Pengelolaan Istana Maimun Menjadi Lokasi Wisata

81 BAB IV KONSEP PENGELOLAAN CAGAR BUDAYA

4.1. Istana Maimun

4.1.2. Pengelolaan Istana Maimun Menjadi Lokasi Wisata

Istana Maimun yang dulunya merupakan istana Kesultanan tempat Sultan dan keluarganya menjalankan pemerintahannya kini sudah berubah fungsi menjadi tempat wisata yang terbuka untuk umum. Semenjak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 Kesultanan Deli layaknya kerajaan-kerajaan lain di Indonesia memutuskan mengikuti sistem pemerintahan yang dianut oleh Negara Indonesia yaitu dengan sistem presidensial. Akhirnya fungsi Kesultanan Deli dalam hal ini diambil alih oleh sistem pemerintahan yang ada pada saat itu. Dalam wawancara yang peneliti lakukan dengan informan kunci yakni Tengku Moharsyah 39 Tahun yang menjabat sebagai Sekertaris Umum Yayasan Sultan Ma’moen Al Rasyid, sebagai pihak yang mengelola Istana Maimun, menuturkan bahwa Istana Maimun pada awalnya dibuka untuk umum pada akhir tahun 70an. Dibukanya Istana Maimun untuk umum oleh Sultan adalah, dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada masyarakat setelah Kesultanan Deli sudah tidak memegang kekuasaan lagi pasca kemerdekaan. Lebih lanjut Moharsyah mengatakan bahwa : “ . . . Istana Maimun dibuka setahu saya itu pada akhir tahun 70an atau 80an awal. Dimana Istana Maimun terbuka untuk umum pada masa itu bagaimana Sultan Deli beserta keluarga Kesultanan yang lainnya ingin menunjukan relevan dia kepada masyarakat yang Universitas Sumatera Utara 82 dulunya pada masa pemerintahan Kesultanan Deli dimana Istana Maimun ini menjalankan fungsinya sebagai Istana Negara tempat Sultan Deli melaksanakan upacara adat beserta keluarganya tentu menjadi area steril bagi siapapun yang tidak berkepentingan. Kemudian dengan berjalannya waktu Sultan Deli beserta keluarga memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk lebih dekat kepada Sultan untuk mendatangi Istana Negaranya secara umum yang berjalan waktunya yang terakhir menjadi tempat destinasi wisata budaya . . .” Foto 11 : Istana Maimun sebagai destinasi wisata budaya di kota Medan Sumber : Peneliti Kerangka pikir ini dapat dijelaskan dengan menggunakan konsep transformasi yang dikemukan oleh M.B. Schiffer dalam Tanudirjo : 2003. Bagi sarjana ini, ada dua konteks utama yang dapat menjelaskan keberadaan sumberdaya budaya, yaitu konteks sistem dan konteks arkeologi. Konteks sistem adalah lingkungan budaya yang masih berlangsung. Dalam konteks ini, sumberdaya budaya masih berperan aktif dan dipergunakan oleh masyarakat. Universitas Sumatera Utara 83 Konteks arkeologis adalah lingkungan tempat sumberdaya budaya baik yang tangible maupun yang intangible sudah tidak digunakan lagi. Foto 12 : Suasana Dalam Istana Maimun Saat Jam Berkunjung Sumber : Peneliti Sementara itu, menurut Moharsyah walaupun Kesultanan Deli telah kehilangan fungsinya sebagai pihak yang dulunya menjalankan roda pemerintahan di Kota Medan, akan tetapi tetap menjalankan acara-acara Kesultanan seperti dahulu. Hal ini dilakukan untuk meneruskan tradisi-tradisi yang ada pada masa Kesultanan yang dahulu agar tetap lestari dan Kesultanan Deli tidak kehilangan ciri khasnya. Adapun acara-acara adat yang masih dilakukan oleh keluarga Kesultanan menurut Moharsyah yaitu: Universitas Sumatera Utara 84 - Upacara junjung duli open house. Acara ini adalah sebuah acara silaturahmi antara pihak Kesultanan dengan Masyarakat, dimana setelah Shalat Ied di Mesjid Raya Al Mashun Mesjid Raya maka Sultan Deli beserta keluarga Sultan yang lainnya akan berkumpul di ruang balai untuk saling bersilaturahmi dengan masyarakat. - Darjah Gelar Pemberian Gelar. Ada juga acara yang dilakukan dalam tiga tahun atau empat tahun sekali yaitu upacara pemberian gelar atau darjah gelar dari Sultan Deli kepada masyarakat yang mempunyai andil memajukan Kota Medan, budaya Melayu dan umumnya Sumatera Utara dan bahkan Indonesia. Salah satu orang yang pernah diberikan gelar adat adalah H. Bahtiar Jafar dimana beliau pernah menjadi Walikota Medan dua periode. Pada masa itu bagaimana beliau menata Kota Medan dan meletakkan jati diri Kota Medan adalah kota Melayu. Beliau diberi gelar “Mangku Negara” beserta dosen-dosen USU yang berjasa memajukan pendidikan di Sumatera Utara. - Hari bersanding. Hari Bersanding merupakan pesta pernikahan keluarga Sultan. Pelestarian pada hakekatnya adalah upaya mempertahankan agar suatu sumberdaya budaya tetap berada pada konteks sistem, agar dapat berfungsi aktif atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Agar tetap bertahan, sumberdaya budaya yang masih ada dalam konteks sistem mungkin saja harus dipakai ulang atau didaur ulang. Sementara itu, sumberdaya budaya yang sudah berada pada konteks arkeologis akan dapat dilestarikan kalau sumberdaya itu dapat dimasukan kembali Universitas Sumatera Utara 85 ke dalam konteks sistem melalui proses reklamasi maupun daur ulang. Proses reklamasi dan daur ulang sudah tentu mengandung makna perubahan, yaitu mengubah sumberdaya budaya yang sudah tidah lagi bermakna agar dapat kembali mempunyai makna atau arti penting bagi sistem budaya yang masih berlangsung Tanudirjo : 2003. Istana Maimun sampai sekarang juga masih ditempati oleh keluarga Kesultanan Deli. Sehingga pada dasarnya bangunan Istana Maimun ini sama halnya seperti rumah hunian pada umumnya yang dimiliki oleh masyarakat pribadi. Menanggapi hal tersebut, informan peneliti yang bernama Lucas P Kastoro yang merupakan mantan Kepala Balai Arkeologi Kota Medan, menjelaskan bahwa : “ . . . apabila kita menghadapi kasus dimana satu objek arkeologis atau historis, saya tidak tahu disini apabila dikaitan dengan cagar budaya atau belum dapat diperlakukan sebagai objek cagar budaya. Dalam hal ini ada sisi positif dimana cagar budaya tersebut masih digunakan sampai sekarang, dan juga sisi negative dari segi yang bisa mengancam keberadaan bangunan tersebut. Ini terlepas dari anda yg memang sudah melihatnya formal resmi sebagai cagar budaya atau atau belum layak belum resmi menjadi cagar budaya dan layak menerima perlakukan sebagai cagar budaya . . .” Dalam hal ini cagar budaya yang masih digunakan masyarakat itu sudah cukup baik, karena kemungkinan cagar budaya tersebut terpelihara karena masih ditempati. Namun, kecenderungan berubah secara drastis pun ada karena keberadaan mereka yg ada disana. Maka dalam hal ini kita hanya melihat komitmen dari orang orang yg menempati objek yg dimaksud. Apabila mereka punya komitmen berkaitan dengan nilai budaya, romantisme ataupun sejarah bangunan tersebut pasti bangunan tersebut bisa dijaga, tetapi apabila mereka Universitas Sumatera Utara 86 disibukkan dengan masalah pertikaian dan warisan warisan-yang berujung pada masalah ekonomi disini muncul kemungkinan objek tersebut akan dijual ataupun dibongkar. Tergantung pada komitmen orang yang menempati. 7 Karena pengelolaan warisan budaya di masa mendatang harus memperhatikan manajemen konflik, maka pengelola warisan budaya hendaknya memegang peran sebagai mediator. Untuk dapat mengemban peran ini, pengelola warisan budaya harus aktif terlibat dalam masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, mampu memberikan pendapat dalam diskusi dan debat publik, memberikan narasi-narasi tentang warisan budaya yang penting dan relevan dengan masalah yang ada di masa kini. Pengelola warisan budaya juga harus kritis melihat bagaimana kepentingan masa kini mempengaruhi interpretasi masa lampau. Sebagai perantara masa lampau dan masa kini, pengelola warisan budaya harus peka baik terhadap keragaman minat dan kepentingan akan masa lampau di masa kini maupun dampaknya terhadap kualitas sumberdaya arkeologi yang tersedia Hodder, 1999. Untuk itu, mereka juga harus akomodatif terhadap beragam kepentingan. Senada dengan Lucas, informan peneliti yang lain yakni Ketut Wiratyana juga mengatakan hal yang sama. Ketut Wiratyana yang merupakan peneliti di Balai Arkeologi Kota Medan mengatakan bahwa : “ . . . tidak papa seperti halnya Candi Borobudur yang masih menjalankan proses ibadah bagi Agama Buddha yah tidak papa, itu malah jauh lebih aman daripada bangunan tersebut tidak ditempati. Kalau ada yang menempati akan lebih mudah dibersihkan dan dijaga , kalau diberikan kepada masyarakat awam bangunan tersebut tidak terjaga . . .” 7 Wawancara dengan Lucas P Kastoro 15 Desember 2015 Universitas Sumatera Utara 87 Kalau selama ini pengelola warisan budaya yang mewakili pemerintah sangat mendominasi penentuan kebijakan dan keputusan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya budaya, sejak dari identifikasi termasuk ekskavasi penyelamatan dan studi kelayakan, penentuan nilai penting, pemanfaatan hingga mitigasi-nya, kini mestinya mereka harus lebih banyak mendengarkan ‘suara- suara’ dari pihak lain pemilik bangunan. Selain itu, pengelola sumberdaya budaya perlu juga lebih banyak melibatkan berbagai unsur masyarakat dalam pengambilan keputusan, antara lain lewat kerjasama dengan berbagai pihak dalam masyarakat. Dengan kata lain, pengelola sumberdaya budaya tidak lagi mengabdi pada kepentingan tunggal negara, tetapi kepentingan yang beragam dari masyarakat luas. Mengikuti pendapat Mayer-Oakes 1990, pengelola sumberdaya budaya harus sadar bahwa sumberdaya budaya adalah milik masyarakat luas yang memiliki beragam kepentingan. Karena itu, anggapan bahwa merekalah yang menentukan nasib sumberdaya budaya harus dihilangkan. Sebaliknya, pengelola warisan budaya yang bijaksana akan menempatkan dirinya sebagai penjaga- pengelola steward. Sedikit berbeda dengan peran manager yang lebih berkonotasi pengendali controller atau penguasa authority, Steward lebih berperan sebagai seorang penjaga dan pengelola. Artinya, ia harus sadar bahwa yang dijaga dan dikelola bukanlah miliknya sendiri lihat: Oxford American Dictionary, 1986. Secara profesional, pengelola warisan budaya harus bertanggungjawab terhadap kelestarian dan pemanfaatan warisan budaya. Universitas Sumatera Utara 88

4.1.2. Yayasan Sultan Ma’moen Al Rasyid