II

Sunarto Adi Wibowo, SH., M.Hum Dr. Utary M. Barus, SH., M.Hum NIP: 195203301976011001 NIP: 197501142002122002


(3)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

NAMA : SABRINA AMANDA

NIM : 110200354

JUDUL SKRIPSI : UPAYA PENYELESAIAN KREDIT MACET DALAM

KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) PADA BANK (STUDI PADA BANK BTN CABANG PEMUDA MEDAN)

Dengan ini menyatakan:

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak

merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan orang

lain maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, Juni 2015

SABRINA AMANDA NIM: 110200354


(4)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat, rahmat dan anugerah-Nya Penulis mampu untuk menjalani perkuliahan sampai pada tahap penyelesaian skripsi pada jurusan Hukum Perdata BW di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini. Penulisan skripsi yang diberi judul “Upaya Penyelesaian Kredit Macet dalam Kredit Usaha Rakyat pada Bank (Studi Pada Bank BTN Cabang Pemuda Medan)” ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis akan sangat berterima kasih jika ada kritik dan saran membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang telah membantu sebelum, selama, dan setelah penulis mengerjakan skripsi. Melalui kesempatan ini, penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Dr. Syafruddin S. Hasibuan, S.H., M.H., DFM., selaku Wakil


(5)

4. Bapak O.K. Saidin, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum

Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Sunarto Adi Wibowo S.H. M. Hum., selaku Dosen Pembimbing I

yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini;

7. Ibu Dr. Utary Maharany Barus, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing

II yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini;

8. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH., M.S., selaku Dosen Wali penulis dari

Semester I sampai akhir;

9. Seluruh Dosen Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

telah membagikan ilmunya kepada penulis selama belajar di Fakultas Hukum;

10.Bapak L. Gultom, S.E, M.M. dan Ibu M. Sipayung, S.E. selaku orang tua

dari penulis, Yahya, Garda, dan Sri, selaku adik-adik penulis yang selalu memberikan doa, dukungan, dan semangat untuk mengerjakan skripsi ini;

11.Bank BTN Cabang Pemuda Medan yang telah memberi kesempatan

kepada penulis untuk mengadakan penelitian.

12.Ibu Erika Rizki Prawitasari selaku staf pegawai bagian Analisis Kredit

pada Bank BTN Pemuda Medan, terima kasih sudah membantu penulis menyajikan data dalam penelitian;


(6)

13.UKM KMK USU UP FH yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk bergabung dalam pelayanannya di Fakultas Hukum;

14.Teman-teman penulis dari KK Elora, Kak Santi, Royanti, Roulinta, Sri

Nita, dan Gracia. Serta KK Janet, Kristina, Holy, dan Sarah, yang sudah memberikan doa, dukungan, dan semangat kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini;

15.Teman-teman penulis dari kelompok klinis, Arnold, Charlene, Hengky,

Jekson, Nurul, Pranto, Rizky, Samitha, dan Yuristia yang sudah memberikan doa, dukungan, dan semangat kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini;

16.Teman-teman penulis selama berada di Fakultas Hukum, Aan, Andana,

Astra, Dedy, Jhonny, Rahmat, Reza, Stella, Yuni, dan teman-teman lain yang tidak sempat disebutkan namanya yang juga telah memberikan doa, dukungan dan semangat bagi penulis untuk mengerjakan skripsi ini.

Tuhan Memberkati.

Medan, Juni 2015

Hormat Penulis


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN

KATA PENGANTAR ··· i

DAFTAR ISI ··· iv

ABSTRAK SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ··· 1

B. Rumusan Masalah ··· 9

C. Tujuan Penulisan ··· 9

D. Manfaat Penulisan ··· 10

E. Keaslian Penulisan ··· 11

F. Metode Penulisan ··· 11

G. Sistematika Penulisan ··· 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian ··· 17

B. Syarat-syarat Sah Perjanjian ··· 22

C. Asas Perjanjian dan Jenis-jenis Perjanjian ··· 38

D. Wanprestasi dan Akibat-akibatnya ··· 44

E. Pembelaan Debitur Wanprestasi ··· 47

F. Perbuatan Melawan Hukum (Onrechmatige daad) ··· 49

BAB III KREDIT PADA PERBANKAN DI INDONESIA A. Bank Secara Umum ··· 51

1. Pengertian Bank ··· 51

2. Fungsi Bank ··· 53

3. Tujuan Bank ··· 54

4. Jenis Bank dan Kegiatan Usahanya ··· 57


(8)

1. Pengertian Kredit ··· 64

2. Unsur-unsur Kredit ··· 65

3. Tujuan dan Fungsi Kredit ··· 67

4. Jenis-jenis Kredit ··· 69

C. Prinsip Pemberian Kredit pada Bank ··· 71

D. Perjanjian Kredit dan Jaminan Kredit ··· 75

E. Kredit Bermasalah dalam Perbankan ··· 82

BAB IV UPAYA PENYELESAIAN KREDIT MACET DALAM KREDIT USAHA RAKYAT PADA BANK (STUDI PADA BANK BTN CABANG PEMUDA MEDAN) A. Gambaran Umum Mengenai Bank Tabungan Negara ··· 85

B. Syarat serta Prosedur Pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada Bank BTN Cabang Pemuda Medan ··· 91

C. Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Kredit Macet dalam Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada Bank BTN Cabang Pemuda Medan ··· 97

D. Upaya Penyelesaian Kredit Macet dalam Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada Bank BTN Cabang Pemuda Medan · 101 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ··· 110

B. Saran ··· 111 DAFTAR PUSTAKA


(9)

ABSTRAK Sabrina Amanda*) Sunarto Adi Wibowo**) Utary Maharany Barus***

*) Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU

**) Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU ***)

Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU

)

Lembaga perbankan adalah lembaga keuangan yang menjadi perantara antara pihak yang mempunyai kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan atau kekurangan dana. Salah satu dari kegiatan usaha bank adalah sektor perkreditan dan pendapatan bank yang terbesar berasal dari sektor perkreditan. Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada Bank BTN merupakan fasilitas Kredit yang diberikan kepada usaha produktif dan layak (fesible) namun belum bankable, dalam bentuk Kredit Modal Kerja dan/atau Kredit Investasi. Dalam penyaluran KUR ini terjadi kredit macet yang merupakan risiko dalam setiap pemberian kredit oleh bank. Adapun permasalahan yang diangkat skripsi ini adalah bagaimana syarat dan prosedur pemberian KUR faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kredit macet pada KUR, dan apakah upaya untuk menyelesaikan kredit macet pada KUR.

Metode penelitian yang dilakukan dalam pengerjaan skripsi ini adalah yuridis normatif yaitu mengacu pada norma-norma hukum, dan penelitian ini bersifat deskriptif analitis, karena menggambarkan masalah dengan cara menjabarkan fakta secara sistematik, faktual dan akurat. Metode pengumpulan data adalah studi kepustakaan (library research), yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan, seperti perundang-undangan, buku-buku, internet yang relevan dengan permasalahan yang dibahas, serta wawancara dengan pihak terkait untuk mendapatkan fakta di lapangan.

Secara umum syarat dalam perolehan KUR pada Bank BTN Cabang Pemuda Medan ini adalah nasabah atau debitur harus perorangan, badan usaha, dan kelompok usaha yang termasuk kategori usaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan lembaga linkage, mempunyai kegiatan usaha dan tidak sedang menerima kredit pembiayaan modal kerja dan/atau kredit investasi. Faktor-faktor penyebab terjadinya kredit macet dalam KUR adalah kredit yang diberikan tidak sesuai dengan peruntukan, faktor kekeliruan bank dalam memberikan kredit, usaha bukan atas nama sendiri, dan agunan yang tidak dapat dilelang. Upaya dalam menyelesaikan KUR macet adalah dengan melakukan penagihan kredit secara langsung, claim asuransi, dan melaksanakan lelang agunan.

Bank BTN Cabang Pemuda Medan dalam penyelesaian KUR bermasalah harus tetap mengusahakan solusi yang akan saling menguntungkan kedua belah pihak di samping upaya penyelesaian yang secara umum dilakukan oleh pihak Bank BTN Cabang Pemuda yakni penagihan kredit secara langsung, claim asuransi, dan melaksanakan lelang agunan.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ekonomi di Indonesia saat ini mengalami kemajuan yang pesat dari tahun ke tahun, meskipun sempat pada tahun 90-an perekonomian di Indonesia mengalami keterpurukan. Berdasarkan hal tersebut maka masing-masing pelaku ekonomi telah giat dalam melakukan kegiatan perekonomian.

Kesejahteraan masyarakat Indonesia sebenarnya sangat bergantung pada keadaan ekonominya. Menyadari hal itu maka pemerintah berupaya untuk menciptakan cara-cara yang dapat mendorong laju perekonomian, salah satu caranya adalah menciptakan berbagai lembaga keuangan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas.

Lembaga keuangan adalah badan usaha yang mempunyai kekayaan dalam bentuk aset keuangan (financial assets). Kekayaan berupa aset keuangan ini digunakan untuk menjalankan usaha di bidang jasa keuangan, baik penyediaan dana untuk membiayai usaha produktif dan kebutuhan konsumtif, maupun jasa keuangan bukan pembiayaan. Jadi, dalam kegiatan usahanya Lembaga keuangan menekankan pada fungsi keuangan,

yaitu jasa keuangan pembiayaan dan jasa keuangan bukan pembiayaan.1

1 Abdulkadir Muhammad & Rilda Muniarti, “Lembaga Keuangan dan Pembiayaan”,


(11)

Salah satu jenis lembaga keuangan yang paling diminati oleh masyarakat Indonesia adalah Bank, hal itu dikarenakan keberadaan bank itu sendiri telah diatur dan dijamin oleh pemerintah dalam hal keberlangsungan semua bank yang ada dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengaturnya secara tegas. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan yang diatur dalam Pasal 1 butir 2 yaitu ”Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”

Ketersediaan lembaga keuangan ini khususnya bank seperti yang tercantum dalam bagian menimbang Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 ialah didasari karena pembangunan nasional dalam hal perekonomian adalah hal yang berkesinambungan dan dilakukan secara terus-menerus yang memiliki sifat dinamis dan semakin kompleks serta sistem keuangan

yang semakin maju.2

Bisnis bank merupakan bisnis yang konservatif. Kecenderungan kepada sifat yang konservatif tersebut, bank harus hati-hati dalam menjalankan usaha. Hal ini disebabkan oleh peranan bank yang cukup menentukan dalam perkembangan moneter dan ekonomi secara makro, kemudian berhubung uang rakyat dipertaruhkan dalam suatu bank.

2 Budi Untung, “Kredit Perbankan di Indonesia”. Andi, Yogyakarta. 2005.


(12)

Peran Bank penting dan strategis dalam menggerakan roda perekonomian suatu negara, seiring dengan fungsinya untuk menyalurkan dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana (lack of funds), apabila sistem keuangan tidak bekerja dengan baik, maka perekonomian menjadi tidak

efisien dan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tidak akan tercapai.3

Salah satu kegiatan usaha yang pokok bagi bank konvensional adalah pemberian kredit dan dikenal dengan sebutan kredit perbankan. Kredit perbankan disalurkan bank kepada masyarakat sesuai dengan fungsi utamanya menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Dalam pelaksanaan pemberian kredit perbankan tersebut biasanya dikaitkan dengan berbagai persyaratan, antara lain mengenai jumlah maksimal kredit, jangka waktu kredit, tujuan penggunaan kredit, suku bunga kredit, cara

penarikan dana kredit, jadwal pelunasan kredit, dan jaminan kredit.4

“Pinjam meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak

Pemberian kredit oleh pihak bank kepada pihak debitur adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana telah diatur dalam hukum perdata, khususnya Pasal 1754 KUHPerdata. Menurut R. Subekti dan R. Tjitrosudibio yang menyebutkan:

3

Hermansyah, “Hukum Perbankan Nasional Indonesia”. Kencana, Jakarta. 2008. Halaman 3

4 M. Bahsan, “Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan di Indonesia”. Raja


(13)

yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari

macam dan keadaan yang sama pula.”5

R. Subekti berpendapat wanprestasi adalah seorang debitur dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya atau memenuhi tapi tidak sesuai yang diperjanjikan.

Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, para pihak bebas untuk menentukan isi dari perjanjian pinjam meminjam sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan, dan kepatutan. Sejak disepakati dan ditandatanganinya perjanjian pinjam-meminjam tersebut oleh para pihak, maka sejak detik itu perjanjian lahir dan mengikat para pihak yang membuatnya sebagai undang-undang.

Sesuai asas utama dari suatu perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak, maka pihak-pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian dapat mendasarkan kepada kesepakatan bersama. Perjanjian pinjam-meminjam selain dikuasai oleh asas-asas hukum perjanjian, juga dikuasai oleh apa yang secara khusus yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Dalam suatu perjanjian tidak menutup kemungkinan jika terjadi salah satu pihak lalai dalam melaksanakan kewajiban seperti yang telah diperjanjikan maka pihak yang lalai tersebut dapat dikatakan cidera janji atau wanprestasi. Maka dari itu setiap perjanjian selalu ada jaminan untuk mengatasi terjadinya wanprestasi.

6

5 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”. Pradya

Paramita, Jakarta. 2003. Halaman 451. (Selanjutnya disingkat Subekti-I)


(14)

Dalam pemberian kredit, pihak kreditur dan nasabah selaku calon debitur harus melakukan perjanjian yang dituangkan dalam Surat Perjanjian Kredit. Asas Perkreditan selalu diperhatikan oleh pihak kreditur, asas perkreditan adalah prinsip kehati-hatian dalam menangani calon debitur. Menurut Munir Fuady, selain prinsip kehati-hatian dalam memberikan kredit, pihak kreditur perlu memperhatikan dan mempertimbangkan 5 (lima) hal yang biasa disebut “The Five C’s of Analysis”:7

1. Character (Kepribadian)

Yaitu penilaian atas karakter kepribadian atau watak calon debiturnya.

2. Capacity (Kemampuan)

Seorang calon debitur harus pula diketahui kemampuan bisnisnya, sehingga dapat diprediksikan kemampuan untuk membayar utangnya.

3. Capital (Modal)

Yaitu permodalan yang dimiliki debitur. 4. Condition of Economy (Kondisi Ekonomi)

Yaitu analisis keadaan ekonomi sebelum suatu kredit diberikan, terutama yang berhubungan langsung dengan bisnis pihak debitur.

5. Colateral (Agunan)

Yaitu jaminan yang diberikan debitur kepada kreditur.

6

R. Subekti, “Pokok-Pokok Hukum Perdata”. PT. Intermasa, Jakarta. 2005. Halaman 47 (selanjutnya disingkat Subekti-II)

7 Munir Fuady, “Hukum Perjanjian Kontemporer”. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.


(15)

Kredit bermasalah merupakan bagian dari kehidupan bisnis perbankan. Apabila seorang investor berani mendirikan bank, maka harus berani pula menanggung risiko menghadapi kesulitan menagih kredit yang diberikan kepada debitur tertentu. Karena kredit bermasalah adalah bagian dari kehidupan bisnis perbankan.

Secara umum kredit bermasalah merupakan kredit yang dapat menimbulkan persoalan, bukan hanya terhadap bank sebagai lembaga pemberi kredit, tetapi juga terhadap nasabah penerima kredit, karena itu bagaimanapun juga kredit itu harus diselesaikan dengan berbagai cara. Jika kredit menjadi kredit bermasalah, dalam arti macet, maka secara tidak langsung juga akan merugikan masyarakat pemilik dana. Kata “masalah” berarti adanya suatu kesulitan yang memerlukan pemecahan atau suatu

kendala yang menggangu pencapaian tujuan atau kinerja yang optimal.8

Dengan demikian, pemberian fasilitas kredit haruslah berdasarkan suatu kepercayaan (trust), yaitu fasilitas yang diberikan tersebut digunakan untuk tujuan yang sesuai dengan permohonan calon debitur. Bagi bank, pemberian fasilitas kredit tersebut dapat kembali dengan aman dan menguntungkan. Arus dasar dalam pemberian kredit demikian merupakan

suatu keniscayaan dalam dasar-dasar pemberian fasilitas kredit.9

8

As. Mahmoedin, “Melacak Kredit Bermasalah”. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. 2002. Halaman 1

9 Tri Widiyono, “Agunan Kredit Dalam Financial Engineering”. Ghalia Indonesia,


(16)

Salah satu bank yang memfasilitasi pemberian kredit tersebut adalah Bank BTN Cabang Pemuda Medan. Adapun yang mendasari untuk memilih Bank BTN Cabang Pemuda sebagai lokasi penelitian terkait judul yang diangkat penulis adalah Bank BTN merupakan salah satu bank umum yang menyelenggarakan beberapa program kredit. Salah satu dari program kredit yang dikeluarkan diantaranya adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR), yakni kredit modal kerja atau investasi kepada debitur yang bergerak dalam bidang usaha yang menurut skalanya berstatus sebagai usaha mikro,

kecil dan menengah guna pembiayaan usaha produktif.10

Pada perjalanan proses perkreditan ini tentunya tidak terlepas dari apa yang disebut dengan kredit macet sebagai risiko dari kegiatan usaha perbankan pada umumnya. Berdasarkan laporan keuangan BTN 2013 (audited), rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) net bank tersebut mencapai 3,04% dan NPL gross sebesar 4,05%, tertinggi di antara 3 BUMN lainnya, yaitu NPL Bank Mandiri yang sebesar 0,58%, NPL BNI 0,5%, dan NPL BRI 0,34%.

Program Kredit Usaha Rakyat ini dilakukan dalam rangka pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK), penciptaan lapangan kerja, dan penanggulangan kemiskinan. Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) sendiri dilaksanakan oleh beberapa bank umum saja dan salah satunya adalah Bank BTN Cabang Pemuda Medan yang dipilih sebagai lokasi penelitian.

10 http://www.btn.co.id/Produk/Produk-Kredit/Kredit-Umum---Korporasi/Kredit-Yasa-Griya---Kredit-Konstruksi-(1).aspx (akses 8 April 2015)


(17)

Nilai kredit macet BTN juga terus membesar setiap tahun. Sejak tahun 2009-2013, kredit macet yang masuk kolektibilitas 5 naik dari hanya Rp

1,06 triliun (2009) menjadi Rp 3,15 triliun.11 Namun Perseroan (Bank

BTN) berhasil memperbaiki tingkat kesehatannya dengan meningkatkan kualitas kredit. Hal itu tercermin pada trend penurunan rasio kredit yang berpotensi macet atau non performing loan (NPL) di level 4,85% (gross) atau 3,63% (net). Kondisi ini menjadi catatan positif perseroan ketika trend NPL industri perbankan yang justru meningkat. Penurunan NPL tersebut dikontribusi oleh perbaikan kualitas kredit konstruksi dan

KPR tanpa melakukan write off.12 Kualitas asset kredit Bank BTN tercatat

cukup baik. Hal ini tercermin dari asset recovery Bank BTN yang berhasil dilakukan oleh perseroan selama ini. Pada 30 Desember 2013 total outstanding kredit NPL tercatat sekitar Rp.4 Triliun. Tahun 2014 perseroan mempunyai target dapat melakukan recovery sekitar Rp.1 Triliun. Pada Kuartal III tahun 2014 recovery asset telah mencapai

sebesar Rp.831 Milyar.13

Berdasarkan uraian latar belakang dan beberapa alasan di atas, maka mendorong untuk mengadakan penelitian dengan judul: “Upaya

11

http://finance.detik.com/read/2014/05/05/071445/2572853/5/kredit-macet-tinggi-btn-ditegur-ojk (akses pada 21 Juni 2015)

12

Write off atau Hapus buku adalah tindakan administratif Bank antara lain untuk menghapus buku Kredit macet dari neraca sebesar kewajiban debitur tanpa menghapus hak tagih Bank kepada debitur. Republik Indonesia, “Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012

Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum.” Penjelasan Pasal 66 ayat (1). (Selanjutnya

disingkat Republik Indonesia-I)

13 http://www.btn.co.id/ContentPage/Berita/Kredit-Tumbuh-dan-NPL-Turun.aspx (akses


(18)

Penyelesaian Kredit Macet dalam Kredit Usaha Rayat (KUR) pada Bank (Studi pada Bank BTN Cabang Pemuda Medan)”.

B. Rumusan Permasalahan

Berkaitan dengan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas dan berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, serta penelaahan terhadap perundang-undangan yang ada, serta dari berbagai literatur yang ada, maka permasalahan-permasalahan yang hendak dikemukakan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana syarat dan prosedur pemberian Kredit Usaha Rakyat

(KUR) pada Bank BTN Cabang Pemuda Medan?

2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kredit macet

pada kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank BTN Cabang Pemuda Medan?

3. Apakah upaya yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan kredit

macet pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank BTN Cabang Pemuda Medan?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi tujuan dalam skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui syarat dan prosedur pemberian Kredit Usaha


(19)

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kredit macet pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank BTN Cabang Pemuda Medan.

3. Untuk mengetahui upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk

menyelesaikan kredit macet pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) beserta kendala yang dialami Bank BTN Cabang Pemuda Medan.

D. Manfaat Penulisan

1. Secara Teoritis

Hasil dari penelitian yang dituangkan dalam skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum di Indonesia, terutama menunjang pengembangan ilmu pengetahuan hukum di bidang hukum keperdataan dan lebih khususnya dalam lingkup hukum perjanjian. Diharapkan skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan memberikan gambaran yang nyata kepada kalangan masyarakat Indonesia mengenai Perbankan dan Kredit untuk menunjang perekonomian rakyat yang sejahtera dan makmur.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan dan saran kepada setiap orang yang ingin melakukan pengajuan kredit perbankan, terutama Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk mengembangkan usahanya. Serta diharapkan agar pembaca


(20)

dapat mengetahui pengaturan hukum dalam perjanjian kredit perbankan di Indonesia.

E. Keaslian Penulisan

Upaya Penyelesaian Kredit Macet dalam Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada Bank (Studi pada Bank BTN Cabang Pemuda Medan) yang diangkat penulis sebagai judul skripsi ini telah diperiksa, dan tidak ada judul yang sama pada Arsip Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum USU / Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum USU. Tema di atas adalah hasil pemikiran sendiri dibantu dengan referensi, buku-buku, dan informasi media elektronik.

Data yang dipakai guna melengkapi penulisan skripsi ini memanfaatkan informasi dari berbagai media, baik cetak maupun internet, sehingga data yang dipakai adalah data yang mutakhir. Dengan demikian, keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian dalam konteks ini menjelaskan secara rinci langkah-langkah yang akan ditempuh dalam melakukan penelitian untuk menjawab permasalahan yang ditetapkan, sejak dari penentuan jenis penelitian, sumber data yang dijadikan pokok penelitian (bahan hukum primer, sekunder, dan tertier), penentuan populasi dan sampel apabila dianggap perlu, teknik pengumpulan data, baik data kepustakaan dan / atau


(21)

dokumen maupun data lapangan yakni melalui observasi dan / atau

wawancara.14

1. Tipe Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini mencakup hal-hal sebagai berikut:

Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif, yang selain mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat, juga melihat sinkronisasi suatu aturan dengan aturan lainnya secara

hierarki.15

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian deskriptif analitis yang merupakan penelitian yang menggambarkan masalah dengan cara menjabarkan fakta

secara sistematik, faktual dan akurat.16

3. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung dengan pihak terkait dengan

14

Zainuddin Ali, “Metode Penelitian Hukum”. Sinar Grafika, Jakarta. 2009. Halaman 174

15 Ibid., Halaman 175

16 Bambang Sunggono, “Metodologi Penelitian Hukum”, Radja Grafindo Persada, Jakarta.


(22)

permasalahan dalam penelitian ini. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, dan peraturan perundang-undangan.

Data sekunder tersebut dapat dibagi menjadi:

a. Bahan Hukum Primer, yakni Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, serta Undang Nomor 7 tahun 1992 juncto Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan Indonesia, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan objek penelitian;

b. Bahan Hukum Sekunder, yakni buku-buku, dokumen resmi,

tulisan-tulisan ilmiah hukum yang terkait dengan objek penelitian;

c. Bahan Hukum Tertier, yakni bahan yang isinya

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun sekunder.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode penelitian kepustakaan (library research) yang menggunakan data yang bersumber dari peraturan perundang-undangan buku-buku, dokumen resmi, publikasi, dan tulisan ilmiah hukum yang relevan dengan penelitian ini. Selain itu dilakukan juga


(23)

wawancara dengan pihak Bank BTN Cabang Pemuda Medan dalam hal ini Ibu Erika Rizki Prawitasari selaku karyawan bagian analisis kredit untuk mendapatkan fakta di lapangan.

5. Teknik Analisis Data

Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian bersifat deskriptif analitis, analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder. Deskriptif tersebut meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan gambaran isi dari sebuah skripsi. Sistematika penulisan skripsi ini terbagi dalam bab-bab yang menguraikan sebelumnya secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Penulis membuat sistematika dengan membagi keseluruhan ke dalam lima bab yang terperinci.

Adapun sistematika penulisan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN


(24)

hal yang bersifat umum serta alasan pemilihan judul, permasalahan, tujuan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan, serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

Dalam bab ini dipaparkan tentang pengertian perjanjian, syarat-syarat sahnya perjanjian, jenis-jenis dan asas-asas perjanjian, wanprestasi dan akibat-akibatnya, pembelaan debitur wanprestasi, dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).

BAB III TINJAUAN MENGENAI KREDIT PADA BANK

Dalam bab ini dipaparkan mengenai bank secara umum, kredit, prinsip pemberian kredit pada bank, perjanjian kredit dan jaminan kredit, dan kredit bermasalah dalam perbankan.

BAB IV UPAYA PENYELESAIAN KREDIT MACET DALAM

KREDIT USAHA RAKYAT PADA BANK (STUDI PADA BANK BTN CABANG PEMUDA MEDAN) Dalam bab ini dipaparkan mengenai gambaran umum mengenai Bank Tabungan Negara, syarat serta prosedur pemberian kredit usaha rakyat pada bank, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kredit macet dalam kredit usaha rakyat, dan upaya penyelesaian kredit macet dalam kredit usaha rakyat pada bank.


(25)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab penutup ini diuraikan mengenai kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang dikemukakan serta saran atas permasalahan tersebut.


(26)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Dalam praktik istilah kontrak atau perjanjian terkadang masih dipahami secara rancu. Banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan pengertian yang berbeda. Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disingkat BW) menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama. Hal ini secara jelas dapat disimak dari judul Buku III titel Kedua tentang “Perikatan-perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Perjanjian” yang dalam bahasa aslinya (bahasa Belanda), yaitu: “Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden”. Pengertian ini juga didukung pendapat banyak sarjana, antara lain: Jacob Hans Niewenhuis, Hofmann, J. Satrio, Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Mariam Darus Badrulzaman, Purwahid Patrik, dan Tirtodiningrat. Yang menggunakan istilah kontrak

dan perjanjian dalam pengertian yang sama.17

Subekti mempunyai pendapat yang berbeda mengenai istilah “perjanjian atau persetujuan” dengan “kontrak”. Menurut Subekti istilah kontrak mempunyai pengertian lebih sempit karena ditunjukan kepada

perjanjian atau persetujuan yang tertulis.18

17

Agus Yudha Hernoko, “Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

Komersial”. Kencana, Jakarta. 2010. Halaman 13

18

Subekti,“Hukum Perjanjian”. Intermasa, Jakarta. 1996. Halaman 1(selanjutnya disingkat Subekti-III)


(27)

tidak memberikan pembedaan antara kontrak dengan perjanjian, namun membedakan pengertian contract dengan convention (pacte). Disebut convention (pacte) yaitu perjanjian dimana dua orang atau lebih menciptakan, menghapuskan (opheffen), atau mengubah (wijzegen) perikatan. Sedangkan contract adalah perjanjian yang mengharapkan

terlaksananya perikatan.19

Terhadap penggunaan istilah kontrak dan perjanjian, Agus Yudha Hernoko sependapat dengan beberapa sarjana yang memberikan pengertian sama antara kontrak dengan perjanjian. Halini disebabkan fokus kajian beliau berdasarkan pada perspektif Burgerlijk Wetboek (BW), di mana antara perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) mempunyai pengertian yang sama dengan kontrak (contract). Selain itu, dalam praktik kedua istilah tersebut juga digunakan dalam kontrak komersial, misal: perjanjian waralaba, perjanjian sewa guna usaha, kontrak kerjasama, perjanjian kerja sama, kontrak kerja konstruksi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini kedua istilah tersebut akan digunakan bersama-sama, hal ini bukan berarti menunjukkan adanya inkonsistensi penggunaan istilah, namun semata-mata memudahkan pemahaman terhadap rangkaian kalimat

yang disusun.20

Sebagaimana telah dijelaskan di muka, perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban

19

Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., Halaman 14 20


(28)

yang dibebankan pada debitor dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditor dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian adalah pelaksanaan dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut. Dalam hal debitor tidak melaksanakan perjanjian yang telah disepakati tersebut, maka kreditor beerhak menuntut pelaksanaan kembali perjanjian yang belum, tidak sepenuhnya, atau tidak sama sekali dilaksanakan atau yang telah dilaksanakan secara bertentangan atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, dengan atau tidak disertai dengan penggantian berupa bunga,

kerugian, dan biaya yang telah dikeluarkan oleh kreditor.21

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata merumuskan tentang “kontrak atau perjanjian” adalah sebagai berikut:

22

Subekti memberikan definisi “perjanjian” adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling

berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 23

21

Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, “Perikatan yang Lahir dari Perjanjian”. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2003. Halaman 91(Selanjutnya disingkat Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja -I)

22

Subekti-I, Op. Cit., Halaman 338 23

Ibid.

Sedangkan KRMT Tirtodiningrat memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk


(29)

menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh

undang-undang.24

Jika kita perhatikan dengan saksama, rumusan yang diberikan

dalam pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana salah satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu

atau lebih badan hukum.25

Sedangkan menurut R. Setiawan rumusan yang terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata selain tidak lengkap juga sangat luas. Perumusan tersebut dikatakan tidak lengkap karena hanya menyangkut persetujuan “perbuatan” maka didalamnya tercakup pula perwakilan sukarela (zaakwaarneming) dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).

24

A. Qirom Syamsudin Meliala, “Pokok-pokok Hukum Perikatan Beserta

Perkembangannya”. Liberty, Yogyakarta. 1985. Halaman 8

25


(30)

Sehubungan dengan hal itu, maka beliau mengusulkan untuk diadakan

perbaikan mengenai definisi perjanjian tersebut yaitu menjadi:26

1) Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu

perbuatan subjek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki oleh subjek hukum.

2) Menambahkan perkataan “atau lebih saling mengikatkan dirinya”

dalam Pasal 1313 KUH Perdata.

Atas dasar alasan-alasan tersebut yang dikemukakan di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Sehingga dapat mencerminkan apa yang dimaksud perjanjian itu adalah “Suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat diketahui bahwa

dalam suatu perjanjian itu terkandung adanya beberapa unsur, yaitu:27

1) Essentialia

Unsur ini mutlak harus ada agar perjanjian sah (merupakan syarat sahnya perjanjian).

2) Naturalia

Yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian.

26

R. Setiawan,” Pokok-Pokok Hukum Perikatan”. Putra A. Bardin, Bandung, 1999. Halaman 49

27

Sudikno Mertokusumo, “Mengenal Hukum (Suatu Pengantar)”. Liberty, Yogyakarta, 1988. Halaman 98


(31)

3) Accidentalia

Yakni unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas dalam perjanjian.

B. Syarat-syarat Sah Perjanjian

Syarat-syarat sahnya perjanjian dapat kita temukan dalam ketentuan pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi:

“untuk syarat sahnya perjanjian diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.”28

Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam:

1. Dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang

mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan

2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan

obyek perjanjian (unsur obyektif).

Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa

28


(32)

dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran dalam unsur subyektif) maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan

yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan

pelaksanaannya.29

1. Syarat Subyektif

a. Kesepakatan Bebas

Pasal 1320 BW syarat 1 mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai salah satu keabsahan kontrak. Keabsahan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan pihak yang satu “cocok” atau bersesuaian dengan pernyataan pihak yang lain. Pernyataan kehendak tidak selalu harus dinyatakan secara tegas namun dapat dengan tingkah laku atau hal-hal lain yang mengungkapkan pernyataan kehendak para

pihak.30

29

Op. Cit., Halaman 93 30


(33)

Jika kita baca dan perhatikan dengan seksama ketentuan yang diatur dalam Pasal 1321 hingga Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka kita tidak akan menemui pengertian, definisi, atau makna dari kesepakatan bebas. Menurut ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, secara a contrario, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya keepakatan bebas dianggap telah terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan, maupun penipuan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang lengkapnya berbunyi:

“Tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.”

Kesepakatan merupakan pernyataan kehendak para pihak dibentuk dua unsur, yaitu unsur penawaran dan penerimaan. Penawaran (aanbod; offerte; offer) diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian. Unsur ini mencakup esensialia perjanjian yang akan ditutup. Sedangkan penerimaan (aanvarding; acceptatie; acceptance) merupakan pernyataan setuju pihak lain yang ditawari.


(34)

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak. Pernyataan yang disampaikan tersebut dikenal dengan nama “penawaran”. Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya tersebut. Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran selanjutnya harus menentukan apakah ia harus menerima penawaran yang disampaikan oleh pihak yang melakukan penawaran tersebut. Dalam hal pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran menerima penawaran yang diberikan maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran tidak menyetujui penawaran yang disampaikan tersebut, maka ia dapat mengajukan penawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat


(35)

dipenuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat dilaksanakan dan diterima olehnya. Dalam hal yang demikian maka kesepakatan belum tercapai. Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Saat penerimaan yang paling akhir dari serangkaian penawaran atau bahkan tawar-menawar yang disampaikan dan dimajukan

oleh para pihak adalah saat tercapainya kesepakatan.31

b. Kecakapan untuk Bertindak

Kecakapan (bekwaamheid capacity) yang dimaksud

dalam Pasal 1320 BW syarat 2 adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari standar berikut ini:

a. Person (pribadi), diukur dari standar usia kedewasaan (meerderjaring); dan

31


(36)

b. Rechtspersoon (badan hukum), diukur dari aspek

kewenangan (bevoegheid).32

Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat subyektif kedua terbentuknya perjanjian yang sah di antara para pihak. Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum, meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat dilupakan. Dapat saja seseorang yang cakap bertindak dalam hukum tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Dan sebaliknya orang yang dianggap berwenang untuk bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata, karena suatu hal, menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum. Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, baru kemudian dicari tahu apakah orang perorangan yang cakap bertindak dalam hukum tersebut, juga berwenang

32


(37)

untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum

tertentu.33

Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum bagi person pada umumnya diukur dari standar usia dewasa atau cukup

umur (bekwaamheid meerderjarig). Pada satu sisi sebagian

masyarakat masih menggunakan standar usia 21 tahun sebagai titik tolak kedewasaan seseorang dengan landasan Pasal 1330 BW jo. 330 BW. Sementara pada sisi lain mengacu pada standar usia 18 tahun, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 47 jo. 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.34

Rumusan tersebut membawa arti positif, bahwa selain dinyatakan tidak cakap maka setiap orang adalah cakap dan

Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri pribadi orang-perorangan ini diatur dalam Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:

“Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.”

33

Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja-I, Op. Cit., Halaman 126 34


(38)

berwenang untuk bertindak dalam hukum. Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan limitasi orang-orang mana saja yang dianggap tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, dengan menyatakan bahwa:

Tidak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah:

1. anak yang belum dewasa;

2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan;

3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang

telah ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat perjanjian tertentu.

Dalam hal ini, sejalan dengan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, maupun yang sudah menikah maupun yang belum menikah, maka ketentuan angka 3 dari Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjadi tidak berarti lagi.35

hal kedua membawa konsekuensi hukum bahwa seorang anak yang sudah menikah tetapi kemudian Ketentuan pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan arti yang luas mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa:

1. seseorang baru dikatakan dewasa jika ia: a. telah berumur 21 tahun; atau

b. telah menikah;

35


(39)

perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa.

2. anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh:

a. orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih

berada di bawah kekuasaan orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);

b. walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi

berada di bawah kekuasaan orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja).

Dengan berlakunya Undang-Undang perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang dalam rumusan Pasal 50-nya menyatakan bahwa:

(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas)

tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.

(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan

maupun harta bendanya.

Kedewasaan seseorang dimulai pada umur 18 tahun, yang menggantikan berlakunya ketentuan serupa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan usia 21 tahun untuk menetukan saat kedewasaan seseorang. Dengan demikian maka, setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan No, 1 Tahun 1974, kecakapan bertindak orang pribadi dan kewenangannya untuk melakukan tindakan hukum ditentukan sebagai berikut:


(40)

1. Jika seseorang:

a. Telah berumur 18 tahun; atau

b. Telah menikah

c. Seseorang yang telah menikah tetapi kemudian

perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa.

2. Seorang anak yang belum mencapai usia 18 tahun dan

belum menikah, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh:

a. Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di

bawah kekuasaan orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);

b. Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di

bawah kekuasaan orang tuanya (artinya hanya ada

salah satu dari orang tuanya saja).36

Telaah kritis terkait standar usia dewasa dapat dilakukan melalui pengujian asas-asas hukum maupun interpretasi komrehensif terhadap muatan materi beberapa ketentuan terkait. Asas hukum lex specialis, lex posteriori digunakan untuk menyelesaikan konflik norma, sedang interpretasi komprehensif untuk memahami muatan materi serta maksud pembuat undang-undang. Melalui pengujian tersebut diharapkan muncul satu pemahaman utuh dan konsisten, khususnya bagi pihak-pihak yang sementara ini masih

menganut paradigma lama.37

36

Ibid., Halaman 129 37

Agus Yudha Hernoko, Loc. Cit.

Selanjutnya mengenai perwalian, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditentukan bahwa perwalian dapat dilaksanakan oleh:


(41)

1. Suami atau isteri yang hidup paling lama, yang diatur dalam Pasal 345 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2. Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan

surat wasiat atau akta tersendiri, yang diatur dalam pasal 355 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

3. Perwalian yang diangkat oleh hakim, yang diatur dalam

Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.38

Ketentuan mengenai pengampuan dapat ditemukan dalam rumusan pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa:

“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya.

Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.”

Selanjutnya ketentuan Pasal 436 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:

“Segala permintaan akan pengampuan, harus dimajukan kepada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya orang yang dimintakan pengampuan berdiam.” Dengan diletakkannya seseorang di bawah pengampuan, maka orang tersebut mempunyai kedudukan yang sama seperti seorang yang belum dewasa. Orang tersebut menjadi tidak cakap untuk bertindak, untuk melakukan perbuatan hukum. Semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh yang berada di

38


(42)

bawah pengampuan membawa akibat kebatalan terhadap perbuatan hukum yang dilakukan olehnya tersebut. Khusus seseorang yang ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya, maka pengampuan hanya meliputi tindakan atau perbuatan hukumnya dalam lapangan hukum harta kekayaan, serta tidak meliputi tindakan atau perbuatan hukum dalam lapangan hukum pribadi.

Dengan diletakkannya orang-orang tersebut dalam Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di bawah pengampuan, maka segala tindakan orang-orang yang berada di bawah pengampuan tersebut harus dilaksanakan oleh pengampunya, yang demi hukum bertindak untuk dan atas

nama orang yang diampu oleh pengampu tersebut.39

2. Syarat Obyektif

a. Hal Tertentu dalam Perjanjian

1) Objek Perjanjian

Jika undang-undang berbicara tentang “objek perjanjian” (het onderwerp der overeenkomst), kadang yang dimaksudkan ialah “pokok perikatan” (het voorwerp der verbintenis) atau prestasi dan kadang juga diartikan sebagai “pokok prestasi” (het voorwerp der prestatie).

39


(43)

Sebagaimana disebutkan di dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang dimaksud dengan “suatu hal tertentu” tidak lain adalah apa yang menjadi kewajiban dari debitor dan apa yang menjadi hak dari kreditor. Sejalan dengan pendapat itu ialah pendapat dari Asser Rutten. Ia menyatakan bahwa “suatu hal tertentu” sebagai objek perjanjian dapat diartikan sebagai keseluruhan hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian. Pendapat tersebut memiliki dasar historis dan juga sejalan dengan ketentuan

Pasal 1332−1334 KUHPerdata.

Menurut tradisi, untuk sahnya suatu perjanjian, maka objek perjanjian haruslah:

a) Dapat ditentukan;

b) Dapat diperdagangkan;

c) Mungkin dilakukan; dan

d) Dapat dinilai dengan uang.

Tuntutan dari undang-undang adalah objek perjanjian haruslah tertulis. Setidaknya objek perjanjian cukup dapat ditentukan. Tujuan dari suatu perjanjian adalah untuk timbulnya/terbentuknya, berubah, atau berakhirnya suatu perikatan. Perjanjian tersebut mewajibkan kepada (para) pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu,


(44)

atau tidak berbuat sesuatu (prestasi). Pada akhirnya,

kewajiban tersebut haruslah dapat ditentukan.40

Namun demikian, ini tidak berarti barang untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi pokok perjanjian. Perjanjian antara kotamadya dan pemborong untuk pekerjaan pemasangan pipa air leding atau pembuat gorong-gorong tidaklah dapat digolongkan ke dalam perjanjian yang dimaksudkan Pasal 1332 KUHPerdata. Pada umumnya, sepanjang pokok perjanjian berkaitan dengan kepentingan umum, maka perjanjian tersebut prestasinya adalah untuk melakukan sesuatu, sedangkan untuk prestasi memberikan sesuatu, sehubungan dengan dialihkannya barang untuk kepentingan umum tersebut, maka itu harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pasal1332 KUHPerdata menyebutkan bahwa:

“Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan.”

41

40

Herlien Budiono, “Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang

Kenotariatan”. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011. Halaman 107

41


(45)

2) Barang yang Baru Akan Ada

Barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat pula menjadi pokok perjanjian. Kemungkinan ini dibuka di dalam Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata. Pengertian “barang-barang yang baru akan ada” mengacu pada pengertian bahwa barang tersebut belum ada. Ini terjadi dalam hal orang memesan pada perusahaan mebel untuk dibuatkan sebuah lemari dan dikenal dengan sebutan barang yang baru ada bersifat obyektif. Sebaliknya barang yang akan ada bersifat subyektif adalah barang yang belum menjadi miliknya.

Dalam kaitannya dengan “barang-barang yang baru akan ada”, ketentuan Pasal 1334 ayat (2) KUHPerdata mengatur mengenai larangan memperjanjikan warisan yang belum jatuh terbuka, yaitu:

a) Melepaskan/menolak suatu warisan yang belum

jatuh terbuka. Ketentuan yang senada terdapat pula pada pasal 1063 KUHPerdata, perjanjian antara calon ahli waris dan calon pewaris agar pada waktu pewaris meninggal dunia ahli waris yang bersangkutan akan menolak warisan pewaris di pengadilan negeri.

b) Minta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan

sekalipun dengan persetujuan dari orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian; perjanjian yang mengatur bagian warisan yang akan diwarisi oleh salah satu pihak.

c) Semuanya itu dengan tidak mengurangi


(46)

Akibat dibuatnya perjanjian-perjanjian tersebut adalah batal

demi hukum.42

b. Sebab yang Halal

Syarat keempat untuk sahnya perjanjian adalah suatu sebab yang halal atau kausa yang halal. Ketentuan Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa:

“Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai

kekuatan (hukum). Dengan kata lain, batal demi hukum.”43

1) Tidak mempunyai kausa

Adapun sebab yang diperbolehkan maksudnya adalah bahwa apa yang hendak dicapai para pihak dalam perjanjian atau kontrak tersebut harus disertai itikad baik dan tidak bertentangna dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan.

Selanjutnya dalam 1337 KUHPerdata ditegaskan bahwa, “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”

Berdasarkan kedua pasal di atas, suatu kontrak tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (batal), apabila kontrak tersebut:

42

Ibid., Halaman 110 43


(47)

2) Kausanya palsu

3) Kausanya bertentangan dengan undang-undang

4) Kausanya bertentangan dengan kesusilaan

5) Kausanya bertentangan dengan ketertiban umum. 44

C. Asas-asas Perjanjian dan Jenis-jenis Perjanjian

1. Asas-asas Perjanjian

Beberapa asas yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu:

a. Asas konsensualitas

Asas ini berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian. Kata konsensualisme berasal dari kata consensus yang berarti sepakat. Hal ini berarti bahwa pada asasnya suatu perjanjian timbul sejak saat tercapainya konsensus atau kesepakatan atau kehendak yang bebas antara para pihak yang melakukan perjanjian.

Asas konsensualitas ini tercermin dalam unsur pertama. Pasal 1320 KUH Perdata yang menyebutkan “sepakat mereka yang mengikatkan diri”, artinya dari asas ini menurut Subekti adalah “pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan”, sedangkan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas

44


(48)

konsensualisme mempunyai arti yang terpenting, yaitu bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya kata sepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut, dan bahwa perjanjian sudah lahir pada saat atau detik tercapainya consensus.45

Eggens dalam Ibrahim menyatakan asas konsensualitas

merupakan suatu puncak peningkatan manusia yang tersirat dalam pepatah; een man een man een word een word. Selanjutnya dikatakan olehnya bahwa ungkapan “orang harus dapat dipegang ucapannya” merupakan tuntutan kesusilaan, akan tetapi Pasal 1320 KUHPerdata menjadi landasan hukum untuk penegakkannya. Tidak dipenuhinya syarat konsensualisme dalam perjanjian menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan, karena tidak memenuhi

syarat subyektif.46

b. Asas Kekuatan Mengikatnya Perjanjian (Pacta Sunt Servanda)

Asas mengikatnya perjanjian adalah suatu asas yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat mereka yang membuat sebagai undang-undang. Dengan demikian para pihak terikat dan harus melaksanakan perjanjian yang telah disepakati bersama, seperti hal keharusan untuk menaati

45

R. Subekti, “Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional”. Alumni, Bandung, 1986. Halaman 5 (Selanjutnya disingkat Subekti-IV)

46

Johanes Ibrahim, “Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan


(49)

undang.47

Asas kekuatan mengikatnya perjanjian ini disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya." Dijelaskan oleh Sudikno Mertokusumo, bahwa bunyi lengkap adagium tersebut adalah Pacta nuda servanda sunt, yang mempunyai arti bahwa kata sepakat tidak perlu dirumuskan dalam bentuk sumpah, perbuatan

atau formalitas tertentu agar menjadi kewajiban yang mengikat.48

c. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak (contacts vrijheid atau partij-autonomie) adalah suatu asas yang menetapkan bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja, bebas untuk menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian. Asas ini disimpulkan juga dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan: "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya." Subekti mengatakan, bahwa dengan menekankan pada kata "semua", maka ketentuan tersebut seolah-olah berisikan pernyataan pada masyarakat bahwa, setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan

47

J. Satrio, “Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku I”. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. Halaman 142 (selanjutnya disingkat Satrio-I)

48


(50)

berisi apa saja baik yang sudah diatur ataupun yang belum diatur

dalam undang-undang.49

d. Asas Itikad Baik dan Kepatutan

Asas ini menegaskan bahwa para pihak dalam membuat perjanjian harus didasarkan pada itikad baik dan kepatutan, yang mengandung pengertian pembuatan perjanjian antara para pihak harus didasarkan pada kejujuran untuk mencapai tujuan bersama. Pelaksanaan perjanjian juga harus mengacu pada apa yang patut dan seharusnya diikuti dalam pergaulan masyarakat. Asas itikad baik dan kepatutan berasal dari hukum Romawi, yang kemudian dianut oleh Civil Law, bahkan dalam perkembangannya juga dianut oleh beberapa negara berfaham Common Law.

Pengertian itikad baik dan kepatutan berkembang sejalan dengan perkembangan hukum untuk Romawi, yang semula hanya memberikan ruang bagi kontrak-kontrak yang telah diatur dalam undang-undang (iudicia stricti iuris yang bersumber pada Civil Law). Di terimanya kontrak-kontrak yang didasarkan pada bonae fides yang mengharuskan diterapkannya asas itikad baik dan

kepatutan dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian.50

Masalah yang muncul, hingga saat ini belum satu kata untuk memberikan dasar yang tepat sebagai patokan apakah

49

Subekti-III, Op. Cit., Halaman 14 50

Ridwan Khairandi, “Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak”. Universitas Indonesia, 2003. Halaman 131.


(51)

perjanjian telah dilaksanakan atas dasar itikad baik dan kepatutan atau belum. Prakteknya diserahkan kepada hakim untuk menilai hal tersebut. Hal ini juga terjadi di negara-negara Anglo Saxon, hakim-hakim di negara-negara Anglo Saxon belum mempunyai standar yang telah disepakati untuk mengukur asas tersebut. Biasanya frase itikad baik dan kepatutan selalu dikaitkan dengan makna fairness, reasonable standard of dealing, a common ethical sense.51

2. Jenis-jenis Perjanjian

Menurut Satrio jenis-jenis perjanjian dibagi dalam lima jenis,

yaitu:52

a. Perjanjian Timbal balik dan Perjanjian Sepihak

Perjanjian timbal balik (Bilateral Contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Jenis perjanjian ini yang paling umum terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu.

51

Ibid., Halaman 130 52

J. Satrio, “Hukum Perjanjian”. Aditya Bhakti, Bandung, 1992. Halaman 31 (selanjutnya disingkat Satrio-II)


(52)

b. Perjanjian Percuma dan Perjanjian dengan Atas Hak yang Membebani

Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan kepada satu pihak saja. Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

c. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian khusus, dan jumlahnya terbatas. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.

d. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligator

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligator.

Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadinya perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak untuk menuntut


(53)

penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga, pembeli berkewajiban untuk menyerahkan barang.

Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian itu ada penyerahan (leverring) sebagai realisasi perjanjian dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.

e. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Real

Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak.

Perjanjian real adalah perjanjian di samping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata dari barangnya.

D. Wanprestasi dan Akibat-akibatnya

Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Wanprestasi dapat berupa tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya, melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat, melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Pakar hukum pidana Yahya Harahap mengartikan wanprestasi dengan pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian, atau meminta ganti kerugian pada debitur.


(54)

Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul akibat wanprestasi tersebut, serta bunga. Pengertian bunga di sini adalah hilangnya keuntungan yang sudah diperkirakan atau dibayangkan oleh kreditur seandainya tidak terjadi wanprestasi.

Kewajiban debitur untuk membayar ganti rugi tidak serta merta timbul pada saat dirinya lalai. Karena itu, harus ada pernyataan lalai terlebih dahulu yang disampaikan oleh kreditur ke debitur (Pasal 1238 jo. Pasal 1243 KUHPerdata).

Untuk menghindari celah yang mungkin bisa dimanfaatkan debitur, ada baiknya kreditur membuat secara tertulis pernyataan lalai tersebut atau bila perlu melalui suatu peringatan resmi yang dibuat oleh juru sita

pengadilan.53

Wanprestasi adalah suatu istilah yang menunjuk pada

ketiadalaksanaan prestasi oleh debitur. 54

1. Karena kesalahan pihak debitur, baik karena kesengajaan maupun

kelalaian (wanprestasi).

Dalam suatu perjanjian diharapkan prestasi yang telah disepakati akan terpenuhi. Namun demikian ada kalanya prestasi tersebut tidak terpenuhi. Adapun tidak terpenuhinya prestasi ada dua kemungkinan, yaitu:

53

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan-melawan-hukum-dan-wanprestasi-sebagai-dasar-gugatan (akses pada 30 April 2015)

54

Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, “Perikatan Pada Umumnya”. Rajawali Persada, Jakarta, 2003. Halaman 69 (selanjutnya disingkat Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja-II)


(55)

2. Karena keadaan memaksa, di luar kemampuan debitur. Jadi debitur tidak bersalah (overmacht ).

Ada tiga kemungkinan bentuk-bentuk tindakan wanprestasi sebagaimana dikatakan oleh J. Satrio, yaitu jika:

1) Debitur sama sekali tidak berprestasi;

2) Debitur keliru berprestasi;

3) Debitur terlambat berprestasi.55

Adapun yang dijadikan ukuran untuk menentukan debitur bersalah (wanprestasi) atau tidak adalah dalam keadaan bagaimanakah seorang debitur dikatakan sengaja atau lalai tidak berprestasi. Di dalam hal ini menurut Subekti terdapat empat macam dikatakan keadaan wanprestasi

dari seorang debitur, yaitu:56

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukannya (tidak

memenuhi kewajibannya)

2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana

yang dijanjikan.

3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat (terlambat

memenuhi kewajibannya)

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

melakukannya (memenuhi tetapi tidak seperti yang diperjanjikan). Wanprestasi ini ada kalau debitur tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksananya prestasi sebagaimana yang diperjanjikan adalah diluar kesalahannya, jadi wanprestasi itu terjadi karena debitur mempunyai

kesalahan.57

55

J. Satrio-I, Op. cit., Halaman 122 56

R. Subekti, “Aneka Perjanjian”. Alumni, Bandung, 1981. Halaman 57 (selanjutnya disingkat Subekti-V)

57


(56)

Apabila terjadi wanprestasi, maka kreditur mempunyai beberapa pilihan atas berbagai macam kemungkinan tuntutan. Kemungkinan pilihan

tersebut adalah berupa tuntutan:58

1) Pemenuhan perjanjian;

2) Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;

3) Ganti rugi saja;

4) Pembatalan perjanjian;

5) Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi.

Tuntutan-tuntutan tersebut tidak lain dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kreditur, agar dapat mempertahankan kepentingannya terhadap debitur yang tidak jujur. Namun demikian, hukum juga memperhatikan dan memberikan perlindungan bagi debitur yang tidak memenuhi kewajibannya, jika hal itu terjadi bukan karena kesalahan atau akibat kelalaiannya.

E. Pembelaan Debitur Wanprestasi

Menurut Subekti seorang debitur yang dituduh lalai, dapat mengajukan beberapa alasan untuk membebaskan diri, pembelaan tersebut

yaitu:59

1. Mengadakan pembelaan adanya keadaan memaksa (overmacht atau

force majeur).

58

Subekti-III, Op. Cit., Halaman 53 59


(57)

Dengan mengajukan pembelaan ini, debitur berusaha menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi.

2. Mengajukan bahwa kreditur sendiri juga telah lalai (exceptionon

adimpleti contractus).

Mengenai pembelaan semacam ini, tidak disebutkan dalam suatu undang-undang. Akan tetapi prinsip mengenai pembelaan semacam ini dijelaskan pada pasal 1478 KUHPerdata yang isinya adalah: “Si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya, jika si pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak mengizinkan penundaan pembayaran tersebut.”

3. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut

ganti rugi (rechtsverwerking).

Alasan lain yang dapat membebaskan debitur yang dituduh melakukan kelalaian dalam melaksanakan prestasi dan memberikan alasan untuk menolak pembatalan perjanjian adalah pelepasan hak atau rechtsverwerking. Maksud dari hal tersebut adalah suatu sikap dari pihak kreditur yang dapat disimpulkan oleh pihak debitur bahwa pihak kreditur tidak akan menuntut ganti rugi dari pihak debitur.


(58)

F. Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige daad)

Perihal perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan seseorang yang melawan hukum, diatur dalam Pasal 1365 BW. Pasal ini menetapkan bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) mewajibkan orang yang melakukan perbuatan itu, jika karena kesalahannya telah timbul kerugian, untuk membayar kerugian itu. Apakah artinya perkataan onrechtmatige daad ini? Jawabnya atas pertanyaan ini amat penting bagi lalu lintas hukum. Mula-mula para ahli hukum begitu pula hakim menganggap demikian, hayalah perbuatan-perbuatan yang melanggar undang-undang atau sesuatu hak (subjectief recht) orang lain saja. Lama kelamaan pendapat yang demikian itu dirasakan sangat tidak memuaskan. Dan pada suatu hari Hoge Raad telah meninggalkan penafsiran yang sempit itu dengan memberikan pengertian baru tentang “onrechtmatige daad” dalam putusannya yang sangat terkenal, yaitu putusan tanggal 31 Januari 1919. Dalam putusan itu dinyatakan, “onrechtmatig”, tidak saja perbuatan yang melanggar hukum atau hak orang lain, tetapi juga tiap perbuatan yang berlawanan dengan “kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap pribadi atau benda orang lain”.

Putusan Hoge Raad ini begitu pentingnya hingga sering dipersamakan dengan suatu revolusi dalam dunia kehakiman. Banyak sekali perbuatan yang dulu tidak dapat digugat di depan hakim, sekarang


(59)

diartikan sebagai “onrechtmatig”: jika dapat dibuktikan bahwa dari kesalahan si pembuat itu telah timbul kerugian pada orang lain, maka si pembuat itu akan dihukum untuk mengganti kerugian itu.

Selanjutnya menurut Pasal 1367 BW seseorang juga dipertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan orang lain yang berada di bawah pengawasannya atau yang bekerja padanya.

Lazimnya pasal ini diartikan terbatas (limitatief), yaitu seseorang dapat dipertanggungjawabkan perbuatan orang lain, hanya dalam hubungan dan hal-hal berikut:

1. Orang tua atau wali untuk anak yang belum dewasa, yang tinggal

pada mereka dan mereka melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian itu padanya.

2. Majikan untuk buruhnya, dalam melakukan pekerjaan yang

ditugaskan pada mereka

3. Guru sekolah dan kepala tukang untuk murid dan tukangnya

selama mereka ini di bawah pengawasan mereka.60

60


(60)

BAB III

KREDIT PADA PERBANKAN DI INDONESIA

A. Bank Secara Umum

1. Pengertian Bank

Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan dari setiap negara. Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik negara, bahkan lembaga–lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana yang dimilikinya. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi

semua sektor perekonomian.61

G. M. Verryn Stuart, dalam bukunya Bank Politik berpendapat bahwa bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan uang yang diperolehnya dari orang lain, maupun dengan jalan

mengedarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral.62

Pengertian bank secara otentik telah dirumuskan di dalam Undang-Undang Perbankan 1967 dan Undang-Undang Perbankan yang Diubah (Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998). Pasal 1 huruf a Undang-Undang-Undang-Undang

61

Hermansyah, Op. Cit., Halaman 7 62


(61)

Perbankan 1967, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Sementara itu Undang-Undang Perbankan yang telah Diubah pada Pasal 1 angka 2 mendefinisikan bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dari pengertian tersebut, jelaslah bahwa bank berfungsi sebagai “financial intermediary” dengan usaha utama menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat serta memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran. Dua fungsi itu tidak dapat dipisahkan. Sebagai badan usaha, bank akan selalu berusaha mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya dari usaha yang dijalankannya. Sebaliknya sebagai lembaga keuangan, bank mempunyai kewajiban pokok untuk menjaga kestabilan nilai uang, mendorong kegiatan ekonomi, dan perluasan kesempatan kerja. Dengan sendirinya Bank Indonesia tidak termasuk dalam pengertian “Bank”, sebab bukan sebuah badan usaha yang berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya kendati melakukan kegiatan usaha yang bersifat komersial pula.


(62)

Perubahan istilah lembaga keuangan menjadi badan usaha adalah dimaksudkan agar para pelaku bank lebih profesional dalam

mengelola dana dari dan ke masyarakat.63

2. Fungsi Bank

Dari pengertian yang dimaksud Pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perbankan yang telah Diubah Undang-Undang-Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jelaslah bahwa bank berfungsi sebagai financial intermediary dengan usaha utama menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat serta memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran. Dua fungsi tersebut tidak dapat dipisahkan, sebagai badan usaha bank akan selalu berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari usaha yang dijalankannya. Sebaliknya sebagai lembaga keuangan, bank mempunyai kewajiban pokok untuk menjaga kestabilan nilai uang, mendorong kegiatan ekonomi, dan perluasan

kesempatan kerja.64

Mengenai fungsi perbankan dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Perbankan yang menyatakan bahwa “Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat”. Dari ketentuan ini tercermin fungsi bank sebagai perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of funds)

63

Rachmadi Usman, “Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia”. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2001. Halaman 59

64 Ibid.


(63)

dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lacks of fund).65

Mengenai fungsi bank, Kasmir menyebutkan beberapa fungsi

bank, antara lain:66

a. lembaga pengumpul dana, suatu lembaga yang kegiatannya

menarik dana dari masyarakat dalam bentuk giro maupun deposito berjangka.

b. industri jasa keuangan, suatu lembaga atau jenis perusahaan

yang menyediakan berbagai jasa keuangan yang diperlukan dalam perekonomian.

c. lembaga perantara merupakan perantara antara penyimpan

uang dengan para penanam modal atau pengusaha.

d. industri fasilitatif, yaitu industri yang mendorong

jenis-jenis industri lainnya seperti agraris, dan industri manufaktur.

3. Tujuan Bank

Perbankan di Indonesia mempunyai tujuan yang strategis dan tidak semata-mata berorientasi ekonomis, tetapi juga berorientasi kepada hal-hal yang non-ekonomis seperti masalah menyangkut stabilitas nasional yang mencakup antara lain stabilitas politik dan

stabilitas sosial.67 Secara lengkap mengenai hal ini diatur dalam

ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Perbankan yang berbunyi:68

“Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan

65

Hermansyah. Op. Cit., Halaman 20 66

Kasmir, “Bank & Lembaga Keuangan Lainnya”. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2008. Halaman 35

67

Hermansyah, Loc. Cit. 68

Republik Indonesia, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992

Tentang Perbankan Sebagaimana Telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998”


(1)

Usman, Rachmadi, 2001 “Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia”. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta..

Widiyono, Tri, 2009. “Agunan Kredit Dalam Financial Engineering”. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Perundang-Undangan:

Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Internet:

http://www.btn.co.id/ContentPage/Berita/Kredit-Tumbuh-dan-NPL-Turun.aspx http://www.btn.co.id/Produk/Produk-Kredit/Kredit-Umum---Korporasi/Kredit-Yasa-Griya---Kredit-Konstruksi-(1).aspx

http://www.btn.co.id/Tentang-Kami/Sejarah-Bank-BTN.aspx http://www.btn.co.id/Tentang-Kami/Visi-Misi.aspx

http://www.btn.co.id/Tentang-Kami/Kegiatan-Usaha-Bank-BTN.aspx

http://finance.detik.com/read/2014/05/05/071445/2572853/5/kredit-macet-tinggi-btn-ditegur-ojk

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan-melawan-hukum-dan-wanprestasi-sebagai-dasar-gugatan

http://profil.merdeka.com/indonesia/b/bank-tabungan-negara/

http://www.tnp2k.go.id/id/tanya-jawab/klaster-iii/progam-kredit-usaha-rakyat-kur/


(2)

Nama : Sabrina Amanda NIM : 110200354

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Program Kekhususan Perdata BW

Riset pada Bank BTN Pemuda Medan Question of Interview

1. Apa yang dimaksud dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada Bank BTN? Jawab: Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada Bank BTN merupakan fasilitas

Kredit yang diberikan kepada usaha produktif dan layak (fesible) namun belum bankable, dalam bentuk Kredit Modal Kerja dan/atau Kredit Investasi. Usaha produktif yang dimaksud adalah dalam kategori Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, Koperasi, Kelompok Usaha, dan Lembaga Linkage.

2. Siapa saja sasaran penerima KUR?

Jawab: Perorangan, Badan Usaha, kelompok Usaha.

3. Bagaimana syarat, prosedur, serta dokumen-dokumen yang harus dipenuhi nasabah agar dapat memperoleh KUR pada Bank BTN?

Jawab:

Persyaratan Umum:

1. Perorangan, Badan Usaha, dan Kelompok Usaha.

2. Bukan usaha yang baru berdiri/telah memiliki pengalaman usaha. 3. Tidak sedang menerima kredit modal kerja dan/atau investasi dari

perbankan atau yang tidak sedang menerima kredit program dari Pemerintah. Diperbolehkan apabila sedang menerima kredit konsumtif (Kredit Kepemilikan Rumah, Kredit Kendaraan Bermotor, Kartu Kredit, dan kredit konsumtif lainnya).

Adapun persyaratan berupa dokumen yang harus dilengkapi calon debitur adalah sebagai berikut:


(3)

3. Perorangan

a. Fotokopi KTP, Kartu Keluarga, dan Surat Nikah (bagi yang sudah menikah);

b. Perijinan Usaha (SIUP, TDP, dan SITU atau keterangan usaha dari Kelurahan/Kecamatan atau Dinas Pasar bila usahanya di Pasar);

c. NPWP untuk kredit ≥ Rp. 100.000.000,-; d. Catatan keuangan usaha.

4. Badan Usaha

a. Akta anggaran dasar sampai dengan akta perubahan terakhir. b. Perijinan Usaha (SIUP, TDP, dan SITU atau keterangan usaha

dari Kelurahan/Kecamatan atau Dinas Pasar bila usahanya di Pasar);

c. NPWP untuk kredit ≥ Rp. 100.000.000,-; d. Legalitas tempat usaha bila ada;

e. Laporan keuangan terakhir minimal catatan keuangan usaha.

4. Bagaimana dengan jaminan untuk KUR?

Jawab: Bank meminta jaminan berupa agunan terhadap KUR BTN yakni sebesar 30% dari total kredit yang dimintakan. Adapun agunan yang diminta oleh Bank adalah berupa:

1. Benda tidak bergerak berupa tanah dan bangunan yang sudah memiliki sertifikat dari Badan Pertanahan Negara (BPN) atas nama sendiri atau orang terdekat (suami/istri, anak, mertua) dan sudah terikat oleh hak tanggungan.


(4)

5. Faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan KUR pada Bank BTN mengalami kemacetan?

Jawab: Faktor penyebab KUR mengalami kemacetan:

1. Kredit yang diberikan tidak sesuai dengan peruntukan

Kredit tidak sesuai peruntukan yang dimaksud di sini adalah jumlah nominal dari kredit yang diberikan oleh Bank BTN melebihi dari jumlah yang seharusnya sehingga debitur tidak terlanjur menggunakan dana kredit tidak sesuai dengan tujuan yang seharusnya dan tidak dapat mengembalikan pinjamannya sehingga terjadi kemacetan dalam Kredit Usaha Rakyat.

2. Kekeliruan dari pihak Bank BTN sendiri

Faktor kekeliruan dari Bank BTN dalam memberikan kredit adalah kurang baiknya kinerja bank dalam melakukan analisis kredit terhadap jumlah kredit yang dimintakan calon debitur dengan jumlah kredit yang seharusnya diberikan oleh bank. 3. Usaha milik orang lain

Faktor penyebab kemacetan kredit salah satunya adalah usaha yang diajukan KUR BTN adalah milik orang lain atau bukan atas nama sendiri. Hal ini menyebabkan sulitnya pengembalian kredit oleh debitur.

4. Agunan tidak dapat dilelang

Agunan yang diminta Bank BTN adalah 30% dari total kredit. Ada kalanya ketika terjadi kredit macet, salah satu tindakan yang dapat diusahakan oleh Bank BTN adalah lelang agunan. Permasalahan timbul ketika agunan yang disediakan debitur tidak dapat dilelang. Hal ini umumnya terjadi pada tanah dan bangunan yang kepemilikannya masih berdasarkan S.K. Camat yang agunannya tidak mengikat sempurna atau dengan kata lain belum bersertifikat dan diikat hak tanggungan ataupun barang bergerak berupa kendaraan yang sudah tidak ada lagi sekalipun BPKB-nya masih dipegang oleh pihak bank.


(5)

6. Hal-hal apa saja yang dapat diupayakan Bank BTN untuk menyelesaikan kemacetan KUR?

Jawab: Upaya yang dilakukan dalam penyelesaian kredit macet pada Kredit Usaha Rakyat ini adalah berupa:

1. Penagihan langsung kepada debitur

Langkah pertama yang diambil adalah dengan melakukan penagihan dengan menemui debitur secara langsung. Setelah itu akan dibicarakan secara kekeluargaan, apabila debitur mempunyai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan maka sesuai kebijakan yang dimiliki oleh BTN Cabang Pemuda Medan debitur akan mendapat solusi kelonggaran pembayaran angsuran untuk bulan-bulan tertentu dengan catatan bahwa seluruh pinjaman utang harus dilunasi sampai batas jatuh tempo.

2. Melakukan claim asuransi

Dalam hal debitur tetap tidak menanggapi peringatan tertulis tersebut maka Bank BTN Cabang Pemuda Medan mengajukan klaim terhadap PT Askrindo dan Perum Jamkrindo. Jaminan ini hanya bersifat sementara karena perusahaan penjamin tersebut akan kembali melakukan penagihan kepada bank penyalur KUR. Maka penagihan pengembalian pinjaman tetap dilaksanakan bank terhadap debitur karena sumber dana KUR BTN adalah sepenuhnya dana Bank BTN yang berasal dari simpanan masyarakat yang dihimpun berupa giro, tabungan, dan deposito.

3. Lelang agunan

Apabila telah diupayakan penagihan dan claim asuransi namun debitur tetap tidak dapat menyelesaikan pengembalian kredit


(6)

karena macet, maka tindakan yang dapat diakukan bank adalah menyita agunan yang disediakan debitur dan melakukan lelang agunan untuk meng-cover kredit yang belum dilunasi yang pelaksanaannya akan dilakukan pada bagian pelelangan.