40
B. INTERAKSI FAKTOR-FAKTOR PERLAKUAN
a. Absorbansi Optical Density
Hasil analisis ANOVA menunjukkan bahwa interaksi antara jenis pelarut dan suhu berpengaruh nyata terhadap pengukuran absorbansi.
Interaksi antara jenis pelarut dan suhu kemudian diuji lanjut Lampiran 8, sehingga menghasilkan grafik seperti pada Gambar 19. Grafik
menunjukkan bahwa dengan adanya peningkatan suhu maka nilai absorbansi untuk pelarut asam asetat glasial dan dimetilformamida
cenderung meningkat. Hal ini berbeda dengan pelarut kloroform yang memiliki nilai absorbansi yang cenderung menurun dengan peningkatan
suhu.
Gambar 19. Grafik interaksi antara jenis pelarut dan suhu pelarutan terhadap nilai absorbansi
Menurut Hildebrand 1970, nilai absorbansi menunjukkan pola dispersi dan ukuran partikel PHA terlarut di dalam larutan. Peningkatan
suhu menyebabkan partikel PHA dalam asam asetat glasial dan dimetilformamida menjadi bergerak acak. Partikel ini menyebarkan
cahaya ke segala arah dan menyebabkan naiknya nilai absorbansi. Pada pelarut kloroform, dengan meningkatnya suhu menyebabkan kelarutan
PHA dalam kloroform meningkat, molekul PHA terdispersi secara merata
20 40
60 80
100 120
140
Suhu kamar Suhu 50
Perlakuan Suhu R
a ta
-r at
a N
il ai
A b
so rb
an si
Kloroform Asam asetat glasial
Dimetilformamida
41 di dalam pelarut, karena ukuran partikel yang sangat kecil menyebabkan
pembacaan nilai absorbansi menjadi turun. Kelarutan PHA yang baik adalah pada perlakuan yang
menghasilkan nilai absorbansi terkecil, karena absorbansi yang kecil menunjukkan kelarutan PHA yang tinggi pada pelarut. Hasil uji lanjut
Lampiran 8 pada perlakuan perbandingan PHA-pelarut menunjukkan bahwa nilai absorbansi terkecil terdapat pada perlakuan perbandingan
PHA-pelarut 1:30 Gambar 20, yang memiliki perbedaan yang nyata dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat
Cowd di dalam Clark 1991 yang mengatakan bahwa peningkatan hamburan cahaya berhubungan dengan konsentrasi dan massa molekul zat
terlarut. Semakin besar konsentrasi pelarut, maka hamburan cahaya akan semakin kecil, begitu pula sebaliknya, jika konsentrasi pelarut kecil maka
hamburan cahaya akan semakin besar. Hal ini ditandai dengan besarnya nilai absorbansi.
Gambar 20. Histogram hasil uji lanjut perbandingan PHA-pelarut terhadap nilai absorbansi
5 10
15 20
25 30
1:10 1:20
1:30
Perbandingan PHA-pelarut R
a ta
-r a
ta n il
a i a
b so
rb an
si
42
b. Kekeruhan Turbidimetry
Pada analisis ragam, diketahui bahwa interaksi antara perlakuan jenis pelarut dengan suhu pelarutan berpengaruh nyata terhadap nilai
kekeruhan pada tingkat kepercayaan 99, kemudian dilakukan uji lanjut dengan menggunakan metode LSR. Uji lanjut Lampiran 11 interaksi
antara perlakuan jenis pelarut dengan suhu pelarutan menunjukkan ketiga pelarut mengalami kenaikan nilai kekeruhan seiring dengan kenaikan
suhu. Perlakuan suhu berpengaruh terhadap nilai kekeruhan karena kenaikan suhu menyebabkan terjadinya browning pencoklatan terhadap
molekul PHA akibat panas. Hal tersebut mengakibatkan warna larutan menjadi lebih gelap dan akan mempengaruhi pembacaan nilai kekeruhan.
Warna yang lebih gelap akan menyerap gelombang cahaya, sehingga pembacaan nilai kekeruhan akan semakin besar Anonim
8
, 2006. Grafik interaksi antara jenis pelarut dan suhu pelarutan terhadap nilai kekeruhan
dapat dilihat pada Gambar 21. Pada grafik terlihat bahwa perlakuan kloroform dengan menggunakan suhu kamar memiliki nilai kekeruhan
terkecil yang berbeda nyata dengan interaksi jenis pelarut dan suhu lainnya setelah diuji lanjut.
Gambar 21. Grafik interaksi antara jenis pelarut dan suhu pelarutan terhadap nilai kekeruhan
200 400
600 800
1000 1200
1400
Suhu kamar Suhu 50
Perlakuan Suhu N
ila i r
a ta
2 K
e k
e ru
h a
n
Kloroform As asetat glasial
Dimetilformamida
43 Analisis ragam juga menunjukkan bahwa interaksi suhu pelarutan
dengan perbandingan PHA-pelarut mempengaruhi pengukuran nilai kekeruhan PHA. Gambar 22 memperlihatkan hubungan antara suhu
pelarutan dengan perbandingan PHA-pelarut, nilai kekeruhan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya jumlah pelarut. Perlakuan
perbandingan PHA-pelarut mempengaruhi pembacaan nilai kekeruhan karena semakin keruh suatu zat, maka semakin banyak cahaya yang
diserap Anonim
8
, 2006, akibatnya pembacaan nilai kekeruhan juga semakin besar. Perlakuan terbaik adalah perlakuan yang menghasilkan
nilai kekeruhan terkecil, karena nilai kekeruhan yang kecil menunjukkan kelarutan PHA yang tinggi pada pelarut. Perlakuan yang menghasilkan
nilai kekeruhan terkecil pada grafik adalah pada perlakuan suhu kamar dengan perbandingan PHA-pelarut 1:30.
Gambar 22. Grafik interaksi antara suhu pelarutan dengan perbandingan PHA-pelarut terhadap nilai kekeruhan
200 400
600 800
1000 1200
1:10 1:20
1:30
Perbandingan PHA-pelarut Ni
la i R
a ta
2 Keke
ru h
a n
Suhu kamar Suhu 50
44
c. Viskositas
Uji lanjut Lampiran 14 dilakukan untuk mengetahui hubungan antara jenis pelarut dengan konsentrasi yang memberikan pengaruh nyata
terhadap peningkatan nilai viskositas. Grafik pada Gambar 23 menunjukkan bahwa sejalan dengan meningkatnya konsentrasi, nilai
viskositas semakin turun. Hal ini disebabkan pada saat larutan diencerkan, PHA dalam pelarut menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah
pelarut yang ada disekitarnya, inilah yang menyebabkan turunnya gaya geser fluida dan pembacaan nilai viskositas juga menjadi turun.
Gambar 23. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan perbandingan PHA-pelarut terhadap peningkatan nilai viskositas
Dari analisis ragam pada Lampiran 13, interaksi antara perlakuan jenis pelarut dan suhu mempengaruhi peningkatan nilai viskositas. Uji
lanjut yang dilakukan pada interaksi ini, disajikan pada Lampiran 14. Gambar 24 menunjukkan bahwa dengan bertambahnya suhu pelarutan
maka nilai viskositas ketiga pelarut juga menjadi ikut naik. Pada umumnya, nilai viskositas larutan turun dengan bertambahnya suhu
pelarutan sesuai dengan pernyataan Allcock dan Lampe 1981. Namun Cowd di dalam Clark 1991 menyatakan bahwa pada larutan polimer
terjadi perbedaan atau terdapat sifat anomali yaitu dengan naiknya suhu,
0.1 0.2
0.3 0.4
0.5 0.6
0.7 0.8
1:10 1:20
1:30
Perbandingan PHA-pelarut Rat
a 2
P e
n in
g kat
an n
il a
i
vi sk
o s
it as
Kloroform As asetat glasial
Dimetilformamida
45 kekentalan larutan turun seperti yang diharapkan, akan tetapi pada suhu
yang lebih tinggi, kekentalan mulai meningkat lagi. Hal tersebut terjadi karena ada rantai PHA yang membelit secara acak yang mengakibatkan
peningkatan kekentalan.
Gambar 24. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan terhadap peningkatan nilai viskositas
Fenomena peningkatan nilai viskositas pada kenaikan suhu dapat dijelaskan sebagai berikut, ketika PHA hidrolisat pati sagu dilarutkan pada
suhu ruang, gaya Gaya Van der Waals yang dibutuhkan pelarut untuk meregangkan ikatan polimer dalam PHA tidak lebih besar dari gaya ikat
antar molekul PHA akibatnya pelarut belum banyak yang berimbibisi ke dalam PHA, nilai viskositas yang terbaca juga cenderung lebih kecil.
Ketika suhu naik, rantai molekul PHA menjadi terpisah lebih berjauhan dan meregang Cowd di dalam Clark, 1991, pelarut dapat lebih mudah
berimbibisi dalam molekul PHA dan menyebabkan nilai viskositas yang terbaca naik.
0.2 0.4
0.6 0.8
1 1.2
Suhu kamar Suhu 50
Perlakuan Suhu R
a ta
2 pe
ni ngk
a ta
n ni
la i
vi sk
o si
tas
Kloroform As asetat glasial
Dimetilformamida
46
d. Swelling Index
Uji lanjut Lampiran 17 dilakukan untuk melihat sejauh mana interaksi perlakuan jenis pelarut dengan suhu mempengaruhi nilai swelling
index . Gambar 25 menunjukkan bahwa sejalan dengan peningkatan suhu,
maka nilai indeks swelling akan cenderung mengalami kenaikan. Pruett 1988 menyatakan bahwa untuk mendapatkan nilai swelling yang lebih
tinggi, dibutuhkan suhu pelarutan yang lebih tinggi melalui proses annealing
atau pemanasan. Peningkatan suhu membuat molekul-molekul pelarut dapat lebih mudah memasuki kisi-kisi PHA dan menyebabkan
PHA mengalami pengembanganswelling. Nilai indeks swelling tertinggi pada grafik ditunjukkan oleh perlakuan kloroform dengan suhu pelarutan
sebesar 50
o
C.
Gambar 25. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan terhadap nilai indeks swelling
Perlakuan terbaik dalam pengukuran swelling index ini adalah perlakuan yang menghasilkan nilai swelling index terbesar, karena nilai
swelling index yang besar menunjukkan bahwa PHA lebih mudah
menyerap pelarut. Hasil uji lanjut Lampiran 17 pada perlakuan perbandingan PHA-pelarut menunjukkan bahwa nilai indeks swelling
terbesar terdapat pada perlakuan perbandingan PHA-pelarut 1:30 Gambar 26, yang memiliki perbedaan yang nyata dibandingkan dengan
50 100
150 200
250
Suhu kamar Suhu 50
Perlakuan Suhu N
ila i r
a ta
2 in
d e
k s
s w
e llin
g
Kloroform As asetat glasial
Dimetilformamida
47 perlakuan yang lain. Kenaikan nilai indeks swelling ini disebabkan pada
saat larutan diencerkan konsentrasi bertambah, rantai polimer menjadi terpisah lebih berjauhan Cowd di dalam Clark, 1991. Hal ini
memungkinkan molekul-molekul pelarut dapat memasuki kisi-kisi PHA, menyebabkan PHA mengembang swelling dengan lebih baik pula.
Gambar 26.
Histogram hasil uji lanjut perbandingan PHA-pelarut terhadap nilai indeks swelling
C. PENGARUH PERLAKUAN DALAM PEMBENTUKAN LEMBARAN PHA.