Tawanan Perang dan Penduduk Sipil dalam Hukum Humaniter

C. Perlakuan terhadap Tawanan Perang dan Penduduk Sipil

1. Tawanan Perang dan Penduduk Sipil dalam Hukum Humaniter

Internasional Dalam Hukum Humaniter Internasional HHI, ada dua jenis kelompok komunitas yang dapat dikategorikan sebagai tawanan perang: a Tentara Reguler dan Kombatan Sejenis Tentara regular yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Hukum Humaniter Internasional seperti menghormati hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang dapat menikmati jaminan hukum yang telah ditetapkan bagi tawanan perang pada saat meninggalkan peperangan dengan cara terpaksa seperti mengalami cidera, atau karena keinginannya sendiri dengan membuang senjata. Kriteria ini juga diberikan bagi angkatan perang regular yang tunduk pada suatu pemerintahan atau kekuasaan yang tidak diakui oleh negara yang menahan. b Kelompok Lain yang Dikategorikan Sebagai Tawanan Perang Istilah tawanan perang juga berlaku bagi kelompok lain yang tidak dianggap sebagai prajurit regular kombatan, yaitu: 1 Orang-orang yang menyertai angkatan perang yang mencakup; para pemasok perbekalan, anggota-anggota unit yang bertanggungjawab atas kesejahteraan dan kenyamanan angkatan perang, orang-orang sipil yang menjadi awak pesawat terbang militer, wartawan atau koresponden perang, dengan syarat mereka dibekali surat-surat pengesahan dan identitas pribadi angkatan perang. 2 Anggota awak kapal pelayaran niaga, para taruna dan awak pesawat terbang sipil dari pihak-pihak yang bersengketa yang tidak menerima perlakuan yang menguntungkan menurut ketentuan-ketentuan lain dalam hukum internasional. 10 Dalam Konvensi Den Haag IV 1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, tawanan perang ialah mereka yang berada dalam kekuasaan pemerintah musuh, bukan berada dalam kekuasaan individu atau kelompok-kelompok yang menangkap mereka. 11 Seluruh negara yang berperang diwajibkan memperlakukan tawanan secara manusiawi, mengizinkan mereka menyimpan barang-barang pribadi, beribadah, dan membebaskan petugas dari tugas-tugas yang berhubungan dengan dinas militer. 12 Serupa dengan Konvensi Den Haag, dalam Konvensi Jenewa tahun 1949 yang disebut tawanan perang adalah tawanan negara musuh, bukan tawanan orang-orang atau kesatuan militer yang telah menahan mereka. Negara penahan bertanggung jawab atas perlakuan yang diberikan kepada mereka. Tawanan hanya dapat dipindahkan oleh negara penahan ke suatu negara yang menjadi peserta konvensi. 10 Abdul Ghani A. Hamid Mahmud, Perlindungan Korban Konflik Bersenjata dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam , t.t., Komite Internasional Palang Merah: ICRC Delegasi Regional Indonesia, 2008, h. 24. 11 Konvensi Den Haag Iv 1907 Mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang Di Darat, h. 6. 12 Suhartono, ed., Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global , Jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2002, h. 215. Sama halnya dengan Konvensi Den Haag, dalam konvensi ini para tawanan perang harus diperlakukan dengan manusiawi. Setiap perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau kelalaian negara penahan yang mengakibatkan kematian atau yang membahayakan kesehatan seorang tawanan perang yang berada di bawah pengawasannya adalah terlarang dan harus dianggap sebagai pelanggaran berat dari Konvensi ini. Tawanan perang juga harus selalu dilindungi dari tindakan-tindakan kekerasan, ancaman-ancaman dan penghinaan-penghinaan serta tontonan umum. Tawanan perang dalam segala keadaan berhak mendapat penghormatan. Terutama wanita harus mendapat perlakuan segala penghormatan yang patut diberikan dan perlakuan sebaik-baiknya dari kaum laki-laki. Dan negara yang menahan tawanan wajib menjamin pemeliharaan dan perawatan kesehatan yang dibutuhkan oleh keadaan kesehatan dengan cuma-cuma. 13 Hukum Humaniter Internasional mewajibkan pihak-pihak yang bersengketa untuk membedakan antara penduduk sipil dan kombatan. Istilah penduduk sipil mencakup semua orang yang berstatus sipil. Yang dimaksud dengan orang sipil adalah setiap orang yang tidak ikut berperang. Bila ada keraguan apakah seseorang itu seorang sipil atau kombatan, maka ia harus dianggap sebagai orang-orang yang berkerja sebagai penolong, wartawan dan pesonel organisasi pertahanan sipil. Penduduk sipil akan menerima perlindungan umum dari berbagai serangan militeryang bersifat defensif maupun ofensif di wilayah mana saja terjadi 13 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah Tahun 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang , Bandung, Binacita, 1986, h. 177. penyerangan. Mereka tidak boleh menjadi sasaran serangan, mereka berhak mendapat perlindungan menghadapi serangan yang diarahkan terhadap sasaran militer, orang- orang sipil atau obyek-obyek sipil tanpa pembedaan. 14 Pasal 3 Konvensi Jenewa cocok untuk melindungi semua pihak yang tidak ikut berperang tapi terjebak didalamnya. Pasal ini secara khusus melarang pembunuhan, penyiksaan, penawanan, pelanggaran atas harga diri seseorang dan eksekusi di luar putusan pengadilan. Pasal ini juga berlaku untuk semua aksi gerilya, polisional, atau militer yang dengan sengaja mengakibatkan korban atau mencederai warga sipil atau tawanan. Ditegaskan pula, perlindungan harus diberikan pada pengungsi, perempuan, anak, wartawan, serta siapa saja yang mendapat kartu identitas dari pemerintahnya. Mereka dianggap warga sipil dengan tugas khusus sepanjang tidak melakukan aksi yang bertentangan dengan status mereka seperti harus memiliki surat keterangan, tidak boleh memotret hanya dari satu sisi, tidak memperbanyak informasi yang salah untuk menyudutkan satu pihak. Secara umum, Pasal 3 memang hanya mewajibkan negara peserta untuk mengawasi hak asasi manusia selama berlangsung konflik, sehingga bersifat netral terhadap konflik di dalam suatu negara. 15 14 Abdul Ghani, Perlindungan Korban Konflik Bersenjata, h. 53 15 Suhartono, Kejahatan terhadap Kemanusian, h. 220

2. Perlindungan Tawanan Perang dan Penduduk Sipil dalam Hukum