memiliki peningkatan nilai viskositas terbesar adalah pada perlakuan pelarut kloroform 1:10
pada suhu 50 C yang memiliki peningkatan nilai
0.384 Cp pada ulangan pertama dan 0.537 Cp untuk ulangan kedua. Viskositas merupakan hasil
dari pergeseran fluida sehingga kekentalan dapat dukur dengan mengukur geseran atau gaya
geserannya shear force. Fluida dengan viskositas rendah gaya gesernya akan rendah
Srivastava, 1989.
Gambar 4. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan PHA-pelarut dan suhu dengan
peningkatan nilai viskositas
Indikator pengujian viskositas digunakan untuk mengetahui interaksi pelarutan. Apabila
nilai viskositas sebelum dan sesudah pelarutan sama saja atau berbeda tidak terlalu besar, proses
pelarutan tidak terjadi atau terjadi namun kelarutannya sangat rendah. Hal tersebut seperti
yang diutarakan Cowd di dalam Clark 1991 bahwa salah satu ciri polimer biopolimer adalah
menghasilkan larutan yang jauh lebih kental daripada pelarut murninya.
d. Swelling Index
Kemampuan suatu polimer untuk menyerap pelarut dan mengalami pengembangan volume
tertentu merupakan fenomena yang umum. Ratioindeks swelling merupakan rasio dari
volume pengembangan polimer menjadi semacam gel dalam keseimbangan dengan pelarut murni
Gordon, 1963. Menurut Rabek 1983, apabila suatu jenis biopolimer dilarutkan dalam cairan
pelarut yang sesuai bagi polimer tersebut, larutan tersebut akan mengalami pengembangan
swelling pada suatu tingkatan tertentu tergantung pada interaksi antara biopolimer
terlarut dengan pelarutnya.
Larutan PHA dengan pelarut kloroform memberikan nilai indeks swelling yang paling
tinggi, yaitu perlakuan kloroform dengan perbandingan PHA-pelarut 1:30 pada suhu 50
C yang bernilai 115.197 ulangan pertama dan
132.28 ulangan kedua. Hasil ini sejalan dengan pendapat Pruett 1988 yang menyatakan bahwa
polipropilen yang memiliki sifat menyerupai PHA memberikan nilai swelling yang tinggi terhadap
pelarut kloroform. Nilai indeks swelling terkecil adalah pada perlakuan pelarut dimetylformamida
dengan perbandingan PHA-pelarut 1:10 pada suhu kamar sebesar 0.2823 untuk ulangan pertama dan
0.4116 untuk ulangan yang kedua.
Gambar 5. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan PHA-pelarut dan suhu dengan
peningkatan nilai indeks swelling
Nilai indeks swelling yang besar pada kloroform menunjukkan bahwa PHA lebih mudah
menyerap pelarut kloroform dibandingkan kedua pelarut lainnya. Menurut Allcock dan Lampe
1981 penyerapan pelarut oleh polimer ini disebabkan rantai polimer berada dalam gerakan
yang lentur pada suhu ruangan, sehingga molekul- molekul pelarut dapat memasuki kisi-kisi polimer
dan memisahkan molekul-molekul besar. Pada akhirnya, polimer akan larut, kecuali apabila
terdapat ikatan silang. Rantai ikatan silang dapat memberikan pembatas pada tingkat kemampuan
rantai untuk memisah dan akhirnya menghambat terjadinya swelling.
Analisis ragam menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan
perbandingan PHA-pelarut dan interaksi perlakuan jenis pelarut dengan suhu berpengaruh
nyata terhadap nilai swelling index. Perlakuan jenis pelarut berpengaruh terhadap nilai swelling
index
sesuai dengan hasil penelitian Wijanarko 2003, yang menyatakan bahwa jenis pelarut
mempengaruhi nilai swelling index larutan PHA hidrolisat minyak sawit.
B. Interaksi Faktor-Faktor Perlakuan