I. PENDAHULUAN A.
LATAR BELAKANG
Plastik banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, karena mempunyai keunggulan-keunggulan seperti kuat, ringan dan stabil. Disisi lain,
plastik menyebabkan masalah lingkungan yang sangat serius karena sulit terombak oleh mikroorganisme dalam lingkungan. Pemecahan masalah
sampah plastik dapat dilakukan beberapa melalui pendekatan seperti daur ulang, teknologi pengolahan sampah plastik dan pengembangan plastik
biodegradabel. PHA
Poly- β-hydroksialkanoates merupakan salah satu jenis plastik
biodegradabel yang paling menjanjikan. PHA memiliki kekuatan dan kekerasan yang baik serta dapat divariasikan untuk berbagai penggunaan
dengan mengubah komposisinya. Poliester ini juga resisten terhadap kelembaban dan memiliki permeabilitas oksigen yang sangat rendah Van
Wegen et al., 1998. Poliester-poliester PHA dapat didegradasi secara biologis dan kompatibel untuk kisaran penggunaan yang luas mulai dari benang jahit
pada operasi bedah sampai bahan-bahan kemasan. Meskipun PHA menunjukkan sifat-sifat yang menguntungkan untuk
berbagai aplikasi namun secara komersial masih menghadapi kendala ekonomi. Nilai jual produk plastik PHA yaitu 16kg yang jauh lebih tinggi
dibandingkan nilai jual produk plastik berbasis petrokimia yang hanya sekitar 1kg. Penurunan biaya produksi dapat diupayakan melalui pengembangan
strain-strain bakteri, substrat kultivasi yang lebih murah, proses kultivasi yang lebih efisien dan proses recovery yang lebih ekonomis.
Sagu merupakan salah satu alternatif bahan baku murah dan terbaharukan yang melimpah, memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan
hidrolisat patinya, karena kandungan glukosa yang cukup besar dalam sagu serta kemudahan untuk mengekstrak patinya. Indonesia merupakan pemilik
areal sagu terbesar di dunia dengan luas areal sekitar 1,128 juta ha atau 51,3 dari 2,201 juta ha areal sagu dunia. Produksi pati sagu di Indonesia pada
tahun 2000 mencapai 6.333,88 ton dan meningkat menjadi 13.883,12 ton pada
2 tahun 2001 Abner dan Miftahorrahman, 2002. Cadangan pati sagu tiap
tahunnya diperkirakan hanya 0,05 – 1 yang dimanfaatkan untuk ekspor, 10 sebagai bahan baku makanan tradisional dan 89 beum termanfaatkan
dengan baik Wiyono et al., 1990. Menurut penelitian Atifah 2006 tentang pemanfaatan hidrolisat pati
sagu sebagai sumber karbon pada produksi bioplastik poli3-hidroksialkanoat oleh Ralstonia eutropha, PHA yang dihasilkan dengan substrat pati sagu
termasuk jenis PHB polihidroksibutirat karena memiliki kemiripan titik leleh, gugus fungsional dan hasil metanolisis dengan PHB murni. PHB merupakan
bahan termoplastik dengan banyak karakteristik menarik, salah satunya adalah kemiripannya dengan polipropilen. Permintaan pasar akan bahan termoplastik
yang bersifat biodegradable ini juga sangat besar Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988. Kekurangan PHB sebagai bioplastik adalah bersifat
rapuh dan kaku Kim et al, 1994. Penggunaan bahan tambahan seperti pemlastis pada proses pembuatan bioplastik dari PHB diharapkan dapat
memperbaiki kekurangan tersebut. Pemlastis tidak dapat dicampurkan begitu saja dengan PHB, diperlukan pelarut dan kondisi pelarutan yang sesuai agar
PHB dengan pemlastis dapat bercampur dengan baik Allcock dan Lampe, 1981.
PHB merupakan jenis polimer. Polimer memiliki molekul yang berbeda dengan molekul kebanyakan senyawa, karena memiliki rantai
fleksibel yang sangat panjang, yang terdiri dari unit-unit yang berulang. Unit berulang ini memiliki ikatan yang fleksibel yang terbagi ke dalam segmen
kinetik yang bergerak translasional sangat lambat jika dibandingkan dengan molekul kebanyakan Furukawa, 2005, oleh karena itu pelarutan PHB dalam
pelarut tidak mengikuti kaidah Ksp melainkan mengikuti kaidah sistem solven interaksi dipol-dipol Gaya van der waals antara pelarut dengan zat terlarut
Pine et al., 1988. PHB dapat larut dalam beberapa pelarut organik Lafferty et al. didalam Rehm and Reid, 1988. Kloroform, dimetilformamida
dan asam asetat glasial merupakan jenis pelarut yang memiliki kemampuan melarutkan bioplastik pada suhu ruang atau sedikit diatas suhu ruang Durrans
dan Davies, 1988. Ketiga pelarut ini memiliki kelarutan yang tinggi dalam
3 PHB dan merupakan pelarut yang biasa digunakan untuk melarutkan PHB
Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988. Menurut Day dan Underwood 1999, faktor-faktor penting yang
mempengaruhi kelarutan adalah suhu, sifat dari pelarut dan kehadiran ion-ion lain dalam larutan. Suhu, komposisi konsentrasi, pH, kekuatan ionik, dan
irradiasi cahaya mempengaruhi sifat kelarutan polimer dalam suatu pelarut Mark et al., 2004. Berdasarkan penelitian Wijanarko 2003 didapatkan
pelarut terbaik adalah kloroform dengan perbandingan pelarut dan PHA 4:1, pelarut lain yang diujikan adalah aseton dan diklorometana. Wijanarko 2003
menyarankan adanya perlakuan suhu untuk menentukan kelarutan yang terbaik pada suhu diatas suhu ruang. Proses kimia dapat berjalan lebih cepat
dengan naiknya suhu proses.
B. TUJUAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan pengaruh perlakuan suhu, jenis dan perbandingan PHA-pelarut terhadap kelarutan PHA.
Selain itu juga untuk mendapatkan interaksi jenis pelarut dan kondisi pelarutan perbandingan PHA-pelarut dan suhu yang sesuai bagi
pembentukan film bioplastik yang dihasilkan oleh Ralstonia eutropha pada substrat hidrolisat pati sagu.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. PATI SAGU