HASIL DAN PEMBAHASAN Optimasi Fase Gerak Metanol – Air Dalam Analisis Tablet Campuran Parasetamol Dan Kofein Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

25 Gambar 4.2. Kromatogram hasil penyuntikan larutan Baku campur Parasetamol dan Kofein BPFI, dengan fase gerak metanol : air 25 : 75, tekanan 216 kgfcm 2 . Gambar 4.3. Kromatogram hasil penyuntikan larutan Baku Parasetamol BPFI, fase gerak metanol : air 30 : 70, tekanan 221 kgfcm 2 . 26 Gambar 4.4. Kromatogram hasil penyuntikan larutan Baku campur Parasetamol dan Kofein BPFI, dengan fase gerak metanol : air 30 : 70, tekanan 221 kgfcm 2 . Gambar 4.5. Kromatogram hasil penyuntikan larutan Baku Parasetamol dengan fase gerak metanol : air 35 : 65, menggunakan pre kolom, tekanan 269 kgfcm 2 . 27 Gambar 4.6. Kromatogram hasil penyuntikan larutan Baku Kofein dengan fase gerak metanol : air 35 : 65, menggunakan pre kolom, tekanan 269 kgfcm 2 . Gambar 4.7. Kromatogram hasil penyuntikan larutan Baku campur Parasetamol dan Kofein BPFI, dengan menggunakan pre kolom, dengan fase gerak metanol : air 35 : 65, tekanan 269 kgfcm 2 . 28 Gambar 4.8. Kromatogram hasil penyuntikan larutan Baku Parasetamol BPFI, dengan fase gerak metanol : air 40 : 60, tekanan 228 kgfcm 2 . Gambar 4.9. Kromatogram hasil penyuntikan larutan Baku campur Parasetamol dan Kofein BPFI, dengan fase gerak metanol : air 40 : 60, tekanan 228 kgfcm 2 . 29 Pada gambar 4.1 sampai 4.9 di atas dapat dilihat kromatogram dengan laju alir 1,5 mlmenit memberikan tekanan pompa 200 kgfcm 2 , tailing faktor melebihi persyaratan yang tertera dalam USP 30 tahun 2007, yaitu tailing faktor tidak boleh lebih dari 2 dan resolusi harus lebih besar dari 1,5 . Pada gambar 4.5 sampai 4.7 perbandingan metanol - air 35 : 65 adalah yang paling optimal dimana pada perbandingan itu waktu tambat lebih singkat, Parasetamol 2,225 menit dan Kofein 4,183 menit. Resolusi lebih besar dari 1,5. Karena tekanan yang terlalu tinggi akhirnya dilakukan percobaan pendahuluan pada perbandingan tersebut dengan menurunkan laju alir mrnjadi 1 mlmenit. Hasil percobaan pendahuluan dapat dilihat pada gambar di bawah ini: Gambar 4.10. Kromatogram hasil penyuntikan larutan Baku Parasetamol BPFI dengan konsentrasi 300 mcgml, menggunakan pre kolom dengan fase gerak metanol : air 35 : 65, laju alir 1 mlmenit, tekanan 225 kgfcm 2 . 30 Gambar 4.11. Kromatogram hasil penyuntikan larutan Baku Kofeinl BPFI dengan konsentrasi 30 mcgml, menggunakan pre kolom, fase gerak metanol : air 35 : 65, laju alir 1 mlmenit, tekanan 225 kgfcm 2 . Gambar 4.12. Kromatogram hasil penyuntikan larutan Baku campur Parasetamol dan Kofein BPFI dengan konsentrasi 300 dan 30 mcgml, menggunakan pre kolom dengan fase gerak metanol : air 35 : 65, laju alir 1 mlmenit, tekanan 225 kgfcm 2 . 31 Kromatogram menunjukkan bahwa waktu tambat Kofein lebih panjang dari Parasetamol. Hal ini menunjukkan bahwa Parasetamol lebih polar dibandingkan Kofein. Pada fase terbalik kolom yang digunakan lebih non polar dibandingkan dengan fase gerak, sehingga komponen yang terikat lebih lama dalam fase diam pastilah lebih non polar dari komponen yang memiliki waktu yang lebih sedikit dalam fase diam. Dari hasil penelitian juga diperoleh makin sedikit metanol yang dipakai dalam perbandingan maka makin panjang waktu tambat Kofein, sedangkan untuk Parasetamol tidak begitu jauh perubahannya, hal ini menunjukkan bahwa Kofein kurang polar dibandingkan Parasetamol. Kondisi yang optimal diperoleh dengan perbandingan fase gerak metanol - air 35 : 65, laju alir 1 mlmenit. Pada penyuntikan 20 µl waktu tambat Parasetamol 4,184 menit, waktu tambat Kofein 6,197 menit. Penyuntikan baku campur Parasetamol dan Kofein, waktu tambat Kofein 6,207 menit. Perbedaan waktu tambat kofein ini masih diperbolehkan. Menurut Weston dan Brown 1997 perbedaan waktu tambat yang diizinkan ± 5 . Kondisi optimal juga ditunjukkan oleh tailing faktor dan resolusi yang memenuhi persyaratan U SP 30 tahun 2007. Kromatogram dapat dilihat pada gambar 4.10 sampai 4.12. P erbandingan fase gerak dan laju alir ini yang dipakai pada pengukuran selanjutnya. Hasil identifikasi baku Parasetamol BPFI diperoleh waktu tambat 4,185 menit, baku Kofein waktu tambat 6,222 menit. Baku campur Parasetamol dan Kofein BPFI diperoleh kromatogram dengan waktu tambat Parasetamol 4,185 menit dan Kofein 6,214 menit. Hasil pengujian untuk sampel diperoleh waktu tambat yang hampir sama dengan baku tunggal Parasetamol BPFI, Kofein BPFI, baku campur Parasetamol dan Kofein BPFI. Waktu tambat rata-rata Bodrex PT. Tempo scan Pacifik Parasetamol 4,192 menit dan Kofein 6,229 menit, tablet 32 Panadol Extra PT. Sterling Products Indonesia Parasetamol 4,179 menit dan Kofein 6,201 menit, tablet Oskadon PT. Supra Ferbindo Farma Parasetamol 4,208 menit dan Kofein 6,245 menit. Hal ini berarti bahwa sampel yang digunakan dalam penelitian ini mengandung Parasetamol dan Kofein. Kromatogram penentuan waktu tambat dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Gambar 4.13. Kromatogram hasil penyuntikan larutan baku campur Parasetamol dan Kofein BPFI dengan konsentrasi 300 dan 30 mcgml. Gambar 4.14. Kromatogram hasil penyuntikan larutan tablet Panadol Extra PT. Sterling Products Indonesia dengan konsentrasi 300 mcgml. 33 Gambar 4.15. Kromatogram hasil penyuntikan larutan tablet Oskadon PT. Supra Ferbindo Farma dengan konsentrasi 300 mcgml. Gambar 4.16. Kromatogram hasil penyuntikan larutan tablet Bodrex PT. Tempo Scan Pacifik dengan konsentrasi 300 mcgml. Penentuan linieritas kurva kalibrasi Parasetamol BPFI ditentukan berdasarkan luas puncak pada rentang konsentrasi 100 sampai 500 mcgml, 34 diperoleh hubungan linearitas dengan koefisien kolerasi r = 0,9818 dan persamaan garis regresi Y = 48988,0735 X + 4696428,75. Hasil linieritas kurva kalibrasi larutan Parasetamol BPFI dapat dilihat pada gambar 4.17. Gambar 4.17. Kurva kalibrasi larutan Parasetamol BPFI Penentuan linieritas kurva kalibrasi Kofein BPFI ditentukan berdasarkan luas puncak pada rentang konsentrasi 10 sampai 50 mcgml, diperoleh hubungan linearitas dengan koefisien kolerasi r = 0,9998 dan persamaa garis regresi Y = 29557,245 X 10364,85. Hasil linieritas kurva kalibrasi larutan Kofein BPFI dapat dilihat pada gambar 4.18. 35 Gambar 4.18. Kurva kalibrasi larutan Kofein Harga koefisien korelasi dari persamaan regresi di atas dapat diterima. Menurut Miller, J.N 2005 , pada analisis koefisian korelasi dapat mengambil rentang 0,90 sampai 0,99 atau lebih. Kadar Parasetamol dan Kofein dalam sediaan tablet dapat dihitung berdasarkan luas puncak. Kadar Parasetamol dalam sampel dapat dihitung menggunakan persamaan regresi Y = 48988,0735 X + 4696428,75 yaitu mensubsitusikan Y dengan area sampel. Sedangkan untuk kadar Kofein dalam sampel dapat dihitung dengan mensubsitusikan Y dengan area sampel dengan menggunakan persamaan garis regresi Y = 29557,245 X 10364,85 Hasil perhitungan diketahui harga X kadar sampel dan pengolahan data dapat dilihat pada lampiran 12, 14, 16. Perhitungan data statistik diperoleh kadar Parasetamol dan Kofein dalam sampel dapat dilihat pada lampiran 17. Data hasil penetapan kadar Parasetamol dan Kofein dalam sediaan tablet seperti pada Tabel 4.1 36 Tabel 4.1 Data hasil penetapan kadar Parasetamol dan Kofein dalam sediaan tablet. No Nama Sampel Kadar Parasetamol Kadar Kofein 1 Tablet Bodrex PT. Tempo Scan Pacifik 110,65 ± 0,4041 94,93 ± 1,1409 2 Tablet Panadol PT. Sterling Products Indonesia 112,50 ± 0,2727 91,72 ± 0,7086 3 Tablet Oskadon PT. Supra Ferbindo Farma 116,48 ± 0,4393 102,83 ± 0,5410 Dari tabel diatas terlihat bahwa semua sampel yang diteliti mengandung Parasetamol diatas persyaratan kadar yang tertera dalam USP 30 tahun 2007 yaitu mengandung tidak kurang dari 90,0 dan tidak lebih dari 110,0 dari jumlah yang tertera pada etiket Parasetamol dan Kofein. Sedangkan untuk Kofein memenuhi persyaratan yang kadar. Pada penelitian ini dilakukan uji validasi metode penambahan bahan baku standard addition methode terhadap sampel tablet Panadol PT. Sterling Products Indonesia meliputi uji akurasi dengan parameter persen perolehan kembali recovery, uji presisi dengan parameter Standar Deviasi SD, RSD Relatif Standar Deviasi, batas deteksi LOD dan batas kuantitasi LOQ. Harmita, 2004. Uji akurasi dengan parameter persen perolehan kembali dilakukan dengan menambahkan 125,08 mg baku pembanding Parasetamol BPFI, dan 8,75 mg baku pembanding Kofein BPFI pada setara 500 mg analit. Data hasil pengujian perolehan kembali Parasetamol metode penambahan bahan baku standard addition methode dapat dilihat pada Tabel 4.2 37 Tabel 4.2 Data hasil pengujian perolehan kembali Parasetamol dan Kofein dengan metode penambahan bahan baku standard addition methode Penambahan zat aktif Luas Puncak Persen perolehan kembali Parasetamol 24940270 100,59 24935124 100,45 24929978 100,32 24932865 100,39 24922627 100,13 24927846 100,26 Kadar rata-rata 100,35 Standar Deviasi SD 0,1591 Relatif Standar Deviasi RSD 0,1585 Kofein 1234410 98,66 1234395 98,66 1234381 98,66 1234612 98,85 1234362 98,66 1234355 98,66 Kadar rata-rata 98,69 Standar Deviasi SD 0,0775 Relatif Standar Deviasi RSD 0,0786 Dari data diatas diperoleh persen perolehan kembali Parasetamol 100,35. Persen perolehan kembali ini dapat diterima karena memenuhi syarat akurasi, rentang rata-rata hasil persen perolehan kembali adalah 98 - 102. Hasil uji presisi dengan parameter standar deviasi SD sebesar 0,1591 dan Relative Standar Deviasi RSD 0,1585. Nilai RSD yang diizinkan adalah ≤ 2. Maka dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai akurasi dan presisi yang baik Harmita, 1992. Batas deteksi LOD dan batas kuantitasi LOQ yang diperoleh dari penelitian ini sebesar 89,95 mcgml dan 299,85 mcgml. 38 Perolehan kembali Kofein 98,69. Persen perolehan kembali ini dapat diterima karena memenuhi syarat akurasi, rentang rata-rata hasil persen perolehan kembali adalah 98-102. Uji presisi parameter standar deviasi SD sebesar 0,0775. Relative Standar Deviasi RSD 0,0786. Nilai RSD yang diizinkan adalah ≤ 2. Maka dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai akurasi dan presisi yang baik Harmita, 2004. Batas deteksi LOD dan batas kuantitasi LOQ yang diperoleh dari penelitian ini sebesar 1,06 mcgml dan 3,53 mcgml 39

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Analisis Campuran Parasetamol dan Kofein dapat ditentukan secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi menggunakan kolom C18 Oktadesil silana dengan fase gerak Metanol - Air. Dari hasil optimasi diperoleh perbandingan yang paling optimal adalah 35 : 65 pada panjang gelombang 254 nm. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa metode ini dapat dipakai pada penetapan kadar campuran Parasetamol dan Kofein dalam sediaan tablet. Kadar Parasetamol berdasarkan pengukuran luas puncak keseluruhannya berada diatas persyaratan kadar yang tertera dalam USP 30, yaitu mengandung Parasetamol tidak kurang dari 90,0 dan tidak lebih dari 110,0 dari jumlah yang tertera pada etiket. Kadar Kofein dalam sediaan tablet yang diuji keseluruhnya berada dalam batas persyaratan kadar yang tertera dalam USP 30, yaitu mengandung Kofein tidak kurang dari 90,0 dan tidak lebih dari 110,0 dari jumlah yang tertera pada etiket.

5.2 Saran

Disarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut untuk penetapan kadar campuran Parasetamol Kofein secara KCKT menggunakan jenis kolom yang sama tetapi menggunakan fase gerak yang berbeda. 40 DAFTAR PUSTAKA De Lux Putra, E. 2007. Dasar-dasar Kromatografi Gas Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Fakultas Farmasi USU-Medan. Hal. 88-91. Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 254-255, 650 – 651, 1009. Harmita. 2004. Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya. Departemen Farmasi FMIPA UI. Hal. 117-132. Katzung, B.G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta. Salemba Medika. Hal. 484 – 486. Kuntic, V and Vujic, Z. 2008. Statistical Optimization Of Reverse Phase High Performance Liquid Chromatography for the Analysis of Caffein Paracetamol and its Degradation Product p-aminophenol. Belgrade. Faculty of Pharmacy Belgrade. Page. 1. Lunn, G. and Schmuff, N. R. 1997. HPLC Methods for Pharmaceutical Analysis. John Wiley Sons, Inc. Page. 17 -19. Miller, J.N. dan Miller J.C. 2005 . Statistic and Chemometrics for Analytical Chemistry. Pearson Education Limited. Page. 111 - 112 Mycek, M.J. 1997. Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta. Widya Medika. Hal. 99 – 100. Paszti, Gere E., Farkas, O. and Forgacs, E. 2008. Validation and Stimultaneous Determination of Paracetamola nd Caffein in Pharmaceutical Formulations by HPLC. Hungaria Academy of Science. Page. 1. Pharmacopeia USP. 2007. The National Formulary. Edition 30 . The United States Pharmacopeial Convention. Page. 1275 – 1276. Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta. Penerbit Pustaka Pelajar. Hal. 378- 379, 406. Sudaryo. 2001. Pengantar Kromatografi. Surabaya. BBPOM Surabaya. Hal. 4-14. Tjay Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Edisi kelima. Jakarta. Penerbit PT. Elex Media Komputindo. Hal. 140. Weston, A. And Brown, P.R. 1997. HPLC and CE Principles and Practice. California : Academic Press : 216.