Syarat-syarat Sah Perjanjian Upaya Penyelesaian Kredit Macet Dalam Kredit Usaha Rakyat (Kur) Pada Bank (Studi Pada Bank Btn Cabang Pemuda Medan)

3 Accidentalia Yakni unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas dalam perjanjian.

B. Syarat-syarat Sah Perjanjian

Syarat-syarat sahnya perjanjian dapat kita temukan dalam ketentuan pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “untuk syarat sahnya perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.” 28 Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam: 1. Dua unsur pokok yang menyangkut subjek pihak yang mengadakan perjanjian unsur subyektif, dan 2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian unsur obyektif. Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa 28 Subekti-I, Op. Cit., Halaman 33 dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan jika terdapat pelanggaran dalam unsur subyektif maupun batal demi hukum dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif, dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya. 29 1. Syarat Subyektif a. Kesepakatan Bebas Pasal 1320 BW syarat 1 mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai salah satu keabsahan kontrak. Keabsahan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan pihak yang satu “cocok” atau bersesuaian dengan pernyataan pihak yang lain. Pernyataan kehendak tidak selalu harus dinyatakan secara tegas namun dapat dengan tingkah laku atau hal-hal lain yang mengungkapkan pernyataan kehendak para pihak. 30 29 Op. Cit., Halaman 93 30 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., Halaman 162 Jika kita baca dan perhatikan dengan seksama ketentuan yang diatur dalam Pasal 1321 hingga Pasal 1328 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, maka kita tidak akan menemui pengertian, definisi, atau makna dari kesepakatan bebas. Menurut ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, secara a contrario, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya keepakatan bebas dianggap telah terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan, maupun penipuan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang lengkapnya berbunyi: “Tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.” Kesepakatan merupakan pernyataan kehendak para pihak dibentuk dua unsur, yaitu unsur penawaran dan penerimaan. Penawaran aanbod; offerte; offer diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian. Unsur ini mencakup esensialia perjanjian yang akan ditutup. Sedangkan penerimaan aanvarding; acceptatie; acceptance merupakan pernyataan setuju pihak lain yang ditawari. Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak. Pernyataan yang disampaikan tersebut dikenal dengan nama “penawaran”. Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya tersebut. Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran selanjutnya harus menentukan apakah ia harus menerima penawaran yang disampaikan oleh pihak yang melakukan penawaran tersebut. Dalam hal pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran menerima penawaran yang diberikan maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran tidak menyetujui penawaran yang disampaikan tersebut, maka ia dapat mengajukan penawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat dipenuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat dilaksanakan dan diterima olehnya. Dalam hal yang demikian maka kesepakatan belum tercapai. Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Saat penerimaan yang paling akhir dari serangkaian penawaran atau bahkan tawar-menawar yang disampaikan dan dimajukan oleh para pihak adalah saat tercapainya kesepakatan. 31 b. Kecakapan untuk Bertindak Kecakapan bekwaamheid − capacity yang dimaksud dalam Pasal 1320 BW syarat 2 adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari standar berikut ini: a. Person pribadi, diukur dari standar usia kedewasaan meerderjaring; dan 31 Kartini Muljadi Gunawan Widjaja-I, Op. Cit., Halaman 94 b. Rechtspersoon badan hukum, diukur dari aspek kewenangan bevoegheid. 32 Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat subyektif kedua terbentuknya perjanjian yang sah di antara para pihak. Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum, meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat dilupakan. Dapat saja seseorang yang cakap bertindak dalam hukum tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Dan sebaliknya orang yang dianggap berwenang untuk bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata, karena suatu hal, menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum. Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, baru kemudian dicari tahu apakah orang perorangan yang cakap bertindak dalam hukum tersebut, juga berwenang 32 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., Halaman 183 untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu. 33 Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum bagi person pada umumnya diukur dari standar usia dewasa atau cukup umur bekwaamheid − meerderjarig. Pada satu sisi sebagian masyarakat masih menggunakan standar usia 21 tahun sebagai titik tolak kedewasaan seseorang dengan landasan Pasal 1330 BW jo. 330 BW. Sementara pada sisi lain mengacu pada standar usia 18 tahun, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 47 jo. 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 34 Rumusan tersebut membawa arti positif, bahwa selain dinyatakan tidak cakap maka setiap orang adalah cakap dan Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri pribadi orang-perorangan ini diatur dalam Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan- perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.” 33 Kartini Muljadi Gunawan Widjaja-I, Op. Cit., Halaman 126 34 Op. Cit., Halaman 184 berwenang untuk bertindak dalam hukum. Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan limitasi orang- orang mana saja yang dianggap tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, dengan menyatakan bahwa: Tidak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah: 1. anak yang belum dewasa; 2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan; 3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang telah ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat perjanjian tertentu. Dalam hal ini, sejalan dengan persamaan hak antara laki- laki dan perempuan, maupun yang sudah menikah maupun yang belum menikah, maka ketentuan angka 3 dari Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjadi tidak berarti lagi. 35 hal kedua membawa konsekuensi hukum bahwa seorang anak yang sudah menikah tetapi kemudian Ketentuan pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan arti yang luas mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa: 1. seseorang baru dikatakan dewasa jika ia: a. telah berumur 21 tahun; atau b. telah menikah; 35 Kartini Muljadi Gunawan Widjaja-I, Op. Cit., Halaman 126 perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa. 2. anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh: a. orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan orang tua yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama; b. walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja. Dengan berlakunya Undang-Undang perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang dalam rumusan Pasal 50-nya menyatakan bahwa: 1 Anak yang belum mencapai umur 18 delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. 2 Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. Kedewasaan seseorang dimulai pada umur 18 tahun, yang menggantikan berlakunya ketentuan serupa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan usia 21 tahun untuk menetukan saat kedewasaan seseorang. Dengan demikian maka, setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan No, 1 Tahun 1974, kecakapan bertindak orang pribadi dan kewenangannya untuk melakukan tindakan hukum ditentukan sebagai berikut: 1. Jika seseorang: a. Telah berumur 18 tahun; atau b. Telah menikah c. Seseorang yang telah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa. 2. Seorang anak yang belum mencapai usia 18 tahun dan belum menikah, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh: a. Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan orang tua yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama; b. Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja. 36 Telaah kritis terkait standar usia dewasa dapat dilakukan melalui pengujian asas-asas hukum maupun interpretasi komrehensif terhadap muatan materi beberapa ketentuan terkait. Asas hukum lex specialis, lex posteriori digunakan untuk menyelesaikan konflik norma, sedang interpretasi komprehensif untuk memahami muatan materi serta maksud pembuat undang-undang. Melalui pengujian tersebut diharapkan muncul satu pemahaman utuh dan konsisten, khususnya bagi pihak-pihak yang sementara ini masih menganut paradigma lama. 37 36 Ibid., Halaman 129 37 Agus Yudha Hernoko, Loc. Cit. Selanjutnya mengenai perwalian, dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata ditentukan bahwa perwalian dapat dilaksanakan oleh: 1. Suami atau isteri yang hidup paling lama, yang diatur dalam Pasal 345 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2. Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta tersendiri, yang diatur dalam pasal 355 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 3. Perwalian yang diangkat oleh hakim, yang diatur dalam Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 38 Ketentuan mengenai pengampuan dapat ditemukan dalam rumusan pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa: “Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.” Selanjutnya ketentuan Pasal 436 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: “Segala permintaan akan pengampuan, harus dimajukan kepada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya orang yang dimintakan pengampuan berdiam.” Dengan diletakkannya seseorang di bawah pengampuan, maka orang tersebut mempunyai kedudukan yang sama seperti seorang yang belum dewasa. Orang tersebut menjadi tidak cakap untuk bertindak, untuk melakukan perbuatan hukum. Semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh yang berada di 38 Op. Cit., Halaman 132 bawah pengampuan membawa akibat kebatalan terhadap perbuatan hukum yang dilakukan olehnya tersebut. Khusus seseorang yang ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya, maka pengampuan hanya meliputi tindakan atau perbuatan hukumnya dalam lapangan hukum harta kekayaan, serta tidak meliputi tindakan atau perbuatan hukum dalam lapangan hukum pribadi. Dengan diletakkannya orang-orang tersebut dalam Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di bawah pengampuan, maka segala tindakan orang-orang yang berada di bawah pengampuan tersebut harus dilaksanakan oleh pengampunya, yang demi hukum bertindak untuk dan atas nama orang yang diampu oleh pengampu tersebut. 39 2. Syarat Obyektif a. Hal Tertentu dalam Perjanjian 1 Objek Perjanjian Jika undang-undang berbicara tentang “objek perjanjian” het onderwerp der overeenkomst, kadang yang dimaksudkan ialah “pokok perikatan” het voorwerp der verbintenis atau prestasi dan kadang juga diartikan sebagai “pokok prestasi” het voorwerp der prestatie. 39 Ibid., Halaman 135 Sebagaimana disebutkan di dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang dimaksud dengan “suatu hal tertentu” tidak lain adalah apa yang menjadi kewajiban dari debitor dan apa yang menjadi hak dari kreditor. Sejalan dengan pendapat itu ialah pendapat dari Asser Rutten. Ia menyatakan bahwa “suatu hal tertentu” sebagai objek perjanjian dapat diartikan sebagai keseluruhan hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian. Pendapat tersebut memiliki dasar historis dan juga sejalan dengan ketentuan Pasal 1332 −1334 KUHPerdata. Menurut tradisi, untuk sahnya suatu perjanjian, maka objek perjanjian haruslah: a Dapat ditentukan; b Dapat diperdagangkan; c Mungkin dilakukan; dan d Dapat dinilai dengan uang. Tuntutan dari undang-undang adalah objek perjanjian haruslah tertulis. Setidaknya objek perjanjian cukup dapat ditentukan. Tujuan dari suatu perjanjian adalah untuk timbulnyaterbentuknya, berubah, atau berakhirnya suatu perikatan. Perjanjian tersebut mewajibkan kepada para pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu prestasi. Pada akhirnya, kewajiban tersebut haruslah dapat ditentukan. 40 Namun demikian, ini tidak berarti barang untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi pokok perjanjian. Perjanjian antara kotamadya dan pemborong untuk pekerjaan pemasangan pipa air leding atau pembuat gorong-gorong tidaklah dapat digolongkan ke dalam perjanjian yang dimaksudkan Pasal 1332 KUHPerdata. Pada umumnya, sepanjang pokok perjanjian berkaitan dengan kepentingan umum, maka perjanjian tersebut prestasinya adalah untuk melakukan sesuatu, sedangkan untuk prestasi memberikan sesuatu, sehubungan dengan dialihkannya barang untuk kepentingan umum tersebut, maka itu harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan peraturan perundang-undangan. Ketentuan Pasal1332 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan.” 41 40 Herlien Budiono, “Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan”. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011. Halaman 107 41 Ibid., Halaman 109 2 Barang yang Baru Akan Ada Barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat pula menjadi pokok perjanjian. Kemungkinan ini dibuka di dalam Pasal 1334 ayat 1 KUHPerdata. Pengertian “barang-barang yang baru akan ada” mengacu pada pengertian bahwa barang tersebut belum ada. Ini terjadi dalam hal orang memesan pada perusahaan mebel untuk dibuatkan sebuah lemari dan dikenal dengan sebutan barang yang baru ada bersifat obyektif. Sebaliknya barang yang akan ada bersifat subyektif adalah barang yang belum menjadi miliknya. Dalam kaitannya dengan “barang-barang yang baru akan ada”, ketentuan Pasal 1334 ayat 2 KUHPerdata mengatur mengenai larangan memperjanjikan warisan yang belum jatuh terbuka, yaitu: a Melepaskanmenolak suatu warisan yang belum jatuh terbuka. Ketentuan yang senada terdapat pula pada pasal 1063 KUHPerdata, perjanjian antara calon ahli waris dan calon pewaris agar pada waktu pewaris meninggal dunia ahli waris yang bersangkutan akan menolak warisan pewaris di pengadilan negeri. b Minta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan sekalipun dengan persetujuan dari orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian; perjanjian yang mengatur bagian warisan yang akan diwarisi oleh salah satu pihak. c Semuanya itu dengan tidak mengurangi ketentuan- ketentuan Pasal 169, 176, dan 178 KUHPerdata. Akibat dibuatnya perjanjian-perjanjian tersebut adalah batal demi hukum. 42 b. Sebab yang Halal Syarat keempat untuk sahnya perjanjian adalah suatu sebab yang halal atau kausa yang halal. Ketentuan Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan kata lain, batal demi hukum.” 43 1 Tidak mempunyai kausa Adapun sebab yang diperbolehkan maksudnya adalah bahwa apa yang hendak dicapai para pihak dalam perjanjian atau kontrak tersebut harus disertai itikad baik dan tidak bertentangna dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan. Selanjutnya dalam 1337 KUHPerdata ditegaskan bahwa, “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang- undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Berdasarkan kedua pasal di atas, suatu kontrak tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat batal, apabila kontrak tersebut: 42 Ibid., Halaman 110 43 Ibid., Halaman 112 2 Kausanya palsu 3 Kausanya bertentangan dengan undang-undang 4 Kausanya bertentangan dengan kesusilaan 5 Kausanya bertentangan dengan ketertiban umum. 44

C. Asas-asas Perjanjian dan Jenis-jenis Perjanjian