Permasalahan Pengelolaan Taman Sri Deli 1. Kondisi Taman Sri Deli yang Sekarang

57 merupakan areal yang menyajikan hiburan berupa wisata kuliner, rekreasi, serta menjadi tempat wisata malam yang paling banyak di kunjungi. Taman sri Deli juga menjadi tempat wisata malam ketika Bulan Ramadhan tiba. Tempat ini pun menjadi tempat wisata di saat berbuka dan menyajikan segala macam makanan dan hiburan. Lebih lanjut Moharsyah mengatakan bahwa Taman Chadijah atau orang Eropa pada masa itu menyebutnya dengan sebutan Deli Khan Park, merupakan sarana pelengkap dari komplek tempat tinggal Sultan Deli beserta pekerjanya. Secara berurutan pada masa Sultan Deli ke 9 membangun istana maimun pada tahun 1888, membangun Masjid Raya 1906 dan tahun 1925 membangun taman Chadijah. Bentuk dari Taman Sri Deli juga memiliki keunikan yakni bentuknya yang persegi enam atau polygon, mengikuti landscape taman-taman di Eropa. Selain untuk pelengkap, Taman Sri Deli juga menjadi tempat berkumpul masyarakat sembari menunggu shalat maghrib pada masa itu. Ciri khasnya yang bisa kita lihat ada 3, yang pertama bentuk kolamnya yang berbentuk persegi enam atau polygon, tempat jalan doorloop, dan yang ketiga rumah pompa. Rumah pompa itu lah yang menjadi alat menjernihkan air kolam tersebut.

3.2.2. Permasalahan Pengelolaan Taman Sri Deli 1. Kondisi Taman Sri Deli yang Sekarang

Dinas Perumahan dan Pemukiman Perkim Kota Medan kini telah merampungkan proyek Revitalisasi Taman Sri Deli. Revitalisasi Taman Sri Deli yang dipimpin langsung Dinas Pimpinan Gunawan Surya Lubis itu menggelontorkan anggaran senilai Rp9,8 miliar dari APBD 2014 Kota Medan. Universitas Sumatera Utara 58 Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman Perkim Kota Medan Gunawan Surya Lubis mengatakan di media Harian Ispirasi Bangsa, Pihaknya sudah melakukan revitalisasi Taman Sri Deli dengan nilai anggaran Rp10 miliar. Pihak yang melaksanakan revitalisasi tersebut adalah PT. Inti Persadaraya Lestari dengan dana Rp 9.671.900.000,00. Bahkan Gunawan menjelaskan, untuk revitalisasi yang telah dilakukan mencakup pembangunan open stage, tempat bermain anak, serta memperbarui taman dan pagarnya seperti sedia kala dahulu tempat pemandian Raja Sultan Deli. Dalam Harian Inspirasi Bangsa Gunawan menyebutkan “Kalau kami bertanggung jawab hanya untuk pembangunan fisik,” kata Gunawan. Menurut dia, saat ini pembangunan fisik telah selesai, dan pihaknya telah menyerahkannya kepada bagian aset Pemko Medan. Mengenai siapa yang bakal mengelola, itu akan ditentukan Pemko Medan”. Taman Sri Deli merupakan satu situs sejarah di Kota Medan yang dulu tempat bersantai Sultan Deli dan keluarganya pada masa penjajahan Hindia Belanda. Lokasi ini pernah digagas Pemko Medan menjadi pusat kuliner dan menjadi ikon wisata di Kota Medan. Namun, Taman Sri Deli itu akan dikembalikan fungsinya seperti Taman Sri Deli dahulu pada jaman Kesultanan Deli sehingga menarik bagi wisatawan asing dan mancanegara. Sekarang, setelah Taman Sri Deli telah selesai direnovasi kondisinya mulai kembali tidak terawat. Hal ini dikarenakan Dinas Pariwisata sebagai pihak yang ditunjuk untuk mengelola Taman Sri Deli tidak mampu mengelolanya dengan baik. Kondisi taman ini sudah tidak terurus dan menjadi tertutup untuk umum. Hal ini terlihat Universitas Sumatera Utara 59 dari warna air kolamnya yang keruh berwarna hijau kecokelatan karena bercampur dengan endapan lumpur, lumut dan sampah. Tak heran jika pemandangan pengunjung yang sedang menikmati senja di taman ini juga tidak lagi terlihat. Begitu pula pengunjung yang dulunya sering menaiki sampan sewaan di tengah-tengah kolam tidak ada lagi. Ditambah lagi dengan lantai keramik yang mulai terkelupas kembali, sampah dedaunan yang berserakan di mana-mana, dan fasilitas umum seperti toilet yang tidak berfungsi dengan baik “lagi” maka lengkaplah sudah kondisi prihatin taman yang pernah membanggakan ini. Padahal, Kota Medan bakal mempersiapkan diri menjadi destinasi tujuan wisata dan menjadikan Taman Sri Deli sebagai pusat kulinernya. Foto 6 :Seorang pengunjung melihat keadaan Taman Sri Deli yang sekarang Sumber : Peneliti Menurut Ketut Wiratyana, dirinya sebagai Arkeolog sudah tidak melihat bentuk asli dari cagar budaya Taman Sri Deli tersebut. Bangunan tersebut bentuknya juga sudah jauh berbeda dengan bantuk semulanya dulu. Ketut juga Universitas Sumatera Utara 60 sangat menyayangkan bahwa pemerintah terlalu abai dalam melihat berbagai macam aspek dalam tahap revitalisasi Taman Sri Deli tersebut. “ . . .jadi Taman Sri Deli itu sendiri bentuknya sudah tidak jelas, kalau dari segi arkeologis sudah tidak bisa diidentifikasi lagi bentuknya, lokasinya jelas tetapi bentuknya tidak. Nah kemudian, sekarang dibuat kolam seperti itu lebih kepada upaya untuk tata kota, tapi dari konsep arkeologis sendiri sudah menyalah, karena sudah tidak nampak lagi bentuk aslinya. Taman Sri Deli ini juga sudah beberapa kali mengalami perubahan, kemungkinan 2-3 kali telah terjadi pemugaran, sempat juga terdapat permainan anak- anak, sempat juga ada warung didalamnya, posisinya tetap tetapi pemanfaatannya tidak secara utuh, seperti dalam konsep lama yang mana kolam itu sebagai tempat pemandian raja, disini bisa kita lihat bahwa konsep ekonomis lebih kuat daripada konsep arkeologis itu sendiri . . .” Badan Warisan Sumatera BWS sebagai pihak yang konsen terhadap bangunan-bangunan bersejarah di Kota Medan juga turut prihatin dengan hal tersebut. Seorang informan kami yang bernama Khairul yang juga merupakan anggota pengurus BWS mengatakan bahwa masalah Taman Sri Deli dalam hal ini BWS selalu mendorong Pemko Medan yang sekarang menjadi pengelola taman dari segi bangunan. Namun, dari segi penggunaan masih dirasa belum optimal seperti yang diharapkan oleh masyarakat Kota Medan. BWS pernah memberi saran kepada Pemko karena Kota Medan sendiri sangat sedikit mempunyai ruang terbuka hijau, UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, 30 dari sebuah kota dipersiapkan untuk kawasan hijau. Untuk sementara ini Kota Medan hanya memiliki 5-7 kawasan hijau, dan ini selalu berubah ubah, seperti contoh persimpangan Jalan Sudirman diperkecil lahan terbuka hijaunya ada beberapa kasus malah ruang terbuka hijaunya dialih fungsikan seperti Lapangan Merdeka yang 2,5 beralih fungsi menjadi gedung dan restaurant. Universitas Sumatera Utara 61 Menurut Khairul dari hasil wawancara menyebutkan bahwa : “. . . dari permasalahan ruang terbuka hijau ini lah BWS melihat sebaiknya Taman Sri Deli dikembalikan saja kepada fungsinya sebagai taman, dengan jumlah anggaran yg tidak bisa disebut nominalnya . . .” Selama ini, harus diakui kebijakan pelestarian selalu diarahkan pada upaya “tidak mengubah” atau mengembalikan kekeadaannya semula suatu warisan budaya. Kebijakan seperti itu dirasakan terlalu kaku, cenderung kurang dapat mewadahi upaya pemanfaatannya. Seolah-olah pelestarian adalah untuk pelestarian itu sendiri. Namun, kini kebijakan seperti itu sering dipermasalahkan dan di berbagai tempat sudah mulai ditinggalkan. Memang disadari sepenuhnya bahwa warisan budaya adalah sumberdaya budaya yang tak-terbaharui non- renewable, terbatas finite, dan khas contextual. Karena itu, segala upaya untuk mempertahankan nilainya harus selalu diusahakan. Namun, disadari pula bahwa upaya mempertahankan nilainya itu tidak selalu berarti “sekedar mengabadikan keadaan semula”, tanpa mau tahu berarti atau tidaknya upaya pelestarian itu bagi masyarakat. Sebaliknya, pelestarian justru harus dilihat sebagai suatu upaya untuk mengaktualkan kembali warisan budaya dalam konteks sistem yang ada sekarang. Tentu saja, pelestarian harus dapat mengakomodasi kemungkinan perubahan, karena pelestarian harus diartikan sebagai upaya untuk memberikan makna baru bagi warisan budaya itu semdiri Tanudirjo, 1996: 10. Fungsi Taman Sri Deli dari kacamata BWS melihat masih sangat belum optimal. Sebagai contoh BWS menyarankan taman tidak perlu berpagar. Sebagai contoh sebuah taman di kota tua Semarang tidak berpagar, sehingga orang bisa Universitas Sumatera Utara 62 lalu lalang dengan suasana bunga-bunga di pinggir taman sebagai keindahan. Sementara yang terjadi di Kota Medan sendiri malah setiap taman memiliki pagar. BWS melihat kita tidak bisa menyalahkan satu sisi, Khairul lebih lanjut mengatakan bahwa : “. . . melihat keamanan dan kenyamanan di Kota Medan sendiri karena masyarakatnya tidak saling berinteraksi mungkin demi menjaga hal-hal negatif Pemko Medan mengambil insiatif setiap taman harus berpagar. Mungkin mereka melihat bahwa hal itu disebabkan masyarakatnya tidak saling menjaga keamanan. Saya mau berbagi, keamanan tercipta itu karena ada koneksi antara pemerintah, masyarakat dan pihak keamanan itu sendiri. Itu peran kita bersama sama . . .” Foto 7 : Taman Sri Deli adalah salah satu taman dikota Medan yang berpagar Sumber : Peneliti Menurut Donald G. MacLeod 1977: 60-65, seorang pakar pengelolaan sumberdaya budaya dari Kanada, upaya pelestarian warisan atau pusaka budaya akan dapat dilakukan secara maksimal apabila melibat tiga kubu utama, yaitu Akademia, Pemerintah, dan Masyarakat. Peneliti menggambarkan ketiga kubu Universitas Sumatera Utara 63 tersebut berada dalam satu lingkaran bersama sebagai kesatuan yang sinergis lihat diagram di bawah. Apabila sinergi tiga kubu ini tidak berjalan dengan baik, proses pengelolaan dan pelestarian sumberdaya budaya akan menghadapi ancaman kegagalan. Dalam proses bersinergi, setiap kubu harus mempunyai kesadaran akan peran dan potensinya masing-masing. Sementara itu, masyarakat pada hakekatnya adalah kubu yang berdaulat dan memegang hak atas pemanfaatan sumberdaya budaya. Masyarakat-lah yang akan memberi arti dan memberi nilai suatu sumberdaya budaya. Bagi masyarakat, sumberdaya itu dapat saja dipandang sebagai sarana hiburan dan rekreasi, pelampiasan kesenangan atau hobby, atau bisa jadi dipandang sebagai bagian industri pariwisata yang dapat mendatangkan banyak uang. Namun, sumberdaya budaya dapat pula diberi makna yang lebih berbobot sebagai wahana pendidikan, bahan kajian ilmu, model inspirasi untuk masa kini, bahkan ada kalanya dianggap sebagai jatidiri suatu komunitas atau kelompok masyarakat lihat Cleere, 1989. Sementara itu menanggapi adanya pagar di Taman Sri Deli, Lucas P Kastoro menanggapinya secara berbeda. Lucas P Kastoro menganggap kalau orang melihat taman yang tidak berpagar itu terkesan luas, memang jika taman tersebut luas terlihatnya tidak berpagar, tetapi dia tetap berpagar. Sebagai Contoh seperti di Keraton Jogja, dimana disebelah selatan terdapat taman berburu bagi sultan Jogjakarta karena saking luasnya taman itu orang melihatnya seperti tidak berpagar, padahal sebenarnya ada pagar. Pagar tersebut bertujuan untuk menjaga agar rusa tetap ada ditaman itu. Kemudian ada periode dimana pagar tersebut mulai tampak, hal itu terjadi karena lokasi taman makin sempit, kebutuhan masyarakat makin banyak, dan lahan yang semakin berkurang. Universitas Sumatera Utara 64 Contoh lain adalah alun-alun Jogjakarta yang artinya lapangan didepan istana. Jadi konsepsi mengenai taman yang harus berpagar memang mulai muncul tampak nyata secara visual. Berbeda dengan dulu dimana pagar itu tetap ada, tetapi dalam bentuk pembatas, seperti parit parit, tanaman dan sebagainya jadi bentuk pagar sendiri ada yang memang berbentuk pagar seperti yang kita lihat sekarang berupa jajaran besi,dan tembok. Maka pagar itu terlihat karena masyarakat makin banyak dan kebutuhan akan ruang juga semakin banyak, sementara ketersediaan lahan juga semakin sedikit. Masyarakat juga jangan salah mengartikan, di Istana Jogja diluar pagar pagar yg menjadi pembatas keraton, di dalam keratonnya pun ada taman-taman yang berpagar juga. Seperti taman untuk anak anak perempuan raja yah pastinya dipagarlah karena kita tidak bisa sembarangan melihat anak raja dan itu tempat privat bagi mereka. Kalau pada zaman dahulu taman tersebut tidak berpagar karena tidak boleh lelaki mendekati taman tersebut, kemudian pada zaman sekarang wisatawan yang datang ke keraton bukan hanya perempuan saja jadi dibuatlah pembatas atau pagar tadi. Oleh karena itu pelestarian adalah upaya memberi makna baru dan dalam masyarakat yang pluralistik pemberian makna itu dapat beragam, maka pelestarian warisan budaya harus dapat dibicarakan bersama, dinegosiasikan dan perlu disepakati bersama pula melalui suatu dialog yang terbuka dan seimbang. Perbedaan pemberian makna suatu warisan budaya harus sedapatnya dihargai dan diwadahi Tanudirjo,2002;1996 dalam proses pengambilan keputusan yang demokratis. Universitas Sumatera Utara 65 Pemeliharaan, yaitu upaya melindungi dan merawat warisan budaya secara terus menerus agar unsur bahan, isi, dan latar lingkungan setting tidak mengalami kerusakan atau hancur. Dapat dilakukan dengan pembersihan dan perawatan sehari-hari, termasuk peninjauan berkala. Jika teramati adanya kerusakan harus segera diperbaiki dengan sedapat mungkin mempertahankan bahan asli. Namun, yang terjadi kini renovasi yang telah dilakukan oleh Pemko Medan yang menelan biaya 9 miliyar lebih malah mengesampingkan semua prinsip tersebut. Lantai-lantai dan taman-tamannya kini telah diganti dengan bahan yang tidak serupa atau bahkan lebih rendah kualitasnya. Bentuk tamannya pun sudah kehilangan cirri khasnya. Padahal, penggantian hanya dilakukan jika tidak ada cara lain untuk mempertahankan kelestariannya. Perlindungan Preservation, yaitu melakukan upaya-upaya pencegahan agar dapat mempertahankan kondisi bahan warisan budaya. Perbaikan Repair, yaitu upaya untuk mengembalikan keadaan warisan budaya semula atau mendekati bentuk semula. Perbaikan dapat dilakukan dengan pemugaran restorasi, penguatan consolidasi, dan bina ulang rekonstruksi Pemugaran Restorasi, yaitu upaya mengembalikan warisan budaya ke bentuk semula yang diketahui dengan menghilangkan unsur-unsur baru yang pernah ditambahkan dan menyusun kembali berdasarkan bahan-bahan asli tanpa penambahan bahan baru. Pembinaan Ulang Rekonstruksi, yaitu upaya mengembalikan keadaan warisan budaya agar dapat mendekati bentuk semula, dengan menambahkan bahan-bahan baru Penggunaan kembali yang sesuai Adaptive re-use, yaitu melestarikan dengan memanfaatkan warisan budaya untuk kegiatan yang sesuai. Universitas Sumatera Utara 66 Untuk itu dapat dilakukan perubahan-perubahan dengan syarat antara lain tidak mengakibatkan merosotnya nilai penting atau kerusakan pada bagian-bagian yang mempunyai nilai penting; perubahan harus memungkinkan pengembalian ke keadaan semula tanpa menimbulkan kerusakan reversible; dan perubahan yang hanya berdampak sangat kecil minimal. Rekonstrusi juga dapat dilakukan dengan menggunakan bahan baru, tetapi harus seperti bentuk aslinya dan harus ada transparansi bahwa benda tersebut adalah benda yang dibuat ulang mendekati bentuk asli. Menyajikan warisan budaya tidak hanya diartikan menyajikan bentuk bendawi warisan tersebut, tetapi tidak kalah pentingnya adalah menyajikan nilai penting warisan budaya. Banyak warisan dunia tidak mendapat penghargaan yang selayaknya dari semua lapisan masyarakat karena penyajian nilai penting warisan budaya yang tidak memadai. Di Indonesia pun, unsur ini merupakan salah satu kelemahan, seperti terlihat di situs-situs warisan budaya dunia Kompleks Candi Borobudur, Kompleks Candi Prambanan, dan Situs Manusia Purba Sangiran. Hampir di semua situs warisan dunia tersebut, penyajian informasi sangat kurang memadai, meskipun diakui beberapa tahun terakhir ini telah ada upaya untuk meningkatkannya. Padahal keberhasilan pelestarian warisan budaya justru akan sangat tergantung pada apresiasi masyarakat terhadap nilai pentingnya. Sebaliknya, penyajian yang baik akan memudahkan upaya pewarisan nilai penting warisan budaya. Karena itu, semestinya penyajian warisan budaya harus dilengkapi dengan informasi yang cukup tentang warisan budaya dan nilai-nilai penting yang dikandungnya. Universitas Sumatera Utara 67 Akhirnya, tujuan dari pelestarian adalah meneruskan warisan budaya kepada generasi mendatang, sehingga mereka akan dapat merasakan manfaatnya. Kesadaran ini didasari oleh pemahaman bahwa warisan budaya bukanlah milik generasi sekarang saja, tetapi menjadi hak generasi mendatang. Meminjam ungkapan Darvill 1995: 47, warisan budaya tidak saja memiliki nilai kegunaan sekarang use value, tetapi juga nilai pilihan optional value dan Nilai keberadaan existence value. Nilai pilihan lebih menekankan pada tekad untuk menyelamatkan warisan budaya sebagai simpanan untuk generasi mendatang. Asumsinya, kita harus menyisakan warisan budaya sebagai sumberdaya budaya untuk masa mendatang, meskipun saat ini kita belum tahu akan kebutuhannya di masa mendatang. Prinsip utama pendukung nilai pilihan ini adalah menjaga stabilitas warisan budaya agar tidak mengalami perubahan sama sekali. Nilai keberadaan terkait erat dengan perasaan puas atau senang jika BCB itu dipastikan masih tetap ada, walau pun kegunaannya tidak dirasakan sama sekali. Pendukung nilai ini merasa puas kalau bisa mendapatkan kepastian bahwa sumberdaya itu akan bertahan survive atau tetap eksis in existence. Dalam konteks meneruskan warisan budaya kepada generasi mendatang, tentunya kita sebagai generasi sekarang selayaknya dapat menyerahkan warisan budaya dalam keadaan ‘utuh’ dan asli. Terkait dengan hal itu. Perlu kiranya di sini dikemukakan wacana yang berkembang tentang pengertian ‘keutuhan’ dan “keaslian.’ Yang dimaksud dengan keutuhan adalah unsur-unsurnya cukup lengkap mewakili keadaan warisan budaya dan nilai pentingnya. Dengan kata lain, pelestarian harus dapat mempertahankan agar warisan budaya tetap mampu memberikan gambaran yang Universitas Sumatera Utara 68 utuh tentang unsur-unsur budaya dan nilai penting yang dikandungnya. Sementara itu, seringkali terjadi perdebatan tentang pengertian keaslian atau otentitas. Selama ini, pengertian “keaslian” dilihat sebagai sesuatu yang bersifat statis, sehingga lebih merujuk pada keadaan, sifat atau bahan asli yang tidak dapat tergantikan. Akhir-akhir ini, banyak pihak merasakan batasan seperti itu tidak tepat. Karena itu, pengertian “keaslian” kini lebih bersifat relatif. Artinya, konsep keaslian itu dianggap tidak dapat distandardisasi. Standardisasi konsep keaslian justru hanya akan menghambat upaya pelestarian, karena sifat budaya yang selalu dinamis. Hal itu tercermin dari dokumen kesepakatan Nara Jepang, yang mengakui beberapa pokok pikiran tentang penentuan keaslian suatu warisan budaya pada umumnya. Dokumen Nara menyatakan bahwa keaslian memang merupakan faktor yang amat menentukan nilai penting warisan budaya, tetapi pemahaman tentang keaslian sangat tergantung pada persepsi keaslian menurut lingkungan budaya tempat warisan budaya itu berada. Untuk menentukan keaslian harus ada landasan pemahaman budaya berdasar pada kajian-kajian terhadap informasi yang tersedia dan dapat dipercaya. Perlu juga dipahami, bahwa nilai penting warisan budaya tidak hanya ditentukan oleh kondisinya masing-masing, tetapi juga oleh keterkaitannya satu dengan lainnya, yang lebih dikenal sebagai konteks. Bahkan, beberapa pakar arkeologi menyatakan bahwa arti penting suatu warisan budaya ditentukan oleh konteksnya Butzer, 1982; Sharer dan Ashmore, 1993. Kalau konteks-nya sudah hilang, maka nilai penting warisan budaya itu akan ikut merosot. Karena itu, dalam konsep pelestarian BCB perlu juga diperhitungkan keadaan kawasannya. Universitas Sumatera Utara 69

2. Keamanan Pengunjung Di Taman Sri Deli