Perlindungan Tawanan Perang dan Penduduk Sipil dalam Hukum Islam

dikelompokkan menjadi al-asra dan al-sabiyy. Al-asra adalah tawanan perang yang berasal dari tentara musuh yang ikut berperang melawan tentara Islam. Sedangkan al- sabiyy ialah anak-anak dan wanita musyrik yang berhasil ditangkap oleh tentara Islam. 21 Adapun yang dimaksud dengan tawanan perang dalam Hukum Islam adalah kombatan dari kalangan orang-orang nonmuslim yang berhasil ditangkap hidup-hidup oleh kaum muslim. Adapun yang dimaskud dengan kombatan dalam persperktif Hukum Islam adalah mereka laki-laki yang mampu melakukan peperangan dan ikut serta dalam aksi perlawananpermusuhan terhadap negara muslim. Demikian pula halnya kaum wanita, anak-anakm dan tokoh-tokoh agama yang berada di medan pertempuran. Secara umum, orang-orang yang tidak ikut serta dalam aksi peperangan dan aksi perlawanan harus diperlakukan seperti layaknya warga sipil, dan tidak termasuk dalam kategori tawanan perang. 22

4. Perlindungan Tawanan Perang dan Penduduk Sipil dalam Hukum Islam

Jaminan perlindungan tawanan perang berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan sebenarnya sangat jelas dikukuhkan oleh Hukum Islam. Oleh karena itu, Islam telah memberikan jaminan perlakuan yang manusiawi terhadap tawanan perang, serta menghormati hak dan kebebasan mereka sejak mereka jatuh dalam kekuasaan kaum muslim, sampai para tawanan kembali ke negara dan keluarga masing-masing. Dalam hukum Islam, tawanan perang tidak tunduk pada kekuasaan 21 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007, Cet.2, h. 262 22 Abdul Ghani, Perlindungan Korban Konflik Bersenjata, h. 26 orang-perorang atau kesatuan militer yang menahan mereka. Tawanan perang hanya tunduk terhadap kekuasaan pemerintahan Islam atau pejabat yang diberikan wewenang untuk mengurus tawanan perang. 23 Al-Quran menganjurkan kepada kaum Muslimin agar memberi bantuan- bantuan apa saja yang paling baik yang dimiliki dan memperlakukan tawanan- tawanan secara manusiawi. Seperti yang dicontohkan oleh para sahabat, mereka bersedia mendahulukan kepentingan para tawanan daripada kepentingan pribadi. Islam melarang keras melakukan pembunuhan, menyiksa atau melampiaskan dendam terhadap tawanan. Tujuan para kaum Muslimin menahan para tawanan agar mereka tidak turut serta kaum musyrikin lainnya untuk memerangi umat Islam. 24 Ada beberapa perlindungan dan hak tawanan perang yang ditetapkan dalam Islam, antara lain: a Hak Tempat Tinggal Tawanan Perang Dalam sejarah Islam, para tawanan perang yang berada di bawah naungan pemerintahan Islam telah menikmati penempatan dan penampungan yang baik selama masa tawanan berlangsung. Sejarah mencatat bahwa seringkali Rasulullah saw. mendistribusikan penampungan para tawanan perang di rumah-rumah kaum muslimin. Tidak jarang juga ditempatkan di masjid sampai berakhirnya masa penahanan. Memuliakan tawanan dapat diwujudkan dengan baik dengan 23 Ibid., h. 34 24 L. Amin Widodo, Fiqih Siyasah dalam Hubungan Internasional, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1994, h. 96. cara menyediakan tempat tinggal yang layak, disamping makan dan minum, serta memberikan mereka perlakuan-perlakuan yang sesuai dengan prinsip kemuliaan manusia yang dijunjung tinggi oleh Islam, berdasarkan firman Allah SWT: 01 2 3 3 4 3 5 6 , -.7 Artinya: “Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.” b Hak Pakaian Rasulullah saw berpesan kepada para sahabatnya agar memuliakan dan berbuat baik kepada tawanan yang berada di bawah kekuasaan kaum muslim, dan jangan dibiarkan terlantar tanpa pakaian atau memakai pakaian yang compang-camping. Dan karena Islam juga tidak memperkenankan aurat yang seharusnya tertutup dilihat oleh orang lain. c Hak Bersatu dan Berkumpul dengan Keluarga Para pakar hukum Islam sepakat berpendapat bahwa tawanan yang masih kecil tidak boleh ditempatkan terpisah dengan ibunya. Kesepakatan ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw., “Tidak boleh memisahkan seorang ibu dengan anaknya ”. Larangan pemisahan ini berlaku juga bagi dua tawanan lelaki bersaudara atau dua tawanan wanita bersaudara. Jika seorang anak dianggap dewasa, telah mencapai usia akil baligh, diperbolehkan memisahkannya dari ibunya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah bin al-Shamit bahwa Rasulullah saw. bersabda 25 : “Tidak boleh memisahkan seorang anak kecil dengan ibunya”. Lalu ada seorang sahabat yang bertanya, “Sampai usia berapa anak itu tidak boleh berpisah dengan ibunya?”, Nabi saw. menjawab, “Sampai seorang anak laki-laki mencapai akil baligh dan anak perempuan mendapatkan haid”. Dalam sejarah, Nabi tidak pernah memperlakukan tawanan perang dengan kasar apalagi membunuhnya, kecuali hal-hal yang prinsip, seperti tawanan perang melakukan tindak pidana jarimah atau sangat berbahaya apabila dibiarkan hidup, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi dalam kasus Perang Badr. Selain yang dibunuh, masih banyak tawanan Perang Badr yang dibebaskan, bahkan tanpa meminta tebusan dari mereka. Dan Nabi berpesan agar memperlakukan para tawanan dengan sebaik-baiknya. Dalam Al-Quran, Allah juga mengajarkan memperlakukan tawanan secara manusia: 2 5 89++ , , - - . . -: ; = 9 . - Artinya: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih .” 25 Abdul Ghani, Perlindungan Korban Konflik Bersenjata, h. 34 Dalam kasus Yahudi Bani Quraizhah, Nabi pernah membunuh tawanan perang tapi dalam kasus ini bukan termasuk tawanan perang. Mereka ialah warga negara Madinah yang terikat dengan Piagam Madinah untuk taat dan patuh kepada Nabi serta mendapat perlindungan dari Nabi. Akan tetapi mereka mengingkari isi perjanjian dan melakukan tindakan makar ingin menggulingkan Nabi dan bekerjasama dengan kaum kafir Mekkah. Mereka bersekongkol membantu tentara sekutu ahzab. Oleh karena itu, Nabi mengambil tindakan membunuh mereka bukan sebagai tawanan tapi sebagi kaum pemberontak yang melakukan penghianatan. Dan ini sesuai dengan penghukuman bagi kaum bughah dan pelaku makar. 26 Setelah selesai pertempuran, sesuai dengan yang tersurat dalam Surat Muhammad ayat 4 27 , penguasaan negeri Darus Salam dalam mengambil sikap terhadap para tawanan yaitu membebaskan tawanan tanpa syarat atau menukarkan tawanan dengan tebusan. Membebaskan tawanan tanpa syarat, berarti mengampuni atau membebaskan tawanan tanpa syarat tebusan apapun. Hal ini dilakukan apabila tawanan sudah tidak lagi memiliki harta apapun untuk menebusnya. Melakukan penukaran tawanan dengan tebusan, kadang dilakukan dengan menukar tawanan kaum muslimin dengan tawanan musuh atau tawanan ditebus dengan harta sampai ia 26 Iqbal, Fiqh Siyasah, h. 263. 27 “Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir di medan perang Maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu Telah mengalahkan mereka Maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.” bebas. Pernah Rasulullah saw membebaskan tawanan dengan memberikan syarat pada setiap tawanan harus menebus dirinya dengan mengajar membaca dan menulis sepuluh anak-anak muslim. 28 Banyak pesan Rasulullah dan sahabat besar seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab yang dapat dijadikan petunjuk dan ketentuan-ketentuan jihad dalam Islam, khususnya yang berkaitan dengan perlakuan terhadap tawanan. Pesan-pesan Abu Bakar yang diriwayatkan Imam Ahmad menyatakan dari sahabat Yahya bin Sa’ad bahwa Abu Bakar pernah menngirimkan pasukan ke Syam, kemudian mengangkat Yaziu bin Abu Sofyan sebagai Amir Syam. Pesan beliau kepada Yahya bin Sa’ad yaitu: a. Janganlah engkau bunuh wanita-wanita, anak-anak dan orang-orang yang sudah tua. b. Jangan kamu tebangi pohon-pohon yang sedang berbuah dan kurma- kurma. c. Jangan engkau rusak dan membakar bangunan-bangunan. d. Jangan engkau bunuh domba-domba dan sapi-sapi kecuali untuk dimakan. e. Jangan engkau menjadi pengecut dan pendendam. Umar bin Khattab pernah juga berpesan seperti yang diucapkan Abu Bakar As-Shiddieqy dan pesan-pesan Rasulullah SAW dan juga pesan Khulafa ar-Rasyidin lainnya. 29 28 Widodo, Fiqih Siyasah, h. 96. 29 Ibid., h. 98 D. Sanksi Kejahatan Perang 1. Sanksi dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Ketika Perang Dunia I pecah, seluruh aturan perang dilanggar dengan sengaja. Para penjahat perang, bahkan dari pihak Jerman yang kalah perang, lolos dari hukuman. Tahun 1921 pengadilan di Jerman memang mengadili kasus yang dikenal dengan sebutan the Llandovery Castle, yakni pengadilan terhadap tentara yang membantai nelayan-nelayan tak bersenjata setelah kapal mereka ditenggelamkan. Pembelaan para tersangka bahwa operasi dijalankan dengan dalih perintah atasan tidak dapat diterima pengadilan. Menurut pengadilan, perintah yang diterima para prajurit tersebut secara universal sudah diketahui melanggar hukum. 30 Sesuai pasal-pasal dalam empat konvensi yang mengatur represi terhadap penyalahgunaan dan pelanggaran, salah satunya pasal 49 31 : 1. Mewajibkan pihak-pihak penandatanganan untuk mengadakan tindakan legislative, yaitu menetapkan undang-undang yang mengatur pemberian sanksi pidana efektif terhadap orang-orang, baik yang melakukan maupun yang memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat. 2. Mengatur kewajiban negara penandatangan untuk mencari dan mengadili orang-orang yang telah melakukan atau memerintahkan untuk melakukan sesuatu pelanggaran berat, tanpa memperhatikan kebangsaannya. Dan 30 Suhartono, ed., Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global , Jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2002, h. 216. 31 Lihat Geneva Convention I. mengatur kemungkinan diadakannya ekstradisi yang harus dipenuhi beberapa syarat, yaitu: a Adanya suatu pelanggaran berat yang nyata prima facie case. b Adanya ketentuan dalam perundang-undangan nasional mengenai penyerahan orang-orang yang melanggar Konvensi Jenewa 1949. c Adanya perjanjian ekstradisi dengan negara yang bersangkutan. 3. Pihak penandatangan harus mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk memberantas segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan konvensi. 4. Mengatur jaminan bagi tertuduh agar mendapat perlakuan yang wajar pada waktu ia diadili. Jaminan tersebut tidak boleh kurang dari jaminan yang terdapat dalam artikel 105 Konvensi III yang berbunyi 32 : Tawanan perang berhak akan bantuan salah seorang kawan tawannya, pembelaan seorang pembela atau pengacara yang cakap pilihannya sendiri, memanggil saksi-saksi dan apabila dianggap perlu, jasa-jasa seorang penerjemah yang cakap. Ia harus diberitahukan tentang hak-haknya itu oleh negara penahan pada waktunya sebelum peradilan dimulai. Pelanggaran tersebut tidak saja yang mencakup pelanggaran terhadap Pasal 3 dalam era perang saudara, namun meliputi kejahatan berikut jika dilakukan dalam konflik internasional 33 : pembunuhan dengan sengaja, penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologis yang secara sengaja menyebabkan penderitaan 32 KGPH. Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2007, h. 108. 33 Suhartono, ed., Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, h. 222. yang hebat atau cidera serius pada tubuh atau kesehatan seseorang, penghancuran meluas atas hak milik seseorang, yang tidak dilakukan demi keperluan militer dan dilakukan tanpa alasan dan tanpa pengakuan yang sah. Kejahatan yang paling berat menghasilkan hukuman yang paling berat, sesuai dengan perjanjian-perjanjian hak asasi manusia. Pasal 77 34 menyatakan bahwa hukuman bagi pelanggaran terburuk adalah hukuman penjara seumur hidup. Sebagai tambahan, tertuduh mungkin akan dikenakan denda dan harta milik serta asset yang diperoleh terdakwa karena melalukan kejahatan. Pasal 109 menyatakan negara-negara pihak harus bekerja sama dalam pembekuan dan penyitaan aset yang berada dalam yuridiksi mereka. 35

2. Sanksi dalam Hukum Islam