kearifan‟, generosity maxim „maksim kedermawanan, approbation maxim „maksim pujian‟, modesty maxim „maksim kerendahhatian‟, agreement maxim
„maksim kesepakatan‟, dan sympathy maxim „maksim simpati‟. Penerapan keenam maksim kesantunan berbahasa ini ditandai dengan
memperbesar kearifan, keuntungan, rasa hormat, pujian, kesetujuan, dan rasa simpati kepada lawan tutur. Teori prinsip kesantunan dengan berbagai maksimnya
memberikan tentang cara-cara bertutur sopan. Maksim-maksim menurut Leech terjemahan Oka,1993: 206-207 adalah sebagai berikut.
a. Maksim Kearifan
Maksim kearifan merupakan maksim utama dalam prinsip kesantunan berbahasa. Pada dasarnya maksim ini mencakup maksim-maksim kesantunan
yang lain karena di dalam prinsip kesantunan berbahasa penutur harus bertimbang
atau bertenggang rasa dengan mitra tutur.
Gagasan dasar maksim kearifan adalah penutur hendaknya membuat kerugian lawan tutur sekecil mungkin dan membuat keuntungan lawan tutur
sebesar mungkin. Kedua poin ini disebut segi positif dan negatif. Segi positif membuat kerugian lawan tutur sekecil mungkin dan segi positif membuat
keuntungan lawan tutur sebesar mungkin. Segi yang kedua, segi positif tidak begitu penting, tetapi merupakan akibat yang wajar dari segi pertama Leech,
terjemahan Oka, 1993: 170. Adapun Wijana 2010: 52 menyebut maksim kearifan dengan nama
maksim kebijaksanaan. Dikatakan dalam maksim ini bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang tersebut untuk bersikap
sopan kepada lawan tuturnya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan
secara langsung. Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih sopan dibandingkan dengan kalimat perintah. Seperti tampak dalam contoh
berikut ini. 1
Datang ke rumah saya Tidak sopan
2 Datanglah ke rumah saya
3 Silakan anda datang ke rumah
saya 4
Sudilah kiranya anda datang ke rumah saya
5 Kalau tidak keberatan, sudilah
Sopan anda kiranya datang ke
rumah saya Wijana, 2010: 53
Jelas dalam tuturan tersebut, tuturan 5 dirasa lebih santun karena di dalamnya terdapat kebebasan lawan tutur untuk memilih dan menolak keinginan
penutur, berbeda dengan tuturan 1 yang tidak memberikan opsi untuk lawan tutur menolak. Perhatikan lagi contoh berikut ini.
Ketidak- Kurang
langsungan sopan
6 Jemput saya
7 Saya ingin kamu jemput saya
8 Maukah anda menjemput saya?
9 Dapatkah anda menjemput saya?
10 Apakah anda keberatan menjemput saya?
11 Apa mungkin anda menjemput saya?
Lebih sopan
Terlihat dalam contoh di atas bahwa tuturan 6 ke 11 mengalami peningkatan kesantunan karena menggunakan ilokusi-ilokusi taklangsung. Ilokusi
taklangsung menambah derajat kemanasukaaan untuk lawan tutur untuk menerima atau menolak apa yang diinginkan penutur.
Maksim kearifan juga dapat diamati pada sebuah skala untung-rugi cost- benefit scale, seperti yang tampak pada contoh berikut.
merugikan kurang sopan
lawan tutur 12 Kupas kentang ini.
13 Berikan saya surat kabar itu. 14 Duduk.
15 Lihatlah itu. 16 Nikmatilah liburanmu.
17 Makanlah sepotong lagi.
Menguntungkan lebih sopan
lawan tutur Leech, terjemahan Oka, 1993: 167
Pada suatu titik tertentu di skala ini tergantung konteks, nilai akan berubah, „rugi bagi lawan tutur‟ akan berubah menjadi „untung bagi lawan tutur‟.
Dapat diamati bahwa dengan berubahnya nilai ini, derajat kesopanan juga berubah: dengan tetap menggunakan ilokusi memerintah dan dengan
mengendalikan faktor-faktor lain, derajat kesopanan antara contoh 12 dan 17 meningkat Leech, terjemahan Oka, 1993: 167.
Sebuah isi proposisional X misalnya, X = „You will peel these potatoes
dibuat konstan dan derajat sopan santun semakin ditingkatkan dengan menggunakan jenis-jenis ilokusi yang semakin taklangsung. Menurut Leech
Terjemahan Oka, 1993: 166-167 ilokusi-ilokusi taklangsung cenderung lebih sopan karena a ilokusi-ilokusi ini menambah derajat kemanasukaan, dan karena
b ilokusi yang semakin taklangsung cenderung memiliki daya yang semakin mengecil dan tentatif.
Berkebalikan dengan hal itu, penawaran yang dianggap menguntungkan lawan tutur perlu menggunakan strategi yang berbeda. Leech Terjemahan Oka,
1993: 170 memberikan contoh, bila penutur mengusulkan suatu tindakan yang menguntungkan lawan tuturnya, penutur harus mengarahkan ilokusi ke suatu hasil
yang positif dengan cara membatasi kesempatan lawan tutur untuk mengatakan “tidak”. Jadi, dalam konteks yang informal, sebuah imperatif yang tidak memberi
kesempatan kepada lawan tutur untuk mengatakan “tidak‟ merupakan suatu cara yang sopan dan positif untuk mengungkapkan tawaran. Contoh dalam tuturan:
You must have another sandwich Kamu harus ambil sepotong lagi. Dalam hal ini, bentuk tak langsung seperti Would you mind having another sandwich?
Apakah Anda keberatan mengambil sepotong lagi? malah menjadi lebih tidak sopan daripada bentuk yang paling langsung. Kata “Would” memberi kesan
bahwa dengan menngambil dan memakan roti tersebut, lawan tutur berbaik hati kepada penutur, karena bisa jadi roti itu basi, tidak enak dimakan, atau bahkan
beracun. Lebih lanjut, Rahardi 2005: 60 menyatakan bahwa orang bertutur yang
berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan dapat dikatakan sebagai orang santun. Apabila di dalam bertutur orang berpegang teguh pada maksim ini,
maka dapat menghindarkan diri dari sikap dengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap lawan tutur. Demikian pula, perasaan sakit hati
sebagai akibat dari perlakuan yang tidak menguntungkan pihak lain akan dapat diminimalkan apabila maksim ini dipegang teguh dan dilaksanakan dalam
kegiatan bertutur.
b. Maksim Kedermawanan