Pengertian Wakaf Tanah pada Masyarakat Tionghoa

55

BAB III PENGELOLAAN PERWAKAFAN TANAH PADA MASYARAKAT

TIONGHOA

A. Pengertian Wakaf Tanah pada Masyarakat Tionghoa

Di kota-kota besar Indonesia, termasuk Medan, masyarakat Tionghoa Cina Muslim merupakan minoritas di antara minoritas minority within minority. Meski demikian, sejak tumbangnya rezim Orde Baru, Tionghoa Muslim di negeri ini sudah bisa lebih terbuka dan leluasa dengan identitas budaya dan dalam meyakini agama yang dianutnya. Saat ini Tionghoa Islam menekuni beragam bidang pekerjaan. Apalagi dengan semakin terbukanya kesempatan bagi mereka untuk mengembangkan potensi diri masing-masing sehingga tidak tertutup kemungkinan beberapa pengusaha Muslim Tionghoa juga banyak yang bermunculan. 91 Di Sumatera Utara orang-orang China lebih suka disebut dengan orang Tionghoa, yang menunjukkan makna kultural dibandingkan dengan menyebutan orang China, yang lebih menunjukkan makna geografis. Namun, dalam kehidupan sehari-hari kedua istilah ini sama-sama dipergunakan. Sementara bahasa yang umum digunakan adalah bahasa suku Hokkian bukan bahasa Mandarin. Namun kedua bahasa itu juga dipraktikkan dan diajarkan kepada generasi-generasi Tionghoa yang lebih muda. Umumnya masyarakat Tionghoa di Sumatera Utara sebagai pedagang. Mereka dikenal ulet berusaha dan memiliki jaringan yang baik sesamanya, sehingga ada kalanya pribumi “iri hati” terhadap keberhasilan mereka 91 http:www.medanbisnisdaily.comnewsread2013072141534geliat_tionghoa_islam_ di_medan.html diakses tanggal 25 April 2015 48 56 di bidang ekonomi ini. Adapun pola tempat tinggal orang-orang Tionghoa di Sumatera Utara, khususnya sebagai pedagang adalah menempati rumah-rumah dan sekaligus menjadi toko atau tempat berniaga. Bagi masyarakat pribumi orang- orang Tionghoa ini dianggap memiliki sifat tertutup eksklusif dan kurang mau bersosialisasi. Namun sebenarnya masyarakat Tionghoa ini ingin pula dipandang sebagai bagian yang integral dari warga negara Indonesia pada umumnya, dan jangan dibatasi akses sosial mereka. Melalui tulisan ini, penulis akan memaparkan keberadaan umum masyarakat Tionghoa di Sumatera Utara. Tanah-tanah oleh Gouw Giok Siong disebut tanah-tanah Tionghoa, karena subjeknya terbatas pada golongan Timur Asing, terutama golongan Cina. Setelah muslim Tionghoa datang dari dataran Tiongkok, beragam cerita bertebaran. Jejak muslim Tionghoa berserakan dan pernah mencapai era kejayaan. Tapi, panjangnya perjalanan tidak membuat mereka menjadi besar, sebaliknya malah cenderung meredup. muslim Tionghoa tidak bisa melepaskan statusnya sebagai minoritas. 92 Kedatangan etnis Tionghoa pada masa lampau tujuan utamanya adalah untuk berdagang. Mereka memasarkan dagangannya di Indonesia serta bermukim bertempat tinggal di Indonesia. Saat mereka bermukim itulah etnis Tionghoa lambat laun berbaur menjadi satu dengan warga pribumi. Dengan kata lain suatu proses pembauran pun terjadi. Untuk daerah Sumatera Utara kedatangan etnis Tionghoa tidak sekedar untuk berdagang, namun ada pula etnis Tionghoa yang bermukim dan membuka lahan ataupun bekerja sebagai buruh tani. Hal ini telah tergambar ketika pada masa pendudukan Kolonial Belanda yang dimana pada saat itu dibutuhkan banyak buruh perkebunan untuk mengerjakan kebun-kebun milik 92 http:pikiang.blogspot.com201305mengenal-sejarah-tjong-fie-di-kota-medan.html, diakses tanggal 25 April 2015 57 Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara ketika itu. Wakaf dalam bahasa cina nya 恩惠 = Ēnhuì dan sebutan tanah berarti = 根 据土地 = Gēnjù tǔdì. Berkaitan pengertian tanah wakaf yaitu 捐贈土地 = Juānzèng tǔdì . Apabila kata tersebut di hubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan harta yang lain, berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu. Pengertian wakaf menurut masyarakat Tinghoa adalah menahan suatu barang dari dijualbelikan atau diberikan atau dipinjamkan oleh pemilik, guna dijadikan manfaat untuk kepentingan tertentu. Masyarakat etnis Tionghoa yang bermukim di Kota Medan, sudah ada di tempat ini sejak tahun 1917. Sejak saat itu etnis Tionghoa di Kota Medan sudah bercocok tanam. Oleh karena keberhasilan usahanya dalam bercocok tanam, pemerintah Kolonial Belanda pada masa itu memberikan hak kepada etnis Tionghoa di Kota Medan untuk memiliki sebidang tanah yang ditandai dengan sebuah surat Landreform. Isi dari surat Landreform ini adalah : penghargaan dalam usaha-usaha apa pun yang telah dilakoni oleh masyarakat-masyarakat di tanah jajahan. Surat tersebut sah untuk mereka dengan berbagai kebebasan menanam apa saja dan bermukim, membangun rumah dan lain sebagainya. Pada saat itu petani Tionghoa ini memilih untuk menanam sayur mayur. Oleh karena itulah muncullah pada saat itu sebuah ungkapan Cina kebun sayur, yang mengidentifikasikan diri sebagai etnis CinaTionghoa yang melakukan usaha bercocok tanam sayur. Sampai sekarang keberadaan Cina kebun sayur di Kota Medan ini terus bertahan dengan surat yang telah lama dikeluarkan oleh pemerintah Kolonial Belanda, yang memberikan mereka hak untuk mengelola areal selama dua puluh lima 25 tahun. 58 Ketika menjelang habisnya perjanjian tersebut, Indonesia telah merdeka yang tetap terdapat di dalam surat perjanjian Landreform. Dimana hak kepemilikan tanah akan menjadi hak etnis Tionghoa di Kota Medan apabila telah mencapai dua puluh lima 25 tahun. Menurut penuturan Bapak Billy 50 tahun, seharusnya etnis Cina di Kota Medan sudah merasa aman dengan hak kepemilikan tanah atas berakhirnya perjanjian Landreform tersebut. Namun pemerintah Indonesia pada saat itu, tidak menanggapi hak-hak yang seharusnya mampu di akomodir dengan memberikan hak kepemilikan tanah kepada etnis Tionghoa yang telah dua puluh lima 25 tahun mengerjakan tanah ini. Sejarah vihara buddha murni Indonesia kompleks crematorium dulunya didirikan oleh Bhikkhu Dhamma Bathama. Dulunya pemilik tanah yang berasal dari Pematang Siantar memiliki lahan tersebut, kemudian di berikan kepada Bhikkhu Dhamma Bathama. Dia yang mengelola dari lahan vihara ini pada tahun 1960, kemudian pada tahun 1970 vihara ini diresmikan, pada tahap pertama vihara ini masih sangat kecil, lahannya juga masih kecil sekitar 2 sampai 3 hektar saja. Vihara ini pertama kali dibangun dari swadaya para umat Buddha , kemudian tahap kedua pada tahun 1986 sudah melakukan perbaikan dan renovasi seperti membangun Pagoda, pada tahap ketiga tahun 1996 didirikan Mes di samping vihara untuk tepat makan apabila ada acara dan juga tempat inap apabila ada tamu yang dari luar kota dan luar negeri. Lahan pemakaman dibeli oleh yayasan, apabila ada orang Tinghoa meninggal, maka orang dari kerabat yang meninggal harus datang mencarimemilih kapling. Pada tahun 1980 atu kapling seharga 800.000 pada tahun 1990 sudah naik 1.5 juta sampai sekarang seharga 2.5 juta. 59 Pada saat sekarang lebih banyak orang Tionghoa menggunakan kremasi kemudian abunya di masukkan kedalam potguci yang disusun agar kemudian hari di sembayangziarah oleh keluarganya. Kremasi juga menggunakan biaya sekitar 1.2 juta tetapi jika seseorang yang meninggal dari keluarga yang tidak mampu maka yayasan akan membantu beberapa yang bisa mereka bayar sebagai suatu syarat. Tempat abunya juga menggunakan biaya 2.8 juta dan apabila keluarga yang tidak mampu yayasan juta membantu dengan syarat menunjukkan surat keterangan miskin kemudian yayasan akan membantu dari kremasi, tempat, guci, batu nisan. Untuk keluarga yang mampu maka mereka sendiri yang memilih tempatnya di blok sesuai dengan keinginan. Harga dari pemilihan tempat memiliki beragam harga seperti 10 jutaan, 20 jutaan dan 30 jutaan dengan harapan agar harga yang dibayar dapat membantu orang-orang yang tidak mampu dan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh yayasan seperti uang listrik, uang air, uang gaji anggota dan biaya-biaya lain, uang yang lebih akan digunakan untuk perbaikan yang rusak, renovasi, perluasan lahan, teknologi sampai saat ini juga banyak donatur yang membantu.

B. Pemanfaatan Pengelolaan Wakaf