suhu pelarutan berpengaruh nyata terhadap nilai absorbansi larutan PHA.
Gambar 2. Histogram hubungan jenis dan perbandingan PHA-pelarut serta suhu pelarutan dengan nilai
absorbansi larutan
b. Kekeruhan Turbidimetry
Kekeruhan berhubungan dengan konsentrasi zat yang diukur dan intensitas sorotan
cahaya yang melewati larutan Anonim
1
, 2006. Apabila seberkas sinar ditembuskan ke dalam
cairan yang tidak homogen, sebagian sinar dihamburkan. Hal ini disebabkan kerapatan cairan
yang tidak seragam. Peningkatan hamburan dapat dihubungkan dengan konsentrasi dan massa
molekul zat terlarut Cowd di dalam Clark, 1991
Pengukuran kekeruhan pada prinsipnya hampir sama dengan pengukuran absorbansi
larutan. Pengukuran berdasarkan pada sistem deteksi optik dari partikel yang sangat kecil yang
tersuspensi dalam pelarut. Sorotan cahaya akan mengirimkan gelombang cahaya yang lalu
dipencar-pencarkan sesuai dengan sudut dari kekeruhan. Semakin keruh suatu zat, maka
semakin banyak cahaya yang diserap. Larutan yang memiliki nilai kekeruhan yang besar
menunjukkan kelarutan PHA yang rendah pada larutan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya
cahaya yang diserap oleh partikel PHA yang terdispersi di dalam larutan.
Pengujian nilai kekeruhan menghasilkan hubungan yang positif dengan pengujian nilai
absorbansi. Pada penelitian ini didapatkan histogram yang menunjukkan hasil nilai
kekeruhan yang terbesar terdapat pada perlakuan pelarut asam asetat dengan suhu 50
C dan perbandingan PHA-pelarut 1:10 yang bernilai 552
FTU pada ulangan pertama dan 490 FTU pada ulangan yang kedua. Nilai kekeruhan yang
terkecil adalah pada perlakuan pelarut kloroform dengan suhu kamar dan perbandingan PHA-
pelarut 1:30 yaitu sebesar 39 FTU ulangan pertama dan 38 FTU ulangan kedua. Analisis
keragaman menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan
perbandingan PHA-pelarut, interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan dan interaksi suhu
dengan perbandingan PHA-pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap nilai kekeruhan
Gambar 3. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan PHA-pelarut dan suhu dengan nilai
kekeruhan
c. Viskositas
Viskositas larutan polimer cenderung berkurang dengan turunnya konsentrasi dan
dengan naiknya suhu. Akan tetapi, terdapat beberapa pengecualian pada polimer yang
mengandung gugus terionkan seperti gugus asam karboksilat. Pada konsentrasi diatas 1, rantai-
rantai dalam larutan dapat bertindihan dan akibat gaya tolak menolak antar muatan sejenis pada
rantai yang berdampingan, serta pengionan tak sempurna yang mungkin terjadi, maka rantai tidak
memanjang terlalu banyak Cowd di dalam Clark, 1991. Menurut Allcock dan Lampe 1991,
peningkatan viskositas yang tinggi diduga disebabkan oleh perubahan ukuran dan bentuk
polimer terlarut di dalam pelarut.
Pada penelitian didapatkan hasil analisis ragam bahwa blok, perlakuan jenis pelarut,
perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA- pelarut, interaksi antara jenis pelarut dengan suhu
serta interaksi antara jenis pelarut dengan perbandingan PHA-pelarut memberikan pengaruh
nyata terhadap peningkatan nilai viskositas pelarut biopolimer. Jenis pelarut mempengaruhi
peningkatan nilai viskositas larutan karena masing-masing pelarut mempunyai sifat fisik dan
kimia yang berbeda, hal ini menyebabkan interaksi yang berbeda pula antara pelarut dengan
PHA. Kenyataan ini sesuai dengan pernyataan Allcock dan Lampe 1981 bahwa besarnya
peningkatan viskositas dari larutan berbeda-beda nilainya relatif sesuai jenis pelarut yang
digunakan
. Histogram peningkatan nilai viskositas
menunjukkan bahwa kenaikan viskositas tertinggi terjadi pada PHA yang dilarutkan pada
perbandingan PHA-pelarut 1:10. Apabila dilihat lebih cermat didapatkan data bahwa nilai
peningkatan viskositas terkecil adalah pada perlakuan pelarut asam asetat glasial pada suhu
kamar sebesar 0.06 Cp untuk ulangan pertama dan 0.09 Cp pada ulangan kedua, sedangkan yang
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 kmr
50 kmr
50 kmr
50 kloroform
asam asetat glasial dimetil formamide
N ila
i A b
s o
rb a
n s
i
100 200
300 400
500 600
10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 kmr
50 kmr
50 kmr
50 kloroform
asam asetat glasial dimetil formamide
N ila
i K e
k e
ru h
a n
memiliki peningkatan nilai viskositas terbesar adalah pada perlakuan pelarut kloroform 1:10
pada suhu 50 C yang memiliki peningkatan nilai
0.384 Cp pada ulangan pertama dan 0.537 Cp untuk ulangan kedua. Viskositas merupakan hasil
dari pergeseran fluida sehingga kekentalan dapat dukur dengan mengukur geseran atau gaya
geserannya shear force. Fluida dengan viskositas rendah gaya gesernya akan rendah
Srivastava, 1989.
Gambar 4. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan PHA-pelarut dan suhu dengan
peningkatan nilai viskositas
Indikator pengujian viskositas digunakan untuk mengetahui interaksi pelarutan. Apabila
nilai viskositas sebelum dan sesudah pelarutan sama saja atau berbeda tidak terlalu besar, proses
pelarutan tidak terjadi atau terjadi namun kelarutannya sangat rendah. Hal tersebut seperti
yang diutarakan Cowd di dalam Clark 1991 bahwa salah satu ciri polimer biopolimer adalah
menghasilkan larutan yang jauh lebih kental daripada pelarut murninya.
d. Swelling Index