Tinjauan Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Lembaga Penyiaran Berlangganan Melalui Kriminalisasi Di Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN

PIDANA LEMBAGA PENYIARAN BERLANGGANAN

MELALUI KRIMINALISASI DI DALAM UNDANG-UNDANG

NOMOR 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN

TESIS

Oleh

GIDION ARIF SETYAWAN 087005006/HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN

PIDANA LEMBAGA PENYIARAN BERLANGGANAN

MELALUI KRIMINALISASI DI DALAM UNDANG-UNDANG

NOMOR 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

GIDION ARIF SETYAWAN 087005006/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA LEMBAGA

PENYIARAN BERLANGGANAN MELALUI

KRIMINALISASI DI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN Nama Mahasiswa : Gidion Arif Setyawan

Nomor Pokok : 087005006 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D e k a n

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 06 Maret 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH


(5)

ABSTRAK

Kriminalisasi terhadap dunia penyiaran di atur di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran telah menegaskan bahwa penyiaran merupakan suatu kegiatan komunikasi massa yang selain mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial yang ditujukan untuk memperkukuh integrasi nasional, membina watak dan jati diri bangsa, penyiaran juga mempunyai fungsi ekomomi yaitu diarahkan untuk mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan, dan memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi serta untuk menumbuhkan industri penyiaran. Adapun kriminalisasi yang berisikan sanksi pidana di dalam undang-undang penyiaran yakni pasal 57, 58 dan pasal 59. Kaitan dengan pelaksanaan siaran yang diselenggarakan oleh lembaga penyiaran khusunya berlangganan sebagaimana dikriminalisasi di dalam UU penyiaran telah melakukan pengaturan antara lain mencakup pengaturan mengenai isi siaran, bahasa siaran, kegiatan jurnalistik, siaran iklan, dan sensor isi siaran. Perangkat hukum yang mengatur tentang lembaga penyiaran di dalam undang-undang penyiaran tentunya sangat berkaitan dengan kepastian hukum untuk meminta pertanggungjawaban pelaku khususnya lembaga penyiaran. Pemberantasan pelaku yang telah dikriminalisasi di dalam undang-undang penyiaran untuk dapat dipidananya perbuatan (de strafbaarheid van het feit atau het verboden zijr van het feit)

menggunakan perangkat hukum yang diatur di dalam undang-undang yang berkaitan dengan teknologi informasi maupun KUH Pidana, artinya bahwa penggunaan kriminalisasi merupaka penjabaran dari asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana yakni “nullum delictum, nulla poena, sine pravia lege poenali”. Permasalahan

dalam penelitian tesis ini menyangkut penentuan kriminalisasi lembaga penyiaran di dalam undang-undang, pertanggungjawaban pidana lembaga penyiaran dan upaya penegakan hukum.

Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis kualitatif. Sifat penelitian deskriptif analitis artinya penelitian ini tidak hanya sekedar menggambarkan suatu keadaan atau gejala baik pada tatanan hukum positif maupun empiris tetapi juga ingin memberikan pengaturan yang seharusnya (das sollen).

Analisis data digunakan dengan pendekatan kualitatif

Prinsip dasar penyelenggaraan penyiaran berkaitan dengan prinsip-prinsip penjaminan dari negara agar aktivitas penyiaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran berdampak positif bagi publik. Dalam hal ini, publik harus memiliki akses yang memadai untuk dapat terlibat, memanfaatkan, mendapatkan perlindungan, serta mendapatkan keuntungan dari kegiatan penyiaran. Guna mencapai keberhasilan dari prinsip ini, juga dibutuhkan prinsip lain, yang secara melekat (embedded)

menyokongnya, yakni prinsip diversity of ownership (keberagaman kepemilikan) dan diversity of content (keberagaman isi) dari lembaga penyiaran. Guna terciptanya


(6)

memerlukan serangkainan upaya melalui pendekatan sistem hukum, salah satu upaya adalah menerapkan beberapa kebijakan kriminal yang mengkriminalisasi perbuatan-perbuatan yang menyangkut lembaga penyiaran dan isi siaran sebagai tindak pidana dengan membuat peraturan pidana yang berisikan sanksi bagi pelaku kejahatan. Sistem pertanggungjawaban pidana yang diatur dalam Undang-undang Penyiaran dapat dilihat pada ketentuan Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang secara tegas mengatakan bahwa Lembaga Penyiaran Swasta menetapkan Pemimpin dan Penanggungjawab penyelenggara penyiaran mencakup (a) Pemimpin Umum, (b) Penanggungjawab Siaran, (c) Penanggungjawab Pemberitaan, (d) Penanggungjawab Teknik,dan (e) Penanggungjawab Usaha. Penetapan Pemimpin dan Penanggungjawab penyelenggara penyiaran dimaksudkan untuk meletakkan dasar-dasar manajemen yang profesional, sehat dan bertanggungjawab. Tanggungjawab penyelenggaran penyiaran secara keseluruhan berada pada Pemimpin Umum. Namun, untuk pertanggungjawaban secara hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan siaran, tanggungjawab dapat dilimpahkan kepada penanggungjawab sesuai dengan bidang permasalahannya, baik aspek pemberitaan, materi siaran, teknik maupun usaha.

Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana Lembaga Penyiaran Berlangganan, Kriminalisasi di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran


(7)

ABSTRACT

Criminalization of the broadcasting world set in in Act No. 32 of 2002 on Broadcasting has confirmed that broadcasting is a mass communication activities which not only has a function as a medium of information, education, healthy entertainment, control and social glue that aimed to strengthen national integration , build character and national identity, broadcasting also has the function of ekomomi is directed to encourage the improvement of people's economy, achieve equity, and strengthen the nation's competitiveness in the era of globalization and to develop the broadcasting industry. The criminalization of the criminal sanctions contained in the broadcasting law that Article 57, 58 and Article 59. Linkages with the implementation of broadcasts organized by subscription broadcasters especially as it criminalized in the Act on broadcasting has made arrangements include regulation of broadcast content, language broadcasting, journalistic activities, broadcast advertising, and censorship of broadcast content. The law which regulates broadcasters in the broadcasting legislation of course closely related to the rule of law to hold accountable perpetrators of particular broadcasters. Eradication of actors who have been criminalized in the broadcasting law to act dipidananya (de strafbaarheid van het feit or zijr van het verboden het feit) use the legal tools provided for in the laws relating to information technology and Criminal KUH, meaning that use of criminalization be an elaboration of the principle of legality in criminal law adopted the "nullum delictum, nulla poena, sine lege pravia poenali". The problem in this thesis research involves the determination of the criminalization of broadcasters within the law, the criminal responsibility of broadcasters and law enforcement efforts.

This type of research is the normative legal research with qualitative juridical approach. The nature of analytical descriptive research means research is not merely describe a condition or symptom in both positive and empirical legal order but also want to provide settings that are supposed to be (das sollen). Data analysis used a qualitative approach

The basic principle of operation of broadcasting related to the principles of the state guarantee for broadcasting activities undertaken by the broadcasters have a positive impact for the public. In this case, the public must have sufficient access to be able to engage, utilize, obtain protection, as well as benefit from broadcasting activities. In order to achieve the success of this principle, also required another principle, which is attached (embedded) endorse them, namely the principle of diversity of ownership (ownership diversity) and diversity of content (the diversity of content) from broadcasters. In order creation process in accordance with the purpose of broadcasting an efficient broadcasting would require serangkainan attempts through the legal system approach, an effort is to implement some policies that criminalize criminal acts relating to broadcasters and broadcast content as a crime by creating a rule that contains criminal sanctions for perpetrators. The system of


(8)

criminal responsibility as stipulated in the Broadcasting Act can be seen in the provisions of Article 19 paragraph (1), subsection (2), paragraph (3), subsection (4), and subsection (5) of Act No. 24 of 1997 as amended by Act No. 32 of 2002 on Broadcasting which clearly says that the Institute for Private Broadcasting and establish Leaders Responsible for broadcasting include (a) General Superior, (b) Responsible Press, (c) Responsible Preaching, (d) Responsible for Engineering, and (e) Responsible Business. Determination of Responsible Leaders and organizers of the broadcast is intended to lay the foundations of professional management, healthy and responsible. Responsibilities of the delivery of broadcasting as a whole is in general superior. However, for legal liability related to the implementation of the broadcast, the responsibility may be delegated to the person in accordance with field problems, both aspects of the news, broadcast material, engineering and business.

Key Words : Criminal Accountability Broadcasting Institution Subscription, Criminalization of the Law Number 32 Year 2002 about Broadcasting


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas kesehatan yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun topik penelitian menyangkut tentang ” Tinjauan Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Lembaga Penyiaran Berlangganan Melalui Kriminalisasi di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran”. Penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa bantuan, saran maupun petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A (K), selaku Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

2. Ibu, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa., B. M.Sc, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, Pembimbing Utama sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan bimbingan sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program


(10)

Studi Megister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH. M. Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum juga sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan arahan kepada penulis.

5. Bapak Syafruddin S Hasibuan, SH, MH, selaku Anggota Komisi Pembimbing, atas bimbingan dan dorongan dalam melaksanakan penelitian dan penyelesaian tesis.

6. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH dan Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH., M. Hum, selaku penguji, terima kasih atas masukan dan pendapatnya.

7. Seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara beserta seluruh staf biro Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Fakultas Hukum atas kemudahan dan bantuan yang diberikan dalam mengikuti pendidikan dan menyelesaikan tesis ini. .

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya khususnya kepada pimpinan Kepolisian Daerah Sumatera Utara dan Poltabes Medan dan Sekitarnya yang telah memberikan kesempatan, dukungan dan motivasi untuk mengikuti studi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Fakultas Hukum.

Ucapan terima kasih untuk orang tua tercinta dan mertua, serta isteri tercinta Luciana Wuri Kristantiningrum beserta anak penulis Yochananta dan Felice yang


(11)

telah banyak berkorban dan bersabar dengan selalu memberikan semangat kepada penulis untuk tetap giat belajar dan menyelesaikan studi ini.

Kepada seluruh saudara, sahabat dan kerabat yang telah mendukung dan mendo’akan, penulis ucapkan terima banyak terima kasih atas segala bantuan dan perhatiannya.

Penulis juga berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada kalangan-kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang penyiaran di Indonesia.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkah, karunia dan kekuatan lahir batin kepada kita semua.

Hormat penulis.


(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Gidion Arif Setyawan

Tempat/Tanggal Lahir : Wonosobo, 10 Juni 1975 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen

Jabatan/ Pekerjaan : Kanit Jantaras Dit Reskrim Polda / POLRI

Alamat : Perum Deli Graha No.3A Medan

Pendidikan : SD Negeri II Wonosobo Tamat Tahun 1987 SMP Negeri 1 Wonosobo Tamat Tahun 1990 SMA Negeri 1 Wonosobo Tamat Tahun 1993 Akademi Kepolisian Tamat Tahun 1997

Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian Tamat Tahun 2005 Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2010


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

RIWAYAT HIDUP ... viii

BAB I: PENDAHULUAN... 1

A. Latar Balakang... 1

B. Permasalahan ... 20

C. Tujuan Penelitian ... 21

D. Kegunaan Penelitian ... 21

E. Keaslian Penelitian ... 22

F. Landasan Teori dan Konsepsional Penelitian ... 22

1. Landasan Teori Penelitian ... 22

2. Landasan Konsepsional Penelitian ... 35

G. Metode Penelitian ... 38

1. Jenis Penelitian ... 38

2. Metode Pengumpulan Data ... 38


(14)

BAB II: PENENTUAN KRIMINALISASI TERHADAP LEMBAGA PENYIARAN DI DALAM UNDANG-UNDANG

NOMOR 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN... 41 A. Karakteristik dan Prinsip Penyiaran di Indonesia ... 41

1. Prinsip keterbukaan akses, partisipasi, serta perlindungan

dan kontrol publik ... 42 2. Prinsip Diversity of ownership (keberagaman kepemilikan) ……….... 44

3. Prinsip Diversity of content (keberagaman isi) ………... 45

B. Pengaruh Siaran Yang Disiarkan Oleh Lembaga Penyiaran

Berlangganan ... 47 C. Penentuan Tindak Pidana Penyiaran di dalam Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ... 53 1. Tindak Pidana Menyangkut Isi Siaran di dalam Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ... 59 2. Tindak Pidana Menyangkut Lembaga Penyiaran Yang

Menyelenggarakan Penyiaran Tanpa Izin Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ... 61 D. Ketentuan Isi Siaran dan Lembaga Penyiaran di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ... 65 BAB III: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP LEMBAGA

PENYIARAN BERLANGGANAN KHUSUSNYA TERHADAP

ISI SIARAN... 71 A. Lembaga Penyiaran Berlangganan ………..71 B. Pertanggungjawaban Pidana Lembaga Penyiaran Berlangganan ... 73 C. Pertanggungjawaban Pidana Lembaga Penyiaran Berlangganan


(15)

BAB IV: UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

LEMBAGA PENYIARAN... 92

A. Penegakan Hukum Terhadap Lembaga Penyiaran ... 92

B. Hubungan Fungsional Antar Lembaga Dalam Rangka Penegakan Hukum di Bidang Penyiaran ………. 97

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN………...….……… 105

A. Kesimpulan ..……….. 105

B. Saran ..………. 107


(16)

ABSTRAK

Kriminalisasi terhadap dunia penyiaran di atur di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran telah menegaskan bahwa penyiaran merupakan suatu kegiatan komunikasi massa yang selain mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial yang ditujukan untuk memperkukuh integrasi nasional, membina watak dan jati diri bangsa, penyiaran juga mempunyai fungsi ekomomi yaitu diarahkan untuk mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan, dan memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi serta untuk menumbuhkan industri penyiaran. Adapun kriminalisasi yang berisikan sanksi pidana di dalam undang-undang penyiaran yakni pasal 57, 58 dan pasal 59. Kaitan dengan pelaksanaan siaran yang diselenggarakan oleh lembaga penyiaran khusunya berlangganan sebagaimana dikriminalisasi di dalam UU penyiaran telah melakukan pengaturan antara lain mencakup pengaturan mengenai isi siaran, bahasa siaran, kegiatan jurnalistik, siaran iklan, dan sensor isi siaran. Perangkat hukum yang mengatur tentang lembaga penyiaran di dalam undang-undang penyiaran tentunya sangat berkaitan dengan kepastian hukum untuk meminta pertanggungjawaban pelaku khususnya lembaga penyiaran. Pemberantasan pelaku yang telah dikriminalisasi di dalam undang-undang penyiaran untuk dapat dipidananya perbuatan (de strafbaarheid van het feit atau het verboden zijr van het feit)

menggunakan perangkat hukum yang diatur di dalam undang-undang yang berkaitan dengan teknologi informasi maupun KUH Pidana, artinya bahwa penggunaan kriminalisasi merupaka penjabaran dari asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana yakni “nullum delictum, nulla poena, sine pravia lege poenali”. Permasalahan

dalam penelitian tesis ini menyangkut penentuan kriminalisasi lembaga penyiaran di dalam undang-undang, pertanggungjawaban pidana lembaga penyiaran dan upaya penegakan hukum.

Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis kualitatif. Sifat penelitian deskriptif analitis artinya penelitian ini tidak hanya sekedar menggambarkan suatu keadaan atau gejala baik pada tatanan hukum positif maupun empiris tetapi juga ingin memberikan pengaturan yang seharusnya (das sollen).

Analisis data digunakan dengan pendekatan kualitatif

Prinsip dasar penyelenggaraan penyiaran berkaitan dengan prinsip-prinsip penjaminan dari negara agar aktivitas penyiaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran berdampak positif bagi publik. Dalam hal ini, publik harus memiliki akses yang memadai untuk dapat terlibat, memanfaatkan, mendapatkan perlindungan, serta mendapatkan keuntungan dari kegiatan penyiaran. Guna mencapai keberhasilan dari prinsip ini, juga dibutuhkan prinsip lain, yang secara melekat (embedded)

menyokongnya, yakni prinsip diversity of ownership (keberagaman kepemilikan) dan diversity of content (keberagaman isi) dari lembaga penyiaran. Guna terciptanya


(17)

memerlukan serangkainan upaya melalui pendekatan sistem hukum, salah satu upaya adalah menerapkan beberapa kebijakan kriminal yang mengkriminalisasi perbuatan-perbuatan yang menyangkut lembaga penyiaran dan isi siaran sebagai tindak pidana dengan membuat peraturan pidana yang berisikan sanksi bagi pelaku kejahatan. Sistem pertanggungjawaban pidana yang diatur dalam Undang-undang Penyiaran dapat dilihat pada ketentuan Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang secara tegas mengatakan bahwa Lembaga Penyiaran Swasta menetapkan Pemimpin dan Penanggungjawab penyelenggara penyiaran mencakup (a) Pemimpin Umum, (b) Penanggungjawab Siaran, (c) Penanggungjawab Pemberitaan, (d) Penanggungjawab Teknik,dan (e) Penanggungjawab Usaha. Penetapan Pemimpin dan Penanggungjawab penyelenggara penyiaran dimaksudkan untuk meletakkan dasar-dasar manajemen yang profesional, sehat dan bertanggungjawab. Tanggungjawab penyelenggaran penyiaran secara keseluruhan berada pada Pemimpin Umum. Namun, untuk pertanggungjawaban secara hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan siaran, tanggungjawab dapat dilimpahkan kepada penanggungjawab sesuai dengan bidang permasalahannya, baik aspek pemberitaan, materi siaran, teknik maupun usaha.

Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana Lembaga Penyiaran Berlangganan, Kriminalisasi di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran


(18)

ABSTRACT

Criminalization of the broadcasting world set in in Act No. 32 of 2002 on Broadcasting has confirmed that broadcasting is a mass communication activities which not only has a function as a medium of information, education, healthy entertainment, control and social glue that aimed to strengthen national integration , build character and national identity, broadcasting also has the function of ekomomi is directed to encourage the improvement of people's economy, achieve equity, and strengthen the nation's competitiveness in the era of globalization and to develop the broadcasting industry. The criminalization of the criminal sanctions contained in the broadcasting law that Article 57, 58 and Article 59. Linkages with the implementation of broadcasts organized by subscription broadcasters especially as it criminalized in the Act on broadcasting has made arrangements include regulation of broadcast content, language broadcasting, journalistic activities, broadcast advertising, and censorship of broadcast content. The law which regulates broadcasters in the broadcasting legislation of course closely related to the rule of law to hold accountable perpetrators of particular broadcasters. Eradication of actors who have been criminalized in the broadcasting law to act dipidananya (de strafbaarheid van het feit or zijr van het verboden het feit) use the legal tools provided for in the laws relating to information technology and Criminal KUH, meaning that use of criminalization be an elaboration of the principle of legality in criminal law adopted the "nullum delictum, nulla poena, sine lege pravia poenali". The problem in this thesis research involves the determination of the criminalization of broadcasters within the law, the criminal responsibility of broadcasters and law enforcement efforts.

This type of research is the normative legal research with qualitative juridical approach. The nature of analytical descriptive research means research is not merely describe a condition or symptom in both positive and empirical legal order but also want to provide settings that are supposed to be (das sollen). Data analysis used a qualitative approach

The basic principle of operation of broadcasting related to the principles of the state guarantee for broadcasting activities undertaken by the broadcasters have a positive impact for the public. In this case, the public must have sufficient access to be able to engage, utilize, obtain protection, as well as benefit from broadcasting activities. In order to achieve the success of this principle, also required another principle, which is attached (embedded) endorse them, namely the principle of diversity of ownership (ownership diversity) and diversity of content (the diversity of content) from broadcasters. In order creation process in accordance with the purpose of broadcasting an efficient broadcasting would require serangkainan attempts through the legal system approach, an effort is to implement some policies that criminalize criminal acts relating to broadcasters and broadcast content as a crime by creating a rule that contains criminal sanctions for perpetrators. The system of


(19)

criminal responsibility as stipulated in the Broadcasting Act can be seen in the provisions of Article 19 paragraph (1), subsection (2), paragraph (3), subsection (4), and subsection (5) of Act No. 24 of 1997 as amended by Act No. 32 of 2002 on Broadcasting which clearly says that the Institute for Private Broadcasting and establish Leaders Responsible for broadcasting include (a) General Superior, (b) Responsible Press, (c) Responsible Preaching, (d) Responsible for Engineering, and (e) Responsible Business. Determination of Responsible Leaders and organizers of the broadcast is intended to lay the foundations of professional management, healthy and responsible. Responsibilities of the delivery of broadcasting as a whole is in general superior. However, for legal liability related to the implementation of the broadcast, the responsibility may be delegated to the person in accordance with field problems, both aspects of the news, broadcast material, engineering and business.

Key Words : Criminal Accountability Broadcasting Institution Subscription, Criminalization of the Law Number 32 Year 2002 about Broadcasting


(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Balakang

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah melahirkan masyarakat informasi yang makin besar tuntutannya akan hak untuk mengetahui dan hak untuk mendapatkan informasi. Sehingga informasi itu sendiri telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat dan telah menjadi komoditas penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karenanya kebutuhan akan informasi dengan menggunakan teknologi komunikasi harus dapat terjaga dengan baik, dengan kata lain diperlukan sistem pengamanan (security) karena secara tekhnis

kebutuhan informasi dan sistem ini sendiri sangatlah rentan untuk tidak bekerja sebagaimana mestinya (malfunction), dapat diubah-ubah ataupun diterobos oleh

pihak lain baik oleh orang maupun lembaga yang tidak bermaksud jahat (unintentional threats) maupun yang bermaksud jahat (intentional threats).1

Prinsip dasar penyelenggaraan penyiaran akibat perkembangan teknologi dan informasi berkaitan erat dengan prinsip-prinsip penjaminan dari negara agar aktivitas penyiaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran berdampak positif bagi publik. Dalam hal ini, publik harus memiliki akses yang memadai untuk dapat terlibat, memanfaatkan, mendapatkan perlindungan, serta mendapatkan keuntungan dari

1 Edmon Makarim, Sekilas Perkembangan Teknologi Sistem Informasi Dan Komunikasi dalam Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 92


(21)

kegiatan penyiaran. Guna mencapai keberhasilan dari prinsip ini sangat dibutuhkan prinsip lain yang secara melekat (embedded) menyokong lembaga penyiaran, yakni

prinsip diversity of ownership (keberagaman kepemilikan) dan diversity of content

(keberagaman isi) dari lembaga penyiaran. Dengan kedua prinsip diversity ini

diharapkan, negara dapat melakukan penjaminan terhadap publik melalui penciptaan iklim kompetitif antar lembaga penyiaran agar bersaing secara sehat dalam menyediakan pelayanan informasi yang terbaik kepada publik. Untuk itu sangat diperlukan penekanan pada prinsip keterbukaan akses, partisipasi, serta perlindungan dan kontrol publik. Prinsip ini membuka peluang akses bagi setiap warga negara untuk menggunakan dan mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional. Undang-undang memberi hak, kewajiban dan tanggungjawab serta partisipasi masyarakat untuk mengembangkan penyiaran, seperti mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, mencari, memperoleh, memiliki dan menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi di lembaga penyiaran serta mengembangkan kegiatan literasi dan/atau pemantauan untuk mengawasi dan melindungi publik dari isi siaran yang merugikan masyarakat.2

Di samping perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah membawa implikasi terhadap dunia penyiaran3, termasuk penyiaran di Indonesia sehingga menjadikan penyiaran selain sebagai salah satu sarana berkomunikasi bagi

2 Ibid

3 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002: Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.


(22)

masyarakat, dunia bisnis dan pemerintah, penyiaran juga telah menjadi suatu lembaga bisnis yang juga berperan dalam kegiatan ekonomi nasional, oleh karenanya diperlukan perlindungan terhadap dunia penyiaran di dalam perangkat peraturan perundang-undangan terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan penyiaran. Usaha untuk mengendalikan dan menanggulangi tindak pidana di bidang penyiaran adalah menentukan suatu perbuatan sebagai suatu tindak pidana (kriminalisasi).4

Kriminalisasi5 terhadap penyiaran di Indonesia baru dimulai pada tahun 1997 yaitu dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran. Undang-undang ini mengatur secara jelas tentang segala aspek yang terkait dengan penyiaran, termasuk pengaturan mengenai kepemilikan lembaga penyiaran. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 bahwa lembaga

4 Lihat, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal.26. bahwa usaha untuk membuat peraturan pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan kata lain jika dilihat dari sudut pandang politik kriminal, akan terlihat bahwa politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.” Selanjutnya Sudarto menyatakan, bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Selain itu juga, usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum pidana. Oleh karena itu sering juga dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan juga bagian dari kebijakan penegakan hukum (Law Enforcement Policy).

5 Muladi, Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berkualitas Indonesia, Makalah dalam rangka HUT FH UNDIP, Semarang, tanggal 11 Januari 1988, hal. 22-23 bahwa syarat kriminalisasi pada umumnya meliputi adanya korban, kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan, harus berdasarkan asas ratio principle; dan adanya kesepakatan social (public support). Kriminalisasi termasuk salah satu masalah pokok dalam hukum pidana. Menganalisis syarat kriminal tidak mungkin lepas dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dan kebijakan sosial. Berkaitan dengan itu terdapat syarat kriminalisasi yang harus didahului oleh pertimbangan-pertimbangan : Pertama, penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional. Kedua, penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. Ketiga, perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki karena perbuatan mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Keempat, penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle).


(23)

penyiaran di dalam negeri harus berorientasi pada kepentingan nasional Indonesia, sehingga modal pendirian lembaga penyiaran swasta harus modal nasional sehingga tidak dipengaruhi kepentingan lain dari luar (pihak asing).6

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 mengklasifikasi bahwa lembaga penyiaran swasta tidak diperbolehkan untuk menggunakan dana yang bersumber dari dana yang berasal dari luar negeri, misalnya pinjaman komersial, atau melalui cara lain yang dananya berasal dari luar negeri. Prinsip Undang-undang ini menekankan pada kepentingan nasional Indonesia guna pembangunan manusia di Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia tentunya didasarkan pada penentuan prioritas-prioritas, pemilihan bidang-bidang mana harus digarap lebih dahulu dalam setiap tahap, harus dilakukan dengan cermat dan tepat sehingga dapat menumbuhkan kemampuan yang bertambah besar untuk mempercepat proses pembangunan selanjutnya. Demikian juga perlu diusahakan dan kemudian dapat dirasakan bahwa setiap tahap pembangunan itu mengarah pada semakin bertambah baiknya kehidupan lapisan terbesar masyarakat.7

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran ini selanjutnya digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Undang-undang ini lebih menitiberatkan bahwa lembaga penyiaran yang sebelumnya semata-mata ditujukan untuk kepentingan nasional sehingga tertutup bagi investor asing menjadi lebih terbuka dengan memperbolehkan pihak asing untuk memiliki

6 Lihat, Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 7 Ibid


(24)

saham pada lembaga penyiaran swasta8 namun dibatasi hanya sebesar 20 % (dua puluh persen) sehingga kepemilikan saham ini berkaitan dengan perizinan lembaga penyiaran dan isi siaran yang dikriminalisasi di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002. Sebagaimana bunyi Pasal 17 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2002, yang menyatakan:

Lembaga Penyiaran Swasta dapat melakukan penambahan dan pengembangan dalam rangka pemenuhan modal yang berasal dari modal asing yang jumlahnya tidak lebih dari 20 % (dua puluh perseratus) dari seluruh modal dan minimum dimiliki oleh 2 (dua) pemegang saham.

Kriminalisasi terhadap dunia penyiaran di atur di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran telah menegaskan bahwa penyiaran merupakan suatu kegiatan komunikasi massa yang selain mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial yang ditujukan untuk memperkukuh integrasi nasional, membina watak dan jati diri bangsa, penyiaran juga mempunyai fungsi ekomomi yaitu diarahkan untuk mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan, dan memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi serta untuk menumbuhkan industri penyiaran. Adapun kriminalisasi yang berisikan sanksi pidana di dalam undang-undang penyiaran yakni pasal 57, 58 dan 59 sebagai berikut:

8 Pasal 16 UU No. 32 Tahun 2002: Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi.


(25)

Pasal 57 menyatakan bahwa “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyakRp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang

a. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3);9 b. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2);10 c. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1);11 d. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5);12 e. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6).13 Pasal 58 “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang:

a. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1);14 b. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1);15

9 Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan bahwa ”Lembaga Penyiaran Swasta wajib memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham perusahaan dan memberikan bagian laba perusahaan”.

10 Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan bahwa “Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi”.

11 Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan bahwa “Lembaga penyiaran asing dilarang didirikan di Indonesia”.

12 Pasal 36 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan bahwa “ Isi siaran dilarang:

a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;

b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau

c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan”.

13 Pasal 36 ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan bahwa “ Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional”.

14 Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan bahwa “ Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun dibeberapa wilayah siaran, dibatasi”.

15 Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan bahwa “Sebelum menyelenggarakan kegiatannya lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran”.


(26)

c. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4);16 d. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3).17 Pasal 59 “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (10) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk penyiaran televisi.”

Kaitan dengan pelaksanaan siaran yang diselenggarakan oleh lembaga penyiaran sebagaimana dikriminalisasi di dalam UU penyiaran telah melakukan pengaturan antara lain mencakup pengaturan mengenai isi siaran, bahasa siaran, kegiatan jurnalistik, siaran iklan, dan sensor isi siaran. Pengaturan secara rinci tentang pedoman perilaku penyiaran diatur dalam suatu ketentuan yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia, yaitu lembaga negara yang bersifat independen dan bertugas untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan penyiaran. Namun demikian berbicara mengenai media masa (termasuk televisi), tidak terlepas dari apa yang dikenal sebagai media agenda. Media agenda adalah masalah atau hal-hal yang akan

dikomunikasikan atau diberitakan oleh suatu media massa sesuai dengan hirarki kepentingannya dalam suatu waktu tertentu18. Di samping itu undang-undang penyiaran telah juga mengatur tentang siaran berlanggan yakni berbentuk badan hukum Indonesia, bidang kegiatan usaha berupa jasa penyiara berlangganan setelah memperoleh izin, baik melalui radio, televisi, multimedia atau media informasi

16 Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan bahwa “Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain”.

17 Pasal 46 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan bahwa “Siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi yang bertentangan dengan UU dan kesusilaan.

18 Dearing, James W and Rogers, Everett M., Agenda-Setting. Sage Publications Inc, 1996, hal. 89


(27)

lainnya. Pelaksanaannya dapat melalui satelit, kabel atau terestial. Sumber pembiayaan berasal dari iuran berlangganan dan usaha lainnya yang sah.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi media khususnya terhadap siaran berlanggan salah satunya adalah struktur kepemilikan dan izin dari perusahaan media massa itu sendiri.19 Menurut Andrew Ó Baoill, perbedaan struktur kepemilikan suatu media massa dapat menimbulkan perbedaan tujuan, maksud dan hal lainnya sehingga dapat menyebabkan perbedaan dalam konstruksi dan isi dari media agenda tersebut,20 karena pemilik media massa dapat saja mempengaruhi batasan-batasan informasi yang akan disampaikan oleh media miliknya tersebut.

Salah satu contoh kasus menyangkut tentang lembaga penyiaran berlangganan yang diduga tidak memperoleh izin dan melebihi batasan kepemilikan asing terhadap lembaga penyiaran swasta. Lembaga penyiaran berlangganan dimaksud adalah Astro All Asia Network Plc (Astro) yang membeli saham PT Broadband Multimedia Tbk (BM) di luar batas ketentuan. Adapun pelanggaran Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 yang dilakukan oleh Astro All Asia Network Plc (Astro) yakni pasal perizinan, pasal kepemilikan asing dengan menguasai 51 persen saham Direct Vision dan tidak

19 Mengenai Perizinan yang termuat dalam Bagian Kesebelas, Bab III, dipaparkan bahwa izin dan penyelenggaraan diberikan oleh Negara melalui KPI dan lembaga penyiaran bersangkutan wajib membayar izin penyelenggaraan penyiaran melalui kas negara. Jangka waktu pemberian izin penyiaran untuk radio adalah selama 5 tahun, masa percobaan selama 6 bulan, sementara untuk televisi selama 10 tahun, masa percobaan selama 1 tahun. Izin tersebut dapat diperpanjang dan dicabut dalam hal tidak lulus masa uji coba siaran; melanggar penggunaan spektrum radio atau wilayah jangkauan siaran yang ditetapkan; tidak melakukan kegiatan siaran selama 3 bulan tanpa konfirmasi kepada KPI; dipindahtangankan kepada pihak lain; melanggar ketentuan rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat penyiaran atau melanggar ketentuan standar program siaran.

20Andrew Ó Baoill,The Effect of Ownership Structure on the Media Agenda, www.funferal.org, diakses tanggal 29 Juli 2009


(28)

mengakui berlakunya UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Kasus ini dapat digambarkan sebagai berikut:21

“Kasusnya sendiri bermula saat BM mengumumkan hasil RUPS dan RUPSLB di media massa. Dalam pengumuman itu disebutkan bahwa ada usaha untuk mempunyai anak perusahaan jasa baru dari BM yakni PT Karta Nusa Jaya (KNJ). Rencananya, KNJ akan menjalankan bisnis jasa telekomunikasi khusus, yakni jasa penyiaran televisi berlangganan melalui satelit yang langsung disalurkan ke rumah para pelanggan. Bisnisnya sejenis dengan Indovision yang berjalan sekarang ini. Pembentukan KNJ dilakukan BM melalui anak perusahaannya PT Ayunda Prima Mitra (APM). Mereka menggandeng Astro melalui anak perusahaannya pula, Silver Concord Kolding Ltd (Silver). Komposisi pemilikan saham KNJ, APM 49 persen dan Silver 51 persen. Komposisi kepemilikan saham tersebutlah yang awalnya jadi perhatian KPI. Pasalnya, menurut Amelia, dalam UU Penyiaran tegas disebutkan bahwa kepemilikan asing pada lembaga penyiaran dibatasi hingga maksimal 20 persen. Lebih dari itu, dinilai melanggar undang-undang. Menyangkut perizinan KPI menyurati Astro untuk meminta klarifikasi, Astro menjawab dengan tiga inti jawaban. Pertama, Astro sudah mendapat izin penanaman modal asing dari BKPM dan kedua, Astro sudah mengantongi izin frekuensi dari Dirjen Postel. Sedang jawaban ketiga, Astro tidak mengakui berlakunya UU Penyiaran mengingat Peraturan Pemerintah (PP)-nya belum keluar. Dengan demikian, Astro hanya mengakui UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi”.

Selanjutnya perusahaan televisi swasta adalah lembaga penyiaran swasta yang bidang usahanya menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, berbentuk badan hukum Indonesia dan bersifat komersial. Pertelevisian22 sebagai suatu industri informasi memerlukan suatu infrastruktur informasi yang identik dengan teknologi tinggi serta investasi yang cukup mahal. Sehingga industri televisi memiliki karakteristik tersendiri, yaitu padat modal (capital intensive), memerlukan skala ekonomis yang

besar supaya optimal, serta perputaran uangnya relatif lambat sehingga relatif lama

21 http://www.google.com, diakses tanggal 28 Juli 2009

22 Yang dimaksud dalam pertelevisian disini adalah perusahaan penyelenggara jasa penyiaran televisi.


(29)

untuk balik modal.23 Menurut Nenny Soemawinata (direktur keuangan RCTI) kebutuhan modal industri televisi sangat besar, sehingga mau tak mau larangan investasi langsung dari asing ke media elektronik itu harus dibuka.24

Sifat industri broadcast (termasuk televisi) khususnya siaran berlangganan

adalah padat modal, dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang sangat cepat dan menjadi ajang pemasaran produk.25 Secara ekonomis, kehadiran media massa menggerakkan usaha dalam berbagai sektor seperti produksi, distribusi dan konsumsi jasa media massa.26 Dari segi permodalan, trilyunan rupiah telah dikucurkan dalam industri ini. Namun, jumlah tersebut diikuti pula oleh perputaran uang yang tergolong menggiurkan. Dari penerimaan iklan, misalnya, pada tahun 1999 lalu sedikitnya Rp 3,4 trilyun yang berhasil diraih.27 Saat krisis melanda Indonesia menariknya belanja iklan justru meningkat pesat. Pada 1998 jumlahnya mencapai Rp. 3,75 trilyun dan terus melonjak sampai Rp. 9,7 trilyun pada 2001, 28 sementara hasil riset Nielsen mengungkapkan total belanja iklan di televisi pada tahun 2003 sebesar Rp 11, 658 triliun.29.

23 Riri Satria, Sistem Multimedia dan Keberaksaraan, Sinar Harapan, 8 Oktober 2001, www.sinarharapan.co.id, diakses tanggal 28 Juli 2009

24 Max Wangkar, Medan Penyiaran Siapa Mau Kuasa, Majalah Pantau, Tahun II Nomor 11, Maret 2001, www.pantau.or.id, diakses tanggal 28 Juli 2009

25 Ishadi, Kompetensi Dalam Rangka Meningkatkan Keterjangkauan Layanan Telematika Bagi Pembangunan Masyarakat Indonesia, Makalah dalam Raker Mastel, di Jakarta, 1 Maret 2004

26 Steven H Chaffee, “The Interpersonal Context of Mass Communication” in Current Perspective in Mass Communication Reseach, ed by F Gerald Kline and Phillips J Tickenor, Sage Publication, 1972, hal.114

27 Tim Litbang Kompas, Saatnya Publik Berkuasa atas Televisi, Kompas Cyber Media, 25 Agustus 2000, www.kompas.com, diakses tanggal 30 Juli 2009

28 Arif Rusli dkk, Mengendalikan Televisi Dari Negara ke Yang Satu ini, Media Kerjabudaya Online, http://mkb.kerjabudaya.org


(30)

Sebagai salah satu media komunikasi, peran penyiaran televisi30 memang begitu dominan, hal tersebut terlihat dari keadaan dimana lebih dari 20 jam sehari, jutaan pasang mata duduk di depan pesawat televisi menyaksikan apa pun yang disuguhkan oleh televisi.31 Televisi mampu menyatukan perhatian penduduk Indonesia dalam waktu bersamaan.32 Sehingga industri pertelevisian merupakan sarana efektif untuk mencerdaskan kehidupan bangsa; memperkukuh persatuan dan kesatuan dan membentuk kepribadian bangsa. Televisi sebagai budaya merupakan bagian yang krusial dari dinamika sosial yang memelihara struktur sosial dalam suatu proses produksi dan reproduksi yang konstan melalui makna, berupa populer pleasures, dan

oleh karena itu sirkulasinya adalah bagian dan merupakan parcel struktur sosial. Televisi didisain sebagai institusi media yang, antara lain, memiliki fungsi informatif-edukatif, membentuk kepribadian bangsa, bertujuan menangkal pengaruh budaya asing, menjadi tuan rumah di negeri sendiri, atau memelihara dan melestarikan kebudayaan nasional.33

Di tengah krisis multidimensional, termasuk ancaman disintegrasi bangsa, televisi mempunyai peran penting dalam eksplorasi gagasan identitas budaya dan realitas politik.34 Industri televisi khususnya lembaga penyiaran berlangganan

30 Pasal 1 ayat (4) UU No.32 Tahun 2002: Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan.

31 Victor Manayang, Sangat Besar, Pengaruh TV bagi Karakter, Bali Post, 29 April 2002 32 Ibid

33 BM Mursito, Budaya Televisi dan Determinisme Simbolik, Pusat Studi Unversitas Terbuka, www.infosia.ut.ac.id, diakses tanggal 30 Juli 2009

34Agunghima, Televisi dan Refleksi Masa Depan, Suara Merdeka, 24 Agustus 2001, www.suaramerdeka.com, diakses tanggal 30 Juli 2009


(31)

dikatakan sangat strategis lantaran televisi tidak hanya berfungsi sebagai sumber keuntungan ekonomis, namun kekuatannya mampu membentuk citra.35. Oleh karena itu, meskipun berbalut unsur komersial, televisi tetap menjadi alat dari sebuah kepentingan. Tidak heran, meskipun tahun-tahun terakhir krisis ekonomi turut berpengaruh terhadap industri ini, keinginan pemilik modal berinvestasi di bidang ini tidak menyurut.36 Begitu strategisnya peranan televisi khususnya penyiaran berlangganan serta besarnya perputaran uang dalam industri pertelevisian ini sepertinya telah menyebabkan baik pihak asing maupun pemegang saham dalam negeri perusahaan televisi swasta berlangganan itu sendiri, dalam kaitan kepemilikan pihak asing dan perizinan, hampir tidak memperdulikan batasan yang ditentukan oleh undang-undang penyiaran. Hal ini dapat dilihat dalam penanganan tindak pidana penyiaran yang dilakukan oleh Satuan Reserse Kriminal Poltabes MS terhadap lembaga penyiaran berlangganan Astro yang melakukan tindak pidana memasang perangkat penerima siaran televisi yang dapat menerima siaran tekevisi yang dipancarkan oleh lembaga penyiaran berlangganan asing tanpa izin dan/atau menyelenggarakan kegiatan penyiaran televisi tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan atau Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Adapun deskripsi kasus dimaksud sebagai berikut:37

”Pemancaran siaran televisi yang dilakukan oleh lembaga penyiaran berlangganan asing dilakukan dengan pemasangan antena parabola yang dilakukan oleh para tekhnisi atau tukang pemasangan parabola dari Toko

35 Tim Litbang Kompas, Loc.cit 36 Ibid


(32)

Bintang Parabola yang dimiliki oleh Susanto Alias A Seng beralamat di Jl. Logam No. 20 Medan kepada konsumen guna menerima siaran televisi yang dipancarkan oleh lembaga penyiaran berlangganan Astro yang berlamat di Negara Malaysia. Pemasangan antena parabola dimaksud termasuk penerima sinyal LNB, Reciver atau Decoder yang didalamnya sudah terpasang Kartu Tayang Astro. Kegunaan pemasangan yakni menerima siaran yang dipancarkan oleh Lembaga Penyiaran Berlangganan Astro melalui televisi. Harga pembelian antena parabola dan penerima sinyal LNB, Reciver atau Decoder yang di dalamnya sudah terpasang Kartu Tayang Astro adalah Rp. 800.000,00 (delapan ratus ribu rupiah) sedangkan ongkos pasangnya adalah Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah). Disamping itu konsumen juga dikenakan biaya iuran berlangganan yang besarnya biaya iuran tergantung dari paket siaran Astro yang sudah ditentukan oleh Toko Bintang Terang dan paket siaran yang diminati konsumen. Ada 4 (empat) paket Astro yang siarannya dapat diaktifkan siarannya oleh Toko Bintang Televisi Terang yakni Paket Famili, Paket Movies, Paket Dynasty dan Paket Dynasty ditambah Movies serta paket tambahan lainnya yakni New Emperor, Gold, Maharaja, Metro, Astro Demand dan Box Office, harga tiap paket berbeda yaitu Paket Family Rp. 4.600.000.00 (empat juta enam ratus ribu rupiah). Paket Movies Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah), Paket Dinasty Rp. 6.200.000.00 (enam juta dua ratus ribu rupiah), Paket Dinasty ditambah Movies Rp. 6.200.000.00 (enam juta dua ratus ribu rupiah), besarnya biaya paket tersebut ditentukan oleh Toko Bintang Terang sesuai dengan daftar harga yang ditentukan oleh Toko Bintang Terang”.

Tindak pemberantasan yang dilakukan oleh Polri terhadap tindak pidana penyiaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran swasta khususnya siaran berlangganan merupakan bahagian dari politik kriminal yang dimulai dari kriminalisasi terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana. Kasus lain dapat digambarkan dari upaya represif yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya dengan melakukan penggerebekan agen-agen Astro Malaysia yang menjual produk siaran Malaysia langsung kepada pemirsa di Indonesia. Polda Metro Jaya berhasil menemukan bukti transfer biaya berlangganan Astro Malaysia di sebuah rumah di kawasan ruko Pasar Modern Sarua, Perumahan Vila Dago, Ciputat, Tanggerang.


(33)

Penggerebekan yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan pangsa pasar yang besar bagi Astro Malaysia yang tidak mengantongi izin siaran di Indonesia. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Arya Mahendra Sinulingga bahwa “ Ini tanda Indonesia memang menjadi pangsa pasar yang besar bagi Astro Malaysia yang sudah tidak mengantongi izin siaran di Indonesia, ini jelas pelanggaran yang harus ditangani Polisi maupun Departemen Kominfo”.38 Adapun deskripsi hasil tindakan yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya sebagai berikut:39

“sejumlah barang bukti yang menunjukkan adanya penjualan siaran gelap itu antara lain bukti transfer pembayaran berlangganan, dekoder dan parabola. Dekoder milik Astro Indonesia berwarna hitam tetapi yang dijumpai petugas berwarna silver. Padahal Astro Malaysia sudah menghentikan pasokan dekoder untu PT. Direct Vision (DV) selaku pemegang hak siaran Astro di Indonesia yang sah. Dari keterangan sejumlah saksi polisi mengindikasi adanya pengiriman dekoder gelap untuk menangkap siaran langsung dari Malaysia. Siara tanpa izin langsung dari Astro Malaysia yang bisa ditangkap satelit Indonesia menggunakan satelit Measat. Saat ini, satelit tersebut tidak mempunyai izin labuh di Indonesia. Perangkat dekoder dan parabolanya tidak disertifikasi oleh Ditjen Postel. Siarannya belum mendapat rekomendasi dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Modus siaran illegal dengan menggunakan dealer-dealer di Indonesia untuk mencari pelanggan. Saat penggerebekan polisi meminta keterangan petuga dealer dan pelanggan. Siaran itu bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang menyatakan bahwa segala penyiaran yang dilakukan di negera RI harus dilakukan oleh perusahaan di Indonesia yang mempunyai izin dari pemerintah, semua alat-alat penyiaran yang digunakan harus disertifikasi oleh Ditjen Postel dan sistem konfigurasi penyiaran harus lulus uji coba yang diselenggarakan pemerintah. Perangkat fasilitas up link bagi penyiaran harus

berlokasi di Negara RI”.

38 Arya Mahendra Sinulingga, Sekretaris Perusahaan PT. MNC Skyvision, www.kabarindonesia.com, diakses tanggal 29 Juli 2009


(34)

Di Indonesia perangkat hukum yang mengatur tentang lembaga penyiaran di dalam undang-undang penyiaran tentunya sangat berkaitan dengan kepastian hukum untuk meminta pertanggungjawaban pelaku khususnya lembaga penyiaran.40 Pemberantasan pelaku yang telah dikriminalisasi di dalam undang-undang penyiaran untuk dapat dipidananya perbuatan (de strafbaarheid van het feit atau het verboden zijr van het feit) menggunakan perangkat hukum yang diatur di dalam undang-undang

yang berkaitan dengan teknologi informasi maupun KUH Pidana, artinya bahwa penggunaan kriminalisasi merupaka penjabaran dari asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana yakni “nullum delictum, nulla poena, sine pravia lege poenali”. 41

40 Lihat, Ridwan Khairandy,

Pembaharuan Hukum Kontrak Sebagai Antisipasi Transaksi Electronic Commerce, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 16, November 2001, hal. 62 bahwa di Amerika Serikat pengaturan cyberlaw tidak dituangkan dalam satu undang-undang tertentu. Amerika Serikat antara lain memiliki The Digital Signature Act of 1999 yang ditujukan untuk mengatur standar tanda tangan elektronik, ketentuan dimaksud untuk memberikan perlindungan konsumen dari perusahaan yang mencoba untuk berbuat confuse dengan electronic disclosure atau memaksa mereka untuk melepaskan hak mereka terhadap paper record. Berkaitan dengan pengaturan domain names, Amerika Serikat telah menambahkan Pasal 43 (d) Trademark Act of 1946, Lanham Act yang diamandemen. Pasal 43 (d) mengatur mengenai cyberpiracy prevention.

41 Mulyanto dalam Faisal Salam, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Pustaka, Bandung, 2004), hal. 87, bahwa KUH Pidana adalah merupakan suatu kodifikasi hukum pidana yang tidak semua tindak pidana dimasukkan dalam kodifikasi tersebut. Tetapi hal ini tidak mungkin karena selalu timbul perbuatan-perbuatan yang karena perkembangan masyarakat yang tadinya bukan merupakan tindak pidana lalu menjadi tindak pidana. Sebagaimana diketahui dalam KUH Pidana terdapat suatu bagian yang memuat aturan umum yaitu buku kesatu, yang memuat asas-asas hukum pidana pada umumnya dan defenisi-defenisinya yang berlaku bagi seluruh bidang hukum pidana positif, baik yang dimuat dalam KUH Pidana maupun yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Aturan penutup dari buku kesatu KUH Pidana (Pasal 103) menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII dari buku kesatu juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan-ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang yang bersangkutan ditentukan lain. Jadi semua tindak pidana di luar KUH Pidana harus tunduk pada aturan-aturan umum yang dimuat dalam buku kesatu KUH Pidana itu, kecuali apabila secara khusus diatur oleh peraturan perundang-undangan itu sendiri. Peraturan perundang-undangan yang memuat tindak pidana di luar KUH Pidana itu, berbeda dengan KUH Pidana. Sebab pada umumnya selain mengatur tentang segi-segi hukum pidana materiil (perumusan tindak pidana, macam-macam pidana dan lain-lain), juga mengatur secara khusus tentang segi-segi hukum pidana formal, yaitu bagaimana cara melaksanakan hukum pidana materiil itu, misalnya pengusutan, penuntutan, mengadili perkara dan lain-lain.


(35)

Sifat represif dalam menanggulangi tindak pidana yang dilakukan oleh lembaga penyiaran dengan menggunakan undang penyiaran dan undang-undang yang berkaitan dengan penyiaran merupakan tindakan pemberatasan dan sekaligus penumpasan terhadap kejahatan oleh pihak kepolisian yang menempatkan Polri sebagai penyidik adalah merupakan salah satu suatu proses dari penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana, hal tersebut telah dirumuskan dalam pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa penyidikan yang dilakukan oleh pihak penyidik kepolisian adalah merupakan “serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut tata cara yang telah diatur dalam undang-undang untuk itu perbuatan berupa mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya”. Di bidang lembaga penyiaran Kepolisian Negara Republik Indonesia telah membuat Nota Kesepahaman dengan KPI menyangkut dugaan terjadinya tindak pidana di bidang penyiaran. Adapun isi dari nota kesepahaman dimaksud sebagai berikut:

“KPI sesuai tugas dan kewenangannya wajib membantu Polri secara teknis dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan terjadinya tindak pidana di bidang Penyiaran. Bantuan teknis yang diberikan oleh KPI meliputi:

a. Pemberian barang bukti berupa bahan siaran, rekaman audio, rekaman video, foto, dan/atau dokumen.


(36)

b. Membantu menghadirkan saksi dan ahli.

Undang-undang penyiaran yang mengatur tentang lembaga penyiaran, perizinan dan isi siaran dapat diartikan sebagai ”Ultimum Remedium” terhadap pelaku

tindak pidana penyiaran yang menempatkan fungsi undang-undang sebagai sarana untuk mempertahankan ketertiban dalam masyarakat dan merupakan politik kriminal dari pemerintah.42 Oleh karenanya perkembangan produk perundang-undangan harus mengikuti perkembangan masyarakat, dimana dengan perkembangan masyarakat ini jenis kejahatan juga semakin meningkat,43 salah satunya adalah meningkatnya kejahatan di bidang penyiaran misalnya penyiaran tanpa izin yang telah ditentukan oleh undang-undang penyiaran dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).44 Di samping itu undang-undang penyiaran telah menentukan bahwa dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan siaran berlangganan melalui satelit dan barangsiapa denga sengaja tanpa izin menyelenggarakan siaran berlangganan melalui kabel.45 Berdasarkan perkembangan tindak pidana penyiaran ini maka sistem pertanggungjawaban pelaku

42 Lihat, Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 31, bahwa sifat hukum pidana sebagai ultimum remedium menghendaki apabila tidak perlu sekali hendaknya jangan menggunakan hukum pidana sebagai sarana.

43 Lihat, Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1984), hal. 89, bahwa keharusan untuk memperbaharui hukum pidana disebabkan oleh perkembangan kriminalitas yang berkaitan erat dengan perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia secara keseluruhan yang sedang mengalami proses modernisasi.

44 Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran 45 Pasal 68 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran


(37)

kejahatan harus disesuaikan dengan perkembangan kejahatan yang semula menempatkan manusia sebagai subjek hukum pidana yang didasarkan atas adanya kesalahan, sebagaimana terlihat dari kata-kata dalam setiap pasal KUH Pidana, yakni ”Barang Siapa” merupakan penunjukan bahwa manusialah yang dianggap sebagai subjek hukum pidana. Kemudian pada perkembangannya korporasi dapat diminta pertanggungjawaban.46

Ketentuan pidana yang terdapat di dalam undang-undang penyiaran tidak secara tegas mengklasifikasi bahwa perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi sebagai perbuatan yang dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.47 Undang-undang penyiaran menyatakan bahwa subjek hukum yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana yakni setiap orang. Hal ini mengadung arti bahwa lembaga penyiaran sebagai korporasi berdasarkan ketentuan perundang-undangan penyiaran tidak termasuk dalam subyek yang dapat dipidana. Hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat dengan mengingat lembaga penyiaran merupakan subjek yang juga mempunyai sejumlah kewajiban, walaupun korporasi telah diterima sebagai sujek hukum dalam tindak pidana tertentu dan seharusnya dapat diikuti oleh undang-undang di bidang penyiaran. Salah satu pertimbangannya adalah bahwa tindak pidana di bidang penyiaran termasuk dalam kepentingan nasional.

46 Dwidja Priyatno,

Kebijakan Legalisasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, cet.I (Bandung: Utomo, 2004), hal. 42

47 Lihat, Pasal 57 sampai dengan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran


(38)

Pada mulanya korporasi tidak diterima untuk melakukan pertanggungjawaban pidana, hal ini karena korporasi tidak mempunyai perasaan seperti manusia sehingga tidak mungkin melakukan kesalahan. Kemudian, pidana penjara tidak mungkin diterapkan terhadap korporasi. Namun karena adanya dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan korporasi terhadap kesejahteraan umum, timbul juga pemikiran untuk mempertanggung jawabkan korporasi dalam perkara pidana. Sekarang ini korporasi atau badan-badan usaha dalam dunia bisnis dapat diminta pertanggungjawaban pidananya secara luas atas tindakan kriminal yang dilakukan oleh agen-agen korporasi yang bertindak atas nama korporasi tersebut.48

Selanjutnya, timbul berbagai persoalan dengan diterimanya lembaga penyiaran sebagai subjek pelaku tindak pidana dalam arti dapat dipertanggungjawabkan, khususnya yang menyangkut masalah tindakan dan pertanggungjawaban lembaga penyiaran. Asas tiada pidana tanpa kesalahan (asas kesalahan) yang berlaku dalam hukum pidana selama ini dapat menghambat penegakan hukum terhadap lembaga penyiaran yang melakukan tindak pidana di bidang penyiaran. Tindakan yang dilakukan oleh lembaga penyiaran dengan maksud melakukan pelanggaran terhadap undang-undang penyiaran, maka lembaga penyiaran adalah pelaku kejahatan di bidang penyiaran yang dapat dikategorikan


(39)

sebagai pelaku jenis kejahatan kerah putih (white collar crime)49 yang sulit untuk

dideteksi, penyebabnya adalah perangkat hukum perundang-undang khususnya hukum pidana materil masih mengandung prinsip pertanggungjawaban karena adanya kesalahan (schuld) dan melawan hukum (wederechtelijk) sebagai syarat untuk

pengenaan pidana,50 sehingga untuk pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana diperlukan beberapa syarat yakni adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat, adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan, Adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab; dan tidak ada alasan pemaaf.

B. Permasalahan

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

49 Clarke dalam Edi Setiadi, Hukum Pidana Ekonomi, (Bandung: Fakultas Hukum Universitas Islam, 2004), hal. 25, mempergunakan istilah Business Crime, kedalam istilah ini termasuk tindak pidana yang berkaitan dengan dan terjadi didalam kegiatan perdagangan, keuangan, perbankan dan kegiatan perpajakan. Clarke telah memperluas pengertian business crime yaitu suatu kegiatan yang (selalu) memiliki konotasi legitimate business dan tidak identik dengan kegiatan suatu sindikat kriminil. Dengan demikian Clarke membedakan secara tegas kegiatan yang termasuk business crime disatu pihak dengan kegiatan yang dilakukan oleh suatu sindikat kriminal yang juga bergerak didalam kegiatan perdagangan. Clarke telah mengungkapkan dan menyebutkan dua wajah khas dari suatu business crime, yaitu pertama, suatu keadaan legitimatif untuk melaksanakan kegiatannya yang bersifat eksploitasi, dan kedua, suatu akibat khas ialah sifat kontestabiliti dari kegiatannta dalam arti kegiatan yang dipandang illegal menurut undang-undang masih dapat diperdebatkan oleh para pelakunya.

50 Bandingkan, Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Badan Penyediaan Bahan-bahan Kuliah FH Undip, 1987/1988), hal. 85, bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjektive guilt). Dengan perkataan lain orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.


(40)

1. Bagaimana penentuan kriminalisasi terhadap lembaga penyiaran di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap lembaga penyiaran berlangganan khususnya terhadap isi siaran?

3. Bagaimana upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana lembaga penyiaran berlangganan?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui penentuan kriminalisasi terhadap lembaga penyiaran di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap lembaga penyiaran berlangganan khususnya terhadap isi siaran.

3. Untuk mengetahui upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana lembaga penyiaran.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan baik secara praktis maupun teoritis yaitu:

1. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait di bidang penyiaran terutama menyangkut kriminalisasi tindak pidana penyiaran oleh lembaga penyiaran sehingga dijadikan kerangka oleh aparat penegak hukum dalam mencari pertanggungjawaban pelaku tindak pidana


(41)

di bidang penyiaran oleh lembaga penyiaran. Selain itu, penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam mengatasi tindak pidana kejahatan korporasi. 2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan untuk penelitian

lebih lanjut terhadap kriminalisasi tindak pidana di bidang penyiaran agar dapat menjerat pertanggungjawaban pelaku tindak pidana khususnya lembaga penyiaran.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi yang ada penelusuran kepustakaan di lingkungan universitas sumatera utara, penelitian dengan judul Tinjauan Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Lembaga Penyiaran Berlangganan Melalui Kriminalisasi di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya. Sehingga dapat dikatakan penelitian ini asli dan keaslian secara akademis keilmuan dapat dipertanggung jawabkan.

F. Landasan Teori dan Konsepsional Penelitian 1. Landasan Teori Penelitian

Keberadaan UU Penyiaran sebagai suatu aturan (rule of law) adalah berbanding


(42)

masyarakat itu sendiri terhadap informasi hukum yang tengah berlaku,51 artinya bahwa dapat ditarik titik temunya dengan melihat sejauh mana efektivitas suatu sistem hukum dapat berlaku dengan baik di tengah-tengah masyarakat baik sebagai subjek maupun objek informasi (social behaviour). Efektivitas UU Penyiaran sebagai

suatu norma sangat erat kaitannya dengan pengaruh hukum terhadap masyarakat, inti dari pengaruh hukum terhadap masyarakat adalah perilaku masyarakat yang sesuai dengan hukum yang berlaku atau yang telah diputuskan walaupun efektivitas ini pada hakekatnya memiliki muatan politis yang diinginkan oleh pembuat undang-undang.52

Selanjutnya, hukum menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya, sedangkan dilain pihak efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembentukan undang-undang.53 Untuk memprediksi efektivitas suatu kaedah hukum yang terdapat didalam undang-undang tidak terlepas dari sistem hukum yang rasional, karena pada sistem hukum rasional yang memberikan panduan adalah hukum itu sendiri bukan sistem

51 Hikmahanto Juwana, Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia, Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, Sub Tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52 Medan, Sabtu 14 Agustus 2004, bahwa hukum menjadi berarti secara rasional apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum untuk menuruti perilakunya, sedangkan dilain pihak efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung ada nilai universal dari tujuan dan alasan pembentukan undang-undang tersebut.

52 Wayne La Farve dalam Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004), hal. 7


(43)

hukum yang kharismatik yang disebut sebagai “law prophet”. Sistem hukum rasional

dielaborasi melalui sistem keadilan yang secara profesional disusun oleh individu-individu yang mendapatkan pendidikan hukum, cara demikian membuat orang terhindar dari penafsiran hukum secara black letter rules atau penafsiran legalistik.54

Kaedah hukum tersebut ada yang berwujud sebagai peraturan-peraturan tertulis, keputusan-keputusan pengadilan maupun keputusan-keputusan lembaga-lembaga kemasyarakatan.55

Penerapan suatu sistem hukum rasional dalam sistem pertanggungjawaban lembaga penyiaran tentunya memberikan dampak pada proses penegakan hukum di Indonesia terutama dalam hal kebijakan pemberlakuan hukum. Guna pencapaian tujuan tersebut maka diperlukan Kriminalisasi kejahatan korporasi di bidang penyiaran yang mensyaratkan bahwa korporasi melakukan tindak pidana dengan memperhatikan fungsionalisasi pidana penyiaran. Sebelum membahas kriminalisasi lembaga penyiaran terlebih dahulu dikemukakan tentang pengertian tindak pidana dan kebijakan kriminalisasi sebagai upaya untuk mengfungsionalisasikan hukum pidana.

Sistem pertanggungjawaban korporasi di bidang penyiaran yang diawali dengan kriminalisasi di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran di dalam konsep pertanggungjawaban pidana tidak dapat dipisahkan dari

54Lihat, Bismar Nasution, Hukum Rasional Untuk Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Eonomi, sub tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu 14 Agustus 2004, hal. 8

55 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Edisi Baru, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 3


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Agustina, Rosa, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Program Pascasarjana

Universitas Indonesia, 2003

Armada, Wina, Wajah Hukum Pidana Pers, Jakarta: Pustaka Kartini, 1989

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti, 1996

---, Sari Kuliah Pebandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2002

---, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Stelsel Pidana, Teori-teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2002

Dye, Thomas R, Politics in America, 5th Edition, Prentice Hall Inc, 1995

Edwards, Lee, Media Politics: How the Mass Have Transformed Politics,

Washington: Catholic University of America Press, Wanshington, 2001 Friedmen, Lawrence, America Law An Introduction , sebagaimana diterjamahkan

oleh Wisnu Basuki, Jakarta: PT Tatanusa, 1984

Fuady, Munir, Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2004

Hatrik, Hamzah, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Strict Liability dan Vicarius Liability, Jakarta: Raja Grafindo,

1996

Head, Sydney W, Christopher H Sterling, Broadcasting In America; A Survey of Television, Radio and New Technologies, Boston: 4th Edition, Houghton


(2)

Makarim, Edmon, Sekilas Perkembangan Teknologi Sistem Informasi Dan Komunikasi dalam Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2004

Mertokusumo, Sudikno dan A.Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung:

Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993

---, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,

1999

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya,

2002

Morissan, Media Penyiaran Strategi Mengelola Radio dan Televisi, Tanggerang:

Ramdina Perkasa, 2005

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung:

Alumni, 1984

Poreno, Sam Abede, Media Massa antara Realitas dan Mimpi, Surabaya: Papyrus,

2005

Priyatno, Dwidja, Kebijakan Legalisasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, cet.I, Bandung: Utomo, 2004

Prodjodikoro, Wirjono, Perbuatan Melanggar Hukum, Bandung: Sumur Bandung,

1976

Rasjidi, Lili dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja

Rosdakarya, 1998

Reksodiputro, Marjono, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Jakarta:

Kumpulan Karangan Buku Kesatu, Pusat Layanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994

Remmelink, Jan, Hukum Pidana, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003

Salam, Faisal, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Pustaka, Bandung,

2004

Saleh, Ruslan, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Aksara


(3)

---, Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana. Jakarta: Aksara Baru, 1973

Saefullah, Endang, Beberapa Masalah Pokok tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Udara, (Bandung: Pusat Penerbit LPPM Universitas Islam

Bandung, 1995

Sahetapy, J.E, Kejahatan Korporasi, Bandung: Penerbit Eresco, 1994

Setiadi, Edi, Hukum Pidana Ekonomi, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Islam,

2004

Shofie, Yusuf, Pelaku Usaha, Konsumen, Dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta:

Ghalia Indonesia, 2002

Sitorus, Oloan dan Darwinsyah Minin, Cara Penyelesaian Karya Ilmiah Di Bidang Hukum (Panduan Dasar Menuntaskan Skripsi, Tesis dan Disertasi), Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2003

Sianturi, E. Y. Kanter, S. R., Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapnnya, Jakarta: Cetakan I (Alumni AHM-PTHM), 1982

Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor Yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja

Grapindo Persada, Jakarta, 2004

---, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Edisi Baru, (Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2001

---, dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di dalam Penelitian Hukum, Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 1979

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986

---, Hukum Pidana I, Semarang: Badan Penyediaan Bahan-bahan Kuliah FH

Undip, 1987/1988

B. Makalah, Internet, Jurnal

Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Hukum Pidana, Makalah disampaikan pada


(4)

---, Kebijakan Kriminal, Makalah disampaikan pada Seminar

Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991

---, Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penaggulangan Kejahatan,

Makalah disampaikan pada Seminar Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991

Agunghima, Televisi dan Refleksi Masa Depan, Suara Merdeka, 24 Agustus 2001,

www.suaramerdeka.com

Aswas, Oos M., Antara Televisi, Anak, dan Keluarga (Sebuah Analisis), Pustekom,

www.pustekkom.go.id

Baoill, Andrew Ó, The Effect of Ownership Structure on the Media Agenda,

www.funferal.org

Berita Acara Pemeriksaan Saksi di Satuan Reserse Kriminal Poltabes MS Cakram Komunikasi, http://www.google.co.id

Chaffee, Steven H, “The Interpersonal Context of Mass Communication” in Current Perspective in Mass Communication Reseach, ed by F Gerald Kline and Phillips J Tickenor, Sage Publication, 1972

Cross, Donna Woolfolk, Media-speak, How Television Makes Up Your Mind, New

York, New Amercian Library, 1983 http://www.yahoo.co.id, lembaga penyiaran

Ishadi, Kompetensi Dalam Rangka Meningkatkan Keterjangkauan Layanan Telematika Bagi Pembangunan Masyarakat Indonesia, Makalah dalam Raker Mastel, di Jakarta, 1 Maret 2004

James W Dearing, and Rogers, Everett M., Agenda-Setting. Sage Publications Inc,

1996

Jumlah Belanja Iklan Sekitar Rp 25 Triliun,Kompas Cyber Media,17 Januari 2005

Juwana, Hikmahanto, Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia, Disampaikan

Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, Sub Tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52 Medan, Sabtu 14 Agustus 2004


(5)

Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta, Andriani Nurdin, http://www.google.com

Khairandy, Ridwan, Pembaharuan Hukum Kontrak Sebagai Antisipasi Transaksi Electronic Commerce, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 16, November 2001 Kuswita, Herry, Dampak Isi Pesan Media Massa, Jurnal Teknodik, Edisi

No.7/IV/Teknodik/Oktober/1999

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 005/PUU-I/2003

Manayang, Victor, Sangat Besar, Pengaruh TV bagi Karakter, Bali Post, 29 April

2002

Mursito, BM, Budaya Televisi dan Determinisme Simbolik, Pusat Studi Unversitas

Terbuka, www.infosia.ut.ac.id

Muladi, Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berkualitas Indonesia, Makalah dalam

rangka HUT FH UNDIP, Semarang, tanggal 11 Januari 1988

Nasution, Bismar, Hukum Rasional Untuk Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan

Eonomi, sub tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu 14 Agustus 2004

Nugroho, Bimo, Anggota Komisi Penyiaran, http://www.google.com, Pertanggungjawaban Pidana Lembaga Penyiaran, http://www.google.com,

Ritonga, Ucok, Belanja Iklan Indonesia Tumbuh 34 Persen, Tempo Interaktif.com,

27 November 2002

Rusli, Arif dkk, Mengendalikan Televisi Dari Negara ke Yang Satu ini, Media

Kerjabudaya Online, http://mkb.kerjabudaya.org

Satria, Riri, Sistem Multimedia dan Keberaksaraan, Sinar Harapan, 8 Oktober 2001,

www.sinarharapan.co.id

Sinulingga, Arya Mahendra, Sekretaris Perusahaan PT. MNC Skyvision, www.kabarindonesia.com


(6)

Tim Litbang Kompas, Saatnya Publik Berkuasa atas Televisi, Kompas Cyber Media,

25 Agustus 2000, www.kompas.com

Televisi, Tempat Favorit untuk Belanja Iklan,Kompas Cyber Media, 15 Desember

2002

PT. Surya Citra Media, Prospektus Penawaran Umum, 2002

Wangkar, Max, Medan Penyiaran Siapa Mau Kuasa, Majalah Pantau, Tahun II Nomor 11, Maret 2001, www.pantau.or.id

Winarta, Frans Hendra, Kebebasan Pers dalam Perspektif Pidana Ditinjau dari RUU KUHP, http//www. hukum online

C. Peraturan

Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman KUH Pidana


Dokumen yang terkait

Prosedur Perolehan Perizinan Penyiaran Radio Swasta Lokal Berdasarkan Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran (Studi Pada Radio Most Fm Medan)

5 74 74

Perspektif hukum Islam tentang ekspose berita kriminal di media massa dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

0 19 273

LEMBAGA PENYIARAN SWASTA YANG MELAKUKAN KAMPANYE TERSELUBUNG GUNA KEPENTINGAN PRIBADI PEMILIK LEMBAGA PENYIARAN DALAM SALAH SATU PROGRAM SIARANNYA DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2002 TE.

0 0 1

PERANAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA TERHADAP PELANGGARAN KONTEN YANG BERMUATAN HIPNOTIS DALAM SIARAN YANG DITAYANGKAN OLEH LEMBAGA PENYIARAN SWASTA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2002 TENTANG P.

0 0 2

ANALISIS PUTUSAN NOMOR : 618/PID.SUS/2013/PN.PBR MENGENAI TINDAK PIDANA PENYIARAN TANPA IZIN LEMBAGA PENYIARAN OLEH PT MEKAR VISION DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN DA.

0 0 1

PERAN DEWAN PENGAWAS LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK TVRI DAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA DALAM MENJAGA NETRALITAS ISI PROGRAM SIARAN TVRI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN.

0 0 1

IMPLEMENTASI KEWENANGAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA DAERAH SULAWESI TENGAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN | KARATE | Legal Opinion 6671 22196 1 PB

0 0 18

PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN BERLANGGANAN

0 0 41

BAB II PENGATURAN TENTANG PENYIARAN DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG – UNDANG PENYIARAN NOMOR 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN A. Peraturan Perundang-Undangan tentang Perizinan Bagi Lembaga Penyiaran - Prosedur Perolehan Perizinan Penyiaran Radio Swasta Lok

0 0 7

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Prosedur Perolehan Perizinan Penyiaran Radio Swasta Lokal Berdasarkan Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran (Studi Pada Radio Most Fm Medan)

0 0 14