95
Pada koefisien keserupaan 0.70 seluruh populasi dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Kelompok I terdiri dari 5 populasi yaitu Sumenep, sebagian Cirebon,
dan seluruh populasi asal P. Flores Kotauning, Waioti, dan Wairbleler. Kelompok II menyatukan 7 populasi dari Bangkalan, Jukporong, Sampang, Tuban,
Pamekasan, Kulon Progo dan sebagian populasi Cirebon. Cabang III mengelompokkan 3 populasi dari Gunung Kidul, Serang dan Bantul. Ketiga cabang
menyatukan individu I. tinctoria berdasar lokasi tetapi tidak berdasar asal pulau. Pengelompokan ini mengindikasikan bahwa dalam satu kelompok memiliki
struktur genetik yang hampir sama homogen sehingga antara cabang satu dengan yang lainnya memiliki struktur genetik yang berbeda.
Analisis keserupaan berdasarkan data molekuler memiliki koefisien keserupaan 0.68 yang berbeda dengan hasil analisis keserupaan berdasarkan data
morfologi koefisien keserupaan 0.31. Nilai koefisien keserupaan yang rendah pada data morfologi menunjukkan bahwa ciri morfologi antar individu sangat
beragam jika dibandingkan dengan variasi ciri pada data molekuler. Keberagaman terendah ditunjukkan oleh genotipe Wairklei 3 dan Wairklei 4.
Gambar 4.43 Profil pita hasil amplifikasi DNA genom I. tinctoria dari empat pulau di Indonesia dengan primer A1 dan suhu annealing 45
– 51
o
C. M= Marker DNA 10.000 bp; 89= Pakhandangan; 91= An
dulang; 92a˗b= Gapura; 21a˗c= Burneh; 22a˗c= HPK; 23a˗c= Jukporong; 26a˗c= Jenma; 27a˗c= Tlanakan; 31a˗c=
Kerek; 40a˗c= Pantai Sadeng; 44a˗c= KulonProgo; 45a˗c= Stadion; 51a˗c= Bambanglipuro; 60a˗c= Piyungan; 52a˗c=
Babatan; 53a˗c= Kajawenan; 55a˗c= Karangantu; 064= Wairklei; 065a˗c= Kotauning; 068a˗c= Naiora; 069a˗c= Luah;
073a˗c= Wairbleler
96
I
Gambar 4.44 Dendrogram pengelompokan 63 individu I. tinctoria berdasar data SSR yang dianalisis dengan indeks
keserupaan SM dan metode UPGMA II
III
97 Keberagaman berdasarkan marka SSR memiliki nilai yang lebih sempit
32 bila dibandingkan dengan keberagaman berdasar ciri morfologi 69. Dengan demikian variasi ciri morfologi yang besar lebih disebabkan oleh karena
lingkungan sehingga banyak lokasi dengan ciri morfologi berbeda. Perbedaan hasil pengelompokan antara analisis morfologi dan molekuler dengan marka SSR
dikarenakan ciri morfologi merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dengan lingkungan, sedangkan analisis berdasarkan molekuler SSR merupakan sekuens
spesifik yang terdapat dalam DNA yang relatif tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka informasi yang dikumpulkan dari
penggabungan ciri morfologi dan penanda molekuler dapat semakin besar dan akurat sehingga dapat mencerminkan keberagaman genetik I. tinctoria yang
berpotensi dan dapat mendukung pengembangan dalam mencari kultivar unggul I. tinctoria.
Kedekatan secara genetik juga dapat dilihat dari besarnya koefisien keserupaan antar populasi. Koefisien keserupaan tertinggi dimiliki oleh populasi
Bangkalan-Jukporong 0.79, dan terendah dimiliki populasi Kulon Progo-Sumenep 0.15 Lampiran 6. Tingginya keserupaan antara Bangkalan dan Jukporong
menunjukkan bahwa pita spesifik yang diamplifikasi dari aksesi hanya memiliki sedikit perbedaan, yakni pada pita dengan ukuran 300 pb untuk primer D2 dan B3,
serta ukuran pita 450 pb pada primer B1. Selain itu, tingginya nilai keserupaan dapat disebabkan oleh kesamaan habitat dan kondisi lingkungan aksesi tersebut
berasal.
4.3.4 Struktur Populasi I. tinctoria
Keberagaman genetik dari I. tinctoria berdasarkan marka SSR bervariasi di antara 14 populasi yang diamati. Jumlah alel Na berkisar 1.5
–3.0, sedangkan jumlah alel efektif Ne 1.4
–2.5. Indeks informasi Shannons tertinggi pada populasi Cirebon, sedangkan terendah di Wairbleler. Keberagaman genetik He berkisar
0.2 –0.6 Tabel 4.13. Keberagaman genetik tertinggi terdapat pada populasi
Cirebon dan terendah pada populasi Waioti dan Wairbleler. Tingginya keberagaman genetik pada populasi asal Cirebon dapat diamati pada dendrogram,
populasi asal Cirebon menyebar pada kelompok yang berbeda dengan keserupaan yang rendah. Aksesi dari lokasi Cirebon 1 dan 2 mengelompok dengan populasi
asal P. Madura dan P. Flores. Sementara aksesi dari Cirebon 3
–6 mengelompok dengan populasi asal P. Jawa lainnya. Hasil ini menunjukkan bahwa individu asal
Cirebon memiliki potensi sumber genetik Indigofera yang besar. Sebanyak 12 populasi memiliki nilai polimorfisme sangat tinggi P60 dan
dua populasi yaitu Waioti dan Wairbleler memiliki nilai polimorfisme rendah Tabel 4.13. Nilai polimorfisme digunakan untuk melihat tingginya keberagaman
genetik jenis ini, semakin tinggi nilai polimorfisme maka tingkat keberagaman genetiknya semakin tinggi
.
Dengan demikian 12 populasi tersebut dapat dikatakan memiliki lokus yang sangat informatif sehingga mampu menerangkan
keberagaman genetik pada populasi Indigofera yang diuji. Tingkat polimorfisme rata-rata 88.1, dan lokus polimorfisme tertinggi 100 dijumpai pada enam
populasi yaitu Sumenep, Bangkalan, Pamekasan, Gunung Kidul, Bantul, dan Cirebon. Penelitian ini menghasilkan tingkat polimorfisme tinggi pada I. tinctoria
dibandingkan penelitian terdahulu pada Vicia faba 55; V. ervilia 65; dan V.
98 sativa 62 Suresh et al. 2013; Chung et al. 2013; El Fatehi et al. 2013. Perbedaan
jumlah lokus dan tingkat polimorfisme dalam penelitian ini disebabkan oleh perbedaan jumlah sampel, jenis, tingkat takson dan jumlah primer Qiang et al.
2013; Chung et al. 2013.
Tabel 4.13 Indikator keberagaman genetik I. tinctoria pada 14 populasi asal P. Jawa. P. Madura dan P. Flores
Populasi N
Na Ne
I Ho
He P
Sumenep 4
2.6 1.8
0.7 0.3
0.4 100
Bangkalan 6
2.9 2.4
0.9 0.0
0.5 100
Jukporong 3
1.9 1.7
0.5 0.0
0.4 80
Pamekasan 3
2.5 2.4
0.9 0.0
0.5 100
Sampang 3
2.1 1.9
0.7 0.0
0.4 93.3
Tuban 3
2.0 1.9
0.6 0.0
0.4 73.3
Gunung Kidul 6
2.5 2.0
0.7 0.0
0.5 100
Kulon Progo 4
2.2 2.0
0.7 0.0
0.4 86.7
Bantul 9
3.0
2.0 0.8
0.0 0.5
100 Cirebon
6 2.9
2.5 1.0
0.0
0.6
100 Serang
3 2.2
2.1 0.7
0.0 0.5
93.3 Kotauning
4 2.2
1.9 0.7
0.1 0.4
93.3 Waioti
6 1.7
1.5 0.4
0.0 0.2
60 Wairbleler
3 1.5
1.4 0.3
0.1 0.2
53.3 Rerata
4 2.3
1.9 0.7
0.0 0.4
88.10
Keterangan: Na= Jumlah alel. Ne= jumlah alel efektif. I= Indeks informasi Shannons. Ho=heretozigositas teramati. He= Heterozigositas harapan. dan P=Polimorfik.
Jumlah dan keberagaman pita hasil amplifikasi dipengaruhi oleh jumlah lokasi dan primer yang digunakan. Akan tetapi, tidak selalu jumlah lokasi yang
tinggi menghasilkan pita polimorfik yang tinggi seperti hasil penelitian dari Nafees et al. 2015 pada delima Punica ganatum yang menghasilkan pita polimorfik
yang rendah. Tingginya pita polimorfisme yang teramplifikasi pada genom I. tinctoria merupakan ketepatan pemilihan marka dan primer yang digunakan.
4.4 Sintesis Biosistematika Indigofera Indonesia Penghasil Pewarna
Jumlah jenis Indigofera Indonesia termutahir terdiri atas 18 jenis dan satu anakjenis, yaitu I. arrecta Hochst. ex A. Rich, I. colutea Burm.f. Men., 1.
cordifolia Heyne ex Roth, I. dosua Buch.- Ham. ex D. Don., I. galegoides DC
.
, I. glandulosa Wendl., I. hirsuta L., I. linifolia L. f. Retz., I. linnaei Ali, I.
longeracemosa Boiv. ex. Baill., I. nigrescens Kurz ex King Prain, I. oblongifolia Forssk, I.spicata Forssk., I. suffruticosa Mill., I. suffruticosa subsp. guatemalensis
Moc., Sessé Cerv. ex Backer de Kort Thijsse, I. tinctoria L., I.trifoliata
L., I. trita L., dan I. zollingeriana Miq. Masing-masing jenis dan anakjenis dapat
dikenali dengan seperangkat ciri diagnostik. Adapun ciri diagnostik yang bisa
99 digunakan adalah perawakan, warna alur pada batang, arah tumbuh percabangan,
bentuk cabang ujung, warna batang muda, bentuk anak daun, arah perbungaan, kerapatan bunga dalam tandan, kedudukan tandan buah dengan batang, arah
tumbuh polong, bentuk polong, bentuk ujung polong, bentuk biji, ornamen pada biji, dan trikom pada kepala sari. Kegiatan eksplorasi Indigofera Indonesia di lima
pulau dalam penelitian ini hanya menemukan 9 jenis, yaitu I. longeracemosa, I. arrecta, I. galegoides, I. hirsuta, I. linifolia, I. suffruticosa, I. tinctoria, I.trifoliata,
dan I. zollingeriana.
Populasi I. longeracemosa hanya ditemukan di Desa Wonosari dan dalam jumlah terbatas. Jenis ini tidak dimanfaatkan oleh masyarakat. Jenis I.
longeracemosa di Jawa merupakan tanaman introduksi dari Madagaskar dan dahulu masyarakat di Jawa memanfaatkannya sebagai pupuk hijau Backer dan Bakhuizen
van den Brink 1963. Saat ini sebaran geografi I. longeracemosa meliputi Afrika, India dan Indonesia khususnya di Jawa. Jenis ini di Madagaskar dan India
dimanfaatkan sebagai obat Premalatha et al. 2014. Ciri spesifik pada I. longeracemosa yang ditemukan di Desa Wonosari, Minomartani, Sleman,
Yogyakarta dan tidak dilaporkan oleh Backer dan Bakhuizen van den Brink adalah: tajuk melebar di bagian atas dengan arah pertumbuhan cabang utama membentuk
sudut 45
o
–90 , arah pertumbuhan cabang mendatar, sehingga permukaan daun
menghadap ke atas; bentuk pertumbuhan batang muda zig-zag; daun segar berwarna hijau keabu-abuan, sedangkan daun kering berwarna abu-abu sampai abu-
abu gelap; polong menyilinder, permukaan kulit mengkilap; buah matang cokelat tembaga. Bentuk polong silindris dan lurus dijumpai juga pada I. arrecta tetapi
jenis ini memiliki buah matang cokelat dengan permukaan kulit buah kusam.
Penapisan Indigofera penghasil warna dari sembilan jenis yang berhasil ditemukan selama kegiatan eksplorasi dengan menggunakan metode perendaman
daun menunjukkan empat jenis mengandung indikan sebagai prekursor indigo. Warna permukaan daun kering, terutama permukaan atas, dapat dijadikan indikator
untuk jenis-jenis yang dapat dimanfaatkan sebagai penghasil pasta indigo. Keempat jenis yang daunnya mengandung indikan, yaitu I. longeracemosa, I. arrecta, I.
suffruticosa, dan I. tinctoria memiliki permukaan atas dan bawah daun kering berwarna hijau kebiruan, abu-abu kehijauan, keabu-abuan, sampai abu-abu. Jenis I.
hirsuta di Jawa sebelumnya dilaporkan digunakan sebagai pewarna oleh De Kort dan Thijsse 1984. Namun pada penelitian penapisan jenis-jenis pewarna ini
dibuktikan bahwa I. hirsuta tidak dapat digunakan sebagai pewarna karena tidak menghasilkan pasta indigo, dan melalui uji HPLC menunjukkan bahwa ekstrak
daun jenis ini tidak mengandung indikan.
Kualitas warna yang diwarnai dengan pasta indigo yang dihasilkan oleh
I. longeracemosa, I. arrecta, I. suffruticosa, I. tinctoria memiliki nilai 4-5 berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI 7617:2013 untuk ketahanan luntur
dan penodaan warna terhadap pencucian pada 40 C, keringat asam dan basa, serta
penekanan panas dan terang sinar. Nilai tersebut menunjukkan bahwa warna yang dihasilkan oleh keempat jenis tersebut memiliki kualitas yang bagus. Namun,
Ekstrak daun empat jenis Indigofera pewarna mengandung indikan dan menghasilkan pasta indigo yang berbeda kuantitasnya. Ketika ditanam pada waktu
dan lokasi yang sama di lahan percobaan Cikabayan, I. longeracemosa menghasilkan pasta indigo tertinggi di antara tiga jenis Indigofera pewarna yang
lain. Selain menghasilkan indigo paling tinggi, I. longeracemosa juga memiliki ciri