Prinsip Fiduciary Duty dalam UUPT terhadap Tanggung Jawab Direksi

D. Prinsip Fiduciary Duty dalam UUPT terhadap Tanggung Jawab Direksi

Dalam kegiatan bisnis dan ekonomi dalam suatu perusahaan dapat dikatakan bahwa prinsip fiduciary duty merupakan ring satu sekaligus areal terpenting dalam hukum perseroan. 117 Hal itu ada sebab apapun tindakan direksi sebagai pemegang amanah trustee dalam menjalankan kegiatan perseroan sedemikian rupa, baik untung maupun rugi, semuanya itu kembali kepada pundak tanggung jawab direksi. Artinya kaitan prinsip fiduciary duty tidak lepas dari adanya tanggung jawab direksi. Direksi dalam mengelola Perseroan tentunya berhadapan dengan resiko bisnis, di mana apabila keputusan bisnis yang diambilnya menimbulkan kesalahan atau kelalaian, direksi dapat dimintakan pertanggungjawabn baik secara pribadi maupun secara tanggung renteng. Sehubungan dengan resiko bisnis yang selalu mengintai Direksi dalam pengelolaan Perseroan tersebut, timbul pertanyaan, bagaimana tolok ukur tindakan direksi itu dikatakan lalai dan bersalah? Jika ditinjau kaitan prinsip fiduciary duty dengan tanggung jawab direksi dalam UUPT, maka Pasal 97 ayat 3, Pasal 97 ayat 4, dan Pasal 97 ayat 5 mengatur tanggung jawab anggota Direksi atas kerugian perseoran yang timbul dari kelalaian maupun kesalahan dalam menjalankan tugas pengurusan perseroan yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1 Tanggung Jawab Penuh Secara Pribadi Anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian yang dialami perseroan apabila: 117 Ibid., hal. 31. Universitas Sumatera Utara 1. Bersalah; atau 2. Lalai negligence, culpos menjalankan tugasnya melaksanakan pengurusan perseroan. 118 Berkenaan dengan karakteristik kesalahan Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa: Dalam keadaan sadar orang juga dapat melakukan perbuatan yang merupakan perbuatan terlarang, tetapi tanpa kesalahan seperti orang berjalan dalam suatu malam yang gelap gulita, dan menginjak orang yang kebetulan berbaring di tengah jalan sehingga orang ini mendapat luka-luka. Maka, harus ada unsur kesalahan dari pelaku tindak pidana. Kesalahan ini berupa dua macam, yaitu pertama: kesengajaan opzet, dan kedua: kurang berhati-hati culpa. 119 Senada dengan hal itu kesalahan terbagi menjadi 2 dua macam, yaitu ”kesengajaan atau kealpaan” 120 Pengertian “kesalahan” dipakai sebagai syarat umum untuk dapat dipidananya perbuatan di samping sifat melawan hukum. Di samping itu, pengertian “kesalahan” dipakai juga untuk bagian khusus rumusan delik, yaitu sebagai sinonim dari sifat tidak berhati-hati. Misalnya pasal 359 KUHP yang menyebutkan: “Karena kesalahannyakealpaannya, menyebabkan matinya orang lain.” 121 Pengertian kesalahan dalam arti sempit ini digunakan ”kealpaan”. 122 Dengan demikian “kealpaan” atau kurang hati-hati adalah bagian dari “kesalahan”. Sementara kealpaan, seperti juga halnya kesengajaan adalah salah satu bentuk dari kesalahan. 118 Pasal 97 ayat 3 UUPT. 119 Wirjono Prodjikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2003, hal. 65. 120 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT, Renika Cipta, 2008, hal. 81. 121 D.Schaffmeister, N. Keijzer, PH.Sutorius, Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007, hal. 80-81. 122 Ibid., hal. 81. Universitas Sumatera Utara Dalam konteks pidana kealpaankelalaian adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya daripada kesengajaan. Kealpaan adalah kebalikan dari kesengajaan, karena bila mana dalam kesengajaan yakni sesuatu akibat yang timbul itu dikhendaki pelaku, maka dalam kealpaan justru akibat itu tidak dikhendaki walaupun pelaku dapat memperkirakan sebelumnya. Di sinilah letak salah satu kesukaran untuk membedakan antara kesengajaan bersyarat kesadaran-mungkin, dolus eventualis dengan kealpaan berat culpa lata. 123 Sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 97 ayat 2 bahwa “Pengurusan sebagaimana ayat 1, wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.” Dengan demikian, kata “wajib” yang termasuk dalam melaksanakan pengurusan perseroan dengan “itikad baik” meliputi aspek: 1. Wajib dipercaya fiduciary duty yakni selamanya dapat dipercaya dan selamanya harus jujur; 2. Wajib melaksanakan pengurusan untuk tujuan yang wajar atau layak; 3. Wajib menaati peraturan perundang-undangan; 4. Wajib loyal terhadap perseroan, tidak menggunakan dana dan aset perseroan untuk kepentingan pribadi dan wajib merahasiakan segala informasi; 5. Wajib menghindari terjadinya benturan kepentingan pribadi dengan kepentingan perseroan. 124 123 E.Y.Kanter, S. R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, 2002, hal. 192-193. 124 M. Yahya Harahap, op.cit., hal. 383. Universitas Sumatera Utara Sedangkan “wajib” dalam melaksanakan pengurusan perseroan dengan penuh “tanggung jawab” yang meliputi aspek: 1. Wajib seksama dan hati-hati melakukan pengurusan yakni kehati-hatian yang biasa dilakukan orang dalam kondisi dan posisi yang demikian yang disertai dengan pertimbangan yang wajar; 2. Wajib melaksanakan pengurusan secara tekun yakni terus menerus secara wajar menumpahkan perhatian atas kejadian yang menimpa perseroan; 3. Ketekunan dan keuletan wajib disertai kecakapan dan keahlian sesuai dengan ilmu pengetahuan dan pengetahuan yang dimilikinya. 125 Demikian gambaran ruang lingkup dan aspek itikad baik dan tanggung jawab penuh yang wajib dilaksanakan anggota direksi mengurus perseroan. Jika anggota direksi lalai melaksanakan kewajiban itu atau melanggar apa yang dilarang atas pengurusan itu, dan kelalaian atau pelanggaran itu menimbulkan kerugian terhadap perseroan, maka anggota direksi itu bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan tersebut. 2 Tanggung Jawab Secara Tanggung Renteng Dalam hal anggota direksi terdiri atas 2 dua orang atau lebih, Pasal 97 ayat 4 UUPT menegakkan prinsip penerapan tanggung jawab secara tanggung renteng. Dengan demikian apabila salah seorang anggota direksi lalai atau melanggar kewajiban pengurusan secara itikad baik dan penuh tanggung jawab sesuai dengan lingkup aspek- aspek itikad baik dan pertanggungjawaban pengurusan yang disebut di atas, maka setiap 125 Ibid., hal. 383-384. Universitas Sumatera Utara anggota direksi sama-sama ikut memikul tanggung jawab secara tanggung renteng terhadap kerugian yang dialami perseroan. Mengenai rasio atau alasan penegakan prinsip tanggung jawab secara tanggung renteng ini tidak dijelaskan oleh UUPT 2007. Kemungkinan rasionya bertujuan agar semua anggota direksi saling ikut menekuni secara terus menerus pengurusan secara solider tanpa mempersoalkan bidang tugas yang diberikan kepadanya, sehingga mereka secara keseluruhan harus bersatu dan penuh tanggung jawab bekerja sama mengurus kepentingan perseroan. Mereka juga harus menghindari terjadinya friksi yang diakibatkan separation of power yang mereka emban. Mereka harus sadar, setiap tanggung jawab secara tanggung renteng selalu menanti, meskpun kesalahan, kelalaian atau pelanggaran itu dilakukan anggota direksi lain, dan meskipun hal itu terjadi di luar bidang tugasnya serta hal itu terjadi di luar pengetahuannya atau walaupun dia tidak ambil bagian sedikit pun atas peristiwa itu. Penegakan tanggung jawab secara tanggung renteng dalam hukum perseroan di Indonesia baru dikenal dalam UUPT 2007. Sebelumnya baik dalam KUHD dan UUPT 1995 yang ditegakkan adalah tanggung jawab pribadi yang digantungkan kepada faktor siapa pelaku yang melakukan kesalahan, kelalaian, atau pelanggaran itu. Tanggung jawab hukumnya, hanya dipikulkan kepada anggota direksi yang melakukannya. Tidak dilibatkan anggota direksi yang lain secara tanggung renteng. Penerapan seperti ini seperti dikemukakan oleh Charlesworth yang mengatakan bahwa “A director is not liable for the acts of his co-director of he has no knowledge and in which he has taken Universitas Sumatera Utara no part, 126 as his fellow directors, directors are not his servants or agents to impose liability on him.” 127 Kemudian jikalau tindakan kesalahan, kelalaian, atau pelanggaran itu dilakukan seorang anggota direksi tanpa sepengetahuan anggota direksi lain atau dia tidak ikut ambil bagian atas perbuatan itu, anggota atau co-direksi yang lain tidak ikut bertanggung jawab terhadapnya. Beliau memberi contoh kasus kerugian besar yang dialami sebuah bank atas perluasan kostumer yang tidak wajar improperly. Kerugian besar itu, ditutupi oleh manager dan chairman secara curang dalam rekening pembukuan. Terhadap kasus ini, pengadilan memutuskan co-direktur tidak bertanggung jawab atas kerugian itu, karena tidak ditemukan mereka ikut melakukan kecurangan. 128 Sebagaimana dijelaskan di atas, pada Pasal 97 ayat 4 menganut prinsip penegakan tanggung jawab secara tanggung renteng terhadap setiap anggota direksi atas kesalahan dan kelalaian pengurusan yang dijalankan anggota direksi yang lain. Namun penerapan prinsip itu dapat disingkirkan oleh anggota direksi yang tidak ikut melakukan kesalahan dan kelalaian apabila anggota direksi yang bersangkutan “dapat membuktikan” hal berikut: a. Kerugian perseroan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; 126 Perry’s Case 1876 34 L.T. 716. T.E. Cain, Charlesworth’s Company Law, ninth edition, London: Steven Sons, 1968, hal. 211. 127 Cullerne v. London and Suburban Bdg. Socy. 1890 25 Q.B.D. 485. Ibid. Lihat juga M. Yahya Harahap, op.cit., hal. 385. 128 Ibid., hal. 211-212. Universitas Sumatera Utara b. Telah melakukan dan menjalankan pengurusan perseroan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar; c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian perseroan, dan; d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Syarat-syarat pembebasan dimaksud bersifat “kumulatif” dan bukan “alternatif”. Hal itu disimpulkan dari perumusannya yang tidak terdapat kata “atau” sementara yang ada hanyalah kata “dan” diantara huruf a, b, c, dan d. Dengan demikian agar seorang anggota direksi dapat terhindar dan bebas dari tanggung jawab secara tanggung renteng atas kesalahan dan kelalaian anggota direksi lain dalam pengurusan perseroan, maka anggota direksi yang bersangkutan harus dapat membuktikan hal-hal yang disebut pada Pasal 97 ayat 5 huruf a, b, c, dan d. Satu hal saja tidak dapat dibuktikannya, kepadanya harus diterapkan penegakan prinsip tanggung jawab secara renteng yang ditentukan Pasal 97 ayat 4. Universitas Sumatera Utara

E. Kedudukan Direksi Bank dalam Hal Ketentuan Khusus Perbankan