bejana yang selalu terisi air seperti bak mandi, tempayan, drum dan penampungan air Kristina, 2004.
Curah hujan yang tinggi akan menambah jumlah tempat perindukan nyamuk alamiah. Perindukan nyamuk alamiah di luar ruangan selain di sampah-sampah
kering seperti botol bekas, kaleng-kaleng juga potongan bambu sebagai pagar sering dijumpai di rumah-rumah penduduk desa serta daun-daunan yang memungkinkan
menampung air hujan merupakan tempat perindukan yang baik untuk bertelurnya Ae. aegypti Prihatnolo, 2009. Secara umum dapat dikatakan bahwa perubahan iklim
meningkatkan curah hujan yang berdampak pada meningkatnya habitat larva nyamuk sehingga meningkatkan kepadatan populasi nyamuk Achmadi, 2008.
5.2.2. Pengaruh Temperatur Udara terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue Tahun 2010-2012
Berdasarkan hasil analisis bivariat di Kecamatan Medan Barat diketahui bahwa p0,05p= 0,000 maka dapat dikatakan bahwa temperatur udara ada
hubungan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue. Di Kecamatan Medan Perjuangan ada hubungan antara temperatur udara dengan Kejadian Demam Berdarah
Dengue yaitu p0,05 p=0,012. Sedangkan di Kecamatan Medan Tuntungan tidak ada hubungan antara temperatur udara dengan kejadian Demam Berdarah Dengue
yaitu p0,05 p=0,492. Menurut asumsi peneliti selain temperatur udara masih banyak faktor lain
yang memengaruhi kejadian Demam Berdarah Dengue diantaranya
vektorlingkungan, hospes manusia dan virus dengue di Kecamatan Medan Barat,
Universitas Sumatera Utara
Medan Perjuangan dan Medan Tuntungan. Hal ini didukung oleh temperatur udara rerata di Kec. Medan Barat 27,4
C dan Medan Perjuangan 27,3 C yang merupakan
temperatur udara optimum perkembangbiakan vektor Demam Berdarah Dengue yaitu 24-28
C. Sedangkan di Kec. Medan Tuntungan rerata temperatur udara sebesar 26,2 C yang memiliki lebih luas wilayah dibandingkan dengan Kecamatan Medan Barat
dan Medan Perjuangan. Wilayah yang lebih luas memungkinkan nyamuk untuk terbang lebih jauh sehingga tidak memengaruhi kejadian Demam Berdarah Dengue di
Kecamatan tersebut. Hasil penelitian ini sependapat dengan hasil penelitian Zubaidah 2012 yang
menyatakan bahwa curah hujan, kelembaban, temperatur udara dan angka bebas jentik memiliki pengaruh terhadap kejadian DBD di Kota Banjarbaru Kalimantan
Selatan. Menurut Shetty 2009 mengklasifikasikan faktor iklim dengan efeknya terhadap vektor. Apabila terjadi peningkatan temperatur maka efeknya terhadap
vektor yaitu penurunan kelangsungan hidup beberapa spesies nyamuk lebih cepat masa inkubasi dalam tubuh vektor dan luasnya penyebaran vektor. Perubahan iklim
yang ditandai dengan peningkatan temperatur rerata pun dapat memengaruhi perkembangbiakan nyamuk Ae.aegypti dengan memperpendek waktu yang
diperlukan untuk berkembang dari fase telur menjadi nyamuk dewasa. Menurut Keman 2007, nyamuk Aedes sebagai vektor penyakit demam
berdarah dengue DBD hanya berkembang biak pada daerah tropis yang temperaturnya lebih dari 16
C dan pada ketinggian kurang dari 1.000 meter di atas permukaan air laut. Pemanasan global menyebabkan suhu beberapa wilayah cocok
Universitas Sumatera Utara
untuk berkembangbiaknya nyamuk Aedes, dimana nyamuk ini dapat hidup optimal pada suhu antara 24-28
C. Peningkatan kelembaban juga meningkatkan agresivitas dan kemampuan nyamuk menghisap darah dan berkembang biak lebih cepat.
Penelitian laboratoris menyebutkan bahwa tingkat replikasi virus dengue berhubungan dengan kenaikan temperatur.
Menurut penelitian Patz 2006, menyatakan bahwa pengaruh perubahan temperatur secara relatif akan memberikan kesempatan pada virus untuk memasuki
populasi manusia yang rentan terhadap risiko terjangkit. Kenaikan suhu memperpendek masa inkubasi virus dalam tubuh vektor.
Menurut Achmadi 2011, temperatur udara yang meningkat perilaku nyamuk akan semakin beringas dan keinginan untuk melakukan perkawinan sesama nyamuk
semakin meningkat. Biasanya sehabis mengadakan perkawinan maka perilaku keinginan menggigit manusia atau binatang semakin meningkat. Dengan adanya
peningkatan temperatur udara maka diperkirakan nyamuk bisa merambah ke gunung- gunung yang tinggi serta hidup di Negara – negara sub tropis.
Menurut hasil penelitian Sitorus 2003, meyatakan bahwa iklim dapat berpengaruh terhadap pola penyakit infeksi karena agen penyakit baik virus, bakteri
atau parasit dan vektor bersifat sensitif terhadap temperatur, kelembaban dan kondisi lingkungan ambien lainnya. Menurut Sugito 1989 yang dikutip oleh Anny dan Ririh
2005 bahwa temperatur udara merupakan salah satu faktor lingkungan yang memengaruhi perkembangan jentik nyamuk Ae. aegypti. Hasil penelitian Anny dan
Universitas Sumatera Utara
Ririh 2005, menyatakan bahwa temperatur udara tidak ada hubungan dengan keberadaan jentik nyamuk Ae. aegypti.
Nyamuk adalah serangga berdarah dingin dan karenanya proses-proses metabolisme dan siklus kehidupannya tergantung pada temperatur lingkungan.
Nyamuk tidak dapat mengatur temperaturnya sendiri terhadap perubahan di luar tubuhnya. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali kurang dari 10
C atau lebih dari 40
C. Penularan virus pada umumnya terjadi di daerah tropis dan subtropis karena temperatur yang dingin selama musim dingin membunuh telur dan larva
Ae.aegypti Depkes dalam Dani, 2011. Nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu rendah, tetapi metabolismenya
menurun atau bahkan terhenti bila suhunya turun sampai dibawah suhu kritis. Pada suhu yang lebih tinggi dari 35
C juga mengalami perubahan dalam arti lebih lambatnya proses-proses fisiologis, rerata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk
adalah 25 C – 27
C Suroso, 1983. Menurut Sukamto 2007, Nyamuk Ae. aegypti akan meletakkan telurnya ada
temperatur udara sekitar 25–30 C. Telur yang diletakkan dalam air akan menetas
pada waktu 75 jam sebanyak 3 sampai 4 buah, tetapi pada temperatur -17 C hanya
dapat bertahan selama 1 jam telur nyamuk tersebut.
5.2.3. Pengaruh Kelembaban Udara terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue Tahun 2010-2012