Ciri-ciri dan Karakteristik Fundamentalisme

Dalam sejarah agama-agama, fundamentalisme tidak hanya ditemukan dalam tradisi monoteisme, tetapi juga dalam tradisi agama-agama non- monoteisme. Misalnya fundamentalisme Budha, Hindu dan bahkan Khong Hu Cu, yang sama-sama menolak butir-butir budaya liberal, saling berperang atas nama agama Tuhan, dan berusaha membawa hal-hal yang sakral ke dalam urusan politik dan negara. 35

B. Ciri-ciri dan Karakteristik Fundamentalisme

Menurut Fouad Ajami, ciri-ciri fundamentalisme di antaranya bahwa gerakan ini cenderung “menafikan pluralisme”. Bagi kaum fundamentalis, di dunia ini hanya ada dua tatanan masyarakat, yaitu apa yang disebut oleh Sayyid Qutbh sebagai Al-nidham al-Islami tatanan sosial yang Islami dan Al-nidham al- jahili tatanan sosial jahiliah. Antara kedua jenis masyarakat itu tidak mungkin ada titik temu. Karena, yang satu adalah haq benar dan bersifat ilahiyah ketuhanan, sedang yang lain adalah bathil sesat dan bersifat thaghut berhala. Konsekuensi dari pandangan ini ialah, kaum fundamentalis cenderung untuk menolak eksistensi “bangsa-bangsa” berdasarkan perbedaan geografis, bahasa, warna kulit dan budaya. Kaum fundamentalis cenderung menggolongkan manusia hanya berdasarkan agama atau kepercayaan-kepercayaan yang dianutnya. 36 Bahkan memiliki militansi yang kuat untuk membela dan mempertahankan 35 Karen Armstrong , Berperang Demi Tuhan, terj. Satrio Wahono dkk Jakarta-Bandung: kerjasama Serambi dengan Mizan, 2001, Cet II, h.x. 36 Lihat Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Jakarta, Paramadina, 1999 Cet. I, h. 19. keyakinan keberagaman mereka. 37 Arah dari kencendrungan ini dapat ditebak. sebagaimana ditegaskan Bruce Lawrence, fundamentalisme berupaya untuk membangun “tuntutan kolektif”, atau semacam komunalisme dimana keyakinan dan nilai-nilai etika yang diajarkan oleh agama mendapatkan persetujuan dari masyarakat dan wajib dilaksanakan. 38 Ciri lain dari fundamentalisme menurut R. Hrair Dekmejian adalah lebih mengutamakan “slogan-slogan revolusioner” dari pada pengungkapan gagasan secara terperinci. “Jihad” dan “menegakkan hukum Allah” adalah slogan yang utama bagi kaum fundamentalis. Mereka dapat dicirikan dari kecenderungannya terhadap simbol-simbol keagamaan, termasuk dalam memberantas maksiat, mengobarkan semangat “jihad fi sabilillah” dan romantisme mereka terhadap negara Islam. Di samping itu, bagi kaum fundamentalis “jihad” memerankan fungsi yang sangat penting untuk menggugah militansi dan radikalisasi umat. Jihad juga dipergunakan sebagai media untuk memperjuangkan dan membela agama dari mereka yang dianggap musuh Barat dan pemeluk agama non- Islam. 39 Selanjutnya, menurut R. Hrair Dekmejian, kaum fundamentalis lebih cenderung bersikap doktriner dalam menyikapi persoalan yang dihadapi, namun kurang berusaha memikirkan segi-segi praktis yang secara implementatif dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakatnya. 40 37 Fundamentalisme Bahaya Atau Alternatif, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 3 Vol. IV, 1993, h.3. 38 Ridwan Al-Makassary, Mengkaji Fundamentalisme Islam Sebagai Suatu Gerakan Sosial, diakses 29 April 2007dari http:Interseksi.OrgPage4PapersPapers. 39 Rihlah Nur Aulia, Fundamentalisme Islam Indonesia, h. 66. 40 Ridwan Al-Makassary, Mengkaji Fundamentalisme Islam Sebagai Suatu Gerakan Sosial Lihat juga Yusril, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, h. 20. Selain ciri-ciri di atas, fundamentalisme Islam juga memiliki pandangan yang khas mengenai ijtihad. Menurut Leonard Binder, bagi kaum fundamentalis, ijtihad hanya dimungkinkan manakala syari’ah tidak memberikan ketentuan hukum yang rinci mengenai suatu masalah. Selain itu, harus tidak ada preseden dari tradisi awal Islam, ataupun pendapat para fuqaha terkemuka dari zaman yang silam tentang persoalan tersebut. Selain itu, ijtihad juga hanya boleh dilakukan oleh para mujtahid yang memenuhi kualifikasi ijtihad. 41 Sementara itu, sosiolog Agama Martin E. Marty, menyebut setidaknya empat ciri gerakan fundamentalisme. Pertama adalah oppositionalism paham perlawanan. Fundmentalisme dalam agama manapun mengambil bentuk perlawanan yang sering bersifat radikal terhadap ancaman yang dipandang akan membahayakan eksistensi agama, baik itu modernisme, sekulerisme, dan tata nilai Barat pada umumnya. Kedua penolakan terhadap hermeunetika. Dengan kata lain, kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya. Ketiga adalah penolakan terhadap relativisme dan pluralisme, sebagaimana juga disebut Fouad Ajami di atas. Bagi kaum fundamentalis, pluralisme merupakan hasil pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Keempat penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum fundamentalsis berpandangan, bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci. 42 Sementara itu, James Barr 43 menemukan beberapa ciri-ciri fundamentalisme sebagaimana berikut. Pertama, Penekanan yang sangat kuat 41 Yusril, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, h.18. 42 Fundamentalisme Bahaya Atau Alternatif, Ulumul Qur’an, h. 19. 43 James Barr, Fundamentalisme, h.1. akan ketidaksalahan innerrancy Alkitab. Kedua, anti terhadap teori modern dan segala metode studi kritik modern terhadap Alkitab. Ketiga, dalam konteks Kristen, ada klaim bahwa mereka yang tidak menganut pandangan ini bukanlah ”Kristen sejati”. Demikian halnya, gereja sejati hanyalah gereja kaum fundamentalis. Jelas, kaum fundamentalis Islam juga cenderung beranggapan bahwa Islam merekalah yang paling sejati. Fundamentalisme tumbuh dan diidentikkan sebagai bagian dari fenomena global, tetapi kerap kelompok ini disebut-sebut sebagai kelompok yang menggunakan kekerasan dalam mewujudkan cita-citanya. Ini terlihat dalam bangkitnya fundamentalisme Kristen di Amerika Serikat, fundamentalisme Yahudi di Israel, fundamentalisme Hindu di India, 44 dan fundamentalisme Islam di banyak negara Islam. Berdasarkan berbagai ciri-ciri fundamentalisme sebagaimanan disebut di atas, penulis dapat memberikan beberapa ciri-ciri fundamentalisme sebagai berikut: Pertama cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid kaku dan literalis tekstual; kedua cenderung memonopoli kebenaran atas tafsir agama menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas tafsir agama yang paling absah, sehingga menganggap sesat kelompok lain yang tidak sealiran; ketiga meniscayakan hubungan yang harmonis antara agama dan negara; keempat memiliki pandangan yang stigmatis terhadap Barat; kelima mendeklarasikan perang terhadap paham dan tindakan sekuler; dan terakhir cenderung radikal menggunakan cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan nilai-nilai yang 44 Lihat Jo. Priastana, Fundamentalisme dalam Buddhis dan Penghancuran Sangha Perempan, Jurnal Perempuan No.31 2003, h. 8. diyakininya, khususnya dalam berhadapan dengan modernitas dan sekularitas yang dinilainya menyimpang dan merusak keimanan. 45

C. Akar Historis dan Definisi Fundamentalisme Islam