Masjid Raya Al-Mashun 1. Sejarah Masjid Raya Al Mashun

71 malam. Namun, pada akhir akhir ini masyarakat akan berfikir 100 kali untuk keluar tengah malam di kawasan kota. Pemerintah Kota Medan juga diminta untuk lebih pro aktif menciptakan rasa aman bagi warganya agar Kota Medan layak menjadi kota wisata. Karena menurut Chairul tidak akan pernah Kota Medan menjadi destinasi wisata jika masyarakatnya sendiri merasa tidak nyaman di kotanya sendiri. Masyarakat meurutnya juga harus memilih apakah Kota Medan mau lebih baik atau tetap bertahan dengan ketidaknyamanannya. Bali sebagai tempat wisata yang sudah terkenal sebagai icon dunia memberikan keamanan dan kenyamanan bagi setiap orang yang datang, pergi jam berapa pun setiap orang tidak pernah merasa takut. Maka tidak salah jika bali menjadi destinasi wisata utama di Indonesia. 3.3. Masjid Raya Al-Mashun 3.3.1. Sejarah Masjid Raya Al Mashun Salah satu peninggalan bangunan bersejarah yang dapat ditemukan di Kota Medan adalah Masjid Raya yang berlokasi di Jalan Sisingamangaraja atau lebih tepatnya Masjid ini berada di depan Taman Sri Deli Taman Chadijah. Bangunan ini pada awalnya dibangun berdekatan dengan Istana Maimun, Balai Kerapatan Deli dan Taman Sri Deli dengan tujuan sebagai tempat peribadatan Sultan Deli. Lokasi Bangunan Bersejarah ini berada di lingkungan Kecamatan Medan Kota, Kelurahan Masjid lingkungan VI. Dalam proses sejarahnya dikutip dari Jelajah Medan Haritage “ . . . Masjid ini sebagai lambang Kota Medan. Masjid terindah yang memiliki nilai budaya dan sejarah dan terbesar di Sumatera Utara. Masjid ini dapat menampung sekitar 1.500 jemaah untuk Universitas Sumatera Utara 72 melaksanakan sholat setiap hari. Masjid ini dibangun oleh Sultan Makmun Al Rasyid, yang didisain oleh Tingdeman dari Belanda dengan gaya arsitektur Moorish dan berdiri pada tahun 1909. Banyak turis dari berbagai negara datang mengunjungi Masjid ini Jelajah Medan Heritage, 2013:19 . . .” Foto 8 : Kondisi Masjid Raya Al-Mashun sekarang. Sumber: Peneliti Masjid Raya Al-Mashun mulai dibangun pada 21 Agustus 1906, selesai dan dibuka untuk umum pada 10 September 1909 M. Saat itu yang berkuasa di Kesultanan Deli adalah Sultan Makmun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah IX. Seluruh biaya pembangunan Masjid yang diperkirakan mencapai satu juta Gulden. Masjid ini merupakan Masjid kerajaan, oleh sebab itu dibangun sangat megah. Ketika itu Sultan berprinsip bahwa kemegahan Masjid lebih utama daripada istananya sendiri. Ada tiga sebutan populer untuk Masjid ini yaitu : Masjid Al-Mashun, Masjid Deli dan Masjid Agung Medan. Seiring perkembangan, kemudian terbentuk sebuahpemukiman baru di sebelah Masjid yang disebut kota Maksum, sehingga jamaah Masjid semakin ramai. Universitas Sumatera Utara 73 Dalam proses pembangunan Masjid Raya tersebut, seorang milioner di Medan yang bernama Tjong A Fie turut menyumbangmembantu Sultan Makmun Alrasyid dalam proses mendirikan Masjid Raya. Sinar 2001:85 menyebutkan “Ketika Sultan Makmun Al Rasyid Deli bermaksud mendirikan Masjid Raya Medan, maka Tjong A Fie menyumbang 13 biayanya”. Masjid ini merupakan Masjid termegah serta memiliki perpaduan aritektur yang menarik, dengan memadukan gaya arsitektur melayu, India, arab Timur Tengah, dan Eropa. Al-Mashun yang berarti dipelihara, sesuai namanya hingga kini masih terpelihara dan terawat dengan baik. Tidak heran, karena Masjid ini di masa silam merupakan Masjid negara pada masa jayanya Kesultanan Melayu Deli, yang saat itu masuk dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara. Untuk membangun Masjid yang indah dan megah itu, Sultan terpaksa memilih J.A Tingdeman, seorang arsitek bangsa Belanda, mengingat ketika itu belum ada seorang arsitek bangsa pribumi. Oleh sultan, Tingdeman diberi kepercayaan untuk merancang dan mendekorasi Masjid sehingga Masjid Raya Al-Mashun tampak anggun dipandang. Peresmian pemakaiannya bertepatan dengan hari dilaksanakannya shalat Jum’at yang dihadiri oleh pembesar-pembesar kerajaan termasuk Sri Paduka Al- Mashun, Tuanku Sultan Amis, Abdul Jalal Rakhmadsyah dari Langkat dan Sultan Sulaiman Alamsyah dari negeri Serdang. Pada masa lalu Masjid ini merupakan tempat shalat Jum’at satu-satunya di wilayah Kesultanan Deli. Hal ini menunjukkan bahwa Masjid Raya Al-Mashun Medan merupakan Masjid Kesultanan, namun begitu di dalam Masjid tidak terdapat tempat sembahyang khusus untuk Sultan seperti pada umumnya Masjid-Masjid Kesultanan. Universitas Sumatera Utara 74 Pada masa penjajahan umat Islam khususnya di Medan, sangat bersyukur sebab wilayah kekuasaan Kesultanan Deli tidak begitu luas sehingga Sultan Makmun Al-Rasyid tetap mampu membangun sebuah Masjid yang teramat indah dan megah untuk ukuran masa itu. Sebahagian bahan-bahannya sengaja langsung didatangkan dari Italia untuk dekorasi. Misalnya pada lantai dan dinding sebagai penutup digunakan marmer, sedangkan pada langit-langit menggunakan kayu dan tembaga pada atapnya. Ada satu tradisi lisan yang menyebutkan bahwa Sultan Deli biasanya sudah berada di ruangan serambi Masjidsebelum sholat Jum’at dimulai, sementara tidak ada satupun orang melihat Sultan Deli masuk ke dalam Masjid dari arah luar, sehingga ada dugaan yang menyebutkan bahwa di ruangan serambi Masjid terdapat sebuah jalan menuju terowongan yang menghubungkan Masjid Raya Al- Mashun dengan Istana Maimoon. Cerita ini memang perlu dikaji lagi kebenarannya. Namun, yang sangat menarik adalah bahwa di ruangan serambi Masjid terdapat sebuah lubang berbentuk persegi yang diberi penutup yang terbuat dari beton. Lubang ini tidak begitu besar ukurannya, namun cukup bagi seseorang keluar masuk ke dalamnya. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa lubang itu dulunya adalah jalan masuk menuju terowongan bawah tanah yang masih menjadi misteri keberadaannya. Sampai saat ini belum ada penelitian yang lebih dalam mengenai lubang itu. Menurut H. Ridwan AS selaku Sekretaris BKM, beliau mengatakan bahwasanya sampai saat ini dia juga belum pernah menemukan dan mengetahui mengenai lubang tersebut, beliau juga mengatakan bahwaada mitos tentang orang yang hilang ketika mencoba untuk masuk ke dalam lubang tersebut. Universitas Sumatera Utara 75 3.3.2. Permasalahan Pengelolaan Masjid Raya Al-Mashun 1. Pengemis Di Dalam dan Di Luar Masjid Raya Al Mashun Hampir setiap hari ketika kita berkunjung ke Masjid Raya Al Mashun maka kita akan menjumpai banyaknya pengemis berada di dalam maupun diluar Masjid. Pengemis tersebut ada yang masih anak-anak dan bahkan ada pula yang sudah tua renta. Banyaknya pengemis ini tergantung pada hari-hari keagamaan Islam seperti pada saat Shalat Jum’at, Shalat Ied, Shalat Tarawih pada bulan puasa maupun pada saat Hari Raya Qurban. Setiap menjelang Ramadan, jumlah pengemis semakin menjamur. Tidak hanya di masjid-masjid, tetapi juga di setiap persimpangan jalan di Kota Medan. Modusnya beragam, mulai anak-anak putus sekolah, orang cacat, orang tua, hingga ibu-ibu sambil menggendong anak bayi. Parahnya, tidak sedikit para pengemis itu yang hanya berpura-pura sebagai orang cacat agar dikasihani. Kondisi ini kian memperburuk citra Kota Medan sebagai kota metropolitan dan kota terbesar ketiga di Indonesia. Dari hasil observasi lapangan yang dilakukan peneliti, puluhan pengemis berjejer di sepanjang pintu masuk Masjid Al Mashun, Jalan Sisingamangaraja, Medan, setiap kali ibadah salat Jum’at digelar. Ironisnya, tidak sedikit dari pengemis itu yang terlihat sehat dan sebagian besar terlihat pura- pura cacat. Selain itu, tidak sedikit remaja yang terlihat sehat tanpa kekurangan apa pun ikut mengemis. Kondisi itu bisa merusak semangat remaja untuk bekerja dan mencari nafkah dengan cara yang wajar tanpa mengemis. Universitas Sumatera Utara 76 Foto 9 : Pengemis masuk sampai ke area dalam Masjid, foto ini diambil ketika peneliti sedang melakukan Sholat Jum’at Sumber : Peneliti Setiap hari Jumat, pintu masuk Masjid Raya Al Mashun akan dipenuhi pengemis, sampai- sampai jamaah yang hendak melaksanakan ibadah salat Jum’at susah masuk ke masjid,” papar Soleh, 38 Tahun warga Medan Baru. Soleh menambahkan, tidak jarang para pengemis itu memaksa orang agar memberi sejumlah uang. “ . . . Ada saja alasannya kalau kita tidak memberikannya uang. Sampai ke lokasi parkir pun kita diikutinya agar kita memberikannya uang . . .” Selain di kawasan Masjid Raya Al MAshun, Medan, sejumlah pengemis pun terlihat menjamur di sejumlah titik persimpangan jalan di Kota Medan. Anehnya, uang hasil mengemis tersebut bukan mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tetapi untuk mengelem. Soleh lebih lanjut mengatakan : Universitas Sumatera Utara 77 “ . . . Saya pernah melihat langsung seusai meminta-minta di lampu merah, mereka membeli lem. Jadi menyesal saya memberikan uang ke anak-anak itu . . .” Soleh berharap pejabat berwenang segera menertibkan keberadaan para pengemis dan anak jalanan tersebut. Paling tidak, Dinas Sosial tidak hanya menyediakan tempat khusus untuk mereka, tetapi juga harus benar-benar membina mereka sehingga tidak lagi kembali ke jalanan. Sehingga jemaat yang hendak beribadah merasa nyaman ketika pergi ke Masjid Raya Al Mashun. Apalagi Masjid Raya Al Mashun merupakan icon wisata Kota Medan.

2. Adanya Kutipan Dari Penjaga Sendal