47 perlakuan yang lain. Kenaikan nilai indeks swelling ini disebabkan pada
saat larutan diencerkan konsentrasi bertambah, rantai polimer menjadi terpisah lebih berjauhan Cowd di dalam Clark, 1991. Hal ini
memungkinkan molekul-molekul pelarut dapat memasuki kisi-kisi PHA, menyebabkan PHA mengembang swelling dengan lebih baik pula.
Gambar 26.
Histogram hasil uji lanjut perbandingan PHA-pelarut terhadap nilai indeks swelling
C. PENGARUH PERLAKUAN DALAM PEMBENTUKAN LEMBARAN PHA.
PHA dengan pelarut dan kondisi pelarutan yang sesuai menghasilkan larutan yang homogen Allcock dan Lampe, 1981. Larutan bioplastik yang
homogen berarti pelarut dapat melakukan imbibisi dengan baik, yang terlihat secara fisik sebagai larutan yang memiliki viskositas yang tinggi dibandingkan
dengan viskositas pelarut murni Cowd di dalam Clark, 1991 dan dapat membentuk lembaran bioplastik.
Pembentukan lembaran bioplastik terjadi karena interaksi fisik antara PHA dengan pelarut. Menurut Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid 1988,
molekul PHA mengadsorpsi pelarut membentuk belitan yang acak dan molekul PHA menjadi mengembang dengan volume yang besar. Pembesaran
partikel terjadi terus menerus sehingga molekul PHA bersinggungan dan membelitmelingkari satu sama lain. Hal tersebut mengakibatkan seluruh
5 10
15 20
25 30
35 40
1:10 1:20
1:30
Perbandingan PHA-pelarut N
ila i r
a ta
2 in
d e
k s
s w
e llin
g
48 sistem menjadi tetap dan kaku sehingga terbentuklah lembaran Anonim
5
, 2006.
Pengamatan fisik dilakukan untuk mengetahui kemampuan PHA membentuk lembaran kembali setelah pelarutan. Hal ini penting untuk
diketahui, karena untuk menghasilkan film bioplastik dibutuhkan PHA yang dapat membentuk lembaran setelah pelarutan tanpa adanya penambahan
pemlastis. Dari semua sampel yang dianalisa hanya PHA yang dilarutkan dalam
kloroform saja yang dapat membentuk lembaran dalam semua perlakuan suhu. Hal ini dikarenakan PHA non polar dapat larut dalam kloroform non polar
dengan baik dan membentuk larutan yang homogen sesuai dengan pernyataan Keenan et al. 1984 terdapat kecenderungan kuat bagi senyawa non polar
untuk larut dalam pelarut non polar dan bagi senyawa kovalen polar atau senyawa ion untuk larut dalam pelarut polar, dengan perkataan lain, sejenis
melarutkan sejenis. PHA dalam kloroform dapat terdispersi dengan baik, rantai PHA akan meregang dengan molekul kloroform berada disekitarnya,
rantai-rantai PHA ini akan saling membelit satu sama lain dan membesar karena kloroform berimbibisi ke dalam molekulnya Gordon, 1963. Ketika
kloroform di uapkan, molekul PHA saling bersinggungan dan membentuk belitan antar rantai yang satu dengan yang lain sehingga terbentuk lembaran.
Hasil pengamatan fisik untuk perlakuan dengan menggunakan pelarut kloroform disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 . Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan kloroform
Konsentrasi Suhu kamar 25
o
C Suhu 50
o
C 1:10
Terbentuk lembaran , tidak rata dan tebal
Terbentuk lembaran, tebal dan tidak rata
1:20 Terbentuk lembaran , tidak
rata dalam cetakan, yang tebal baik, yang tipis rapuh,
bentuk mirip kertas Terbentuk lembaran tidak
rata ketebalannya
1:30 Terbentuk lembaran, baik,
rapuh, seperti PHA awal, bentuk rata
Terbentuk lembaran permukaan rata
49 Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan yang membentuk
lembaran yang paling baik teksturnya dan rata ketebalannya adalah perlakuan pelarut kloroform yang memiliki perbandingan PHA-pelarut 1:30 pada suhu
50 C. Penampakan PHA setelah dilarutkan pada kloroform dapat dilihat pada
Gambar 27.
Keterangan : A 1:10 suhu kamar 25
o
C D 1:10 suhu 50
C B 1:20 suhu kamar 25
o
C E 1:20 suhu 50
C C 1:30 suhu kamar 25
o
C F 1:30 suhu 50
C
Gambar 27. Foto hasil pengamatan fisik pelarutan PHA dengan kloroform
PHA yang dilarutkan dalam perlakuan pelarut asam asetat glasial, tidak ada yang dapat menghasilkan lembaran. Semua sampel hanya
membentuk butiran halus seperti pasir dan PHA berwarna lebih pucat dari awal pelarutan, karena asam asetat glasial mendegradasi warna PHA awal
berwarna coklat muda, akhir berwarna putih tulang. Interaksi dipol pada ujung rantai PHA dengan gugus aktif asam asetat glasial OH tidak terjadi
interaksi kimia yang baik, sehingga larutan yang terbentuk pun hanya berupa suspensi dengan partikel-partikel kecil PHA yang menyebar. Nilai viskositas
larutan juga menunjukkan kenaikan dibanding dengan nilai viskositas pelarut murni, manun kenaikannya tidak terlalu besar, secara fisik juga kekentalan
PHA dalam asam saetat glasial tidak begitu terlihat. Karena kenaikan viskositas yang kecil pada larutan suspensi menyebabkan belitan atau lilitan
dari rantai PHA tidak dapat menjangkau antar molekul yang satu dengan yang
50 lain Gordon, 1963, akibatnya tidak terjadi tumpang tindih molekul PHA
yang pada akhirnya tidak terbentuk lembaran bioplastik seperti yang diharapkan. Dari hasil pengamatan, perlakuan suhu dan perbandingan PHA-
pelarut tidak mempengaruhi penampakan fisik PHA setelah pelarutan, kecuali butiran PHA menjadi lebih halus. Hasil pelarutan dengan asam asetat glasial
disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan asam asetat glasial
Konsentrasi Suhu kamar 25
o
C Suhu 50
C 1:10
Tidak terbentuk lembaran, berbutir kasar seperti pasir
Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus seperti
tepung
1:20 Tidak terbentuk lembaran,
berbutir halus seperti tepung Tidak terbentuk lembaran,
berbutir kasar
1:30 Tidak terbentuk lembaran,
butiran seperti tepung Tidak terbentuk lembaran,
butiran sedikit kasar
Penampakan fisik PHA setelah pelarutan dengan asam asetat glasial dapat dilihat pada Gambar 28.
Keterangan : A 1:10 suhu kamar
D 1:10 suhu 50 C
B 1:20 suhu kamar E 1:20 suhu 50
C C 1:30 suhu kamar
F 1:30 suhu 50 C
Gambar 28. Foto hasil pengamatan fisik pelarutan PHA dengan asam asetat
glasial
51 Pelarutan PHA dengan menggunakan dimetilformamida tidak
menghasilkan bentuk lembaran untuk semua unit percobaan yang dilakukan, sama seperti pada perlakuan dengan menggunakan asam asetat glasial. Hal ini
dikarenakan molekul PHA dalam pelarut dimetilformamida tidak membentuk interaksi dipol-dipol yang baik dengan kondisi perlakuan yang diberikan,
dimetilfornamida tidak dapat berimbibisi dengan baik dalam molekul PHA suspensi partikel-partikel kecil, sehingga rantai PHA yang membelit satu
sama lain hanya mencapai radius yang tidak sampai mengakibatkan rantainya saling bertindih dan melingkar satu sama lain dan lembaran bioplastik pun
tidak terbentuk. Kemungkinan kondisi pelarutan yang berbeda misalkan dengan melarutkan dalam tekanan inert, suhu yang lebih besar dari 100
C akan menghasilkan interaksi dipol yang baik ini karena menurut Lafferty et al.
di dalam Rehm and Reid 1988 dimetilformamida memiliki kelarutan yang tinggi dalam PHB dan merupakan pelarut yang biasa digunakan untuk
melarutkan PHB. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan dimetilformamida
Konsentrasi Suhu kamar 25
o
C Suhu 50
C 1:10
Tidak terbentuk lembaran, berbutir kasar
Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus
1:20 Tidak terbentuk lembaran,
berbutir kasar Tidak terbentuk lembaran,
berbutir halus
1:30 Tidak terbentuk lembaran,
butiran kasar Tidak terbentuk lembaran,
butiran halus
PHA setelah pelarutan menghasilkan serpihan-serpihan PHA yang ukurannya lebih besar dibandingkan ketika dilarutkan dalam asam asetat
glasial. Perlakuan suhu mempengaruhi hasil pengamatan fisik, sehingga didapatkan serpihan yang ukurannya lebih kecil dari perlakuan pada suhu
ruang. Penampakan fisik PHA setelah dilarutkan dalam dimetilformamida dapat dilihat pada Gambar 29.
52
Keterangan : A 1:10 suhu kamar
D 1:10 suhu 50 C
B 1:20 suhu kamar E 1:20 suhu 50
C C 1:30 suhu kamar
F 1:30 suhu 50 C
Gambar 29. Foto hasil pengamatan fisik pelarutan PHA dengan
dimetilformamida Perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap blanko PHB murni
dari Sigma aldrich. Hasil penelitian menunjukkan, dari semua unit percobaan, hanya sampel yang dilarutkan dalam kloroform dengan menggunakan suhu
50 C saja yang dapat membentuk lembaran. Hasil pengamatan fisik pelarutan
PHB murni dalam beberapa pelarut dapat dilihat pada Tabel 9. Penampakan fisik hasil pelarutan PHB murni dengan pelarut dapat dilihat pada Gambar 30.
Tabel 9. Hasil pengamatan fisik pelarutan PHB murni
Pelarut Suhu kamar 25
o
C Suhu 50
C
Kloroform Tidak terbentuk
lembaran, berbutir halus seperti PHB murni awal
tepung Terbentuk, sangat halus
dan rata ketebalannya
Asam asetat glasial Tidak terbentuk
lembaran, berbutir halus tepung seperti PHB
murni awal Tidak terbentuk
lembaran, berbutir halus tepung seperti PHB
murni awal
Dimetilformamida Tidak terbentuk
lembaran, berbutir halus seperti PHB murni awal
Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus
seperti PHB murni awal
53
Keterangan : A Kloroform suhu kamar
D Asam asetat suhu 50 C
B Kloroform suhu 50 C
E Dimetilformamida suhu kamar C Asam asetat suhu kamar
F Dimetilformamida
suhu 50 C
Gambar 30. Foto Hasil Pengamatan Fisik Pelarutan PHB Blanko
PHA hidrolisat pati sagu mampu membentuk lembaran kembali pada
berbagai perlakuan suhu baik pada suhu ruang 25
o
C maupun suhu 50 C. Hal
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, proses hilir PHA hidrolisat pati sagu menggunakan kloroform sebagai pelarut. Ekstraksi dengan pelarut tertentu
dapat mengubah kekuatan dielektrik sistem pelarut dan zat yang terlarut Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988. Selain itu, ekstraksi pelarut
juga dapat menurunkan kepolaran media konstanta dielektrik dan meningkatkan interaksi elektrostatik Harrison, 1990. Turunnya konstanta
dielektrik dan meningkatnya interaksi elektrostatik PHA hidrolisat pati sagu terhadap kloroform akibat proses hilir, maka PHA dapat larut dengan baik
dalam kloroform dengan berbagai perlakuan suhu.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A.