BAB IV PELAKSANAAN PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH USAHA
MIKRO, KECIL DAN MENENGAH
A. Ruang Lingkup Penyelesaian Kredit Bermasalah
Pada dasarnya setiap bank tidak terlepas dari munculnya peluang kredit bermasalah. Membahas mengenai kredit bermasalah, maka secara langsung bank
dapat dikaitkan dengan adanya risiko yang terkandung di dalam setiap pemberian kredit tersebut. Kredit bermasalah merupakan salah satu penyebab kesulitan bank
menyangkut tingkat kesehatan bank, sehingga sedini mungkin bank harus dapat mengantisipasi akan timbulnya risiko kredit bermasalah. Secara umum, kredit
bermasalah disebabkan oleh dua hal, yaitu:
80
1. Dari pihak perbankan, yakni masalah yang disebabkan oleh ketidaktelitian
analisis terhadap kemampuan calon debitur, sehingga munculnya faktor kredit bermasalah tidak dapat diprediksi sebelumnya. Di samping itu, hal ini dapat
pula terjadi karena adanya kolusi pihak analisis dengan debitur sehingga proses analisis yang dilakukan tidak objektif.
2. Dari pihak nasabah yang disebabkan oleh dua faktor, yaitu:
a. Adanya unsur kesengajaan debitur yang tidak mau memenuhi kewajibannya
kepada bank untuk membayar utang sehingga muncul kredit macet. b.
Adanya unsur tidak sengaja yang disebabkan debitur yang tidak mampu memenuhi kewajibannya akibat faktor eksternal seperti musibah force
mayor.
80
Kasmir, Manajemen Perbankan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 102.
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya, munculnya kegagalan di dalam pengembalian kredit disebabkan oleh faktor ekstern dan intern bank itu sendiri. faktor-faktor tersebut
antara lain:
81
1. Self Dealing
Yakni dikarenakan pejabat bank dalam melakukan penilaian kredit yang tidak objektif, sehingga data yang diajukan tidak valid dengan tingkat objektifitas
yang rendah. 2.
Anxiety for income Kredit dianggap sebagai pendapatan oleh debitur dan bahkan dianggap
sebagai pendapatan yang harus dicari sebanyak-banyaknya. Jika anggapan debitur yang semacam ini ada dan mengabaikan kemampuan membayar repayment
capacity, maka kegagalan kredit akan semakin besar. 3.
Compromise of Credit Principles Yakni hal yang disebabkan oleh petugas bank yang menerimamelewati
batas toleransi penyimpangan prinsip perkreditan. Hal ini tentu akan memperbesar ruang kompromi dalam bentuk risiko sehingga sangat berbahaya di kemudian
hari. 4.
Non Existance of Sounds Lending Policies Penilaian kredit yang tidak didasarkan pada kebijakan kredit yang sehat,
seperti adanya tingkat kejenuhan profil produk nasabah sehingga pengembalian kredit tersendat.
5. Incomplete Credit Information
81
Warman Djohan, Kredit Bank, Alternatif Pembiayaan dan Pengajuannya, Jakarta : Mutiara Sumer Wijaya, 2000, hal. 57.
Universitas Sumatera Utara
Dalam mengambil keputusan terhadap permohonan debitur seharusnya didasarkan pada prinsip 5 C’s analisis. Apabila keputusan yang diambil
berdasarkan data yang tidak lengkap, maka hal ini akan semakin membuka peluang munculnya kredit bermasalah di kemudian hari.
6. Failfure Obtain Enforce Liquidation Agreement
Kegagalan dalam mendapatkan pelunasan kredit pada saat likuidasi juga merupakan kegagalan dalam persetujuan pemberian kredit. Hal tersebut terjadi
karena kurang muatnya pengikatan barang jaminan yang diserahkan karena kurang memenuhi bukti kepemilikan dan kualitas jaminan itu sendiri.
7. Complacency
Membuat sesuatu menjadi mudah dalam analisis permohonan juga merupakan kegagalan dalam pemberian dan pengembalian fasilitas kredit.
8. Lack of Supervising
Kurangnya pengawasan juga merupakan penyebab kegagalan. Pengawasan pada waktu menganalisis, pencairan kredit dan pada waktu berjalannya kredit
sehingga sedapat mungkin dapat diketahui gejala awal apabila suatu permasalahan itu muncul untuk kemudian secara dini dapat dicarikan terapi pemecahannya.
9. Technical Incompetence
Dilihat dari kemampuan teknis analisis dan pengurus bank dan apabila mereka tidak mempunyai kemampuan sebagaimana yang diisyaratkan, maka akan
menyebabkan kegagalan dalam pemberian kredit. 10.
Poor Selection of risk Seluruh kemungkinan risiko kredit yang muncul harus dianalisis agar
dapat diminimalisir.
Universitas Sumatera Utara
11. Over Lending
Yakni sejumlah kredit yang diberikan melebihi jumlah yang dibutuhkan debitur, sehingga membuka peluang penggunaan kredit untuk tujuan lainnya.
Apabila kredit digunakan untuk tujuan yang tidak direncanakan sebelumnya, maka akan muncul risiko kredit baru yang dapat menyebabkan kegagalan
pemberian dan pengembalian kredit. 12.
Competition Berkaitan dengan persaingan antara bank dimana masing-masing bank
berlomba untuk memberikan pelayanan dengan cepat dan mudah kepada calon debitur. Apabila dalam persaingan itu hal-hal prinsip persetujuan pemberian kredit
dan pengelolaannya terabaikan, maka bank akan berhadapan dengan risiko kegagalan dalam pemberian kredit.
Penyelesaian kredit bermasalah merupakan upaya bank dalam pengawasan kinerja perusahaan debitur. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah debitur tidak
sanggup lagi dalam memenuhi kewajibannya. Indikasi tersebut dapat dilihat dari usaha debitur yang mulai memburuk sehingga berpotensi menjadikan debitur
tidak mampu lagi untuk membayar kewajiban yang telah disepakati. Adapun identifikasi awal terhadap munculnya kredit bermasalah yang
harus diperhatikan oleh perbankan adalah:
82
1. Bahwa perbankan tidak boleh membiarkan atau menutup-nutupi adanya kredit
bermasalah. 2.
Bank harus mendeteksi sedini mungkin atas indikasi kredit bermasalah.
82
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bhakti, 2006, hal. 551.
Universitas Sumatera Utara
3. Bank tidak boleh melakukan penyelesaian kredit bermasalah dengan cara
menambah plafond kredit. 4.
Bank tidak boleh melakukan pengecualian dalam penyelesaian kredit bermasalah untuk semua debitur baik pelaku usaha besar ataupun kecil.
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor 72PBI2005 tentang Kualitas Aktiva Bank Umum, maka kualitas kredit
ditetapkan menurut faktor penilaian yang meliputi prospek usaha, kinerja performance debitur, dan kemampuan membayar. Dengan adanya ketiga faktor
penilaian faktor tersebut, maka kualitas kredit dibagi menjadi: 1.
Lancar L, adalah pinjaman kredit dengan tingkat pembayaran tepat pada waktunya dan tidak ada tunggakan pokok dan bunga.
2. Dalam Perhatian Khusus DPK adalah pinjaman kredit yang terdapat
tunggakan pembayaran pokok danatau bunga sampai dengan 90 hari. 3.
Kurang lancar KL, adalah pinjaman kredit yang terdapat tunggakan pembayaran pokok danatau bunga yang melampaui hari ke 91 sampai dengan
hari ke 150. 4.
Diragukan D, adalah pinjaman kredit yang terdapat tunggakan pembayaran pokok danatau bunga yang melampaui hari ke 151 sampai dengan 180.
5. Macet M, adalah pinjaman kredit yang terdapat tunggakan pembayaran
pokok danatau bunga yang telah melampaui hari ke 180 sampai dengan 360.
Angka non performing loan NPL yang cenderung meningkat merupakan tantangan utama yang menjadi perhatian perbankan. Secara umum, faktor NPL ini
memberikan efek yang negatif terhadap perekonomian secara makro, dimana bank
Universitas Sumatera Utara
akan melakukan pengurangan terhadap ekspansi kredit dan juga meningkatkan biaya operasi moneter. Di samping itu, pengaruh peningkatan NPL ini juga akan
mempengaruhi kinerja perbankan dalam pengambilan keputusan kreditnya karena akan berdampak pada status well performing bank itu sendiri. Hal ini yang
menjadi kendala bagi ekspansi kredit, khususnya bank-bank BUMN yang notabene memiliki kegamangan dalam penyelesaian persepsi kredit bermasalah.
83
Berbeda dengan bank swasta yang memiliki hak langsung dalam mengatasi kredit bermasalahnya, bank umum sedikit terkendala akibat mekanisme
penyelesaian kredit macet yang belum jelas. Bank-bank swasta dapat segera bersih dari NPL hanya melalui korporasi, sedangkan bank BUMN perlu melalui
mata rantai yang panjang, karena harus melalui Panitia Urusan Piutang Negara PUPN. Dengan dasar itu, melihat perkembangan isu kredit pada bank BUMN
saat ini yang dinilai sangat mengkhawatirkan, maka pemerintah pada 16 Oktober 2006 melalui Departemen Keuangan telah mengumumkan peraturan pelaksanaan
penyelesaian non performing loan NPL atau kredit bermasalah bank BUMN yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan selanjutnya disebut dengan
PMK No. 87PMK.072006 tentang Pengurusan Piutang Perusahaan NegaraDaerah. PMK ini merupakan kelanjutan dari penertiban Peraturan
Pemerintah No. 33 Tahun 2006 sebagai pengganti PP Nomor 14 tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang NegaraDaerah. Secara umum, inti dari
kedua aturan baru ini adalah penegasan kepada bank BUMN yang saat ini telah diberikan kewenangan utuh dalam mencarikan solusi pemecahan masalah kredit
83
Konsultan Pengembangan Sektor Riil dan UMKM KPRSU, Mengatasi Kredit Bermasalah. http:usaha-umkm.blog.comtagkredit-bermasalah diakses tanggal 5 Oktober 2010.
Universitas Sumatera Utara
macet secara independen tanpa terikat oleh pengaruh faktor lain. Melalui ketentuan ini akan diberikan kemudahan bagi bank BUMN dalam menangani
kredit bermasalah yang akan dihapusbukukan dan tidak perlu diserahkan kepada Ditjen Piutang dan Lelang Negara Departemen Keuangan.
84
Dengan kebaikan ini, tentu saja memberikan gambaran bahwa bank BUMN telah memiliki kesamaan dengan bank swasta dan kewenangan untuk
memberikan keringanan kepada debitur bermasalah. Keringanan kredit yang dimaksud bagi debitur yang kerap disebut juga dengan hair cut merupakan
langkah yang biasa dilakukan oleh bank di seluruh dunia, terutama dalam penyelesaian kredit bermasalahnya. Pola restrukturisasi dengan metode
keringanan ini merupakan satu bagian dari berbagai cara restrukturisasi dalam rangka penyelesaian NPL. Beberapa metode yang juga kerap digunakan dalam
restrukturisasi NPL adalah rescheduling dan reconditioning utang
85
84
Ibid.
85
Ibid.
. Namun dalam implementasi di lapangan terhadap kebijakan PMK No. 87PMK.072006
dan PP No. 33 Tahun 2006 ini, bagi banker memunculkan pertanyaan baru. Keberadaan PP No. 332006 dan PMK No. 872006 pada kenyataannya masih
menimbulkan praduga dan multi interpretasi yang berbeda antara bank dengan lembaga hukum yang ada. Keberatan terjadi apabila aturan baru ini akan dijadikan
topeng bagi para debitur bermasalah untuk sekedar mendapatkan keringanan dari bank. Hal ini menjadi isu sentral mengingat bahwa posisi BUMN secara luas juga
tidak dapat dilepaskan dari konteks politik, dimana hal yang dikhawatirkan bahwa keberadaan PP No. 332006 ini dijadikan oleh konglomerat besar yang
Universitas Sumatera Utara
menunggak untuk mengurangi kewajiban bunga utang sehingga nilai dari prinsip kehati-hatian dan tata kelola yang baik tidak diindahkan.
86
Keluar pernyataan bahwa adanya aturan ini tidak menghilangkan delik korupsi bagi para debitur bermasalah maupun banker yang memberikan
keringanan. Pernyataan ini tentu telah membawa kegamangan di kalangan banker bank BUMN. Satu hal yang perlu dimengerti, dengan keluarnya PP No. 332006
ini merupakan penegasan bahwa piutang BUMN saat ini bukan bagian dari piutang negara. Ketakutan tersebut bagi perbankan adalah munculnya persepsi
bahwa kredit macet yang timbul di bank BUMN selama ini dianggap sebagai suatu tindakan pidana, padahal semua kredit selalu mengandung potensi kredit
macet, sehingga kewenangan dalam haircut tersebut dibayangi oleh munculnya perkara di kemudian hari.
87
Satu hal yang harus dipegang, bank BUMN juga tidak akan begitu saja memberikan keringanan kredit bermasalah kepada para debitur macetnya. Dengan
demikian diharapkan adanya keharusan yang tegas untuk dapat membedakan antara debitur yang dapat diberikan keringanan dengan yang tidak. Untuk
mengantisipasi penyelewengan ketentuan dalam hair cut, pemerintah dalam hal ini telah menyampaikan bahwa untuk menjamin asas good coorporate
governance. Dalam pelaksanaan PP No. 332006 dan PMK No. 872006, BUMN akan membentuk Oversight Committee OC yang tugas utamanya adalah untuk
mengawasi agar penyelesaian NPL benar-benar dilaksanakan sesuai dengan tata kelola yang baik. Tentunya keberadaan OC ini akan semakin memperkuat upaya
penyelesaian NPL di Bank BUMN. Hanya saja keberadaan OC harus benar-benar
86
Rachmadi Usman. Op.cit, hal 251.
87
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
diatur mekanismenya agar tidak menjadi perpanjangan birokrasi penyelesaian NPL yang pada gilirannya akan menyebabkan hilangnya hakikat kesetaraan
penyelesaian NPL dengan bank swasta. Dalam ketentuan mengenai penyelesaian kredit bermasalah tersebut
hendaknya diatur di dalam suatu Standard Operating Procedures SOP yang meliputi:
88
1. Accountability
Yakni tolak ukur yang jelas, yang akan dijadikan acuan dalam mengukur kinerja penyelesaian piutang.
2. Transparancy
Yakni prinsip keterbukaan yang dilakukan dalam penyelesaian piutang. 3.
Responsibility Yakni memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam penyelesaian
piutang. 4.
Fairness Yakni perlakuan yang adil.
Pemerintah memang mau tidak mau harus benar-benar percaya kepada tim manajemen yang telah ditunjuk apabila penunjukkannya telah mengacu pada asas
profesionalisme dan integritas. Sejumlah langkah pemerintah di atas pada gilirannya akan mempercepat penyelesaian NPL bank BUMN sehingga akan
mengoptimalkan fungsi intermediasi bank BUMN yang akan memberikan efek pengganda multiplier effect bagi perekonomian Indonesia. Jika kondisi ideal ini
88
Sigit Wibowo, Penyelesaian Kredit Bermasalah Sesuai PP No. 33 Tahun 2006, Makalah Depkeu Jakarta, Juni 2008.
Universitas Sumatera Utara
dapat terwujud, maka akan berdampak pada kemudahan sektor UMKM untuk mengakses permodalan dalam upaya menggerakkan sektor riil.
Secara umum, penyebab terjadinya kredit bermasalah yang menjadi NPL bank, disebabkan oleh kondisi faktor ekonomi makro yang memburuk. Tingkat
inflasi yang tinggi berdampak pada daya beli masyarakat yang menurun, sehingga arus perputaran uang di masyarakat sedikit terganggu. Hal ini tentu saja
berimplikasi terhadap pendapatan dan kemampuan debitur dalam hal menyelesaikan kewajiban kreditnya ke bank.
Melihat perkembangan kondisi ini, Bank Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan terkait Kualitas Aktiva bank umum yang tertuang dalam
PBI Nomor 722005 yang secara khusus mengatur tentang NPL perbankan. Dalam upaya penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalahnya, maka salah
satu langkah yang ditempuh dan telah disepakati untuk diterapkan adalah melalui proses restrukturisasi kredit. Dalam Keppres RI Nomor 56 Tahun 2002 tentang
Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan Menengah disebutkan bahwa: Pasal 2 ayat 1: Restrukturisasi kredit usaha kecil dan menengah diberikan
kepada perorangan atau badan usaha yang dikategorikan sebagai usaha kecil dan menengah yang mempunyai total kredit per tanggal 31 Desember 1997 danatau
sisa utang pokok sampai dengan Rp. 5.000.000.000 lima milyar rupiah per debitur pada bank danatau Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Restrukturisasi kredit pada dasarnya dilakukan sebagai upaya perbaikan yang dilakukan perbankan dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang
Universitas Sumatera Utara
mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya. Adapun jenis-jenis dari restrukturisasi kredit adalah:
89
89
Surat Keputusan No. 5 Kep S.94-DIRADK122005 Tentang Restrukturisasi Kredit.
1.Perubahan tingkat suku bunga Perubahan tingkat suku bunga adalah perubahanpenurunan suku bunga
menjadi lebih kecil dari sebelumnya untuk penggunaan suku bunga setelah restrukturisasi.
2.Pengurangan tunggakan bunga danatau denda Pemberian keringanan tunggakan bunga danatau dengan maksimum hanya
sebatas tunggakan bunga danatau denda yang belum dibayar. Pengurangan bunga tidak dapat dilakukan pada kredit yang direstrukturisasi dengan kategori Lancar
L, Dalam Perhatian Khusus DPK, dan Kurang Lancar KL, namun untuk kredit yang telah masuk Diragukan D dan Macet M memungkinkan untuk
dilakukan pengurangan atas tunggakan bunga yang sesuai dengan kemampuan debitur.
3.Pengurangan tunggakan pokok kredit. Berpedoman pada anggaran dasar bank. Ketentuan ini mensyaratkan dalam
rangka restrukturisasi kredit yang mengatur tentang penghapusan secara mutlak hapus tagih.
4.Perpanjangan jangka waktu kreditpenjadwalan kembali. Perpanjangan jangka waktu kredit, disesuaikan dengan kemampuan debitur atau
untuk kredit konsumtif disesuaikan dengan repayment capacity debitur tersebut. Penambahan fasilitas kreditsuplesi kredit.
5.Penambahan fasilitas kredit
Universitas Sumatera Utara
Penambahan fasilitas kredit adalah pemberian tambahan fasilitas kredit baik direct maupun contingent, agar usaha debitur dapat beroperasi kembali sehingga
dapat memenuhi kewajibannya kepada bank. Penambahan fasilitas kredit tidak diperkenankan untuk melunasi tunggakan pokok danatau bungadenda dan
ditatakerjakan dalam rekening terpisah. Penambahan fasilitas kreditsuplesi kredit dalam rangka restrukturisasi kredit harus didukung dengan agunan yang cukup.
6.Pengambilan asset debitur sesuai dengan ketentuan yang berlaku Pengertian asset debitur disini meliputi asset debitur baik yang dijaminkan
maupun tidak dijaminkan atau yang dijaminkan kepada pihak ketiga. Pengelolaan danatau pengambilalihan asset debitur tersebut merupakan tindakan dalam rangka
penyelamatan kredit secara aktif maupun pasif pengawasan. 7.Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara bank pada perusahaan
debitur yang merupakan perubahan objek perjanjian. Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara hanya dapat dilakukan untuk kredit yang memiliki
kualitas kredit Kurang Lancar KL. Diragukan D, dan macet M. 8.Pembayaran sejumlah kewajiban bunga yang dilakukan kemudian deferred
interest paymentinterest ballon payment, yakni bentuk restrukturisasi kredit yang dilakukan bank untuk menyehatkan usaha debitur dengan cara
menangguhkan sementara sebagian atau seluruh beban bunga yang seharusnya dibayar kembali oleh debitur di kemudian hari sesuai dengan jadwal pembayaran
yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Untuk bunga yang ditangguhkan sementara itu, tidak dikenakan denda. Suku bunga yang diatur tersebut meliputi:
Universitas Sumatera Utara
a. Tingkat suku bunga yang dibebankan kepada debitur harus didukung atas dasar kemampuan keuangan usaha debitur, setelah terlebih dahulu banker
melakukan analisis cash flow usaha debitur. b. Selisih antara tingkat suku bunga yang dibebankan kepada debitur tersebut
di atas dengan tingkat suku bunga yang seharusnya dibayar, merupakan bunga yang ditangguhkan dan dapat diangsur.
c. Tingkat suku bunga dapat direview secara periodik dan disesuaikan dengan cash flow usaha debitur.
d. Dalam jangka kredit, apabila terjadi perubahan suku bunga kredit, maka yang diubah adalah tingkat suku bunga yang ditangguhkan.
9. Penjualan agunan Merupakan penjualan asset atau agunan debitur yang dilakukan di bawah
tangan, yang diserahkan kepada bank dalam rangka penyelamatan. Hal ini bertujuan untuk mempercepat proses penjualanpencairan asset debitur dengan
prioritas penggunaan untuk mengurangi pokok pinjaman dan piutang ekstern. Di samping itu, upaya ini dimaksudkan untuk memperoleh harga jual yang optimal
dengan alternatif cara pembayaran terbaik yang dapat diterima oleh bank. Dalam hal restrukturisasi kredit berupa penjualan agunan secara di bawah tangan
berdasarkan kesepakatan antara para pihak bank, debitur, dan calon pembeli, maka agunan yang akan dijual secara dibawah tangan tersebut telah diikat dengan
hak tanggungan. Sebelum dilakukan penjualan, maka harus mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, seperti
terlebih dahulu diumumkan dalam media cetak atau elektronik yang jangkauannya meliputi wilayah agunan berada.
Universitas Sumatera Utara
Kombinasi dari berbagai alternatif tersebut di atas merupakan kombinasi dari berbagai alternatif restrukturisasi dari point 1 s.d 9 yang dimungkinkan
berlaku satu atau dua saja. Tujuan dari restrukturisasi kredit tersebut adalah agar debitur dapat
memenuhi kewajibannya kepada bank, sehingga diharapkan posisi dan kepentingan bank lebih baik dan aman sehingga usaha debitur dapat lancar
kembali dan mampu memperbaiki struktur permodalan debitur itu sendiri. Adapun syarat dari restrukturisasi kredit tersebut adalah:
90
1. Masih memiliki prospek usaha yang baik, dimana hasil analisa harus
menunjukkan cash flow yang positif, prospek pasar masih terbuka, dan mampu melakukan peningkatan efisiensi dan daya saing. Prospek usaha
debitur yang dimaksud adalah didasarkan pada kemampuan membayar kembali debitur repayment capacity apabila pinjaman direstrukturisasi.
2. Debitur mengalami kesulitan untuk membayar pokok danatau bunga kredit.
3. Debitur menunjukkan itikad baik yang positif untuk bekerja sama terhadap
upaya restrukturisasi yang akan dijalankan. Itikad baik yang dimaksud adalah mau melakukan negoisasi dengan bank, memberikan data usaha secara
terbuka dan membuat rencana strukturisasi yang akan dibahas dengan bank. Dalam hal ini, sebagai prinsip awal yang harus dipegang oleh bank BUMN
dalam menjalankan proses restrukturisasinya adalah:
91
1. Bank dilarang melakukan restrukturisasi kredit dengan tujuan hanya untuk
menghindari diri dari upaya penurunan penggolongan kualitas kredit,
90
M. Djumhana, Op.cit, hal. 58.
91
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
peningkatan pembentukan PPA Penyisihan Penghapusan Aktiva atau juga penghentian pengakuan pendapatan bunga secara aktual.
2. Bahwa sesuai dengan ketentuan restrukturisasi, bank hanya dapat melakukan
restrukturisasi kredit kepada debitur yang kesulitan melakukan pembayaran pokok danatau bunga kredit, namun dari segi prospek usaha, masih baik
untuk dapat memenuhi kewajiban setelah kredit direstrukturisasi. Mengacu pada ketentuan Bank Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang
Penilaian Kualitas Aktiva bank Umum bahwa pada dasarnya pengelolaan NPL melalui restrukturisasi kredit bank BUMN diatur dengan pertimbangan:
1. Bahwa untuk kelangsungan usaha bank tergantung dari kemampuan dan
efektivitas bank dalam mengelola risiko kredit dan meminimalkan potensi kerugian.
2. Dalam rangka mengelola risiko kredit dan meminimalkan potensi kerugian,
bank wajib menjaga kualitas aktiva dan wajib menjaga kualitas aktiva dan wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva PPA. Bahwa kewajiban
pembentukan penyisihan aktiva perlu diberlakukan terhadap aktiva produktif dan aktiva non produktif. Pembentukan PPA tersebut berupa:
a. Cadangan umum dan cadangan khusus untuk aktiva produktif. Ditetapkan
lebih kurang 1 dari aktiva produktif yang memiliki kualitas lancar. b.
Cadangan khusus untuk aktiva non produktif. Untuk cadangan khusus ditetapkan dengan ketentuan:
a. 5 dari aktiva dengan kualitas Dalam Perhatian Khusus DPK setelah
dikurangi nilai agunan.
Universitas Sumatera Utara
b. 15 dari aktiva kualitas Kurang Lancar KL setelah dikurangi nilai
agunan. c.
50 dari aktiva dengan kualitas Diragukan D setelah dikurangi nilai agunan.
d. 100 dari aktiva dengan kualitas Macet M setelah dikurangi nilai
agunan. 3.
Ketentuan mengenai kualitas aktiva, pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva PPA dan restrukturisasi kredit merupakan ketentuan yang saling
terkait sehingga dipandang perlu untuk menyatukan ketentuan tersebut dalam satu peraturan.
4. Bank dapat melakukan restrukturisasi kredit hanya kepada debitur yang
memiliki prospek usaha yang masih luas dan kemampuan debitur yang memiliki itikad baik.
Dalam pelaksanaan pengelolaan kredit macet ini, maka perbankan secara langsung diwajibkan untuk membuka satu “Divisi Kredit Khusus” yang bertugas
untuk memantau dan mengatasi permasalahan kredit macet. Program yang terkait untuk dikembangkan tersebut dapat berbentuk:
92
1. Loan Rescheduling penjadwalan kembali
Yakni perubahan syarat kredit yang menyangkut masa tenggang, baik meliputi perubahan besarnya angsuran maupun tidak.
2. Loan Reconditioning persyaratan kembali
Yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran lainnya, sepanjang tidak menyangkut perubahan
92
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
maksimum saldo kredit dalam konversi seluruh atau sebagian dari pinjaman menjadi penyertaan modal.
3. Restructuring penataan kembali
Yakni perubahan syarat kredit berupa penambahan dana bank danatau konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru
danatau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan.
Langkah ini hanya sebagian dari alternatif terhadap penyelesaian kredit bermasalah sebelum masuk pada tahap selanjutnya, yakni melalui lembaga yang
bersifat yudisial. Dengan salah satu proses tersebut di atas, setidaknya hal yang telah dicapai adalah:
93
1. Melalui pemberian tambahan kredit baru atau kredit lama agar diaktifkan
kembali. 2.
Perubahan tingkat suku bunga danatau penangguhan pembayaran bunga. 3.
Perpanjangan jangka waktu kredit. 4.
Perubahan jadwal pembayaran danatau jumlah pembayaran angsuran kredit sesuai dengan perubahan jangka waktu.
5. Perubahan mengenai persyaratan jaminan kredit dan menambah barang
jaminan jika memungkinkan. 6.
Perubahan dalam manajemen pengelolaan usaha debitur. 7.
Perubahan di bidang permodalan perusahaan debitur. 8.
Pengembangan atau peninjauan kembali ke lapangan tempat usaha debitur.
93
M. Tohar, Op.cit, hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
Dengan pengaturan pengelolaan kredit bermasalah BUMN melalui mekanisme korporasi, maka hal itu memberikan kesamaan ‘level of playing field’
antara bank BUMN dan bank swasta. Hal ini sangat positif bagi peningkatan kinerja bank BUMN dalam menjaga tingkat kesehatan bank melalui pengelolaan
NPL yang lebih fleksibel dan transparan.
94
Implikasi dari pengelolaan NPL ini terhadap bank tentu saja akan membuat laporan kredit perbankan menjadi lebih bersih yang secara langsung
akan menunjukkan kinerja finansial bank BUMN menjadi lebih baik. Hal ini tentu saja berkaitan dengan posisi NPL yang menurun sehingga biaya cadangan PPAP
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif akan sedikit. Dengan demikian, pendapatan perusahaan akan diperoleh lebih maksimal. Dengan semakin baiknya
kinerja perusahaan coorporate rating terhadap sektor riil, tentu saja akan merangsang BUMN untuk lebih giat lagi dalam ekspansi kredit bagi sektor
UMKM. Sedangkan kondisi BUMN yang baik ini bagi pemerintah secara langsung memberikan manfaat positif dalam hal penerimaan pajak dan deviden
yang berpengaruh pada ketahanan dan fundamental ekonomi, fiskal dan moneter fiscal and monetary stability.
95
Pemerintah pada akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 sebagai acuan untuk penghapusan piutang negaradaerah. PP ini
merupakan hasil revisi dari PP No. 142005. Dengan keluarnya PP No. 332006, perusahaan negara dapat melakukan penghapusan piutang sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni UU Perseroan Terbatas Nomor 40 tahun 2007, UU BUMN Nomor 19 tahun 2003 dan UU No. 17 Tahun 2003
94
Tulus Tambunan, Op.cit, hal. 230.
95
Ibid, hal. 231.
Universitas Sumatera Utara
tentang Keuangan Negara beserta peraturan pelaksananya. Kehadiran Peraturan Pemerintah tersebut sebagai jawaban banker BUMN terkait penanganan kredit
bermasalah non performing loanNPL di lingkungan bank BUMN khususnya yang sampai dengan saat ini telah mencapai 42,48 triliun atau 70,4 dari total
NPL bank umum. Dengan keluarnya PP ini, diharapkan agar dapat memberikan kepastian hukum bagi bank BUMN dalam rangka mengoptimalisasi upaya
penyelesaian kredit bermasalah. Dengan adanya level of playing yang sama dengan bank swasta dalam menyelesaikan NPL khususnya untuk hapus tagih
NPL, hal tersebut menjadi kegamangan bagi bank BUMN dalam penyelesaian kredit bermasalah.
Secara umum, Pasal dalam PP No. 332006 terdiri atas dua pasal. Pasal 1 menyebutkan, ketentuan Pasal 19 dan Pasal 20 dalam PP No. 142005 tentang
Tata Cara Penghapusan Piutang NegaraDaerah, dihapus. Inti dari Pasal 19 dan Pasal 20 PP No. 142005 adalah penghapusan piutang BUMN harus dilakukan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku UU No. 172003 tentang Keuangan Negara, UU No. 192003 tentang BUMN, dan UU No. 40
Tahun 2007 tentang PT. Sebagai gantinya dalam pasal 2 ayat 1 huruf a PP No. 332006 disebutkan bahwa pengurusan piutang negaradaerah dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku di bidang PT dan BUMN beserta pelaksananya. Sementara itu, Pasal 2 ayat 1 huruf b pada intinya
menegaskan piutang negaradaerah yang telah diserahkan ke Ditjen Piutang dan Lelang Negara DJPLN yang sebelumnya, tetap mengacu pada PP 142005.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan Pasal 2 ayat 2 berbunyi, PP No. 332006 mulai berlaku pada tanggal diundangkan yakni 6 Oktober 2006.
96
Beberapa tindakan dalam hal optimalisasi penyelesaian kredit bermasalah yang dapat dilakukan oleh bank BUMN adalah:
Dengan perkembangan kondisi ini, maka semakin menguatkan alasan bahwa BUMN saat ini bukan badan publik. Hal ini dapat dijelaskan dimana dana
dan status persero bank yang tunduk pada ketentuan UU PT Nomor 40 Tahun 2007. Asset pada BUMN bukan milik negara keterpisahan kekayaan, dimana
kekayaan negarauang negara pada BUMN hanya terbatas pada modal yang telah dipisahkan dari APBN. Dengan demikian status assetkekayaan bank BUMN
sendiri merupakan hasil dari usaha kekayaan BUMN itu sendiri, sehingga BUMN memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pemiliknyapendirinya.
Hal tersebut merupakan esensi dari suatu badan hukum legal entity.
97
1. Melalui pemberian insentif atau restrukturisasi kredit.
2. Penjualan asset kredit.
3. Eksekusi hak tanggungan.
4. Gugatan perdata di pengadilan.
5. Melalui mekanisme Undang–Undang Kepailitan.
6. Mengusahakan penyelesaian ke lawfirm.
Dikaitkan dengan kredit UMKM, maka sejauh ini hal yang paling efektif dan cepat dilaksanakan dalam mengatasi kredit bermasalah adalah dengan
melakukan restrukturisasi atau dengan penjualan asset agunan kredit debitur.
96
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang NegaraDaerah.
97
Sigit Wibowo, Op.cit, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
B. Lembaga Penjamin Kredit Sebagai Mitra Perbankan dan UMKM