B. Prinsip Fiduciary Duty terhadap Pertanggungjawaban Direksi Bank dalam
Pembayaran Letter of Credit. 1.
Penerapan Fiduciary Duty Bagi Direksi Bank Kaitannya Terhadap Pengaturan Prinsip Kehatian-hatian Bank Prudential Banking
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa tugas utama direksi adalah tugas manajemen dan tugas representatif. Dalam menjalankan kedua tugas tersebut
berlaku doktrin fiduciary duty.
196
Prinsip utama dalam doktrin ini sesuai namanya adalah “tugas berdasarkan kepercayaan”. Tugas yang diberikan perseroan kepada direksi adalah
kepercayaan. Oleh karena itu, unsur utama dalam pemberian tugas yang dipercayakan kepada direksi perseroan adalah kepercayaan bahwa perseroan tersebut dapat dijalankan
dengan bertanggung jawab dan beritikad baik. Hal ini mengandung pengertian antara lain bahwa orang yang diangkat menjadi direksi yang bertugas mengurus perseroan itu
harus orang yang mempunyai persyaratan tertentu. Idealnya tidak semua orang dapat menjadi direksi Perseroan Terbatas terutama direksi bank.
Khusus persyaratan untuk menjadi direksi bank seiring dengan sifat khusus usaha bank di samping harus memenuhi persyaratan umum sebagaimana diatur dalam
Pasal 93 ayat 1 UUPT, maka harus juga memenuhi persyaratan yang berlaku khusus bagi direksi bank. Dengan demikian, seorang direktur hanya dapat dikategorikan
memiliki itikad baik di dalam mengelola perusahaan jika telah melaksanakan prinsip fiduciary duty dan tidak melakukan kegiatan ultra vires. Sedangkan untuk dapat
melaksanakan prinsip fiduciary duty dan tidak terjebak pada kegiatan ultra vires, bank
196
Lihat Munir Fuady, op.cit., hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
wajib melaksanakan Good Corporate Governance GCG sebagaimana yang telah diatur oleh Bank Indonesia.
197
Bank dalam menjalankan kegiatan dan usahanya tidak hanya berlaku ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 UUPT, tetapi diatur secara lebih khusus dan rinci dalam suatu
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan UU Perbankan, termasuk larangan-larangannya. Oleh
karena itu, maksud dan tujuan perseroan yang terdapat pada Anggaran Dasar bank harus mengacu kepada ketentuan yang terdapat dalam UU Perbankan.
Mengenai pembahasan selanjutnya, dalam ketentuan umum Perseroan Terbatas, prinsip fiduciary duty sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya sangat erat
kaitannya dengan prinsip kehati-hatian terhadap tugas dan tanggung jawab direksi sebagaimaa diatur dalam UUPT Pasal 1 ayat 2 dan 5, Pasal 9 ayat 1 dan 2; Pasal
97 ayat 1 dan 2. Sekalipun UUPT tidak menyebut secara tekstual, tetapi dengan mengadopsi prinsip fiduciary duty, hakikatnya prinsip kehati-hatian ini juga dijadikan
landasan dalam UUPT. Prinsip fudiciary duty yang di dalamnya terdapat duty of care and skill memiliki standard of care, yaitu:
1. Itikad baik good faith
2. Loyalitas yang tinggi hight degree of loyality
3. Kejujuran honesty
4. Peduli care
5. Kemampuankecakapan skill
6. Peduli terhadap pelaksanaan hukum care of law enforcement.
198
197
Rudi Dogar Harahap, “Penerapan Business Judgement Rule dalam Pertanggungjawaban Direksi Bank yang Berbadan Hukum Perseroan Terbatas”, Tesis pada Program Studi Magister Ilmu Hukum
Sekolah Pascasarjana USU, Medan, 2008, hal. 98.
198
Try Widiyono, op.cit., hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya dalam ketentuan khusus Perseroan Terbatas di bidang perbankan, prinsip kehati-hatian tersebut yang dikenal dengan istilah prudential banking. Prudential
banking merupakan suatu asas atau prinsip yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati prudent dalam
rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya.
199
Hal ini disebutkan dalam Pasal 2 UU Perbankan yang menyatakan bahwa perbankan Indonesia dalam
melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.
Penerapan prinsip kehati-hatian prudential banking principles dalam seluruh kegiatan perbankan merupakan salah satu cara untuk menciptakan perbankan yang sehat,
yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap perekonomian secara makro. Selain itu, implementasi prinsip prudential banking harus diterapkan secara menyeluruh,
sehingga tidak hanya menyangkut masalah pemberian kredit, tetapi dimulai saat bank tersebut didirikan, penentuan manajemen yang memenuhi uji kecukupan dan kelayakan
fit and proper test yang tidak bersifat seremonial.
200
Ada satu pasal dalam UU Perbankan yang secara eksplisit mengandung substansi prinsip kehati-hatian, yakni pasal
29 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998. Pasal 29:
2 Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan
kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas,
199
Rachmadi Usman, loc.cit. , hal.18
200
Jusuf Anwar, “Aspek-aspek Hukum Keuangan Dan Perbankan Suatu Tinjauan Praktis”, disampaikan pada Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII, Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Badan Pembinaan Hukum Nasional di Denpasar-Bali, 14-18 Juli 2003, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian
3 Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah dan
melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada
bank
4 Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai
kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.
Jika memperhatikan judul Bab V UU Perbankan terdiri dari Pasal 29 sd Pasal 37B, maka Pasal 29 merupakan pasal yang termasuk dalam ruang lingkup pembinaan
dan pengawasan. Artinya, ketentuan prudential banking sendiri merupakan bagian dari pembinaan dan pengawasan bank. Lebih khusus lagi menurut Anwar Nasution,
ketentuan prudential banking termasuk dalam ruang lingkup pembinaan bank dalam arti sempit.
201
Apa yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian oleh UU Perbankan sama sekali tidak dijelaskan baik pada bagian ketentuan maupun dalam penjelasannya. UU
Perbankan hanya menyebutkan istilah dan ruang lingkupnya saja sebagaimana dijelaskan dalam pasal 29 ayat 2, 3, dan 4 di atas. Dalam bagian akhir ayat 2
misalnya disebutkan bahwasanya bank wajib menjalankan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Dalam pengertian, bank wajib untuk tetap senantiasa memelihara tingkat
kesehatan bank, kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas,
201
Anwar Nasution, “Pokok-pokok Pikiran tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan dalam rangka Pemantapan Kepercayaan kepada Masyarakat terhadap Industri Perbankan”, dalam Makalah
disampaikan pada Seminar tentang Pertanggungjawaban Bank Terhadap Nasabah, Departemen Kehakiman, BPHN, Hotel Indonesia Jakarta, tanggal 24-25 Juni 1997, hal. 2
Universitas Sumatera Utara
rentabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank.
202
Apa saja yang dimaksud dengan aspek lain itu tidak dijelaskan.
Selanjutnya dalam rangka mendukung atau menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prisnsip kehati-
hatian, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern
203
dalam bentuk self regulations.
204
Anwar menyebutkan bahwa ruang lingkup aturan prudent banking pembinaan dalam arti sempit meliputi persyaratan modal awal maupun rasio modal terhadap
kemungkinan resiko yang dihadapinya, BMPK batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap deposito LDR maupun posisi luar negeri NOP, rasio
cadangan minimum, cadangan penghapusan aktiva produktif kredit macet, transparansi pembukuan berdasarkan standarisasi akuntansi serta audit.
205
Hal menarik dalam ketentuan prinsip kehatian-hatian bank ini adalah adanya kewajiban bagi bank menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko
202
Lihat kembali bagian awal ayat 2 Pasal 29 UU Perbankan.
203
Lihat penjelasan Pasal 29 ayat 1, 2, dan 3 UU Perbankan.
204
Self Regulation merupakan peraturan intern bank yang dibuat dalam rangka mendukung pelaksanaan prinsip kehati-hatian. Dalam kebijakan Pemerintah disektor perbankan tahun 1994 disebutkan
bahwa perbankan tetap diarahkan untuk mempercepat proses penyelesaian kredit bermasalah dan bank bermasalah, mempercepat proses konsolidasi, mendorong perbankan untuk melaksanakan prinsip
pengaturan sendiri self regulation principle dan kehati-hatian dalam usahanya serta memantapkan langkah-langkah pembinaan dan pengawasan perbankan guna mengembangkan sistem perbankan yang
sehat dan tangguh. Untuk itu BI melakukan penyempurnaan rencana kerja bank dan laporan pelaksanaannya yang kemudian dituangkan dalam SK Direksi BI No.27117KEPDIR, tanggal 25 Januari
1995 termasuk juga salah satunya SK Direksi BI No. 27162KEPDIR tanggal 31 Mmaret 1995 tentang ketentuan kewajibanbank umum untuk memiliki dan melaksanakan kebijakan perkreditan bnak
berdasarkan Pedoman Penyususnan Kebijakan Perkreditan Bank PPKPB.
205
Anwar Nasution, loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 29 ayat 4 di atas.
Penyediaan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian nasabah dimaksudkan agar akses untuk memperoleh informasi perihal kegiatan usaha
dan kondisi bank menjadi lebih terbuka yang sekaligus menjamin adanya transparansi dalam dunia perbankan. Informasi tersebut dapat memuat keadaan bank termasuk
kecukupan modal, dan kualitas aset. Apabila informasi tersebut telah tersedia atau disediakan, bank dianggap telah melaksanakan ketentuan ini. Informasi tersebut perlu
diberikan dalam hal bank bertindak sebagai perantara penempatan dana dari nasabah atau pembelianpenjualan Surat Berharga untuk kepentingan dan atas perintah
nasabahnya.
206
Walaupun ketentuan ini terkesan berlebihan, tetapi ketentuan ini menunjukkan bahwa bank benar-benar memiliki tanggungjawab terhadap para nasabahnya. Hal ini
penting bagi bank dalam rangka menjaga hubungan baik dan berkelanjutan dengan nasabahnya. Sebab, jika sekali nasabah dirugikan akibatnya nasabah selamanya tidak
akan percaya kepada bank bersangkutan. Hal ini juga relevan dengan konsep hubungan antara bank dan nasabahnya, yang bukan hanya sekedar hubungan debitur-kreditur
semata, melainkan lebih dari itu sebagai hubungan kepercayaan fiduciary relationship.
207
206
Lihat penjelasan ayatb 4 dari pasal 29 UU Perbankan .
207
Sutan Remy Sjahdeini, “BI Sebagai Penggerak Utama Reformasi Peraturan Perundang-undangan, Pidato Ilmiah dalam Rangka Penerimaan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum UNAIR
Suarabaya tanggal 16 Desember 1996”, Tulisan yang sama dapat dibaca dalam Majalah Bank dan
Universitas Sumatera Utara
Pengaturan prudential banking saat ini sudah cukup banyak, bahkan sudah seringkali dilakukan revisi atau pergantian, baik stelah lahirnya UU No.7 tahun 1992
maupun ketika pemerintah mengundangkan UU No.10 tahun 1998. Regulasi tersebut sebagian besar diwujudkan dalam bentuk Surat Edaran dan SK Direksi Bank Indonesia.
Aturan-aturan tersebut misalnya : 1.
SK BI 3011KEPDIR1997, tentang tata cara penilaian tingkat kesehatan bank.
2. SK BI 3012KEPDIR1997, tentang tata cara penilaian tingkat kesehatan
Bank Perkreditan Rakyat. 3.
SK BI 3046KEPDIR1997, tentang pembatasan pemberian kredit oleh bank umum untuk pembiayaan pengadaan dan atau pengolahan tanah
4. SE BI 3116UPPB1998 tentang batas maksimum pemberian kredit bank
umum. 5.
SK BI 31177KEPDIR tentang batas maksimum pemberian kredit bank umum.
6. SE BI 3117UPPB1998 tentang posisi devisa neto bank umum.
7. SE BI 3118UPPB1998 tentang pemantauan likuiditas bank umum.
8. SK BI 31179KEPDIR tentang pemantauan likuiditas bank umum.
Manajemen, Edisi NovemberDesember 1996, hal.17. Alvin C. Herrell setelah melakukan penelitian terhadap putusan-putusan pengadilan di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa hubungan antara bank dan
nasabah merupakan fiduciary relationship karena status bank yang istimewa di dalam masyarakat sebagai lembaga yang jasa-jasanya berpengaruh besar terhadap kesejahteraan masyarakat
Universitas Sumatera Utara
9. SK BI 31148KepDIR1998 tentang pembentukan penyisihan penghapusan
aktiva produktif. 10.
SK BI 31147KEPDIR1998 tentang kualitas aktiva produktif. 11.
SK BI 331178KEPDIR1998 tentang posisi devisa neto bank umum. 12.
Peraturan BI 216PBI2000 tentang perubahan SK Direksi BI 31177KEPDIR1998 tentang batas maksimum pemberian kredit.
13. Peraturan BI 321PBI2001 tentang kewajiban penyediaan modal minimum
bank. 14.
Peraturan BI 322PBI2001 tentang transparansi kondisi keuangan bank. 15.
Peraturan BI 625PBI2004 tentang rencana bisnis bank umum. 16.
Peraturan BI 74PBI2005 tentang prinsip kehati-hatian dalam aktivitas sekuritisasi asset bagi bank umum.
17. Dan lain-lain.
Sebagaimana halnya bank-bank di negara-negara maju dan berkembang lainnya, dalam kaitannya dengan pemenuhan standar kesehatan bank, mengikuti ketentuan
Bassel International Standart BIS. Dalam rangka pemenuhan kondisi perbankan di Indonesia, BI telah menyepakati 25 aturan BIS . Sampai saat ini baru 12 aturan BIS yang
siap diterapkan di Indonesia. Diantaranya ketentuan CAR 8 , dan NPLNon Performing Loan kredit macet 5 yang harus segera dipenuhi bank-bank sebelum
akhir 2001.
208
Ketentuan BIS tersebut dalam garis besarnya merupakan prinsip dasar
208
Titis Nurdiana dan Ahmad Febrian, “Memenuhi Janji dan Membuat Koreksi”, dalam http:www.kontan_oonline.com0531aktualakt1.htm, diakses 19 September 2010.
Universitas Sumatera Utara
pembinaan dan pengawasan bank yang efektif, yang telah disetujui untuk diterapkan di Indonesia melalui komitment yang dilakukan oleh BI dengan IMF.
Pembinaan dan pengawasan yang berlandaskan kepada ketentuan BIS layak diimplementasikan tidak hanya terhadap perbankan, tetapi juga lembaga keuangan non-
bank. Hal ini relevan dipertimbangkan mengingat empiris historis di Indonesia memperlihatkan cukup banyak kasus perbankan yang notabene di bawah pengawasn
bank sentral sesungguhnya berkaitan dengan kegiatan lembaga keuangan non-bank.
209
2. Penerapan Prinsip Kehatian-hatian Prudential Banking dalam