25
B. Asal Mula Masyarakat Tionghoa di Kota Medan
Tionghoa-Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia yang asal usul mereka dari Tiongkok. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang
Hokkien, Tengnang Tiochiu, atau Thongnyin Hakka. Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren Hanzi:
唐人 , orang Tang atau lazim disebut Huaren
Hanzi Tradisional: 華人
; Hanzi Sederhana : 华人 . Disebut Tangren dikarenakan sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari
Tiongkok selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Tiongkok utara menyebut diri mereka sebagai orang Han Hanzi:
漢人 , Hanyu
Pinyin: Hanren, orang Han. Era
pemerintahan pasca-Orde
Baru mulai
menjalankan “multikulturalisme”, memunculkan ke-ekslusif-an terhadap etnis Tionghoa, dan
mulai muncul kembali tiga pilar etnis Tionghoa, walaupun tidak terlalu berpengaruh terhadap peranakan Tionghoa di Indonesia. Namun era ini,
memunculkan kembali simbol etnis Tionghoa di Indonesia yang sudah lama dibungkam oleh rezim otoriter, karena rezim reformasi sudah memberikan
kebebasan politik terhadap etnis Tionghoa, udara segara demokrasi di Indonesia yang melai mengaplikasikan ke-Bhineka Tunggal Ika tanpa harus ada yang
terdiskriminasi karena hak asasi suatu golongan tidak diindahkan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Jadi, sejarah etnis Tionghoa di Indonesia mengalami
dinamika politik yang luar biasa sejak masa penjajahan, samapai akhirnya terjadi dekonstruksi sosial-politik terhadap rezim Orde Baru ke rezim Reformasi, di mana
pasca-Reformasi memunculkan “esensial identitas”, yang berarti setiap etnis diakui
26
oleh pemerintah, dan menjadi era baru untuk etnis Tionghoa, seperti kebebasan yang belum pernah diperoleh selma ini.
23
Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali
muncul dalam
Orang-orang Tionghoa di Indonesia, umumnya berasal dari tenggara China. Mereka termasuk suku-suku: a Hakka, b Hainan, c Hokkien, d Kantonis, e
Hokchia, dan f Tiochiu. Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara ini dapat dimengerti, karena dari sejak zaman Dinasti Tang kota-kota pelabuhan di pesisir
tenggara Cina memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou pernah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman
tersebut. Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di
daerah perkotaan adalah: Sumatra Utara, Bangka-Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Utara.
sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Tiongkok menyatakan bahwa
kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan
perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya. Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang
berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup
23
Lisa Munandar, Peranan dan Pengaruh Etnis Tionghoa, melalui http:lismunpad. blogspot.com201501peranan-dan-pengaruh-etnis-tionghoa-di.html, diakses tanggal 23 April
2015
27
nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
24
Selain itu, masyarakat Tionghoa juga memiliki orientasi ke negeri leluhur mereka. Plus sikap chauvinisme mereka begitu tinggi sehingga memandang orang-
orang setempat begitu rendah. Kwee Kek Beng, pemimpin redaksi harian Sin Po surat kabar ternama di era pergerakan nasional menyebut orang lokal alias
bumiputera dengan istilah hoan nah, orang yang tidak beradab. Sementara itu, Masyarakat etnis keturunan Tionghoa sudah mulai menetap di wilayah
Nusantara sejak berabad-abad lamanya, bahkan asal usul orang Indonesia sendiri bukankah berasal dari salah satu wilayah di Tionghoa. Namun selalu saja muncul
pertanyaan kenapa mereka seakan sulit berasimilasi dengan masyarakat sekitar, mengapa orang Tionghoa sukar diterima oleh orang Indonesia? Mengapa orang
Tionghoa masih harus membuktikan keindonesiaannya meski sudah menjadi Warga Negara Indonesia.
Ketika Nusantara masih dikuasai pemerintah penjajahan Belanda, masyarakat Tionghoa ditempatkan di wilayah khusus, dalam perkampungan sendiri
dan terpisah dari masyarakat setempat. Perkampungan itu dipimpin sendiri oleh masyarakat Tionghoa yang diberi pangkat Mayor atau Kapten sesuai sistem
Belanda. Pemerintah Belanda ingin agar kepentingan mereka tidak terganggu oleh masyarakat Tionghoa. Hal inilah menjadi salah satu penyebab sulitnya asimilasi
antara masyarakat Tionghoa dengan orang-orang setempat.
24
http:id.wikipedia.orgwikiTionghoa-Indonesia.html, diakses tanggal 23 April 2015
28
banyak orang Tionghoa menyebut orang lokal alias melayu dengan sebutan fan yin alias setengah manusia atau manusia barbar.
25
Di Sumatera Utara masyarakat Tionghoa lebih suka disebut dengan orang Tionghoa, yang menunjukkan makna kultural dibandingkan dengan menyebutkan
masyarakat Tionghoa, yang lebih menunjukkan makna geografis. Namun, dalam kehidupan sehari-hari kedua istilah ini sama-sama dipergunakan. Sementara bahasa
yang umum digunakan adalah bahasa suku Hokkian bukan bahasa Mandarin. Namun kedua bahasa itu juga dipraktikkan dan diajarkan kepada generasi-generasi
Tionghoa yang lebih muda. Umumnya masyarakat Tionghoa di Sumatera Utara sebagai pedagang. Mereka dikenal ulet berusaha dan memiliki jaringan yang baik
Kedatangan masyarakat etnis Tionghoa ke Kota Medan berawal ketika Belanda menjajah Sumatera Timur dan kemudian membuka lahan perkebunan
tembakau, pada waktu itu Belanda kekurangan tenaga buruh. Untuk itulah Belanda mendatangkan buruh dari negeri Cina. Pendapat di atas didukung oleh Sofyan Tan
2004:21 dijelaskan bahwa: “Masyarakat Tionghoa di Medan semula merupakan para buruh yang didatangkan untuk menggarap perkebunan-perkebunan tembakau
di Sumatera Timur yang mulai diusahakan para kapitalis Belanda sejak abad 18”. Kedatangan orang-orang Tionghoa ke Sumatera Timur, diliputi pula dengan masuk
budaya Tionghoa ke Sumatera Timur. Salah satu kebudayaan. Masyarakat etnis Tionghoa yang masuk ke negeri Deli Medan ini adalah kesenian Barongsai atau
sering juga disebut dengan tarian singa, yang mana seni Barongsai sangat berarti masyarakat etnis Tionghoa Medan sendiri
25
http:komunitasbambu.comblog20140220mengupas-tuntas-etnis-tionghoa-di- indonesia-sebuah-kajian-panjang-mengungkapkan-siapa-orang-china-kek-di-kalimantan-barat-
sekaligus-menjawab-beragam-masalah-orang-china-di-indonesia diakses tanggal 23 April 2015
29
sesamanya, sehingga ada kalanya pribumi “iri hati” terhadap keberhasilan mereka di bidang ekonomi ini. Adapun pola tempat tinggal masyarakat Tionghoa di
Sumatera Utara, khususnya sebagai pedagang adalah menempati rumah-rumah dan sekali gus menjadi toko atau tempat berniaga. Bagi masyarakat pribumi orang-
orang Tionghoa ini dianggap memiliki sifat tertutup eksklusif dan kurang mau bersosialisasi. Namun sebenarnya masyarakat Tionghoa ini ingin pula dipandang
sebagai bagian yang integral dari warga negara Indonesia pada umumnya, dan jangan dibatasi akses sosial mereka. Melalui tulisan ini, penulis akan memaparkan
keberadaan umum masyarakat Tionghoa di Sumatera Utara. Selanjutnya dalam abad kesembilan belas, perkebunan-perkebunan
tembakau di Sumatera Timur berkembang dengan pesatnya. Jumlah tenaga buruh setempat hampir tidak mencukupi, maka didatangkanlah dalam jumlah yang
banyak tenaga buruh masyarakat Tionghoa dari Singapura dan Penang. Pada tahun 1870 Perkebunan embakau Deli Maatcchappij 1809 mendatangkan 4.000 orang
tenaga masyarakat Tionghoa dari Singapura, dan antara tahun 1888-1931 terhitung lebih kurang 305.000 orang tenaga masyarakat Tionghoa yang didatangkan dari
Singapura dan Pulau Jawa. Masyarakat Tionghoa ini akhirnya melepaskan diri dari kerja di perkebunan dan sebagian besar di antaranya menjadi pedagang di
pedesaan-pedesaan sekitar perkebunan tersebut, atau mencari pekerjaan lain ke Sumatera Utara, dan banyak pula di antara mereka bekerja sebagai tukang maupun
nelayan.
26
Sumatera Utara sendiri pada waktu itu telah banyak ditempati masyarakat Tionghoa, dengan memiliki pemuka-emuka golongan yang diakui pemerintah
26
Tengku Luckman Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe. Medan: Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia, 1991, hal 200
30
Hindia Belanda sendiri. Seperti pada tahun 1880, sewaktu Tjong A Fie menyusul kakaknya ke Medan, didapati kakanya telah menjadi pemuka golongan China,
dengan pangkat luitenant, yakni pangkat yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Tjong A Fie sendiri un akhirnya juga menjadi pemuka masyarakat China
di Medan dengan pangkat majoor, dan meninggal pada tahun 1921. Tjong A Fie adalah masyarakat Tionghoa perantaun yang memiliki harta yang banyak di
Medan, Jakarta, serta Singapura.
27
Tjong A Fie juga senang terhadap kesenian seerti seni Melayu Deli. Dia juga membangun mesjid di daerah Petisah. Tjong A
Fie telah berhasil mengembangkan usaha secara pribadi dan Kota Medan, salah satu perkembangan yang dihasilkan oleh Tjong A Fie terhadap Kota Medan adalah
dengan mendirikan Bank Kesawan sebagai cikal-bakal penyimpanan uang di Kota Medan selain itu pembangunan sarana pendidikan, rumah sakit, rumah ibadah dan
fasilitas umum lainnya telah menjadikan Tjong A Fie sebagai tokoh yang cukup berperan di Kota Medan, hal ini didukung dengan adanya hubungan yang erat
antara Tjong A Fie dengan Kesultanan Deli yang menjadi penguasa Tanah Deli Kota Medan saat itu.
28
C. Prosedur Perwakafan Tanah Milik masyarakat Tionghoa