1. Bagaimana penentuan kriminalisasi terhadap lembaga penyiaran di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap lembaga penyiaran berlangganan khususnya terhadap isi siaran?
3. Bagaimana upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana lembaga penyiaran berlangganan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui penentuan kriminalisasi terhadap lembaga penyiaran di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap lembaga penyiaran berlangganan khususnya terhadap isi siaran.
3. Untuk mengetahui upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana lembaga penyiaran.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan baik secara praktis maupun teoritis yaitu:
1. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak- pihak yang terkait di bidang penyiaran terutama menyangkut kriminalisasi tindak
pidana penyiaran oleh lembaga penyiaran sehingga dijadikan kerangka oleh aparat penegak hukum dalam mencari pertanggungjawaban pelaku tindak pidana
Universitas Sumatera Utara
di bidang penyiaran oleh lembaga penyiaran. Selain itu, penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam mengatasi tindak pidana kejahatan korporasi.
2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut terhadap kriminalisasi tindak pidana di bidang penyiaran agar dapat
menjerat pertanggungjawaban pelaku tindak pidana khususnya lembaga penyiaran.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi yang ada penelusuran kepustakaan di lingkungan universitas sumatera utara,
penelitian dengan judul Tinjauan Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Lembaga Penyiaran Berlangganan Melalui Kriminalisasi di dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya. Sehingga dapat dikatakan penelitian ini asli dan keaslian secara
akademis keilmuan dapat dipertanggung jawabkan.
F. Landasan Teori dan Konsepsional Penelitian 1. Landasan Teori Penelitian
Keberadaan UU Penyiaran sebagai suatu aturan rule of law adalah berbanding lurus dengan melihat sejauh mana pemahaman hukum dan kesadaran hukum
Universitas Sumatera Utara
masyarakat itu sendiri terhadap informasi hukum yang tengah berlaku,
51
artinya bahwa dapat ditarik titik temunya dengan melihat sejauh mana efektivitas suatu
sistem hukum dapat berlaku dengan baik di tengah-tengah masyarakat baik sebagai subjek maupun objek informasi social behaviour. Efektivitas UU Penyiaran sebagai
suatu norma sangat erat kaitannya dengan pengaruh hukum terhadap masyarakat, inti dari pengaruh hukum terhadap masyarakat adalah perilaku masyarakat yang sesuai
dengan hukum yang berlaku atau yang telah diputuskan walaupun efektivitas ini pada hakekatnya memiliki muatan politis yang diinginkan oleh pembuat undang-undang.
52
Selanjutnya, hukum menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya,
sedangkan dilain pihak efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan
bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembentukan undang- undang.
53
Untuk memprediksi efektivitas suatu kaedah hukum yang terdapat didalam undang-undang tidak terlepas dari sistem hukum yang rasional, karena pada sistem
hukum rasional yang memberikan panduan adalah hukum itu sendiri bukan sistem
51
Hikmahanto Juwana, Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia, Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, Sub Tema: Reformasi Agraria Mendukung
Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52 Medan, Sabtu 14 Agustus 2004, bahwa hukum menjadi berarti secara rasional apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum
dan apabila masyarakat menggunakan hukum untuk menuruti perilakunya, sedangkan dilain pihak efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda
dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung ada nilai universal dari tujuan dan alasan pembentukan undang-undang tersebut.
52
Wayne La Farve dalam Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang mempengaruhi Penegakan Hukum
, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004, hal. 7
53
Lihat, Hikmahanto Juwana, Loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
hukum yang kharismatik yang disebut sebagai “law prophet”. Sistem hukum rasional dielaborasi melalui sistem keadilan yang secara profesional disusun oleh individu-
individu yang mendapatkan pendidikan hukum, cara demikian membuat orang terhindar dari penafsiran hukum secara black letter rules atau penafsiran legalistik.
54
Kaedah hukum tersebut ada yang berwujud sebagai peraturan-peraturan tertulis, keputusan-keputusan pengadilan maupun keputusan-keputusan lembaga-lembaga
kemasyarakatan.
55
Penerapan suatu sistem hukum rasional dalam sistem pertanggungjawaban lembaga penyiaran tentunya memberikan dampak pada proses penegakan hukum di
Indonesia terutama dalam hal kebijakan pemberlakuan hukum. Guna pencapaian tujuan tersebut maka diperlukan Kriminalisasi kejahatan korporasi di bidang
penyiaran yang mensyaratkan bahwa korporasi melakukan tindak pidana dengan memperhatikan fungsionalisasi pidana penyiaran. Sebelum membahas kriminalisasi
lembaga penyiaran terlebih dahulu dikemukakan tentang pengertian tindak pidana dan kebijakan kriminalisasi sebagai upaya untuk mengfungsionalisasikan hukum
pidana. Sistem pertanggungjawaban korporasi di bidang penyiaran yang diawali
dengan kriminalisasi di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran di dalam konsep pertanggungjawaban pidana tidak dapat dipisahkan dari
54
Lihat, Bismar Nasution, Hukum Rasional Untuk Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Eonomi, sub tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52,
Medan, Sabtu 14 Agustus 2004, hal. 8
55
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Edisi Baru, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001, hal. 3
Universitas Sumatera Utara
sistem pemidanaan yang dianut oleh konsepsi pemidanaan di Indonesia yakni KUH Pidana. Prinsip pertanggungjawabkan Pidana di Indonesia yang dianut oleh
Perundang-undangan terutama KUH Pidana didasarkan karena adanya kesalahan shuld dan melawan hukum wederechterlijk sebagai syarat untuk
pengenaan pidana, sehingga menyulitkan untuk meminta pertangggungjawaban korporasi apabila diletakkan dalam praktek penegakan hukum pidana terhadap
korporasi di bidang penyiaran. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan vewijtbaarheid yang objektif terhadap perbuatan yang telah
dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat
dikenai pidana karena perbuatannya. Untuk itu sistem pemidanaan yang dianut dalam konsepsi penegakan hukum yang mengabaikan pemidanaan bagi pelaku korporasi
menyebabkan berbagai kasus penanganan terhadap tindak pidana korporasi tidak sampai pada proses peradilan pidana.
Di dalam sistem pertanggungjawaban korporasi pada perkembangannya menyangkut pertanggungjawaban terdapat beberapa teori pertanggungjawaban
korporasi di antaranya:
56
1. Doktrin pertanggungjawaban pidana langsung Direct Liability Doctrine atau teori Indentifikasi Identification Theory atau disebut juga teoridoktrin alter ego
atau teori organ. Perbuatankesalahan pejabat senior senior officer diidentifikasikan sebagai perbuatan kesalahan korporasi.
56
I.S. Susanto, Kejahatan Korporasi, Semarang: Makalah Penataran Dosen Hukum Pidana dan Kriminologi, Undip, 1993, hal. 5
Universitas Sumatera Utara
2. Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Pengganti Vicarious Liability. Bertolak dari doktrin respondeat superior. Didasarkan pada employment principle
bahwa majikan adalah penanggungjawab utama dari perbuatan buruhkaryawan. 3. Doktrin pertanggungjawaban Pidana yang ketat menurut undang-undang Strict
Liability”. Pertanggungjawaban kotporasi semata-mata berdasarkan undang-
undang, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau tidak memenuhi kewajibankondisisituasi tertentu yang ditentukan undang-undang.
Menurut Muladi, berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi dan memperhatikan dasar pengalaman pengaturan hukum positif serta pemikiran yang
berkembang maupun kecendrungan internasional, maka pertanggungjawaban korporasi yang melakukan tindak pidana hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
57
1. Korporasi mencakup baik badan hukum legal entity maupun non badan hukum seperti organisasi dan sebagainya;
2. Korporasi dapat bersifat privat private juridical entity dan dapat pula bersifat publik public entity;
3. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam bentuk organisasional, maka orang alamiah managers, agents, employess dan
korporasi dapat dipidana baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama bi- punishmentprovision;
4. Terdapat kesalahan manajemen korporasi dan terjadi apa yang dinamakan breach of
-
a statutory or regulatory provision; 5. Pertanggungjawaban badan hukum dilakukan terlepas dari apakah orang-orang
yang bertanggungjawab di dalam badan hukum tersebut berhasil diidentifikasikan, dituntut dan dipidana;
6. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa Amerika
Serikat mulai dikenal apa yang dinamakan corporate death penalty dan corporate imprisonment
yang mengandung pengartian larangan suatu korporasi untuk berusaha di bidang-bidang usaha tertentu dan pembatasan-pembatasan lain terhadap
langkah-langkah korporasi dalam berusaha; 7. Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan
perorangan;
57
Muladi, Prinsip-prinsip dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam kaitannya Dengan UU No. 23 Tahun 1997
, Makalah, Seminar Kajian dan Sosialisasi W No. 23 Tahun 1997, FH UNDIP, Semarang, 1998, hal. 17 - 18.
Universitas Sumatera Utara
8. Pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memperhatikan kedudukan korporasi untuk mengendalikan perusalaaan, melalui kebijakan pengurus atau para pengurus
corporate executive officers yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan power of decision dan keputusan tersebut telah diterima accepred oleh
korporasi tersebut.
Selanjutnya tindak pidana berupa kejahatan merupakan suatu fenomena yang kompleks yang dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Itu sebabnya dalam
keseharian dapat ditangkap berbagai komentar tentang suatu peristiwa kejahatan yang berbeda satu dengan yang lain. Dalam pengalaman ternyata tidak mudah untuk
memahami kejahatan itu sendiri. Tindak pidana berasal dari istilah Belanda straafbaar feit.
yang berarti: “perbuatan yang dapat dihukum”
58
Sedangkan menurut Mulyatno, istilah tindak pidana disebut sebagai perbuatan pidana yang diartikan
sebagai: “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan
tersebut”.
59
Upaya dilakukan untuk menanggulangi tindak pidana secara optimal, pendekatan yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan sistem
pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan kriminalisasi. Kebijakan kriminalisasi sebagai usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan kejahatan
problem sosial yang dinamakan kejahatan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Sudah barang tentu tidak hanya dengan menggunakan sarana penal hukum pidana
tetapi dapat juga dengan menggunakan sarana-sarana non penal. Penanggulangan
58
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Stelsel Pidana, Teori-teori Pemidanaan Batas Berlakunya Hukum Pidana
, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 69
59
Ibid, hal. 71
Universitas Sumatera Utara
kejahatan dengan sarana hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk pencapaian hasil perundangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat
keadilan dan daya guna.
60
Salah satu upaya menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum termasuk hukum pidana merupakan bidang kebijakan penegakan hukum yang
bertujuan untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat. Upaya penanggulangan kejahatan pada hekekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan
masyarakat social wefare. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat.
61
Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitiberatkan pada sifat represive penindakan pemberantasan
penumpasan sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitiberatkan sifat preventif pencegahan penangkalan pengendalian sebelum
kejahatan terjadi.
62
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal adalah masalah penentuan:
63
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana. 2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
60
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Makalah disampaikan pada Seminar Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991, hal. 6
61
Lihat, Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal, Makalah disampaikan pada Seminar Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991, hal. 2
62
Lihat, Barda Nawawi Arief, Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penaggulangan Kejahatan
, Makalah disampaikan pada Seminar Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991, hal. 2
63
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat tindakan pencegahan
untuk terjadinya kejahatan maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif ini antara lain
berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhkan suburkan kejahatan. Dengan
demikian secara makro dan global maka upaya-upaya non penal menduduki posisi kunci dan startegis dalam menanggulangi sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang
menimbulkan kejahatan.
64
Menurut Barda Nawawi Arief, usaha untuk membuat peraturan pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan.
Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan kata lain jika dilihat dari sudut pandang politik kriminal, akan
terlihat bahwa politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.”
65
Selanjutnya Sudarto menyatakan, bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan
pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Selain itu juga, usaha penanggulangan
kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum pidana. Oleh karena itu sering juga dikatakan bahwa politik atau
64
Lihat, Barda Nawawi Arief, op-cit, hal. 3
65
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 29
Universitas Sumatera Utara
kebijakan hukum pidana merupakan juga bagian dari kebijakan penegakan hukum Law Enforcement Policy
.
66
Sehubungan dengan penegakan hukum pidana ini, maka Lawrence M. Friedman yang mengkaji dari sistem hukum legal system menyatakan bahwa ada
tiga komponen yang ikut menentukan berfungsinya suatu hukum dalam hal ini hukum pidana, yaitu struktur hukum, subtansi hukum, dan budaya hukumya. Dari
ketiga komponen inilah menurut Friedman kita dapat melakukan analisis terhadap berkerjanya hukum sebagai suatu sistem.
67
Kebijakan kriminal atau politik kriminal adalah suatu kebijakan atau usaha yang rasional dari masyarakat dan negara untuk menanggulangi masalah kejahatan,
khususnya penanggulangan tindak pidana dibidang perpajakan. Kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari kejahatan kriminal yang dapat diterjemahkan
sebagai suatu kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana.
Politik kriminal sebagai upaya penanggulangan pelaku tindak pidana korporasi dibidang penyiaran telah diintrodusir oleh undang-undang penyiaran,
dengan menyatakan bahwa guna mencapai keberhasilan penyelenggaraan penyiaran yang sesuai dengan haluan dasar penyiaran, UU Penyiaran telah menetapkan 4
empat karakteristik dalam penyiaran yang diberlakukan di Indonesia, yakni: a. Penyiaran diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional Pasal 6 ayat 1;
66
Ibid, hal., 27-28
67
Lawrence Friedmen, America Law An Introduction , sebagaimana diterjamahkan oleh Wisnu Basuki Jakarta: PT Tatanusa, 1984, hal. 6-7.
Universitas Sumatera Utara
b. Dalam sistem penyiaran nasional tersebut, negara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat Pasal 6 ayat 2; c. Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan
yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal. Adil dan terpadu yang dimaksud di sini dengan demikian
adalah pencerminan adanya keseimbangan informasi antardaerah serta antara daerah dan pusat Pasal 6 ayat 3
d. Untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk sebuah komisi penyiaran. Komisi ini kemudian disebut dengan Komisi Penyiaran Indonesia Pasal 7 ayat 1
Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa,
mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta
menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat,
kontrol dan perekat sosial. Dalam menjalankan fungsi tersebut, penyiaran juga mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan.
Selanjutnya kriminalisasi lembaga penyiaran diartikan sebagai upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana penyiaran dengan maksud
penggunaan seluruh upaya baik setelah kejahatan terjadi maupun sebelum kejahatan. Pemberantasan rindak pidana penyiaran adalah meminta pertanggungjawaban pelaku
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana dengan menerapkan sanksi hukum atas perbuatan yang telah dikriminalisasi, pertanggungjawaban pada sistem hukum pidana hanya diberikan
kepada orang yang bersalah azas “culpabilitas” tidak ada pidana tanpa kesalahan dan selalu didasarkan pada unsur subjektif atau mens rea dan unsur obejektifnya atau
actus reus . Di dalam mens rea yang harus dibuktikan yaitu mengenai atau patut
diduga knowladge dan berkaitan erat bermaksud intends. Korporasi dalam perkembangan masyarakat telah diterima sebagai subjek hukum pidana. Penerima ini
dapat berakibat hukum yaitu dapat melakukan hubungan hukum dan dapat menanggung akibatnya berupa pertanggungjawaban pidana. Kejahatan korporasi atau
kejahatan organisasi disebut juga dengan “corporate crime” dan harus dibedakan dengan kejatatan terorganisir atau “organized crime”. Perbedaannya dapat dilihat
pada definisi dari keduanya. Kejahatan terorganisir adalah kejahatan yang mempunyai sindikat kejahatan organized crime, seperti yang dilakukan oleh para
mafia. Sedangkan kejahatan korporasi adalah suatu bentuk kejahatan crime dalam bentuk “white collar crime”, merupakan tindakan yang melanggar hukum pidana,
yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak di bidang bisnis, melalui pengurus atau yang diotorisasi olehnya, di mana meskipun perusahaan
tidak pernah mempunyai niat jahat mens rea. Akan tetapi, dengan pertimbangan tertentu, perusahaan tersebut yang harus bertanggung jawab secara hukum dan
karenanya perusahaan tersebutlah yang harus dihukum pidana meskipun terbatas pada
Universitas Sumatera Utara
hukuman denda, hukuman percobaan, atau hukuman tambahan seperti pencabutan izin dan sebagainya.
68
Paradigma Reksodiputro juga memberikan perbedaan antara kejahatan korporasi dengan kejahatan terorganisasi. Paradigma tersebut membantu memberikan
alternatif penyelesaian dilemma perumusan tindak pidana korporasi serta membantu meluruskan kekeliruan pemahaman kejahatan oleh organisasi kejahatan korporasi
yang dirancukan dengan kejahatan terorganisasi. Pada kejahatan oleh organisasi, perhatian ditujukan pada perilaku perusahaan yang melawan hukum. Beliau juga
mengatakan bahwa : “……dalam kejahatan korporasi kita berbicara tentang organisasi yang sah
legal bodies; upperworld crimes yang dapat dibedakan antara yang
dilakukan korporasi perdata kejahatan oleh perusahaan dan yang dilakukan oleh korporasi publik, termasuk di sini adalah kejahatan oleh pemerintah dan
lebih luas lagi oleh negara”
69
Kejahatan korporasi harus juga dibedakan dengan kejahatan lain pada
umumnya, karena perilaku kejahatan ini termasuk apa yang dikenal sebagai “white collar crime
”. Kedudukannya sebagai “white collar crime” inilah yang memberikannya perhatian khusus, baik dari kalangan akademisi ahli kriminologi dan
ahli hukum pidana, maupun dari kalangan praktisi penegak hukum.
70
Di samping itu, Marshall B. Clinard memberikan pengertian tentang kejahatan korporasi sebagai
68
Munir Fuady, Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004, hal. 26
69
Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, Dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002, hal. 47
70
Marjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Jakarta: Kumpulan Karangan Buku Kesatu, Pusat Layanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia,
1994, hal. 65
Universitas Sumatera Utara
“white collar crime” , tetapi “white collar crime” dengan bentuk khusus yang
merupakan suatu kejahatan terorganisir organization crime yang terjadi dalam suatu hubungan relationship atau antar hubungan interrelationship yang tersturtur,
kompleks, dan sangat bervariasi antara para direksi, pejabat eksekutif perusahaan, dan menajer di satu pihak, dengan perusahaan induk, divisi, atau anak perusahaan di lain
pihak.
71
Hal ini terjadi karena ada kemungkinan perusahaanlah yang melakukan kejahatan, baik perusahaan sendiri maupun bersama-sama dengan pengurus,
komisaris, atau pemilik perusahaan. Para pakar hukum pada umumnya berpendapat sama tentang kejahatan
korporasi sebagai bagian dari “white collar crime”. Reksodiputro berpendapat serupa bahwa kejahatan korporasi merupakan bagian dari “white collar crime”.
Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa : “Kejahatan korporasi selalu berhubungan dengan kegiatan ekonomi atau
kegiatan yang berkaitan dengan dunia bisnis business related activities. Walaupun demikian, perlu ditegaskan perbedaan antara “corporate crimed”
dengan “small business offenses” kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan kecil atau terbatas. Konsepsi kejahatan hanya ditujukan kepada kejahatan yang
dilakukan oleh “big business” dan jangan dikaitkan dengan kejatahan oleh “small scalle business”
seperti penipuan yang dilakukan oleh warung atau toko di lingkungan pemukiman kita atau oleh bengkel reparasi kendaraan bermotor
dan sebagainya”.
72
Mengutip dari tulisan Stevens Box, Susanto menjelaskan ruang lingkup kejahatan korporasi sebagai berikut :
71
J.E Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Bandung: Penerbit Eresco, 1994, hal. 28
72
Yusuf Shofie, op.cit, hal. 44
Universitas Sumatera Utara
1. Crimes for corporation, adalah pelanggaran hukum dilakukan oleh korporasi dalam usaha mencapai tujuan korporasi untuk memperoleh
profit ; 2. Criminal corporation, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk
melakukan kejahatan ; 3. Crime against corporation, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi
seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi , yang dalam hal in yang menjadi korban adalah korporasi.
73
2. Landasan Konsepsional Penelitian