4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil cost and benefit principle.
Dari pertimbangan tersebut diatas maka syarat kriminalisasi pada umumnya meliputi:
115
a. Adanya korban; b. Kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan;
c. Harus berdasarkan asas ratio principle; dan d. Adanya kesepakatan social public support
Berdasarkan upaya penanggulangan melalui pendekatan kebijakan kriminal di dalam sistem hukum pidana dengan meliputi beberapa syarat kriminalisasi maka
penentuan tindak pidana di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran diklasifikasi menyangkut isi siaran dan lembaga penyiaran sebagai
berikut:
1. Tindak Pidana Menyangkut Isi Siaran di dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran
a. Pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 menyatakan bahwa “dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 Tujuh tahun atau denda paling banyak Rp
700.000.000,00 tujuh ratus juta rupiah : 1. barangsiapa denga sengaja menyiarkan melalui radio, televisi atau media
elektronik lainnya hal-hal yang bersifat menghasut, mempertentangkan,
115
Muladi, Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berkualitas Indonesia, Semarang: Makalah Dalam Rangka HUT FH UNDIP, tanggal 11 Januari 1988, hal. 22-23
Universitas Sumatera Utara
danatau bertentangan dengan ajaran agama, atau merendahkan martabat manusia dan budaya bangsa, atau memuat hal-hal yang patut dapat diduga
mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa, sabagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat 9; atau
2. barangsiapa denga sengaja menyiarakan rekaman musik dan lagu-lagu dengan lirik yang mengungkapkan pornografi dan hal-hal yang bersifat
menghasut, mempertentangkan, danatau bertentangan dengan ajaran agama, atau merendahkanmartabat manusia dan budaya bangsa atau memuat hal-hal
yang patut dapat diduga mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa sebagimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat 2 huruf b”.
b. Pasal 65 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa “ barangsiapa dengan sengaja menyiarkan hal-hal yang bersifat sadisme,
pornografi, danatau bersifat perjudian, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat 7, dipidana penjara paling lama 3 tiga tahun danatau denda paling banyak
Rp 300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah”. Selanjutnya Pasal 66 Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2002 bahwa “barangsiapa dengan sengaja
menyelenggarakan penyiaran tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat 1, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 delapan tahun danatau
denda paling banyak Rp 800.000.000,00 delapan ratus juta rupiah.
Universitas Sumatera Utara
2. Tindak Pidana Menyangkut Lembaga Penyiaran Yang Menyelenggarakan Penyiaran Tanpa Izin Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran
a. Pasal 67 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang menyatakan
bahwa “ barangsiapa dengan sengaja mendirikan lembaga penyiaran asing di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat 1, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah. Pasal 68 menyatakan bahwa:
1. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah :
a. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan siaran berlangganan melalui satelit, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
huruf a, jo. Pasal 21;
b. barangsiapa denga sengaja tanpa izin menyelenggarakan siaran berlangganan melalui kabel, sebagaimana dimaksud dalam dalam
Pasal 20 huruf c, jo. Pasal 21.
2. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah :
Universitas Sumatera Utara
a. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan siaran berlangganan melalui pemancaran telestrial, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 huruf b, jo. Pasal 21;
b. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan siaran yang khusus untuk disalurkan ke saluran radio atau televisi
berlangganan atau ke penyelenggara penyiaran untuk menjadi bagian dari siaran, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf d, jo. Pasal
21;
c. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyalurkan siaran melalui satelit denga 1 satu saluran atau lebih, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 200 huruf f, jo. Pasal 21;
d. barangsiapa denga sengaja tanpa izin menyalurkan siaran dalam lingkungan terbatas, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf g,
jo. Pasal 21;
e. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan jasa audiovisual berdasarkan permintaan, sebgaimana dimaksud dalam
Pasal 20 huruf h, jo. Pasal 21;
Universitas Sumatera Utara
f. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan jasa layanan informasi multimedia, sebagJaimana dimaksud dalam Pasal
20 huruf k, jo. Pasal 21.
3. Dipidana dengan dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah :
a. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan jasa audiovisual secara terbatas di lingkungan terbuka, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 huruf e, jo. Pasal 21;
b. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan jasa layanan informasi suara dengan teks, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 huruf i, jo. Pasal 21;
c. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan jasa layanan informasi gambar dengan teks, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 huruf j, jo. Pasal 21.
4. Ketentuan mengenai sanksi pidana terhadap barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan siaran khusus, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 huruf f, jo. Pasal 20, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 lima ratus juta rupiah.
Universitas Sumatera Utara
b. Pasal 69 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan bahwa: ”barangsiapa dengan sengaja memindahtangankan izin penyelenggaraan
penyiaran, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat 5, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 satu tahun danatau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 seratus juta rupiah”. Pasal 70 menyatakan ”barangsiapa tanpa izin melakukan kegiatan siaran secara tidak tetap danatau kegiatan jurnalistik asing di
Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat 2, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 satu tahun danatau denda paling banyak
Rp.100.000.000,00 seratus juta rupiah”. Pasal 71 bahwa ”barangsiapa tanpa izin
melakukan kerja sama pemancaran siaran dengan lembaga penyiaran asing di luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat 1, dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 satu tahun atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 dua raus juta rupiah”. Pasal 72 bahwa ”barang siapa tanpa izin menggunakan
perangkat khusus penerima siaran untuk tujuan komersial, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 2 huruf a, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 9
sembilan bulan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 seratus juta rupiah”.
c. Pasal 73 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang menyatakan bahwa ”barangsiapa menyiarakan iklan niaga, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat 2 huruf a, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 satu tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 seratus juta rupiah”.
Pasal 74 menyatakan ”barangsiapa menyiarakan iklan niaga, sebagaimana dimaksud
Universitas Sumatera Utara
dalam Pasal 42 ayat 2 huruf b, huruf c, dan huruf d, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 9 senbilan bulan atau denda paling banyak
Rp.100.000.000,00 seratus juta rupiah”.
D. Ketentuan Isi Siaran dan Lembaga Penyiaran di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
Dalam kegiatan penyiaran diperlukan apa yang dinamakan dengan siaran. Siaran
116
diartikan sebagai pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat
interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima. Isi siaran harus sesuai dengan asas, fungsi, tujuan dan arah penyiaran sebagaimana ditetapkan
dalam UU No. 32 sehingga harus: a mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan
bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. b memuat sekurang-kurangnya 60 enam puluh per seratus
mata acara yang berasal dari dalam negeri, c memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan
menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat d dijaga netralitasnya sehingga tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Isi siaran dilarang: a bersifat
fitnah, menghasut, menyesatkan danatau bohong, b menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau
116
Lihat Pasal 1 ayat 1 UU No. 32 tahun 2002
Universitas Sumatera Utara
mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan, c memperolokkan, merendahkan, melecehkan danatau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia
Indonesia, atau merusak hubungan internasional. Siaran televisi dapat terbagi menjadi tiga bagian besar berdasarkan jenisnya yaitu:
1 Siaran informasi berita 2 Siaran hiburan entertainment
3 Siaran iklan Siaran informasi
117
dibagi menjadi menjadi dua jenis yaitu berita keras hard news
yang merupakan laporan berita terkini yang harus segera disiarkan dan berita lunak soft news yang merupakan kombinasi dari fakta, gossip dan opini.
Infotainment
118
juga merupakan salah satu bentuk program berita merupakan hard news
. Soft news adalah segala informasi yang penting dan menarik untuk disampaikan secara mendalam indepth, stasiun televisi menggunakan berbagai
istilah untuk jenis berita ini misalnya news magazine, current affair dan lain-lain. Soft news
ini dapat berbentuk perbincangan talk show ataupun laporan-laporan khusus documentary seperti perkembangan tren atau gaya hidup. Kedua jenis siaran ini
memberikan banyak informasi untuk memenuhi rasa ingin tahu penonton terhadap sesuatu hal.
119
Terhadap siaran berita ini selain berlaku ketentuan Undang-Undang
117
Program informasi tidak hanya berupa presenter atau penyiar membacakan berita tetapi segala bentuk penyajian informasi termasuk juga talk show perbincangan, misalnya dengan artis,
orang terkenal atau siapa saja.
118
Yang berasal dari dua kata yaitu information dan entertainment
119
Ibid, hlm 102
Universitas Sumatera Utara
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran juga Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Siaran hiburan adalah segala bentuk siaran yang bertujuan untuk menghibur audien dalam bentuk dan terbagi atas tiga kelompok besar yaitu musik
120
, drama, permainan game show dan pertunjukan. Siaran televisi yang termasuk dalam
katagori drama adalah film dan sinetron, dan terhadap siaran ini selain berlaku ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran juga tunduk
pada ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman khususnya tentang aturan mengenai film yang dapat disiarkan melalui media televisi.
Termasuk dalam permainan adalah quiz show
121
, ketangkasan dan reality show
. Terdapat beberapa bentuk reality show yaitu: hidden camera atau kamera tersembunyi
122
, competition show
123
, relation show
124
, fly on the wal
125
dan program mistik. Pertunjukan adalah siaran yang menampilkan satu atau banyak pemain yang
berada diatas panggung yang menunjukan kemampuannya kepada sejumlah orang atau hanya kepada audien televisi. Terhadap siaran hiburan ini berlaku ketentuan hak
siar yaitu hak untuk menyiarkan program atau acara tertentu yang diperoleh secara
120
Program musik dapat dalam bentuk videoklip atau konser.
121
Merupakan bentuk program permainan yang paling sederhana dimana sejumlah peserta saling bersaing untuk menjawab sejumlah pertanyaan.
122
Merupakan program yang paling realistis yang menunjukan situasi yang dihadapi seseorang secara apa adanya.
123
Program ini melibatkan beberapa orang yang bersaing dalam kompetisi yang berlangsung selama beberapa hari atau minggu untuk memenangkan perlombaan, game atau pertanyaan. Setiap
peserta akan tersingkir satu persatu melalui pemungutan suara voting baik oleh peserta maupun audien. Pemenangnya adalah peserta yang paling akhir bertahan.
124
Seorang kontestan harus memilih satu orang dari sejumlah orang yang berminat menjadi pasangannya.
125
Program yang memperlihatkan kehidupan sehari-hari dari seseorang biasanya terkenal mulai kegiatan pribadi hingga aktivitas profesionalnya.
Universitas Sumatera Utara
sah dari pemilik hak cipta atau penciptanya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Siaran iklan adalah informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak
dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan. Siaran iklan terbagi menjadi siaran iklan niaga
126
dan siaran iklan layanan masyarakat
127
. Materi siaran iklan wajib menggunakan sumber daya dalam negeri
128
dan harus sesuai dengan kode etik periklanan yang diterbitkan oleh Persatuan Perusahaan Periklanan
Indonesia P3I. Dengan demikian berkaitan dengan siaran ini selain berlaku ketentuan undang-
undang penyiaran juga belaku dengan berbagai ketentuan hukum yang berhubungan dengan isi siaran seperti undang-undang pers, undang-undang perfilman, undang-
undang hak cipta, kode etik jurnalistik, dan kode etik periklanan. Penyelenggara penyiaran sebagaimana yang dimaksud oleh UU Nomor 32 Tahun 2002 adalah
129
126
Pasal 1 ayat 6 UU No. 32 tahun 2002 : Siaran iklan niaga adalah siaran iklan komersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan,
danatau mempromosikan barang atau jasa kepada khalayak sasaran untuk mempengaruhi konsumen agar menggunakan produk yang ditawarkan.
127
Pasal 1 ayat 7 UU No. 32 tahun 2002 :Siaran iklan layanan masyarakat adalah siaran iklan nonkomersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan,
memasyarakatkan, danatau mempromosikan gagasan, cita-cita, anjuran, danatau pesan-pesan lainnya kepada masyarakat untuk mempengaruhi khalayak agar berbuat danatau bertingkah laku sesuai
dengan pesan iklan tersebut.
128
Yang dimaksud dengan sumber daya dalam negeri adalah pemeran dan latar belakang produk iklan, bersumber dari dalam negeri
129
Lihat Pasal 1 ayat 9 UU No. 32 tahun 2002
Universitas Sumatera Utara
lembaga penyiaran, yaitu media komunikasi massa
130
yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi, memiliki kebebasan dan
tanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial. Lembaga penyiaran terdiri dari lembaga
penyiaran publik, lembaga penyiaran komunitas, lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran berlangganan.
Lembaga penyiaran publik adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan
berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat, saat ini yang merupakan lembaga penyiaran publik adalah Radio Republik Indonesia dan Televisi
Republik Indonesia. Lembaga penyiaran komunitas adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat
independen, tidak komersial, daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta ditujukan untuk melayani kepentingan komunitasnya.
Lembaga penyiaran swasta adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, dengan bidang usaha hanya menyelenggarakan
jasa penyiaran radio atau jasa penyiaran televisi. Sementara lembaga penyiaran berlangganan adalah lembaga penyiaran berbentuk badan hukum Indonesia, yang
130
Media komunikasi massa dikenal dengan nama media massa terdiri dari 2 bahasa yaitu media dan massa. Media berarti alat atau sarana, sedangkan massa adalah masyarakat yang heterogen
dan saling bergantung. Ketergantungan antar massa menjadi penyebab lahirnya media yang mampu menyalurkan hasrat, gagasan dan kepentingan masing-masing agar diketahui orang lain. Sam Abede
Poreno, Media Massa antara Realitas dan Mimpi, Surabaya: Papyrus, 2005, hal 7
Universitas Sumatera Utara
bidang usahanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan, dan terdiri dari: a lembaga penyiaran berlangganan melalui satelit, b lembaga penyiaran berlangganan
melalui kabel, dan 3 lembaga penyiaran berlangganan melalui terestrial. Selain menggunakan istilah lembaga penyiaran, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran juga menggunakan istilah stasiun penyiaran.
131
Head Sterling mendefinisikan stasiun penyiaran sebagai:
an entity individual, partnership, corporation, or non-federal governmental authority that is licensed by the federal government to organize and schedule
program for specific community in accordance with an approved plan and to transmit them over designated radio facilities in accordance with specific
standards.
132
Definisi ini memberikan pengertian yang menunjukan unsur elemen stasiun penyiaran
yang mencakup atau meliputi: kepemilikan perijinan, fungsi, kegiatan menyiarkan, bahkan audien yang dituju.
131
Pasal 31 UU Nomor 32 Tahun 2002.
132
Sydney W Head, Christopher H Sterling, Broadcasting In America; A Survey of Television, Radio and New Technologies,
4th Edition, Boston: Houghton Mifflin Company, 1982, hal. 23
Universitas Sumatera Utara
BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP LEMBAGA PENYIARAN BERLANGGANAN KHUSUSNYA TERHADAP ISI SIARAN
A. Lembaga Penyiaran Berlangganan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menentukan bahwa lembaga penyiaran berlangganan adalah lembaga penyiaran swasta yang berbadan
hukum Indonesia dalam bentuk perseroan terbatas. Sehingga dengan demikian bentuk kepemilikan lembaga penyiaran swasta adalah saham. Pendirian lembaga penyiaran
swasta wajib dilakukan dengan modal awal yang seluruhnya dimiliki oleh warganegara Indonesia atau badan hukum Indonesia, oleh karena itu dalam pendirian
lembaga penyiaran swasta tidak diperbolehkan adanya keterlibatan pihak asing. Namun demikian dalam rangka penambahan modal lembaga penyiaran swasta dapat
melakukan penambahan modal yang berasal dari modal asing, yang jumlahnya maksimum 20 dari seluruh modal dan wajib dimiliki minimum oleh 2 dua orang
pemegang saham asing. Sehingga berkaitan dengan kebijakan penggunaan modal asing dalam permodalan lembaga televisi swasta, modal asing hanya diperbolehkan
jika keberadaannya dilakukan dalam kerangka penambahan modal yang diperlukan berkaitan dengan pengembangan usaha.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian pemodal asing tidak diperbolehkan untuk memiliki saham lembaga televisi swasta diluar keperluan penambahan modal seperti yang dilakukan
melalui akuisisi pengambilalihan dan merger penggabungan usaha. Dalam kaitan dengan kepemilikan saham pada lembaga penyiaran swasta, pihak asing dapat
menjadi pengurus dalam manajemen lembaga tersebut namun terbatas hanya pada bidang keuangan dan bidang teknik. Dikarenakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran memperbolehkan lembaga penyiaran swasta untuk melakukan penjualan saham di pasar modal, maka demikian bentuk badan hukum
lembaga penyiaran swasta ini dapat berupa PT Tertutup atau PT Terbuka
133
.
Sesuai dengan jenis siaran yang diselenggarakan lembaga penyiaran berlangganan yakni lembaga penyiaran swasta terbagi menjadi:
1 Lembaga penyiaran swasta penyelenggara jasa penyiaran radio. 2 Lembaga penyiaran swasta penyelenggara jasa penyiaran televisi.
Pembiayaian kegiatan operasional khususnya lembaga penyiaran berlangganan, sumber pembiayaan lembaga penyiaran swasta berasal dari siaran iklan
dan usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan siaran
133
Yang dimaksud dengan PT Tertutup adalah PT yang didirikan dengan tidak ada maksud untuk menjual sahamnya kepada masyarakat luas bursa. PT Terbuka adalah suatu PT yang sahamnya
dijual kemasyarakat luas melalui bursa dalam rangka sebagai cara memupuk modal untuk investasi usaha PT. Rudhi Prasetya, Op.cit, hlm.110
Universitas Sumatera Utara
B. Pertanggungjawaban Pidana Lembaga Penyiaran Berlangganan
Sistem pertanggungjawaban pidana yang diatur dalam Undang-undang Penyiaran dapat dilihat pada ketentuan Pasal 19 ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4,
dan ayat 5 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang secara tegas
mengatakan bahwa Lembaga Penyiaran Swasta menetapkan Pemimpin dan Penanggungjawab penyelenggara penyiaran mencakup a Pemimpin Umum, b
Penanggungjawab Siaran, c Penanggungjawab Pemberitaan, d Penanggungjawab Teknik,dan
e Penanggungjawab
Usaha. Penetapan
Pemimpin dan
Penanggungjawab penyelenggara penyiaran dimaksudkan untuk meletakkan dasar- dasar manajemen yang profesional, sehat dan bertanggungjawab. Tanggungjawab
penyelenggaran penyiaran secara keseluruhan berada pada Pemimpin Umum. Namun, untuk pertanggungjawaban secara hukum yang berkaitan dengan
pelaksanaan siaran, tanggungjawab dapat dilimpahkan kepada penanggungjawab sesuai dengan bidang permasalahannya, baik aspek pemberitaan, materi siaran, teknik
maupun usaha.
Berdasarkan ketentuan di atas, dalam hal lembaga penyiaran yang tidak memiliki izin dalam penyelenggaraan penyiaran berlangganan maka Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran telah menentukan bahwa dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau denda paling banyak
Universitas Sumatera Utara
Rp300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan siaran berlangganan melalui satelit dan dengan sengaja tanpa izin
menyelenggarakan siaran berlangganan melalui kabel. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 tiga
ratus juta rupiah yakni dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan siaran berlangganan melalui pemancaran telestrial dan dengan sengaja tanpa izin
menyelenggarakan siaran yang khusus untuk disalurkan ke saluran radio atau televisi berlangganan atau ke penyelenggara penyiaran untuk menjadi bagian dari siaran.
Pertanggungjawaban pidana lembaga penyiaran berlanganan dalam proses penegakan hukum di Indonesia saat ini dirasakan belum optimal terutama
menyangkut tentang tindak pidana perizinan bagi lembaga penyiaran berlangganan, hal ini dapat dilihat bahwa tindakan yang dilakukan oleh lembaga Kepolisian secara
represif tanpa diikuti dengan keterpaduan criminal justice system dalam rangka penegakan hukum di bidang penyiaran. Di dalam penyelesian yang timbul di bidang
penyiaran terutama menyangkut siaran berlangganan lebih cenderung melakukan pendekatan administrative sehingga tidak sampai pada proses peradilan. Hal ini dapat
dilihat dalam penanganan kasus Astro All Asia Network Plc Astro sebagaimana dikemukakan oleh Bimo Nugroho Anggota Komisi Penyiaran seputar hasil
Universitas Sumatera Utara
klarifikasi terhadap dugaan pelanggaran UU Penyiaran oleh Astro All Asia Network Plc Astro sebagai berikut:
134
“Dalam klarifikasi tersebut, hampir seluruh anggota KPI hadir minus Victor Menayang dan Ade Armando. Sedang dari pihak yang diklarifikasi hadir Direktur PT
Broadband Multimedia Tbk., Hafidz Hadeli, dan Direktur PT Direct Vision Paul Montolalu. Sebelumnya, Astro diduga melakukan pelanggaran terhadap pasal soal
kepemilikan asing dengan menguasai 51 persen saham Direct Vision. Selain itu Direct Vision juga diduga tidak mengantungi perizinan untuk menyelenggarakan jasa
telekomunikasi multimedia televisi berbayar direct to home. Bimo mengatakan, hasil klarifikasi terhadap kepemilikan saham menunjukkan bahwa Direct Vision telah
berada dalam jalur yang benar. Namun, selanjutnya perusahaan itu harus menyesuaikan ketentuan dengan pembatasan modal asing sebesar 20 persen seperti
diamanatkan dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Jalur yang benar dimaksud, adalah bahwa ternyata Astro telah memecah kepemilikan 51 persen
sahamnya menjadi 20 persen Astro dan 31 persen lainnya dilepas kepada publik. Menurut Montolalu, 31 persen akan disebar kepada Karyawan, PT Ayunda dan Grup
Lippo. Selanjutnya mengenai perizinan, setelah melakukan evaluasi atas kelengkapan izin-izin operasionalnya KPI menyatakan bahwa perusahaan tersebut tidak bisa
disalahkan. Pasalnya perusahaan itu telah mengantongi perizinan dari beberapa instansi terkait. Misalnya, izin prinsip penyelenggaraan jasa telekomunikasi
multimedia televisi berbayar direct to home, izin landing right terhadap satelit yang mereka gunakan, dan surat keterangan laik operasi. Kemudian, izin penyelenggaraan
jasa telekomunikasi multimedia televisi berbayar juga telah diberikan kepada PT Direct Vision. Semua perizinan dan keterangan tersebut dikeluarkan oleh Dirjen
Postel semasa dijabat oleh Djamhari Sirat pada 2004 lalu. Meski telah mengantungi sejumlah perizinan tersebut, KPI menyatakan bahwa. Direct Vision harus mengurus
izin penyelenggaraan penyiaran di KPI, sesuai UU No. 322002. Anggota KPI, Amelia Hezkasari Day, mengatakan sementara ini KPI baru menyusun perizinan
untuk lembaga penyiaran publik. Namun dalam waktu dekat KPI akan mengeluarkan aturan tentang prosedur perizinan terhadap lembaga penyiaran swasta, komunitas dan
berlangganan. Saat peraturan KPI tersebut berlaku, maka semua lembaga penyiaran harus menyesuaikan prosedur perizinannya. Pasalnya, untuk memperoleh perizinan
alokasi frekuensi, perlu ada juga rekomendasi dari KPI”.
Sedangkan dalam proses penyelesaian sengketa menyangkut lembaga penyiaran berlangganan dapat dilihat juga dalam keputusan Komisi Pengawas
134
Bimo Nugroho, Anggota Komisi Penyiaran, http:www.google.com
, diakses tanggal, 31 Desember 2009
Universitas Sumatera Utara
Persaingan dalam kasus monopoli hak siar Barclay Premier League atau Liga Inggris sebagaimana dikuatkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta, deskripsi kasus dimaksud
sebagai berikut:
135
“Dua terlapor, All Asia Multimedia Networks AAMN dan ESPN Star Sport ESS tetap dinyatakan bersalah melanggar Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Permohonan keberatan yang diajukan dua perusahaan itu kandas. “Pertimbangan komisi sudah
tepat dan benar sehingga tidak ada alasan untuk dibatalkan,” Majelis pun menghukum AAMN dan ESS untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1,251 juta. Sementara,
dua terlapor lain, PT Direct Vision dan Astro All Asia Network Plc Astro kembali bisa bernafas lega. Keduanya dinyatakan tidak terbukti bersalah. Majelis hakim yang
beranggotakan Sugeng Riyono dan Panji Widagdo menyatakan, penjualan konten Liga Inggris dari ESS ke AAMN tidak melalui proses yang kompetitif. Keduanya
bahkan bernegosiasi langsung dalam proses penjualan. Hal itu, kata majelis, masuk kategori perbuatan yang diskriminatif. Sementara, siaran Liga Inggris mempengaruhi
pangsa pasar PT Direct Vision selaku pemegang hak siar Astro. Sejak menayangkan siaran sepak bola itu, dalam waktu tiga bulan Direct Vision mengalami peningkatan
konsumen sebesar 17. Padahal sebelumnya, Direct Vision hanya mengalami peningkatan konsumen sebesar 16 per tahun. Menurut majelis, siaran Liga Inggris
merupakan konten yang bernilai. Namun, siaran itu bukan program yang menentukan persaingan dalam bisnis televisi berbayar. Sebab, televisi berbayar lain memiliki
konten yang ekslusif yang tidak dimiliki Astro. Lagipula, meskipun ada migrasi konsumen televisi berbayar lain ke Astro, secara keseluruhan bisnis televisi berbayar
meningkat. “Tidak ada dampak negatif dalam bisnis televisi berbayar,”. Meski bukan satu-satunya penentu praktek persaingan tidak sehat, majelis hakim menyatakan
tindakan ESS dan AAMN harus dihentikan. Perjanjian yang dibuat kedua perusahaan itu dinilai sebagai strategi bisnis untuk menjaring konsumen. ESS menguasai channel
penting dan berpotensi dikolaborasikan dengan Astro. “Perilaku yang sama akan terulang jika ESS dan AAMN tidak dinyatakan menyalahi hukum persaingan,” imbuh
Sugeng.
135
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta, Andriani Nurdin, http:www.google.com
, diakses tanggal, 31 Desember 2009
Universitas Sumatera Utara
C. Pertanggungjawaban
Pidana Lembaga
Penyiaran Berlangganan
Berdasarkan Isi Siaran
Khusus untuk lembaga penyiaran swasta berlangganan, pemimpin dan penanggungjawab penyelenggara penyiaran sekurang-kurangnya terdiri dari a
Pemimpin Umum, b Penanggungjawab Siaran dan c Penanggungjawab Pemberitaan. Pemimpin dan penanggungjawab penyelenggara penyiaran hanya dapat
dijabat oleh warga negara Indonesia yang tidak pernah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan dalam kegiatan yang menentang Pancasila.
Pertanggungjawaban hukum Pemimpin Umum Lembaga Penyiaran Swasta dapat dilimpahkan secara tertulis kepada Penanggungjawab, sesuai dengan bidang
pertanggungjawaban masing-masing.
136
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, tugas, tanggungjawab, dan pelimpahan tanggungjawab Pemimpin Umum dan
Penanggungjawab penyelenggaraan siaran diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian, terlihat dengan tegas bahwa sistem pertanggungjawaban hukum
pidana dalam kaitannya dengan penyelenggaraan siaran, Undang-undang Penyiaran menganut sistem air terjun water fall. Artinya, orang yang mempunyai
tanggungjawab pidana atas penyelenggaraan suatu siaran dapat melimpahkan atau
136
Pertanggungjawaban Pidana Lembaga Penyiaran, http:www.google.com
, diakses tanggal, 31 Desember 2009
Universitas Sumatera Utara
menurunkan tanggung jawab itu kepada bawahannya, begitu seterusnya sampai ke tingkat bawah.
137
Secara teori, untuk menjawab sistem mana yang dipakai dan bagaimana menerapkannya, dapat ditelusuri dengan menggunakan tolok ukur teori sistem
Pertanggungjawaban arti luas atau teori sistem pertanggungjawaban arti sempit. Menurut sistem pertanggunbgjwabab dalam arti luas bahwa penentu terakhirlah yang
menjadi pelaku utama, sebab dialah yang mempunyai tanggung jawab paling besar. Sebab, sekalipun para reporter telah mengumpulkan berita dari lapangan,
kenyataannya apakah berita itu layak siar atau tidak berada di tangan penanggung jawab terkhir yaitu Pemimpin Umum.
138
Penangungjawab siaran dan Penanggungjawab pemberitaan juga mempunyai kekuasaan untuk memutuskan apakah memberitakan berita itu atau sebaliknya tidak
memberitakannya, sekalipun sudah diperiksa oleh Editor sehingga terkesan bahwa reporter hanyalah sebagai alat pengumpul berita saja yang tidak mempunyai banyak
wewenang atau hak menentukan sendiri. Jika isi berita itu tidak diketahui oleh Pemimpin Umum, itu berarti penentu tertinggi ada pada Penanggungjawab Siaran
atau kemudian juga dapat dilimpahkan ke Penanggungjawab Pemberitaan, maka dengan demikian orang yang disebut terakhirlah yang dianggap sebagai pelaku utama
pleger, sedangkan Koordinator Reporter dan Reporter hanyalah sebagai orang
137
Ibid
138
Ibid
Universitas Sumatera Utara
yang membantu medeplichtig atau orang yang turut melakukan medepleger. Jadi sangat bergantung pada kasus per kasus.
139
Pemimpin umum tentunya sudah terlebih dahulu mengetahui berita itu, maka beliaulah yang bertindak sebagai pelaku utama, sedangkan yang lain cuma sebagai
pembantu atau yang ikut serta melakukan perbuatan. Namun demikian, sudah dipahami suatu dalil umum bahwa dalam dunia pers baca: pers elektronik bahwa
Pemimpin Umum adalah komando atau penanggungjawab terhadap keseluruhan isi siaran. Apapun yang disiarkan adalah tanggungjawab Pemimpin Umum.
140
Sehingga tidak ada istilah Pemimpin Umum tidak tahu isi berita. Kalaupun secara de facto
dia memang tidak mengetahui isi berita itu, tetapi secara de jure dia dianggap harus tahu. Jadi, menurut sistem Pertanggungjawaban Arti Luas, Pemimpin Umumlah yang
dinilai paling bertanggungjawab sebagai pelaku utama.
141
Menurut sistem ini, tanggung jawab seseorang harus diukur seimbang dengan perbuatan nyata orang yang bersangkutan. Seandainya Reporter mempunyai
kesalahan paling besar, misalnya karena sengaja memasukkan berita atau fakta atau informasi yang tidak benar, maka menurut sistem ini Reporterlah yang harus
bertanggungjawab lebih besar. Apalagi kemudian terbukti bahwa niat atau inisiatif membuat berita datang dari si reporter itu sendiri, maka menurut sistem
Pertanggungjawababn Arti Sempit, pelaku utamanya adalah sang Reporter itu sendiri.
139
Ibid
140
Ibid
141
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya, Penanggungjawab Pemberitaan menempati urutan nomor dua, dan Penanggungjawab
Siaran menempati
urutan nomor
tiga. Kemudian
pertanggungjawaban berikutnya adalah naik ke atas, demikian seterusnya.
142
Permasalahan yang timbul dari isi siaran lembaga penyiaran berlangganan mencakup pemberitaan adalah jika isi siaran digunakan sebagai alat untuk memfitnah
atau menghina seseorang atau institusi dan tidak mempunyai nilai berita news, dan di dalam siaran tersebut terdapat unsur kesengajaan opzet dan unsur kesalahan
schuld yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Jadi yang perlu ditekankan disini adalah pertanggungjawaban atas penyalahgunaan isi siaran tetap harus diberlakukan
terhadap pelaku yang dengan sengaja melakukan penghinaan atau fitnah dengan menggunakan isi siaran pada lembaga penyiaran sebagai media. Sementara isi siaran
untuk melakukan pemberitaan jika memang dilakukan secara bertanggung jawab dan professional melalui mekanisme kontrol,
143
meskipun ada kesalahan dalam fakta pemberitaan tetap tidak boleh dipidana.
144
142
Ibid
143
Mekanisme kontrol etika diperlukan untuk dapat melindungi pihak lain dari penyalahgunaan pemberitaan. Kontrol tersebut dapat dilakukan melalui berbagai cara:
a. Melalui organisasi profesi Mekanisme kontrol melalui organisasi profesi dapat dilakukan sepanjang ada satu organisasi
jurnalis yang kuat, berpengaruh, dan berwibawa. Selain itu seluruh jurnalis tergabung dalam satu organisasi jurnalis atau setidaknya mempunyai kewajiban untuk bergabung dengan salah
satu organisasi jurnalis. Mekanisme ini sangat ideal karena sebagai contoh tentang pelaksanaan prinsip self regulating society yang bebas dari pengaruh pihak manapun
termasuk negara. Namun praktek inipun membutuhkan berbagai parameter sehingga organisasi jurnalis memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Tanpa kepercayaan yang tinggi
dari masyarakat, maka akan sulit kontrol tersebut dilaksanakan melalui organisasi profesi
b. Melalui pengadilan
Universitas Sumatera Utara
UU Penyiaran sendiri tidak mengatur secara tegas siapa yang harus menjadi penanggung jawab dalam lembaga penyiaran terhadap isi siaran yang dikeluarkan.
Apakah itu pemimpin lembaga atau reporter? Apabila dikaitkan dengan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers juga tidak mengatur secara jelas. Pasal
12 UU Pers hanya mengatur bahwa perusahaan pers wajib mengumumkan nama dan alamat penanggung jawab dalam perusahaan pers. Sehingga dapat terjadi bias dalam
masalah pertanggung jawaban mengenai penerbitan berita dalam perusahaan pers.
Berdasarkan pengertian dari konsep pertanggungjawaban lembaga penyiaran berlangganan terhadap isi siaran tidak diatur secara tegas di dalam Undang-Undang
Nomor 32
Tahun 2002
tentang Penyiaran,
namun prinsip-prinsip
Mekanisme kontrol melalui pengadilan merupakan salah satu mekanisme resmi yang diakui dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum. Namun penggunaan mekanisme ini
berbahaya, karena melegitimasi campur tangan negara dalam suatu masyarakat sipil yang terorganisir. Selain itu, penggunaan mekanisme itu tidak memberikan pembelajaran bagi
peningkatan profesionalitas
c. Melalui lembaga quasi negara Mekanisme ini digunakan ketika tidak ada satupun organisasi profesi jurnalis yang kuat,
berpengaruh, dan berwibawa. Mekanisme ini merupakan pilihan yang baik jika tidak ada kewajiban bagi jurnalis untuk bergabung di salah satu organisasi profesi. Namun, lembaga ini
haruslah diberikan kewenangan yang cukup untuk dapat melakukan penindakan dan memberikan sanksi terhadap setiap pelanggaran etika.
144
Lihat, Frans Hendra Winarta, Kebebasan Pers dalam Perspektif Pidana Ditinjau dari RUU KUHP, httpwww. hukum online dalam httpwww.yahoo.com, diakses tanggal 24 Desember 2009,
bahwa di dalam UU Pers sendiri hanya diatur mengenai sanksi pidana berupa denda jika perusahaan pers melanggar norma susila dan asas praduga tidak bersalah serta masalah pengiklanan yang dilarang
oleh undang-undang Pasal 18 Ayat 2 UU Pers. Sementara itu, selebihnya UU Pers hanya mengatur mengenai hak jawab dan hak koreksi untuk pemberitaan yang dianggap bermasalah. Hal inilah yang
sebenarnya yang untuk sementara pihak dianggap tidak mengandung ketidakseimbangan dalam pers, namun dalam hal ini pers tidak dapat dipersalahkan, karena yang salah adalah UU Pers yang tidak
mengatur mengenai potensi-potensi masalah hukum yang rumit dan berat yang dapat timbul dalam pemberitaan pers. Pasal 18 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan
bahwa: “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2, serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 Lima ratus juta rupiah.
Universitas Sumatera Utara
pertanggungjawaban penyalahgunaan isi siaran dimungkinkan berdasarkan atas 3 tiga hal yakni:
145
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas adanya unsur kesalahan fault liability, liability based on fault principle
. 2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga rebut table presuption of
liability principle 3. Prinsip tanggung jawab mutlak no fault liability, absolute atau strict liability
principle Sampai saat ini di Indonesia menyangkut hukum keperdataan masih berlaku
prinsip tanggung jawab yang didasarkan atas kesalahan yang dikenal dengan istilah “perbuatan melawan hukum”. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata
yang berbunyi: “Setiap perbuatan melawan hukum, yang oleh karena itu menimbulkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
kesalahannya menyebabkan kerugian tersebut mengganti kerugian” Berdasarkan hal ini, maka setiap orang yang menderita kerugian akibat perbuatan orang lain menuntut
santunan atau ganti kerugian kompensasi dari orang yang menyebabkan kerugian tersebut dengan membuktikan adanya unsur kesalahan di pihak yang menyebabkan
kerugian tersebut. Jadi dalam prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan ini, beban pembuktian ada pada pihak penderita kerugian. Apabila orang yang menderita
145
Endang Saefullah, Beberapa Masalah Pokok tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Udara
, Bandung: Pusat Penerbit LPPM Universitas Islam Bandung, 1995, hal. 1-9
Universitas Sumatera Utara
kerugian penggugat tidak dapat membuktikan adanya unsur kesalahan pada pihak yang merugikan penggugat maka orang yang menderita kerugian tersebut tidak
dapat memperoleh santunan atau kompensasi. Pasal 1365 KUH Perdata dikenal dengan sebutan pasal perbuatan melawan hukum atau pasal mengenai tanggung
jawab berdasarkan atas kesalahan schuld theorie, fault principle. Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam suatu gugatan berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata adalah:
Pertama, perbuatan melawan hukum dari pihak tergugat. Kedua, perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya. Ketiga, adanya kerugian yang diderita penggugat
sebagai akibat dari keselahan tersebut. Konsep modern tanggungjawab keperdataan civil liability secara umum menyatakan bahwa unsur kesalahan pada pihak yang
menyebabkan kerugian kepada orang lain merupakan syarat mutlak bagi adanya perbuatan melawan hukum. Prinsip bahwa tiada tanggung jawab tanpa kesalahan
menjadi dogma yang berlaku umum. Sedangkan prinsip presumption of liability berdasarkan praduga yang berarti tanggung jawab dapat dihindari apabila pihak
tergugat membuktikan bahwa pihaknya tidak bersalah absence of fault.
146
Hal di atas sangat berbeda halnya dengan tanggung jawab berdasarkan no fault liability
yang menekankan tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan atau tanpa memandang unsur kesalahan sebagai sesuatu yang tidak
relevan untuk dipermasalahkan apakah dalam kenyataannya ada atau tidak. Selanjutnya menyangkut pengertian konsep pertanggungjawaban pidana terhadap
146
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003, hal. 43
Universitas Sumatera Utara
lembaga penyiaran diharuskan menganut prinsip no fault liability atau liability without fault
walaupun ketentuan hukum pidana menganut prinsip fault liability, hal ini dapat diketemukan dari pendapat para ahli hukum pidana yang salah satu dari ahli
hukum pidana adalah Ruslan Saleh yang mengatakan bahwa tidaklah mungkin dapat dipikirkan adanya kesengajaan atau kealpaan apabila orang itu tidak mampu
bertanggungjawab. Begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang tidak mampu bertanggungjawab dan tidak pula ada kesengajaan atau
kealpaan.
147
Pakar hukum pidana ini mempunyai pandangan sebaliknya dengan pakar hukum pidana lainnya di Indonesia, dengan mengemukakan tiga alasan
148
. Alasan pertama, diperlukan tidaknya hukum pidana dengan sanksi hukum pidana
tidak terletak pada tujuan yang hendak dicapai, melainkan pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu hukum pidana dapat mempergunakan paksaan-
paksaan? Alasan kedua, bahwa masih banyak pelaku kejahatan yang tidak memerlukan perawatan atau perbaikan, meski demikian masih tetap diperlukan suatu
reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja. Alasan ketiga, ialah bahwa pengaruh pidana bukan saja
akan dirasakan oleh si penjahat, tetapi juga oleh orang lain yang tidak melakukan kejahatan.
147
Lihat, Ruslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983, hal. 75
148
Ruslan Saleh, Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana. Jakarta: Aksara Baru, 1973, hal. 48
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya subjek hukum yang dapat diminta penanggungjawaban secara hukum pidana dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Penanggungjawab penuh: Penanggungjawab penuh adalah setiap orang yang menyebabkan atau turut serta menyebabkan peristiwa pidana yang diancam
setinggi pidana pokoknya. Termasuk dalam kategori penanggungjawab penuh ialah:
a. Dader: penanggungjawab mandiri, yaitu penanggungjawab peristiwa pidana atau dengan perkataan lain orang yang sikap tindaknya memenuhi
semua unsur dalam perumusan peristiwa pidana. Dalam delik formil terlihat apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana oleh undang-undang.
149
Dalam delik materil terlihat apabila seseorang menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan
diancam dengan pidana oleh undang-undang. b. Mededader dan Medeplenger, yaitu penanggungjawab bersama dan
penanggungjawab serta. Mededader adalah orang-orang yang menjadi kawan pelaku, sedangkan medeplenger adalah orang yang ikut serta
149
Lihat, E. Y. Kanter, S. R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapnnya
, Jakarta: Cetakan I Alumni AHM-PTHM, 1982, hal. 237, pada delik formil yang dirumuuskan adalah tindakan yang dilarang beserta halkeadaan lainnya dengan tidak
mempersoalkan akibat dari tindakan itu. Misalnya Pasal 160 penghasutan, Pasal 209 penyuapan, Pasal 247 sumpah palsu, dan Pasal 362 pencurian KUH Pidana
Universitas Sumatera Utara
melakukan peristiwa pidana. Perbedaannya terletak pada peranan orang- orang yang menciptakanmenyebabkan peristiwa pidana tersebut.
150
c. Doenplenger, penanggungjawab penyuruh. Doenplenger ialah seseorang menyuruh orang lain untuk melakukan perbuatan pidana. Dalam bentuk
yuridis merupakan suatu syarat bahwa orang yang disuruh tersebut tidak mampu bertanggungjawab, jadi tidak dapat dipidana. Orang yang disuruh
seolah-olah hanya menjadi alat instrumen belaka dari orang yang menyuruh. Orang yang menyuruh dalam ilmu hukum pidana disebut
manus domina dan orang yang disuruh disebut manus minista.
d. Uitikker : penanggung jawa pembujukperencana. Secara sederhana pengertian adalah setiap orang yang menggerakkan atau membujuk orang
lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Istilah “menggerakkan atau “membujuk” ruang lingkungan sudah dibatasi oleh Pasal 55 ayat 1
KUHP yaitu dengan cara meberikan atau menjanjikan sesuatu menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan ancaman
atau penyesatan , memberikan kesempatan , sarana dan keterangan.
151
2. Penanggung jawab sebagian ialah apabila seseoarang bertanggung jawab atau bantuan, percobaan suatu kejahatan dan diancam dengan pidana sebesar
pidana kejahatan yang selesai. Pembuat undang-undang pada dasarnya berpandangan bahwa hanya manusia orang peroranganindividu yang dapat
150
Lihat, Wina Armada, Wajah Hukum Pidana Pers, Jakarta: Pustaka Kartini, 1989, hal. 80
151
Ibidi, hal. 84
Universitas Sumatera Utara
menjadi subjek tindak pidana, sehingga korporasi tidak menjadi subjek tindak pidana. Hal ini dapat dilihat pada rumusan KUH Pidana yang dari cara
bagaimana delik dirumuskan, yang selalu dimulai dengan “barang siapa”
152
.
Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa konsep isi siaran yang ditayangkan oleh lembaga penyiaran berlangganan harus diawasi agar tidak disalahgunakannya.
Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran bahwa penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa
mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Dalam menjalankan fungsi tersebut, penyiaran juga mempunyai
fungsi ekonomi dan kebudayaan. Menyangkut tentang tentang isi siaran dan pengaturan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 telah
dilakukan judicial riview sebagaimana dimaksud dalam Mahkamah Konstitusi pada
Putusan Perkara Nomor 005PUU-I2003
yang isinya sebagai berikut:
153
”Mahkamah Konstitusi setelah memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam
perkara permohonan Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yang diajukan oleh para pemohon yakni: Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia IJTI, Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia PRSSNI,
Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia PPPI, Assosiasi Televisi Siaran Indonesia ATVSI, Persatuan Sulih Suara Indonesia PERSUSI yang menyatakan
bahwa beberapa pasal di dalam undang-undang penyiaran akan mematikan kebebasan dan kemerdekaan lembaga penyiaran yakni:
1. Permohonan pemohon yang ditunjukkan oleh adanya ketentuan Pasal 31 ayat 4
jo . Pasal 32 ayat 2 jo. Pasal 33 ayat 4 dan ayat 8 jo. Pasal 55 ayat 3 jo.
Pasal 60 ayat 3 jo. Pasal 62 ayat 1 dan 2 UU No. 32 Tahun 2002 yang
152
Lihat, Jan Remmelink, Hukum Pidana, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal. 97
153
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 005PUU-I2003
Universitas Sumatera Utara
menurut para Pemohon bertentangan dengan Bab XA UUD 1945. Karena, menurut Pemohon, keseluruhan ketentuan di atas membuktikan bahwa
kemandirian KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen adalah semu belaka sehubungan dalam membuat dan menjalankan regulasi harus bersama-
sama Pemerintah. Terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah melihat adanya ambiguitas Pemohon karena di satu pihak mendalilkan KPI akan menjadi
reinkarnasi Departemen Penerangan, dan di lain pihak Pemohon memohon untuk menghapuskan pasal-pasal yang sesungguhnya membatasi kewenangan KPI yang
terlalu besar yang dikhawatirkan oleh Pemohon. Dalam hubungan ini Mahkamah berpendapat bahwa sebagai lembaga negara yang independen, seyogianya KPI
juga diberi kewenangan untuk membuat regulasi sendiri atas hal-hal yang sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan 8 UU Penyiaran. Pasal 62 UU Penyiaran
menyatakan bahwa kewenangan regulasi KPI bersama Pemerintah tersebut dituangkan dalam bentuk produk hukum Peraturan Pemerintah, pada hal
berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 2 UUD 1945, Peraturan Pemerintah adalah produk hukum yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya. Presiden dalam membuat peraturan pemerintah dapat saja memperoleh masukan dari berbagai sumber yang terkait dengan pokok masalah
yang akan diatur, tetapi sumber dimaksud tidak perlu dicantumkan secara eksplisit dalam UU yang memerlukan peraturan pemerintah untuk
pelaksanaannya. Dengan demikian, ketentuan dalam Pasal 62 UU Penyiaran tersebut di atas memang bertentangan dengan UUD 1945, sehingga harus
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu, seyogianya kewenangan regulasi di bidang penyiaran dikembalikan kepada
ketentuan Pasal 7 ayat 2 UU Penyiaran yang menyatakan bahwa “KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran”,
akan tetapi dalam pemahaman bahwa kewenangan mengatur yang demikian melalui Peraturan KPI adalah dalam kerangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah
sebagai pelaksanaan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
2. Pemohon mendalilkan bahwa UU Penyiaran menerapkan kebijakan yang diskriminatif dan tidak adil karena lembaga penyiaran tidak dilibatkan dalam KPI,
seperti ditunjukkan oleh ketentuan Pasal 10 ayat 1 huruf g, sehingga bertentangan dengan Pasal 28C ayat 2 jo. Pasal 28H ayat 2 UUD 1945.
Menurut Mahkamah kebijakan itu sudah tepat, karena hal itu justru akan menjaga independensi KPI agar terhindar dari konflik kepentingan, dan bukan merupakan
kebijakan yang diskriminatif, serta tak ada kaitannya dengan ketentuan Pasal 28C ayat 2 jo. Pasal 28H ayat 2 UUD 1945.
3. Pemohon mendalilkan bahwa UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengandung pasal-pasal yang diskriminatif seperti ditunjukkan dalam Pasal-pasal
14 ayat 1, Pasal 15 ayat 1 huruf c dan d, Pasal 31 ayat 2, Pasal 16 huruf a jo Pasal 31 ayat 3 sehingga bertentangan dengan Pasal 28I ayat 2 UUD 1945
4. Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon telah salah dalam memahami makna
diskriminatif yang dimaksud dalam Pasal 28I ayat 2 UUD 1945. Pengertian
Universitas Sumatera Utara
diskriminasi harus difahami sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 3 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi: “Diskriminasi
adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku,
ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik …..” yang bersesuaian dengan Article 26
International Covenant on Civil and Political Rights
ICCPR. Pembedaan lembaga penyiaran dalam lembaga penyiaran publik, swasta, komunitas,
berlangganan, dan asing dengan status, hak, dan kewajiban yang berbeda seperti yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2002 bukanlah kebijakan yang
bersifat diskriminatif seperti yang dimaksud dalam Pasal 28I ayat 2 UUD 1945. Demikian pula tak diperbolehkannya orang-orang yang berasal dari
media massa untuk menjadi anggota KPI, seperti di atas telah dikemukakan, bukanlah suatu kebijakan yang diskriminatif, melainkan semata-mata untuk
menghindari konflik kepentingan conflict of interest dalam rangka menjaga independensi KPI.
5. Pendapat Mahkamah juga berlaku terhadap dalil Pemohon yang menganggap UU Penyiaran menerapkan kebijakan diskriminatif, karena “lembaga
penyiaran publik boleh memuat siaran iklan komersial, sedangkan lembaga penyiaran komunitas tidak”, “lembaga penyiaran berlangganan dibandingkan
lembaga penyiaran swasta dalam masalah luas jangkauan siaran”, dan “masalah sensor internal oleh lembaga penyiaran berlangganan, sedangkan
lembaga penyiaran lain sensor harus oleh lembaga sensor” Namun terhadap pendapat Mahkamah tentang hal dimaksud seorang Hakim membenarkan dalil
Pemohon tentang adanya diskriminasi terhadap lembaga penyiaran swasta dalam luas jangkauan siaran dan pemuatan siaran iklan komersial yang
memandang lembaga penyiaran swasta dengan jangkauan nasional dapat dititipi sebagian misi yang menjadi kewajiban lembaga penyiaran publik
melalui pengaturan, sehingga perbedaan lembaga penyiaran dalam klasifikasi non-profit dan profit-oriented atau komersial tidak cukup menjadi dasar untuk
mengadakan pembedaan tersebut.
6. Dalil Pemohon bahwa ketentuan Pasal 36 ayat 2 UU Penyiaran yang berbunyi “isi siaran dan jasa penyiaran televisi yang diselenggarakan oleh
lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60 enam puluh persen mata acara yang berasal dari
dalam negeri” telah menegasikan kemerdekan dan kebebasan pers in casu penyiaran untuk menyampaikan informasi serta mengurangi hak masyarakat
untuk mendapatkan informasi the right to information, sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28E ayat 2 dan Pasal 28F UUD 1945.
Terhadap dalil tersebut Mahkamah berpendapat bahwa hal itu adalah terkait dengan fungsi dan tujuan negara untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia” seperti tersebut dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 dan merujuk ketentuan Pasal 28J ayat 2 UUD 1945
Universitas Sumatera Utara
yang berbunyi “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”, sehingga tidaklah bertentangan
dengan pasal-pasal UUD 1945 seperti yang didalilkan oleh Pemohon.
7. Dalil Pemohon bahwa adanya ketentuan wajib ralat berita meskipun hanya didasarkan pada sanggahan atas isi siaranberita seperti tercantum dalam Pasal
44 ayat 1 UU Penyiaran telah menegasikan kebebasan dan kemerdekaan penyiaran, karena sanggahan belum tentu benar. Mahkamah berpendapat
bahwa dalil Pemohon tersebut dapat dibenarkan, sehingga bagian dari Pasal 44 ayat 1 tersebut yaitu anak kalimat “… atau terjadi sanggahan”
bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 jo. Pasal 28G ayat 1 jo. Pasal 28F UUD 1945, dan oleh karena itu harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, kecuali apabila pengertian ralat berita yang didasarkan pada sanggahan tersebut ditafsirkan sebagai disiarkannya sanggahan dimaksud oleh
lembaga penyiaran dalam media siaran. Sanggahan tidaklah cukup untuk membuktikan bahwa suatu berita atau siaran tidak benar atau keliru. Sesuai
dengan prinsip “cover both sides”, jika terdapat bantahan atau sanggahan terhadap suatu berita atau siaran, maka dengan menyiarkan bantahan atau
sanggahan itu saja sudah cukup memenuhi prinsip “cover both sides”, kecuali jika terdapat bukti-bukti pendukung lain yang kuat dan sesuai dengan prinsip
“due process of law”. Lebih-lebih dengan adanya penegasan pada ayat 3 Pasal 44 Undang-undang a quo yang menyatakan bahwa ralat tidak
membebaskan suatu lembaga penyiaran dari tanggung jawab atau tuntutan hukum dari pihak yang merasa dirugikan, sehingga akan sangat ganjil apabila
ralat sudah dilakukan atas dasar adanya sanggahan atau bantahan, yang berarti sanggahan atau bantahan itulah yang benar, akan tetapi dalam proses di
pengadilan ternyata terbukti bahwa sanggahan atau bantahan itulah yang salah. Oleh karena itu, kewajiban untuk melakukan ralat yang didasarkan atas
adanya sanggahan atau bantahan berarti telah mengesampingkan asas praduga tak bersalah presumption of innocence, sebab rumusan tersebut mengandung
anggapan bahwa dengan adanya sanggahan atau bantahan, suatu siaran atau berita sudah pasti salah, sehingga harus dilakukan ralat dan tidak cukup hanya
menyiarkan sanggahan atau bantahan termaksud. Pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah berarti pelanggaran terhadap “due process of law” dan
karenanya bertentangan dengan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal itu dapat dibandingkan persoalan
ini dengan apa yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang dapat menjadi rujukan untuk membedakan hak jawab atas dasar tanggapan
atau sanggahan dengan hak koreksi ralat untuk membetulkan kekeliruan
Universitas Sumatera Utara
informasi yang diberikan oleh pers vide Pasal 1 butir 11 dan 12, serta Pasal 5 ayat 2 dan ayat 3 UU Pers.
Penggunaan sarana hukum pidana dalam kasus pertanggungjawaban isi siaran bagi lembaga penyiaran berlangganan pasca judicial riview oleh Mahkamah
Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 dirasakan kurang memberikan sanksi yang dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku maupun lembaga
penyiaran berlangganan, hal ini disebabkan kriminalisasi perbuatan pidana yang diancam oleh UU penyiaran tidak mengakomudir dan pertanggungjawaban pelaku
menurut paham KUH Pidana yang dikategorikan sebagai tindak pidana ringan. Berdasarkan
minimnya perangkat
hukum yang
mengatur tentang
pertanggungjawaban pelaku yang mengakibatkan kerugian bagi pihak akibat isi siaran yang ditayangkan oleh lembaga penyiaran berlangganan membuka
kemungkinan adanya upaya hukum yang dilakukan
yakni meminta pertanggungjawaban pelaku dan lembaga penyiaran untuk mengganti kerugian atas
isi siaran.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA LEMBAGA PENYIARAN
A. Penegakan Hukum Terhadap Lembaga Penyiaran
Penegakan hukum pidana itu sendiri pada hakikatnya merupakan bagian dari politik kriminal yang menjadi bagian intergral dari kebijakan sosial. Politik kriminal
ini merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.
154
Dilihat dari sudut politik criminal masalah strategi yang justru harus ditanggulangi adalah menangani masalah-masalah atau kondisi-kondisi social secara
langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan. Ini berarti, penanganan atau penggarapan masalah-masalah ini justru
merupakan posisi kunci dan startegis dilihat dari sudut politik criminal. Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum
pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan operasionalisasi atau konkretisasi
hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan penegakan hukum. Dalam fungsionalisasi ini terdapat tiga tahapan kebijakan yaitu;
155
b. Tahap kebijakan formulatif, yaitu suatu tahap perumusan hukum pidana oleh pihak pembuat perundang-undangan.
154
Sudarto, Op.cit, hal. 99
155
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana
, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998, hal.99.
Universitas Sumatera Utara
c. Tahap kebijakan aplikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh penegak hukum
d. Tahap kebijakan administratif, yaitu merupakan tahap pelaksanaan oleh aparat eksekusi hukum.
Fungsionalisasi hukum pidana pada tahap kebijakan aplikatif yang menekankan kepada peran aparat penegak hukum dalam menerapkan hukum pidana
ini mengandung arti bahwa peran aparat penegak hukum terhadap penyelesaian suatu tindak pidana sangat diharapkan. Apabila kebijakan ini diterapkan pada lapangan
hukum untuk penanganan terhadap tindak pidana bagi lembaga penyiaran terlihat bahwa peran aparat penegah hukum harus mengacu pada kebijakan kriminal sebagai
bagian dari kebijakan sosial masyarakat dan sarana perlindungan terhadap suatu kejahatan melaui kriminalisai. Ketentuan pidana yang mengatur tentang lembaga
penyiaran di dalam undang-undang penyiaran tidak secara tegas mengklasifikasi bahwa perbuatan pidana yang dilakukan oleh lembaga penyiaran sebagai perbuatan
yang dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.
156
Hal ini dapat dilihat dalam rumusan Pasal 57 dan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran beserta ketentuan pasal-pasal lainnya pada Bab yang menyangkut tentang ketentuan pidana. Adapu bunyi Pasal 57 sebagai berikut: “Dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 lima tahun danatau denda paling banyakRp1.000.000.000,00 satu miliar rupiah untuk penyiaran radio dan dipidana
156
Lihat, Pasal 57 sampai dengan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
Universitas Sumatera Utara
dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun danatau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah untuk penyiaran televisi, setiap orang
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat 3, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat 2, melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat 1, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat 5, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 ayat 6. Selanjutnya Pasal 59 “Setiap orang yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat 10 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 dua ratus juta rupiah untuk penyiaran radio
dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 dua miliar rupiah untuk penyiaran televisi. Pasal di atas menyatakan bahwa yang dapat diminta pertanggungjawaban
pidana yakni setiap orang. Hal ini mengadung arti bahwa lembaga penyiaran sebagai korporasi berdasarkan ketentuan perundang-undangan penyiaran tidak termasuk
dalam subyek yang dapat dipidana. Hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat dengan mengingat lembaga penyiaran merupakan subjek yang juga
mempunyai sejumlah hak dan kewajiban, padahal penyiaran termasuk dalam kepentingan nasional.
Upaya penanggulangan tindak pidana bagi lembaga penyiaran melalui proses penegakan hukum oleh sistem peradilan pidana mengalami kendala menyangkut
tanggungjawab pidana lembaga penyiaran yang tentunya harus didahului dengan melakukan kriminalisasi dengan tetap didasarkan pada upaya penanganan masalah-
masalah atau kondisi-kondisi social secara langsung maupun tidak langsung
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan kejahatan di bidang penyiaran. Misalnya karena kejahatan di bidang penyiaran yang erat kaitannya dengan pemanfaatan frekuensi tertentu berkaitan
dengan kepentingan nasional yang harus diikuti dengan pembaharuan hukum pidana. Hakikat dari pembaharuan hukum pidana adalah:
157
1. Sebagai bagian dari kebijakan social, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian upaya untuk mengatasi masalah-masalah social
termasuk masalah kemanusiaan dalam rangka mencapaimenunjang tujuan nasional kesejahteraan masyarakat dan sebagainya.
2. Sebagai bagian dari kebijakan criminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat
khususnya upaya penanggulangan kejahatan. 3. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana
pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum legal substance dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan
hukum.
Masalah sentral dalam kebijakan kriminal penanggulangan tindak pidana penyiaran yang didasarkan pembaharuan hukum pidana harus didasarkan
pertimbangan meningkatnya kejahatan di bidang penyiaran tanpa izin yang telah ditentukan oleh undang-undang penyiaran dengan ancaman pidana penjara paling
lama 8 delapan tahun danatau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 delapan ratus juta rupiah. Di samping itu undang-undang penyiaran telah menentukan bahwa
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah barangsiapa dengan sengaja tanpa izin
menyelenggarakan siaran berlangganan melalui satelit dan barangsiapa denga sengaja tanpa izin menyelenggarakan siaran berlangganan melalui kabel. Berdasarkan
157
Ibid, hal. 28
Universitas Sumatera Utara
perkembangan tindak pidana penyiaran ini maka sistem pertanggungjawaban pelaku kejahatan harus disesuaikan dengan perkembangan kejahatan yang semula
menempatkan manusia sebagai subjek hukum pidana yang didasarkan atas adanya kesalahan, sebagaimana terlihat dari kata-kata dalam setiap pasal KUH Pidana, yakni
”Barang Siapa” merupakan penunjukan bahwa manusialah yang dianggap sebagai subjek hukum pidana. Kemudian pada perkembangannya korporasi dapat diminta
pertanggungjawaban.
158
Hal ini harus dijadikan dari criminal justice system dalam penanggulangan tindak pidana bagi lembaga penyiaran dengan menggunakan jalur
penal yang lebih menitik-beratkan pada sifat represif berupa penindakan, pemberantasan, penumpasan sesudah kejahatan terjadi oleh aparat kepolisian.
Tindakan represif yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya diartikan sebagai penanggulangan kejahatan terhadap lembaga penyiaran yang melakukan tindak
pidana di bidang penyiaran, namun dalam proses penegakan hukumnya oleh criminal justice system
mengalami kendala terutama dalam tatanan pemenuhan unsur-unsur tindak pidana maupun kelembagaan yang berkaitan dengan otoritas penyiaran di
Indonesia. Kasus yang ditindak oleh Polda Metro Jaya dimaksud bahwa sejumlah barang bukti yang menunjukkan adanya penjualan siaran gelap itu antara lain bukti
transfer pembayaran berlangganan, dekoder dan parabola. Dekoder milik Astro Indonesia berwarna hitam tetapi yang dijumpai petugas berwarna silver. Padahal
Astro Malaysia sudah menghentikan pasokan dekoder untu PT. Direct Vision DV selaku pemegang hak siaran Astro di Indonesia yang sah. Dari keterangan sejumlah
158
Dwidja Priyatno, Op.cit, hal. 42
Universitas Sumatera Utara
saksi polisi mengindikasi adanya pengiriman dekoder gelap untuk menangkap siaran langsung dari Malaysia. Siara tanpa izin langsung dari Astro Malaysia yang bisa
ditangkap satelit Indonesia menggunakan satelit Measat. Saat ini, satelit tersebut tidak mempunyai izin labuh di Indonesia. Perangkat dekoder dan parabolanya tidak
disertifikasi oleh Ditjen Postel. Siarannya belum mendapat rekomendasi dari Komisi Penyiaran Indonesia KPI. Modus siaran illegal dengan menggunakan dealer-dealer
di Indonesia untuk mencari pelanggan. Saat penggerebekan polisi meminta keterangan petuga dealer dan pelanggan. Siaran itu bertentangan dengan UU No. 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran yang menyatakan bahwa segala penyiaran yang dilakukan di negera RI harus dilakukan oleh perusahaan di Indonesia yang
mempunyai izin dari pemerintah, semua alat-alat penyiaran yang digunakan harus disertifikasi oleh Ditjen Postel dan sistem konfigurasi penyiaran harus lulus uji coba
yang diselenggarakan pemerintah. Perangkat fasilitas up link bagi penyiaran harus berlokasi di Negara RI.
159
2. Hubungan Fungsional Antar Lembaga Dalam Rangka Penegakan