pengeringan kakao tersebut. Untuk perbandingan 1:1 absorben berhasil menyerap 34,8 dari total air yang diuapkan, perbandingan 1:2 menyerap 39,6 dari total
air yang diuapkan, dan perbandingan 1:2 menyerap 41,1 dari total air yang diuapkan.
4.4 NILAI DIFFUSIVITAS EFEKTIF D
EFF
UNTUK KETIGA SAMPEL
Diffusivitas efektif D
eff
merupakan keseluruhan perpindahan massa air yang terjadi dalam pengeringan, meliputi difusi cari, gas, dan aliran hidrodinamik serta
segala mekanisme perpindahan yang mungkin terjadi yang ditentukan dengan menggunakan penyelesaian analitik dari hukum Fick’s kedua [27]. Hii et al.,
menyelesaikan persamaan diffusi keadaan tunak satu-dimensi untuk bentuk geometri bola dan proses pengeringan berjalan panjang [27].
Berdasarkan hasil Newtonisasi logaritma natural kadar air Ln MR terhadap waktu, maka nilai D
eff
diselesaikan dan dihitung. Hasil pengukuran terhadap 10 sepuluh sampel biji kakao hasil pengeringan pada surya + absorben 1:1, surya
+ absorben 1:2, dan surya + absorben 1:3 berturut – turut adalah, r = 0,00623 m, 0,00619 m, dan 0,00587 m. Nilai Deff yang diperoleh dari penelitian ini berada
dalam rentang nilai deff hasil percobaan untuk proses pengeringan biji kakao yaitu antara 7,46 E
-11
– 1,87 E
-10
[27]. Dimana, nilai D
eff
diperoleh 1,18097.10
-10
ms
2
untuk pengeringan surya + absorben 1:1, 1,16585.10
-10
ms
2
untuk pengeringan surya + absorben 1:2, dan 1,04843.10
-10
m
2
s untuk pengeringan surya + absorben 1:3. Perbedaan nilai D
eff
untuk ketiga perbandingan pengeringan kontinu lebih dikarenakan perbedaan jari-jari sampel biji kakao.
7,46E-11 1,18E-10
1,17E-10 1,05E-10
1,87E-10
Hii et al min
Surya + Absorben
1:1 Surya +
Absorben 1:2
Surya + Absorben
1:3 Hii et al
max
Gambar 4.7 Perbandingan Nilai Difusivitas Efektif dengan Waktu
Universitas Sumatera Utara
0,000 0,100
0,200 0,300
0,400 0,500
0,600 0,700
0,800 0,900
1,000 1,100
2 4
6 8
10 12
14 16
18 20
22 24
26 28
30 Surya + Absorben 1:1
Surya + Absorben 1:2 Surya + Absorben 1:3
M o
is tu
re Ra
ti o
M R
Waktu jam
4.5 MODEL PENGERINGAN
4.5.1 MOISTURE RATIO RASIO KELEMBABAN
Pada proses pengeringan yang telah dilakukan selain menunjukkan penurunan laju kadar air kakao, tetapi juga dapat memperlihatkan terjadinya
penurunan nilai MR Moisture Ratio selama proses pengeringan berlangsung untuk masing-masing perbandingan. Laju penurunan nilai MR terhadap
waktu pengeringan ditunjukkan pada Gambar 4.5
Berdasarkan gambar 4.8 dapat dilihat bahwa nilai moisture ratio akan semakin menurun seiring dengan bertambahnya waktu pengeringan dan akan
konstan pada waktu tertentu. Perubahan nilai moisture ratio sangat bergantung pada perubahan kadar air bahan. Dimana hal tersebut dipengaruhi
besarnya intensitas radiasi yang diterima pada siang hari dan besarnya jumlah energi yang dihasilkan oleh absorben pada malam hari untuk menyerap
kelembaban bahan. Masing – masing sampel mempunyai waktu yang berbeda – beda untuk mencapai kadar air keseimbangan, Dapat dilihat perubahan
moisture ratio pada surya + absorben 1:1 memiliki waktu pengeringan 25,5 jam, surya + absorben 1:2 memiliki waktu pengeringan 25 jam, surya +
absorben 1:3 memiliki waktu pengeringan 26,8 jam.
Malam Siang 2
Siang 1
Gambar 4.8 Hubungan MR Moisture Ratio dengan Waktu Pengeringan Kakao Selama Proses Pengeringan
Universitas Sumatera Utara
4.5.2 ANALISA MODEL PENGERINGAN
Dari hasil perhitungan nilai MR Moisture Ratio observasi, ada empat jenis model yang digunakan untuk gambaran penurunan nilai MR Moisture
Ratio tersebut yaitu model Logaritma, model Page, model Newton dan model Exponential. Sebelum menghubungkan antara model tersebut dengan
hasil perhitungan MR observasi dan menentukan model terbaik dari ketiga model tersebut, maka dilakukan analisa model pengeringan. dengan
melinearkankan persamaan dari keempat model yang ada, yaitu model Logaritma, model Page, model Newton dan model Eksponential. Bentuk
Newton ketiga model tersebut sebagai berikut;
Tabel 4.2 Bentuk Linier Model Pengeringan Biji Kakao [13]
Model Pengeringan
Bentuk Eksponensial Bentuk Linier
Logaritma
Mr = a exp -kt + c
Ln MR = ln a – kt + ln c
Page Mr = exp -kt
n
ln -ln MR = ln k + n ln t
Newton Mr = exp -kt
ln MR = -kt
Eksponential Mr = a exp -kt
ln MR = ln a – kt
Selanjutnya, dari bentuk Linier persamaan tersebut dalam Excel dimasukkan nilai MR observasi dalam setiap bentuk Linier dari model di atas.
Untuk mendapatkan nilai MR setiap model maka digunakan nilai ln MR vs t untuk model Page dalam Excel di lakukan plot data ke dalam grafik. Garis
Linier akan ditunjukkan dalam grafik setelah ditambahkan treadline yang tertera di option box pada Excel. Hasil grafik ini ditunjukkan pada lampiran.
Berdasarkan hasil pengujian treadline pada setiap grafik model pengeringan, diperoleh nilai konstanta dan R
2
yang ada pada masing-masing model sebagai berikut:
Tabel 4.3 Nilai Konstanta dan R
2
Masing-Masing Model Pengeringan Bahan
Perbandingan Konstanta
Model Logaritma
Model Page
Model Newton
Model Eksponential
Kakao dan
LiCl
1:1 R
2
0,948 0.987
0.912 0.975
k -
0,078 0.033
0.1 a
- -
- 1,102
Universitas Sumatera Utara
n -
1,103 -
- 1:2
R
2
0,939 0,981
0,915 0,971
k -
0,059 0,035
0,11 a
- -
- 1,112
n -
1,21 -
- 1:3
R
2
0,960 0,973
0,925 0,909
k -
0,064 0,031
0,10 a
- -
- 1,141
n -
1,146 -
- Berdasarkan tabel di atas, persamaan model page dan eksponensial untuk
empat perbandingan yang berbeda menunjukkan nilai R
2
yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua persamaan model lainnya yaitu model logaritma dan
Newton. Hal ini menunjukkan bahwa model page dan eksponensial memiliki nilai kesesuaian yang besar terhadap karakteristik pengeringan kakao.
Untuk memastikan model yang merupakan model yang terbaik, berikut ditunjukkan nilai R
2
serta hasil perhitungan χ
2
dan RMSE pada tabel berikut:
Tabel 4.4 Nilai R
2
, χ
2
dan RMSE
MODEL PERBANDINGAN
R
2
χ
2
RMSE NEWTON
1:1 0,912 0,00625795
0,079 EKSPONENTIAL
0,975 0,00318858 0,056
PAGE 0,987 0,00130882
0,036 LOGARITMA
0,948 0,00262270 0,051
NEWTON 1:2
0,915 0,006208140 0,079
EKSPONENTIAL 0,971 0,001062053
0,033 PAGE
0,981 0,000937068 0,031
LOGARITMA 0,939 0,003017024
0,049 NEWTON
1:3 0,925 0,005224441 0,072
EKSPONENTIAL 0,909 0,001290007 0,036
PAGE 0,973 0,001130924 0,034
LOGARITMA 0,960 0,002246409 0,047
Tabel 4.3 Nilai Konstanta dan R
2
Masing-Masing Model Pengeringan lanjutan
Universitas Sumatera Utara
y = 1,1464x - 2,7536 R² = 0,973
-8 -6
-4 -2
2 -4
-2 2
4
Ln -L
n M
R n
Ln t jamn
Pada Tabel 4.4 tertera nilai R
2
Coefficient of Determinat, χ
2
chi square dan RMSE root mean square error yang digunakan untuk melihat
tingkat kesesuaian model pengeringan dengan hasil observasi. Untuk memilih model pengeringan yang sesuai, maka perlu diperhatikan parameter berikut :
R
2
, RMSE, dan χ
2
, Nilai tertinggi dari R
2
dan nilai terendah dari RMSE dan χ
2
mengindikasikan model pengeringan yang paling sesuai berdasarkan data moisture ratio dan waktunya [28]. Berdasarkan dari ketiga nilai kesesuaian
tersebut, maka model page adalah model yang terbaik yang dapat merepresentasikan karakteristik pengeringan kakao yaitu, untuk surya +
absorben dengan perbandingan massa 1:1 diperoleh MR = exp-0,078.t
1,103
, untuk surya + absorben dengan perbandingan massa 1:2 diperoleh MR =
exp-0,059.t
1,21
, untuk surya + absorben dengan perbandingan massa 1:3 diperoleh MR = exp-0,064.t
1,146
.
a b
c
Gambar 4.9 Hasil Pencocokan Kurva Untuk Menggambarkan
Model Pengeringan Biji Kakao a Surya + Absorben 1:1 b Surya + Absorben 1:2 c Surya + Absorben 1:3
y = 1,1038x - 2,5464 R² = 0,9876
-6 -4
-2 2
-4 -2
2 4
Ln -L
n M
R n
Ln t jamn
y = 1,2107x - 2,8225 R² = 0,9814
-8 -6
-4 -2
2 -4
-2 2
4
Ln -L
n M
R n
Ln t jamn
Universitas Sumatera Utara
0,0000 0,0002
0,0004 0,0006
0,0008 0,0010
0,0012 0,0014
0,0016 0,0018
2 4
6 8
10 12
14 16
18 20
22 24
26 28
La ju
P e
n g
e ri
n g
a n
k g
H
2
O j
a m
n k
g b
e ra
t
k e
ri n
g nn
Waktu jamn
Surya + Absorben 1:1 Surya + Absorben 1:2
Surya + Absorben 1:3
4.6 HUBUNGAN LAJU PENGERINGAN DENGAN WAKTU DAN KADAR
AIR UNTUK KETIGA SAMPEL
Laju pengeringan adalah banyaknya massa air yang dapat dikeluarkan dari bahan per satuan waktu [29]. Tingginya temperatur pengeringan dan humidifitas
relatifnya kecil, semakin tinggi kecepatan penguapan air dari materi [30]. Suhu pengeringan akan mempengaruhi kelembaban udara di dalam alat pengering dan
laju pengeringan untuk bahan tersebut. Makin tinggi suhu yang digunakan untuk pengeringan, makin tinggi energi yang disuplai dan makin cepat laju pengeringan
[25]. Berdasarkan teori tersebut maka laju pengeringan yang diharapkan adalah semakin lama semakin menurun dan konstan karena pada hakikatnya massa air di
awal waktu proses pengeringan akan lebih banyak untuk diuapkan dibandingkan massa air di akhir proses pengeringan yang sudah semakin berkurang.
Berikut adalah grafik hasil laju pengeringan vs waktu yang diperoleh untuk ketiga sampel.
Berdasarkan gambar 4.10dapat dilihat bahwa laju pengeringan untuk ketiga sampel diatas mengalami fluktuasi menuju konstan. Hal ini tidak sesuai
dengan teori yang ada. Hal tersebut dikarenakan adanya peranan suhu dan
Gambar 4.10 Hubungan Laju Pengeringan Terhadap Waktu Untuk
Ketiga Sampel
Siang 2 Siang 1
Malam
Universitas Sumatera Utara
-0,0004 -0,0002
0,0000 0,0002
0,0004 0,0006
0,0008 0,0010
0,0012 0,0014
0,0016 0,0018
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75
La ju
P e
n g
e ri
n g
a n
k g
H
2
O j
a m
n k
g
b e
ra t
k e
ri n
g nn
Kadar Air n
Surya + Absorben 1:1 Surya + Absorben 1:2
Surya + Absorben 1:3
humidifitas relatif terhadap laju pengeringan. Apabila suhu yang digunakan dalam proses pengeringan konstan, maka jumlah air yang diuapkan per satuan waktunya
juga akan lebih stabil dibandingkan bila menggunakan suhu yang berfluktuatif. Sedangkan pada pengeringan indirect solar dryer dengan absorben ini suhu yang
ada di dalam box pengering sangat bergantung pada kondisi cuaca saat melakukan pengeringan sehingga membuat laju pengeringan yang diperoleh berfluktuatif.
Namun berbanding terbalik dengan hubungan laju pengeringan terhadap kadar air. Laju pengeringan akan menurun seiring dengan penurunan kadar air
selama pengeringan. Jumlah air terikat makin lama semakin berkurang. Perubahan dari laju pengeringan tetap menjadi laju pengeringan menurun untuk bahan yang
berbeda akan terjadi pada kadar air yang berbeda pula. Laju pengeringan menurun terjadi setelah pengeringan konstan dimana kadar air bahan lebih kecil daripada
kadar air kritis [25]. Berikut adalah grafik hasil laju pengeringan vs kadar air yang diperoleh
untuk ketiga sampel.
Berdasarkan gambar 4.11 dapat dilihat bahwa laju pengeringan untuk ketiga sampel diatas mengalami fluktuasi menuju konstan. Hal ini tidak sesuai
dengan teori yang ada. Hal tersebut dikarenakan adanya peranan suhu dan
Gambar 4.11 Hubungan Laju Pengeringan Terhadap Kadar Air
Untuk Ketiga Sampel
Universitas Sumatera Utara
humidifitas relatif terhadap laju pengeringan. Apabila suhu yang digunakan dalam proses pengeringan konstan, maka jumlah air yang diuapkan per satuan waktunya
juga akan lebih stabil dibandingkan bila menggunakan suhu yang berfluktuatif. Sedangkan pada pengeringan indirect solar dryer dengan absorben ini suhu yang
ada di dalam box pengering sangat bergantung pada kondisi cuaca saat melakukan pengeringan sehingga membuat laju pengeringan yang diperoleh berfluktuatif.
4.7 KONSUMSI ENERGI SPESIFIK KES